Minggu, 11 Januari 2015

Ajakan Mencurigai Puisi


Membaca puisi adalah membaca keberagaman tafsir dan makna. Sebuah puisi yang dibaca oleh sepuluh orang bisa jadi memunculkan sepuluh penafsiran yang berbeda pula. Puisi adalah hamparan makna, simbol, lambang, ironi, metafor, dan estetika. Puisi kerap membuat pembaca “tersesat” dan “tak berdaya” dalam rimbunan kata bila gegabah dalam menafsir dan mengartikan.
Keberagaman tafsir itulah yang disadari Sapardi Djoko Damono sebagai pokok dan utama dari proses pembacaan puisi. Keberagaman adalah jalan memartabatkan puisi, karena dalam perbedaan tafsir itu puisi membuktikan kekuatan bahasa dan kata-katanya. Lewat buku Bilang Begini, Maksudnya Begitu (2014) Sapardi mengajak pembaca berasyik-masyuk menyingkap setiap selubung makna yang tersembunyi di balik puisi, lewat ikhtiar apresiasi.
Apresiasi berarti mencari dan memahami “nilai” dari sebuah puisi hingga ceruknya yang terdalam. Mereka yang berkeputusan mengapresiasi puisi tentu harus siap berhadapan dengan medan imajinasi dan kata. Di balik sebuah puisi bersembunyi gagasan, pikiran, pesan, dan sikap yang, sadar atau tidak, sengaja atau tidak, ditulis oleh penyair.  
Ada tahap-tahap yang harus dilalui pembaca sebelum mencoba mengapresiasi puisi. “Huruf-huruf yang tercetak di atas kertas itu berubah menjadi bunyi terlebih dahulu dalam pikiran kita sebelum menjelma makna” (hal.22). Dari tahap membaca, “membunyikan”, menebak-nebak “sesuatu’ yang mungkin ada di balik pilihan kata, hingga mengendapkan puisi di dalam pikiran.
Untuk itu komunikasi dengan teks, bagi Sapardi, adalah tahap yang sepenuhnya vital bagi pembaca. Komunikasi adalah upaya membaca dengan penuh curiga. Apa yang kita tangkap sekilas dari sebuah puisi mungkin hanya permukaan atau lapis pertama saja dari apa yang tampak. Kita bisa saja hanya menyibak sesuatu yang sejatinya ”di luar” puisi, sesuatu yang tidak benar-benar disuarakan oleh puisi.
“Membaca puisi adalah proses komunikasi yang rumit”(hal.33). Kerumitan puisi bisa kita lacak dari pelbagai kontradiksi antara maksud si penyair dalam puisinya dengan apa yang ditangkap oleh pembaca. Sapardi mengajak kita menelusuri pemikiran penyair karena apa yang terbaca dari sebuah puisi, bisa jadi berkebalikan dengan apa yang dimaksudkan oleh si penyair.
Namun, bukan berarti untuk memahami puisi kita harus bertemu dan menanyakan langsung pada si penyair. Hal tersebut justru sebaiknya dihindari. Apresiasi sepenuhnya urusan komunikasi pembaca dengan teks. Memahami alam pikiran penyair adalah satu di antara strategi menguak pesan di balik puisi.
Ketika penyair memutuskan memilih sebuah kata, misalnya. Penyair yang menciptakan puisi dengan mencomot diksi dari benda-benda alam, bukan berarti ia ingin menunjukkan kekaguman pada alam, seperti lazimnya pemahaman khalayak. Sapardi menegaskan:”Rasa ingin tahu seperti itulah yang selalu ada dalam diri kita kalau menghadapi benda seni apa saja—tidak terkecuali karya sastra (hal.50). Sapardi menebar kecurigaan kepada setiap teks puisi agar tak terjerat dalam apresiasi dan penilaian klise.
Posisi Sapardi sebagai penyair sekaligus kritikus memang memberi sapuan khas dalam penilaian dan tulisan-tulisannya--perspektif dan eksplorasinya terkesan sangat personal. Sapardi sepenuhnya mengerti apa yang berkelindan dan yang lepas dari sebuah puisi. Pengalamannya bercumbu dalam proses kreatif ia gabungkan dengan ketajaman mata pisau kritiknya. Alhasil, meski menghadirkan apresiasi puisi, tulisannya sanggup mendedah yang “tersembunyi” dan yang “misteri” dari sebuah puisi secara terperinci, mendekati sebuah kritik.
Sapardi menyodorkan pelbagai jenis puisi, dari yang ia terjemahkan sendiri, seperti Manuel Bandeira, Rumi, hingga penyair gaek Nusantara, sebut saja Amir Hamzah, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, F Rahardi, Hartojo Andangdjaja, Remy Sylado, dan Joko Pinurbo, untuk menjelaskan pelbagai pembahasan apresiasi puisi.
Satu per satu puisi dibedah dari perspektif gaya bahasa, citraan, lapis makna, tipografi, konvensi, tema, sikap penyair, hingga intertekstualitas. Kita diajak untuk tak sekadar menjadi pembaca pasif tetapi dituntun dalam pilihan sikap untuk terus-menerus bercuriga pada teks.
Namun sangat disayangkan dalam buku ini kita tak menemukan nama-nama penyair muda Indonesia mutakhir untuk dicomot puisinya sebagai bahasan. Kita bakal mendapati penyair “langganan” yang, entah sudah berapa kali, berulang-ulang dibahas oleh para kritikus maupun apresiator karya sastra. Kita tak tahu apakah Sapardi lupa bahwa penyair dan puisi yang ia pilih sebagai bahasan, justru sudah bertebaran di buku-buku apresiasi sastra sebelumnya, bahkan dibicarakan secara rutin di sekolah-sekolah setiap tahunnya.
Tetapi, bukan Sapardi jika tak sanggup menyajikan sebuah kumpulan tulisan dengan cita rasa yang renyah dan “mudah dikunyah”. Meski mengupas puisi yang pelik, Sapardi tak tergoda mengumbar penjelasan sarat teori dan bahasa yang terlalu ilmiah. Tidak tertutup kemungkinan, teori sudah luruh dan menyatu dalam tulisan-tulisannya.
Buku Bilang Begini, Maksudnya Begitu memperpanjang catatan atas ketangguhan Sapardi dalam menyuntuki puisi. Sapardi memang semakin menua, tubuh yang renta, rambut yang memutih, serta kaca mata yang kian menebal. Bagi Sapardi, kerja puisi adalah pengabdian tak mengenal tua.[]


Dimuat di Jawa Pos 11 Januari 2015