Selasa, 29 Maret 2016

Bedah Buku dan "Ngangsu Kawruh" buku USAI: Membaca dan Menulis (2016).


DPR, Perpustakaan, dan Literasi


Perpustakaan tengah jadi bunga bibir. Berita di koran mengabarkan DPR berniat membangun perpustakaan publik terbesar di Asia Tenggara. Perpustakaan direncanakan menjadi bagian dari gedung baru DPR. Anggaran pun ditaksir bakal menghabiskan duit sebesar Rp 570 miliar untuk membangun gedung. Kita pantas takjub atas niatan tak biasa dari wakil rakyat itu. Bukankah biasanya mereka melulu meributkan jabatan, pencitraan, mahar politik, juga adu debat saat berlangsung sidang.
“Ketakjuban” itu kian berlipat saat serombongan tokoh bercap cerdik pandai beramai-ramai sowan ke DPR, memberi dukungan atas ide pembangunan gedung. Mereka, di antaranya, Ignas Kleden, Nirwan Dewanto, Nirwan Ahmad Arsuka, dan Ulil Abshar Abdalla, barangkali beranggapan bahwa membangun perpustakaan dengan label “terbesar” bakal menguatkan citra negara sebagai kaum beradab. Anggota dewan merasa perlu disandingkan dengan perpustakaan agar dianggap kaum berilmu. Perpustakaan di lingkungan gedung dewan diharapkan sanggup menciptakan tradisi keilmuan, bersanding dengan urusan-urusan politik.
Meski didukung oleh para tokoh intelektual, bukan berarti rencana pembangunan tersebut tanpa cela. Selain adanya isu bahwa pembangunan perpustakaan baru akan dibarter dengan RUU Tax Amnesty yang sedang digadang-gadang pemerintah, kita perlu bercuriga bahwa landasan berpikir gagasan tersebut masih rapuh. Citra anggota dewan selama ini kita ketahui kerap bersinggungan dengan kasus korupsi, politik transaksional, serta misi terselubung di balik kebijakan-kebijakan yang mereka ambil. Kita pun pantas bertanya: Mengapa anggota dewan memilih membangun perpustakaan?  
Kita sulit mencari jawaban tapi diperkenankan mempertanyakan kesanggupan anggota dewan mengerti perpustakaan. Di Indonesia, perpustakaan memang menyimpan sekian cerita meski kerap memberi kabar menyedihkan. Kisah tentang perpustakaan jarang tampil di koran-koran sebagai berita menggembirakan. Berita perpustakaan justru diisi keluhan dan ratapan. Tak jarang, kita jumpai “surat pembaca” di koran yang mengeluhkan pelayanan perpustakaan tak nyaman.
Kepedulian pemerintah terhadap perpustakaan memang belum sebaik sebagaimana mereka mengurusi pembangunan gedung, jalan, dan taman kota. Perpustakaan dianggap tidak mendatangkan keuntungan secara ekonomi. Bagi pemerintah, kesuksesan pembangunan mesti dilunasi dengan pemasukan rupiah ke dalam kantong-kantong pendapatan daerah. Perpustakaan bagi orang-orang bernalar ekonomistik tentu bukan aset yang menguntungkan.

Foto: Pusat Dokumentasi sastra HB Jassin beberapa tahun lalu sempat akan ditutup karena terkendala anggaran perawatan

Kita ingat beberapa tahun silam publik sastra dibuat geram atas isu penutupan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin karena tidak adanya anggaran. Kabar itu memicu reaksi dari kalangan sastrawan untuk melakukan gerakan penggalangan dana berupa aksi pengumpulan Koin Sastra. Nasib serupa juga menimpa perpustakaan Bung Hatta di Yogyakarta. Impian Bung Hatta di masa lalu tentang perpustakaan yang menaungi puluhan ribu buku-buku koleksinya akhirnya kandas. Tanah bangunan perpus mengalami sengketa. Dan akhirnya, riwayat perpustakaan Bung Hatta pun tamat.
Dua kasus tersebut menegaskan ketidakmampuan negara mempertahankan wajah nyata literasi di Indonesia. Kita pun meragu bahwa pembangunan perpustakaan bercap “terbesar” itu sanggup memberi rangsangan agar anggota dewan jadi manusia yang menjunjung tradisi keilmuan. Mereka mungkin ingin disandingkan dengan para pendiri bangsa yang bercap melek literasi. Bung Hatta, Tan Malaka, Hamka, Sjahrir, Agus Salim, Soekarno,Tirto Adi Soerjo, adalah sosok penting bangsa ini yang peduli pada urusan literasi dan buku. Para tokoh bangsa itu menempatkan buku sebagai landasan dan referensi berpolitik. Mereka berpolitik lewat ikhtiar membaca, menulis. Berliterasi!
Kini, apakah para politisi itu berpolitik lewat literasi? Satu dua orang, mungkin ya. Itu sebabnya sebagian lain berencana membangun gedung perpustakaan agar mereka bisa lebih dekat membaca buku saat rehat rapat. Tetapi, apakah kita yakin anggota dewan itu berhasrat menyambangi perpustakaan untuk membaca? Perpustakaan yang kini terletak di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, dikabarkan setiap hari tak pernah ada pengunjung. Suasana sepi itu kian menusuk berkat udara dingin dari penyejuk ruangan (Kompas, 27 Maret 2016).
Kita justru semakin pesimis ketika hari demi hari berita pelarangan diskusi dan forum-forum kebudayaan semakin sering terjadi. Belum lama ini, acara Belok Kiri Fest di Taman Ismail Marzuki dan Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” mendapat penolakan dari ormas agama tertentu, dan polisi tak kuasa memberi jaminan keamanan. DPR sibuk mengusulkan perpustakaan baru beralasan keilmuan tapi tak acuh terhadap pengekangan kebebasan berpendapat.
Dan ketika anggota dewan sedang ngotot ingin membangun perpustakaan termegah, seorang guru di SMKN 61, Kepulauan Seribu, terluka akibat atap perpustakaan yang ambrol (Media Indonesia, 24 Maret 2016). Dari peristiwa ini kita jadi tahu, mana yang perlu diprioritaskan. Dana milyaran untuk pembangunan perpustakaan, seandainya digunakan untuk memperbaiki dan menambah koleksi buku baru di perpustakaan kampus, sekolah, dan daerah tertinggal, tentu lebih bermanfaat.[]

Tribun Jateng, 30 Maret 2016