Jumat, 29 Juli 2016

Secuil Literatur Grunge di Indonesia

 Seandainya lagu dibuat hanya untuk dijual ke industri musik. Seandainya lagu dibuat sebatas untuk memenuhi selera kuping pasar. Seandainya lagu dibuat hanya sebagai pengiring makan malam belaka. Dan seandainya dalam sebuah lagu terentang jarak yang begitu jauh dari sikap dan pemikiran sang penulisnya. Maka, bisa dipastikan tak akan pernah ada buku berjudul Rock Memberontak: Karena Nulis Lagu Itu Perlu! karangan Eko “Wustuk” Prabowo ini.
Lagu, bagi Wustuk, adalah antitesis dari segala yang terjabarkan di awal. Lagu bukan pelengkap suasana, barang dagangan, atau rangkaian nada tanpa makna. Lagu adalah sikap, ideologi, serta bentuk riil dari sebuah keberpihakan. Untuk itu, lewat buku berilustrasi serba hitam putih inilah, Wustuk membongkar isi kepala dua pendekar grunge Indonesia idolanya: Candra Hendrawan Johan alias Che dari grup Cupumanik dan Gede Robi Supriyanto alias Robi dari grup Navicula. Dua tokoh itu dipilih, setidaknya, karena kesamaan cara pandang keduanya dalam memosisikan lagu ciptaannya.
Robi menganggap lagu-lagunya adalah saripati atas identitas dan entitas ke-Bali-annya. “Sebagai orang Bali, filosofi dasarnya dalam berkreasi adalah menangkap apa yang ada, menyaringnya, dan kemudian melahirkan karya yang kembali ke semesta”. Lagu, pada akhirnya, adalah kendaraan bagi pesan-pesan yang hendak Robi suarakan. Wustuk mencatat pelbagai hal-hal di balik penciptaan sebuah lagu. Dari pengalaman terjebak macet di Jakarta, misalnya, Robi menulis lagu sarat kritik berjudul Metropolutan.
Robi memang cukup dikenal sebagai aktivis lingkungan hidup. Bersama Navicula, Robi pernah turun langsung ke daerah di Kalimantan untuk melayangkan protes. Ia pun menjadikan lagu-lagunya sebagai kampanye dan protes atas pelbagai isu kerusakan lingkungan. Lihatlah di kanal Youtube video lagu berjudul Busur Hujan. Di atas sebuah kapal legendaris Rainbow Warrior milik organisasi Greenpeace, Robi bersama Navicula melantunkan ajakan untuk peduli pada isu-isu perubahan iklim. Lirik lagu puitis lagi metaforis itu dipadu dengan nada-nada yang enak didengar. Busur hujan di cakrawala/ Manusia titipkan mimpinya di sana....
Jika Robi menulis lagu bertolak dari isu lingkungan, Che selalu melandasi lagu-lagunya dengan empati. Lagu memanifestasikan pengalaman batin dan pergulatan pemikiran. Empati muncul ketika nurani Che terguncang akibat berita bencana, tragedi, atau pengalaman kelam yang pernah ia alami. Empati diolah menjadi satu tema besar, untuk kemudian dipadukan dengan chord lengkap serta nada vokal. Setelah tahapan ini terlewati, barulah sebuah lirik akan ditulis. Bagi Che, “lagu adalah bunyi perasaan”. Karena itu, menulis lagu sungguh bukan proses yang sederhana.
Wustuk mencatat bagaimana Che, pada lagu-lagu tertentu, mesti melewati “masa kritis”. Proses pembuatan lagu Broken Home, misalnya. Trauma masa kecil akibat perceraian orangtua begitu membekas di ingatan Che. Menulis lagu dimaksudkan sebagai penyembuh luka dan trauma. Tak heran bila lagu tersebut begitu personal, “sampai-sampai tidak satu pun anggota band-nya diperkenankan hadir saat take vocal…Menanggalkan semua atribut jantan seorang rocker, dia membiarkan dirinya menangis”.
Hal yang tak kalah penting bagi Che dalam menulis lirik lagu ialah buku. Buku jadi rujukan tak tertangguhkan. Dalam bab Cakrawala: Buku dan Aku adalah Satu, Wustuk mengulas tuntas buku-buku kesukaan Che. Dari karya YB Mangunwijaya, Emha Ainun Nadjib, Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohamad, Ali Syari’ati, Ibnu Arabi, hingga buku-buku marketing karya Richard Learmer dan Peter Drucker. Referensi bacaannya itu bisa menjelma petikan lirik, judul, atau inspirasi dalam membuat video musik.
Che banyak belajar dari pemikiran Peter Drucker, terutama terkait siasat menambah daya dobrak dalam karya. Hasilnya, lagu berjudul Grunge Harga Mati. Tak hanya provokatif secara judul, video ini juga eksplisit menampilkan gambar besar para dewa grunge, sebut saja Kurt Cobain, Eddie Vedder, Layne Staley, dan Chris Cornell, sebagai latar video. Kelahiran lagu dipicu keprihatinan Che melihat antusias pecinta musk grunge yang kian hari makin susut. Juga keputusan beberapa musisi senior enggan menampilkan diri sebagai musisi grunge.
Keputusan Wustuk menulis tokoh grunge tentu tak bisa dipandang biasa. Di kalangan indie, perlu diakui, scene atau komunitas grunge tak semoncer musik jazz. Kematian Kurt Cobain tahun 1994 sempat dianggap sebagai akhir kejayaan grunge di dunia. Tapi Wustuk menampik hal itu. Dengan menulis perjalanan Che dan Robi dalam menbuat lagu, terawetkanlah sekeping jejak musik grunge di Indonesia.

Buku ini menjadi penting karena mengupas dua tokoh yang kukuh bersetia di jalur grunge. Juga sikap dan pesan yang hendak mereka sebarkan lewat lagu-lagunya. Ia menolak tegas menganggap musik sebagai pelengkap suasana belaka. Dan seumpama para penggemar musik lain melakoni kerja kreatif seperti apa yang Wustuk lakukan, kita tentu tak takut akan kehilangan jejak-jejak musik indie di Indonesia akibat dokumentasi literatur yang sangat minim. Menikmati musik memang tak sekadar menyetelnya keras-keras atau bergembira ria saat mendatangi konser. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar