Jumat, 29 Juli 2016

Mengisahkan Hatta dari Sangat Dekat


Sejarah Indonesia meriwayatkan Mohammad Hatta sebagai tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kita membaca ketokohan Hatta bereferensi buku sejarah maupun biografi dan otobiografi. Para sejarawan mengurai kiprah Hatta berdasarkan aktivitas, pemikiran, dan perannya di bidang intelektual, politik, ekonomi, dan pergerakan.
Sekian buku tentang Hatta sengaja diterbitkan oleh sahabat, sejarawan, orang-orang terdekat, bermaksud melengkapi pengisahan sosok Hatta secara komplit. Begitu pula dengan penerbitan buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2016) yang ditulis oleh tiga putrinya: Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta. Ketiganya menuliskan kesan, pengalaman, dan ingatannya sebagai anak seorang tokoh besar Indonesia.
Sebagai anak pertama, Meutia tentu paling banyak memiliki kesempatan menikmati masa kecilnya bersama sang ayah. Meutia mengenang masa-masa di saat ayahnya kerap mendapat undangan ke luar negeri meski sudah tidak berstatus Wakil Presiden pertama Indonesia.
Meutia ingat saat diajak ayahnya melawat ke Jerman. Di sebuah restoran yang mereka kunjungi, terjadi peristiwa yang kemudian membuat Meutia terkagum-kagum pada sikap berani ayahnya. Hanya karena beda warna kulit, rombongan Hatta tidak mendapat perlakuan memuaskan dari pengelola restoran milik warga Jerman.
“Ayah berbicara dengan fasih dan tegas, saya terkesima. Ayah memprotes perlakuan mereka yang membuat kami berlama-lama di sana tanpa dilayani”(hal.15). Peristiwa ini menegaskan betapa Hatta adalah seorang pemberani yang menjunjung tinggi kesetaraan hak-hak manusia. Ia tak rela mendapat perlakuan berbeda hanya karena beda ras.
Selain itu, Meutia tak segan untuk menceritakan hal-hal pribadi terkait sang ayah. Misalnya, tentang alasan mengapa ayahnya terlambat menikah, yaitu di usia 43 tahun. Menurut Meutia, ayahnya ”tidak ingin menikah sebelum Indonesia merdeka” (hal.39). Prinsip itu pun benar-benar Hatta lakoni. Tak lama setelah Indonesia merdeka, Hatta menikah dengan Rahmi Rachim, yang kemudian menjadi ibu dari ketiga penulis buku ini.
Salah satu didikan Hatta yang hingga kini masih Meutia ingat dan lakoni yaitu terkait buku. Hatta memang terkenal sebagai sosok intelektual penggila buku. Sejak kecil, Meutia diajarkan oleh Hatta agar memperlakukan buku secara terhormat. Saat membaca buku, Meutia diajarkan agar “duduk manis, tangan dilipat, dan satu aturan lagi, buku tidak boleh dicoret atau diberi tanda dengan cara dilipat ujungnya”(hal.84).
Selain tegas, teguh pendirian, dan disiplin, Hatta juga dikenal sebagai sosok lelaki yang romantis. Gemala Rabia’ah Hatta terkenang sikap ayahnya yang sangat halus kepada Rachmi, sang ibu. Dalam kisahan Gemala, kita bisa mendapati gambaran tentang keromantisan Hatta pada istrinya.
Gemala mengisahkan momentum saat Hatta memberikan uang pensiunan kepada istrinya. “Ini pensiunan Kak Hatta, tolong Yuke cukupkan. Nanti kalau ada yang kurang, katakan pada Kak Hatta, nanti kita carikan jalan keluarnya”(hal.147). Sebuah dialog yang lembut. Hatta punya penggilan kesayangan kepada Rachmi, begitupun sebaliknya.
Kita bisa membaca situasi Hatta saat itu. Pensiunan sebagai Wakil Presiden tak menjamin kebutuhan hidup berkecukupan. Meski tak punya banyak uang, Hatta tetap mengutamakan sikapnya yang lembut pada sang istri.
Berbeda dengan ulah para politisi hari ini yang gemar korupsi. Meski kondisi keuangan yang tak terlalu longgar, Hatta tak tergiur mengambil uang negara yang bukan haknya. Gemala terkesan dengan kejujuran Hatta terkait penggunaan uang negara.
Kala itu, Hatta mengalami sakit keras dan mesti berobat ke luar negeri. Seluruh biaya pengobatan ditanggung negara. Ketika pengobatan selesai, ternyata ada sisa dari biaya pengobatan yang menurut aturan negara sudah menjadi hak Hatta. Tetapi Hatta berkehendak lain. Meutia mengenang ucapan ayahnya:”itu bukan uangku, kembalikan kepada negara”(hal.166).
Kejujuran dan kesederhanaan Hatta juga begitu membekas dalam ingatan si ragil Halida Nuriah Hatta. Sekitar tahun 1955, Hatta melepas jabatannya sebagai Wakil Presiden. Hatta sekeluarga kemudian hengkang dari rumah dinas. Hatta bisa saja meminta bantuan negara untuk membelikan rumah. Namun hal itu tidak Hatta lakukan.
Hatta lebih memilih membeli rumah dengan mencicil. Hatta mengakui cukup membiayai rumah itu dari penghasilannya sendiri yang bersumber pada “tabungan dari penghasilan kebiasaan menulis di media sejak muda, yaitu menulis karangan yang mengupas berbagai berbagai persoalan mendasar bidang sosial, ekonomi, politik”(hal.200).

Ingatan dan kenangan ketiga putrinya tentu sanggup menjelaskan Hatta dari dekat. Buku ini akan semakin berkesan apabila konsisten mengisahkan Hatta secara personal, dalam bingkai relasi anak dan ayah. Sayang sekali, ketiga penulis justru tergiur mengurusi hubungan politik, uraian ideologis, serta upaya menjelaskan pemikiran-pemikiran Hatta. Hal itu tentu mubadzir karena ada begitu banyak buku karangan para pakar yang lebih mumpuni dalam mengulas hal tersebut.[]

Kerinduan pada Taman

Foto: Gardens by the Bay di Singapura
Di sebuah kota yang penuh gedung, jalan raya, dan lalu lintas kendaraan, keberadaan ruang terbuka hijau memang begitu penting. Taman, misalnya, memungkinkan pertemuan antar sesama warga bisa terjalin. Sehari-hari, orang disibukkan oleh aktivitas kerja di rumah, kantor, pabrik, pusat perbelanjaan, atau jalan. Hubungan antar individu pun kerap hanya mengandalkan telepon seluler atau media sosial.
Taman memberi kesempatan agar orang-orang di kota besar tak semakin individualis. Taman bisa dimanfaatkan untuk bersantai, menikmati sore, santap jajan, atau berbincang bersama rekan, tak melulu di kafe, kedai kopi, restoran, atau hotel. Taman sanggup memberi jeda bagi mata di antara pemandangan jembatan layang, kendaraan yang terburu-buru, juga kondominium yang menjulang tinggi. Kota-kota memerlukan taman bukan untuk sekadar mempercantik pemandangan. Pembuatan taman justru guna memanusiakan kaum urban.
Sejak dulu, kesadaran bertaman memang sudah tercatat di Indonesia. Di era kolonial, taman-taman biasa dibangun di depan, belakang, atau samping rumah penguasa. Masyarakat pribumi biasa menganggap taman sebagai kebon raja. Alasannya, hamparan tanah berumput yang luas disertai pohon dan tanaman bunga itu identik dengan sebutan “kebon”. Mereka berkeyakinan bahwa semua benda di negara ini adalah milik raja (Raap, 2015:285). Gambar kartu pos di masa lalu pun sempat mendokumentasikan taman-taman terkenal di Hindia Belanda, di antaranya Taman Pieter, yang sekarang menjadi Taman Balai Kota Bandung, dan Taman Sriwedari Solo.
Akhir-akhir ini pun media massa sering memberitakan taman-taman di kota besar. Kita, setidaknya, bisa menyebut Tri Risma Maharani dan Ridwan Kamil sebagai walikota penggemar taman. Mereka mengkreasikan lahan-lahan kosong untuk dialihfungsikan menjadi taman. Risma tenar sebagai walikota perempuan yang tak tanggung-tanggung mengurusi taman. Berita di televisi pernah menyiarkan adegan Risma ngamuk melihat taman kota yang rusak akibat terinjak-injak pejalan kaki saat berlangsung car free day, hari tanpa kendaraan.
Di Bandung, Ridwan Kamil memanfaatkan kolong jembatan sebagai taman dalam pelbagai tema, ada Taman Film, Taman Jomblo, dan Taman Skate. Pemberian nama itu menggelitik. Di taman itu, publik tak sekadar bersantai atau mengobrol. Mereka bisa menonton film dan bermain skateboard. Bagi dua walikota itu, mengurusi taman memang sama pentingnya dengan membangun jalan atau menyediakan jaminan kesehatan bagi warga miskin. Kerinduan publik pun pelahan-lahan tersalurkan. Dan terbukti, publik menyambut gembira keberadaan taman-taman itu. Kesuksesan mengurusi taman bahkan sanggup mengerek ketenaran dua tokoh ini sebagai walikota berprestasi.
Jauh sebelum taman-taman garapan dua walikota itu ramai dikabarkan media, negara ini pernah memiliki proyek prestisius bernama Taman Mini Indonesia Indah. Meski menyandang  kata “mini”, bukan berarti taman itu seukuran halaman rumah. Taman justru berukuran jumbo karena diharuskan memuat pelbagai jenis miniatur rumah, tradisi, dan hasil-hasil budaya daerah. Dalam buku Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol (2010) dikisahkan bahwa pembangunan Taman Impian Jaya Ancol (TMII) di Jakarta berawal dari ide Bu Tien Soeharto. Soekardjo menerjemahkan taman dalam pandangan Bu Tien sebagai “wahana rekreasi yang merefleksikan budaya asli Indonesia yang begitu beragam dengan segala keunikan dan perkembangannya”.
Bagi Ibu Tien, bertaman itu berbudaya. Ibu Tien ingin menyatukan pelbagai kekayaan bangsa ini dalam satu miniatur yang terpusat di Jakarta. Para pelancong seolah cukup mengunjungi TMII untuk mengerti kekayaan budaya dan tradisi di Indonesia. Ambisi membuat taman mungkin terkesan mulia meski berimbas pada pengerdilan wilayah-wilayah di luar Jakarta. Saat itu, mata dunia mungkin tergiur mengunjungi TMII tapi lupa menengok daerah pinggiran Indonesia. Seolah, keragaman budaya Indonesia terwakili oleh TMII.
Dan sejak taman kembali mendapat perhatian dari beberapa pemimpin daerah, publik mulai menantikan kemunculan taman-taman lainnya. Hal inilah yang mungkin ditangkap oleh tetangga kita, yaitu Singapura, untuk mempromosikan Gardens by the Bay, sebuah taman dalam ruangan yang diklaim masuk kategori 10 terbaik dunia (Kompas, 4 April 2016). Iklan itu memberi rayuan: “mempersembahkan lebih dari 1 juta flora dengan 5.000 spesies lebih”. Singapura menangkap kerinduan publik kita atas taman-taman yang nyaman, dan merayu kita untuk berkunjung ke sana berpamrih menikmati keindahan taman dalam ruangan.

Lantas, akankah kita tergiur? Kita berharap agar publik tak lupa bahwa negara ini berlimpah taman. Pembuktian bisa kita simak dalam majalah Gatra (31 Maret–6 April 2016) lewat laporan khusus bertajuk 10 Taman Bumi Nusantara. Pembaca diajak melacak taman-taman berkonsep geopark (taman bumi) di seluruh penjuru negeri. Dari Taman Bumi Batur di Bali, Kaldera Tambora di Sumbawa, hingga Raja Ampat Papua. Di Indonesia, taman bukan imitasi atau bonsai, yang mesti dibuat di dalam ruangan. Taman-taman itu kekayaan yang tak mesti ada di negara lain. Jadi, jangan sampai kerinduan kita pada taman dimanfaatkan negara lain. []

Jabatan Memuluskan Nepotisme

Negara ini menyimpan cerita panjang terkait hal-hal berbau militer. Lebih dari tiga dekade kekuasaan Orde Baru memerintah negeri ini lewat pola pikir militeristis. Akibatnya, sampai kini masyarakat kita cenderung menganggap orang berjabatan militer pantas untuk ditakuti, dihormati, sekaligus “dijauhi”.
Di satu sisi, masyarakat bangga bila anggota keluarganya menjadi polisi, tentara, ataupun aparat militer lainnya, karena dengan demikian mereka merasa memiliki “pelindung”. Namun, di sisi lain, masyarakat seperti menjauhi atau enggan seumpama harus berurusan atau berkonflik dengan orang berjabatan militer.
Dari pemahaman inilah kita bisa melakukan penafsiran di balik peristiwa yang menimpa siswi SMA bernama Sonya Ekarina Boru Sembiring di Medan, Rabu, 6 April 2016. Dalam video yang tersebar luas di viral media sosial itu, tampak adegan Sonya tengah memarahi dan mengancam Polwan Ipda Perida karena menghentikan mobil yang ditumpanginya saat perayaan selesainya ujian nasional.
Sonya juga mengaku anak jenderal berbintang dua Deputi Pemberantasan BNN Arman Depari. Setelah dikonfirmasi, Arman Depari membantah bahwa Sonya adalah anaknya meski memiliki hubungan keluarga. Pasca heboh video tersebut, Sonya tak henti-hentinya mendapat hujatan (bully) dari para pengguna media sosial.
Lebih menyedihkan lagi, kabar perihal kelakuan Sonya yang juga tersiar di televisi nasional, membuat Makmur Depari Sembiring, ayah Sonya, mendadak sakit dan meninggal dunia (Jawa Pos, 9 April 2016). Kita tentu ikut prihatin dengan duka yang menimpa Sonya. Ia tak hanya diganjar hujatan, tapi juga kehilangan ayahnya untuk selamanya. Pengguna media sosial memang kelewat brutal dalam memberi teguran.
Jika kita menengok catatan sejarah, apa yang dipahami Sonya terkait “kebanggan” menjadi anak jenderal, langsung atau tidak, tentu berkaitan dengan pemerintahan Orde Baru selama lebih dari tiga dekade. Peter Kasenda (2013) menerangkan bahwa di era Presiden Soeharto militer tampil sebagai stabilisator, dinamisator, pelopor, sekaligus pelaksana demokrasi. Artinya, di semua lini pemerintahan, militer berperan sebagai pemain kunci. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara pun kerap menggunakan nalar militeristis. Tak heran bila citra semasa Orde Baru citra militer begitu ditakuti.
Orang-orang pun kemudian bertanya, bagaimana rasanya menjadi anak jenderal. Publik mendapat jawaban tak terlalu panjang saat terbit novel tipis berjudul Puteri Seorang Jenderal garapan Motinggo Busye. Alasan penerbit menerbitkan novel: Banyak pertanyaan yang dilontarkan orang awam dan anak-anak: Enakkah jadi seorang pembesar/pejabat? Apalagi anak seorang jenderal!
Kali pertama terbit tahun 1979 dan mengalami empat kali cetak ulang pada tahun 1982. Jelas, novel itu laris pada zamannya. Dulu, penerbit berkepedulian meladeni pertanyaan-pertanyaan publik lewat sajian novel. Pertanyaan mungkin telah disampaikan di kolom Surat Pembaca di koran atau majalah. Kini, pertanyaan bisa berlimpahan di status-status Facebook, Twitter, atau BBM.
Menjadi anak jenderal tentu keistimewaan sehingga memerlukan jawaban berupa novel. Apalagi di era Orde Baru Indonesia dipimpin oleh presiden yang juga seorang jenderal. Novel membantu publik berandai-andai jadi anak seorang jenderal. Lewat novel tersebut, karakter jenderal mesti dikisahkan berwibawa dan bersahaja agar tak gampang dituduh subversif.
Novel setebal 232 halaman itu mengisahkan tokoh mahasiswi bernama Inneke Sintawati. Inneke perempuan cerdas, suka membaca, cuek, serta tidak gemar memamerkan kekayaan. Status anak jenderal membuatnya kerap dimintai traktiran serta jadi sasaran hutang oleh teman-temannya. Di sisi lain, ia juga kerap pamer kesanggupannya mencarikan pekerjaan untuk teman-teman. Inneke paham, sang ayah tentu punya banyak relasi di perusahaan-perusahaan besar. Simak petikan berikut:“Kalau kamu dapat kesulitan cari kerja, minta bantuan babe gue deh” kata Inneke.
Motinggo memberi sentilan kepada orang-orang berjabatan jenderal yang kerap menggunakan pengaruh dan relasinya untuk memuluskan keinginan kerabat atau keluarga dalam mendapat pekerjaan. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) garapan W.J.S Poerwadarminta, kelakuan Inneke tentu masuk dalam kategori “nepotisme”, yaitu tindakan mementingkan (menguntungkan) sanak saudara atau teman-teman sendiri, terutama dalam pemerintahan. Apakah tahun 1970-1980-an para jenderal sudah berbuat nepotisme sehingga Motinggo mengajukan sindiran dalam novelnya?
Kita perlu membuka kliping koran lawas untuk membuktikannya. Namun, dari novel itu setidaknya kita bisa mendapat gambaran bagaimana relasi kekuasaan seorang jenderal dengan praktik gelap nepotisme, dari sudut pandang seorang pengarang novel populer. Terlepas dari posisi Sonya sebagai korban brutal pem-bully-an, kita tak boleh abai dengan maksud perkataannya.
Kita menduga Sonya berharap mendapat perlakuan-pelayanan khusus dalam urusan birokrasi maupun aturan hukum dengan mengaku sebagai anak jenderal. Dari peristiwa ini kita bisa sedikit memberi kesimpulan: Sonya sangat mungkin hanya pucuk dari gunung es mental manusia Indonesia hari ini yang gemar mencatut nama dan jabatan untuk bernepotisme. Revolusi mental masih jauh korek dari sebatang rokok. []

Menguak Jejak Tiga Seniman Rupa Tionghoa

 Di era Orde Lama, patron seni rupa Indonesia berkiblat pada selera Presiden Sukarno. Seni disituasikan untuk menyokong misi politik dan gagasan Sukarno. Tak ayal lagi, seniman yang sanggup menggugah selera seni Si Bung dijamin bakal mendapat perhatian khusus.
Salah satu seniman yang menarik perhatian Sukarno adalah Lee Man Fong. Reputasinya sebagai pelukis mulai dipandang sejak lukisannya yang berjudul Telaga Warna dibeli oleh kolektor terkenal, Gubernur de Jonge. Tahun 1950, ia juga mendirikan perkumpulan seniman Tionghoa bernama Yin Hua. “Yin” artinya Indonesia, dan “Hua” artinya Tionghoa.
Kepopuleran Man Fong merangsang Sukarno menjadikannya pelukis istana. “Reputasi artistik dan organisasi ini yang meyakinkan Bapak untuk mengangkat Man Fong jadi Pelukis Istana menggantikan saya,” tulis Agus, mengutip Dullah, Pelukis Istana sebelumnya (hal.58).
Man Fong ditugasi membuat mural berjudul Margasatwa dan Puspita Indonesia untuk Hotel Indonesia dan menyusun buku koleksi lukisan Sukarno sebanyak 5 jilid. Keterlibatan Man Fong dalam proyek besar Istana itu berbuah manis. Ia mendapat kado istimewa dari Sukarno, yaitu “pengesahan status kewarganegaraan Indonesianya yang bertahun-tahun tak pernah terealisasi”(hal.61).
Kisah kedekatan Man Fong dan Sukarno dikisahkan secara apik oleh Agus Dermawan T dalam buku Melipat Air: Jurus Budaya Pendekar Tionghoa (2016). Selain Man Fong, ada dua seniman rupa Tionghoa lainnya, yaitu Siauw Tik Kwie dan Lim Wasim. Agus mengisahkan tiga tokoh itu dalam kerangka narasi yang menaut pada relasi kekuasaan, politik, dan gesekan ideologi.
Nasib menjadi pelukis istana juga menghampiri Lim Wasim, pelukis berbakat lulusan Central Institute of Fine Art Beijing, 1950-1956. Keterlibatan Lim Wasim dalam proyek istana mengantarkannya menjadi orang dekat Sukarno. Ia mendapat wasiat untuk menjaga, merawat, memperbaiki, hingga memodifikasi, koleksi lukisan-lukisan Sukarno.
Ada kisah unik saat Lim Wasim diminta memperbaiki sebuah lukisan, karya pelukis luar negeri, bergambar wanita telanjang. Menurut Sukarno, salah satu payudara wanita dalam lukisan itu terlalu kecil. Sukarno menganjurkan Lim Wasim mengoreksi lukisan menggunakan model, yaitu wanita yang bekerja di lingkungan Istana, agar presisinya lebih tepat.
Bisa ditebak, wanita itu menolak dijadikan model buah dada. “Janganlah menolak, ini tugas negara,” ucap Sukarno. Lim Wasim pun akhirnya sukses “memperbaiki” lukisan itu, dan Presiden nampak puas dengan hasil pekerjaannya. Lim Wasim mengakui, untuk ukuran lukisan, Sukarno memiliki ketajaman naluri seni yang ampuh. Terbukti setelah diperbaiki lukisan jadi lebih bagus (hal.200).
Berbeda dari dua karib seangkatannya yang populer sebagai “orang Istana”, tokoh Siauw Tik Kwie justru lebih dikenal sebagai komikus serial Sie Djin Koei di majalah Star Weekly. Komik ini mengusung cerita-cerita Tiongkok, dengan penggambaran yang mengadopsi tokoh-tokoh Wayang Potehi.
Sepanjang tahun 1960an, Siauw tercatat memegang rekor atas 700 episode yang terbit tiap minggu tanpa jeda. Siauw juga dianggap sebagai guru di kalangan seniman karena getol menyerukan sikap dan rasa cinta Tanah Air dalam berkesenian maupun dalam menilai karya seni.
Karir tiga seniman itu terus moncer hingga kemudian mengalami goncangan saat meletus Kudeta 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap sebagai dalang di balik peristiwa itu, dan negara Cina yang memang berhaluan komunis dituduh terlibat. Tak pelak, identitas ketionghoaan mereka pun disangkutpautkan dengan Baperki, sebuah organisasi Tionghoa yang berafiliasi dengan komunis.
Tuduhan itu berimbas pada nasib orang-orang Tionghoa. Sejak kelahiran Orde Baru, nasib para seniman Tionghoa pun kian terpojok. Untuk sekadar pameran atau memasarkan karya, mereka mesti sembunyi-sembunyi. Sedangkan Lee Man Fong memutuskan memilih hidup di luar negeri. Tiga nama seniman ini pun hilang dari catatan sejarah.
Bermodal dokumentasi wawancara dan ketelatenan mengurusi data-data di masa lalu, Agus sanggup mencatatkan kembali jejak-jejak tiga seniman Tionghoa itu dalam narasi besar sejarah (seni rupa) Indonesia. Agus mengungkap hasil pemikiran dan karya mereka demi pembuktian keindonesiaan dan nasionalisme.
Bagi Agus, tiga seniman tersebut mewariskan jasa dan hasil pemikiran yang berharga bagi bangsa Indonesia. Gagasan pluralisme Lee Man Fong dianggap mewakili jiwa nasionalisme para kaum Tionghoa di Indonesia. ”Orang-orang Tionghoa di Indonesia semestinya sejak dulu diposisikan sebagai “suku Tionghoa”, yang posisinya sama belaka dengan “suku Madura”, “suku Batak”, “suku Sunda”, dan sebagainya, tulis Agus mengutip Lee Man Fong.

Sedangkan Siauw Tik Kwie adalah orang yang berjasa menerjemahkan pemikiran filsuf Jawa Ki Ageng Suryomentaram ke dalam berjilid-jilid buku. Ia pun menggunakan nama samaran Otto Suastika agar tak diintai oleh penguasa Orde Baru. Dan berkat ketelatenan Lim Wasim pulalah ribuan koleksi lukisan dan benda seni warisan Sukarno, yang pada saat pergantian kekuasaan terancam oleh pencurian dan penjarahan, hari ini masih bisa kita nikmati.[]

Secuil Literatur Grunge di Indonesia

 Seandainya lagu dibuat hanya untuk dijual ke industri musik. Seandainya lagu dibuat sebatas untuk memenuhi selera kuping pasar. Seandainya lagu dibuat hanya sebagai pengiring makan malam belaka. Dan seandainya dalam sebuah lagu terentang jarak yang begitu jauh dari sikap dan pemikiran sang penulisnya. Maka, bisa dipastikan tak akan pernah ada buku berjudul Rock Memberontak: Karena Nulis Lagu Itu Perlu! karangan Eko “Wustuk” Prabowo ini.
Lagu, bagi Wustuk, adalah antitesis dari segala yang terjabarkan di awal. Lagu bukan pelengkap suasana, barang dagangan, atau rangkaian nada tanpa makna. Lagu adalah sikap, ideologi, serta bentuk riil dari sebuah keberpihakan. Untuk itu, lewat buku berilustrasi serba hitam putih inilah, Wustuk membongkar isi kepala dua pendekar grunge Indonesia idolanya: Candra Hendrawan Johan alias Che dari grup Cupumanik dan Gede Robi Supriyanto alias Robi dari grup Navicula. Dua tokoh itu dipilih, setidaknya, karena kesamaan cara pandang keduanya dalam memosisikan lagu ciptaannya.
Robi menganggap lagu-lagunya adalah saripati atas identitas dan entitas ke-Bali-annya. “Sebagai orang Bali, filosofi dasarnya dalam berkreasi adalah menangkap apa yang ada, menyaringnya, dan kemudian melahirkan karya yang kembali ke semesta”. Lagu, pada akhirnya, adalah kendaraan bagi pesan-pesan yang hendak Robi suarakan. Wustuk mencatat pelbagai hal-hal di balik penciptaan sebuah lagu. Dari pengalaman terjebak macet di Jakarta, misalnya, Robi menulis lagu sarat kritik berjudul Metropolutan.
Robi memang cukup dikenal sebagai aktivis lingkungan hidup. Bersama Navicula, Robi pernah turun langsung ke daerah di Kalimantan untuk melayangkan protes. Ia pun menjadikan lagu-lagunya sebagai kampanye dan protes atas pelbagai isu kerusakan lingkungan. Lihatlah di kanal Youtube video lagu berjudul Busur Hujan. Di atas sebuah kapal legendaris Rainbow Warrior milik organisasi Greenpeace, Robi bersama Navicula melantunkan ajakan untuk peduli pada isu-isu perubahan iklim. Lirik lagu puitis lagi metaforis itu dipadu dengan nada-nada yang enak didengar. Busur hujan di cakrawala/ Manusia titipkan mimpinya di sana....
Jika Robi menulis lagu bertolak dari isu lingkungan, Che selalu melandasi lagu-lagunya dengan empati. Lagu memanifestasikan pengalaman batin dan pergulatan pemikiran. Empati muncul ketika nurani Che terguncang akibat berita bencana, tragedi, atau pengalaman kelam yang pernah ia alami. Empati diolah menjadi satu tema besar, untuk kemudian dipadukan dengan chord lengkap serta nada vokal. Setelah tahapan ini terlewati, barulah sebuah lirik akan ditulis. Bagi Che, “lagu adalah bunyi perasaan”. Karena itu, menulis lagu sungguh bukan proses yang sederhana.
Wustuk mencatat bagaimana Che, pada lagu-lagu tertentu, mesti melewati “masa kritis”. Proses pembuatan lagu Broken Home, misalnya. Trauma masa kecil akibat perceraian orangtua begitu membekas di ingatan Che. Menulis lagu dimaksudkan sebagai penyembuh luka dan trauma. Tak heran bila lagu tersebut begitu personal, “sampai-sampai tidak satu pun anggota band-nya diperkenankan hadir saat take vocal…Menanggalkan semua atribut jantan seorang rocker, dia membiarkan dirinya menangis”.
Hal yang tak kalah penting bagi Che dalam menulis lirik lagu ialah buku. Buku jadi rujukan tak tertangguhkan. Dalam bab Cakrawala: Buku dan Aku adalah Satu, Wustuk mengulas tuntas buku-buku kesukaan Che. Dari karya YB Mangunwijaya, Emha Ainun Nadjib, Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohamad, Ali Syari’ati, Ibnu Arabi, hingga buku-buku marketing karya Richard Learmer dan Peter Drucker. Referensi bacaannya itu bisa menjelma petikan lirik, judul, atau inspirasi dalam membuat video musik.
Che banyak belajar dari pemikiran Peter Drucker, terutama terkait siasat menambah daya dobrak dalam karya. Hasilnya, lagu berjudul Grunge Harga Mati. Tak hanya provokatif secara judul, video ini juga eksplisit menampilkan gambar besar para dewa grunge, sebut saja Kurt Cobain, Eddie Vedder, Layne Staley, dan Chris Cornell, sebagai latar video. Kelahiran lagu dipicu keprihatinan Che melihat antusias pecinta musk grunge yang kian hari makin susut. Juga keputusan beberapa musisi senior enggan menampilkan diri sebagai musisi grunge.
Keputusan Wustuk menulis tokoh grunge tentu tak bisa dipandang biasa. Di kalangan indie, perlu diakui, scene atau komunitas grunge tak semoncer musik jazz. Kematian Kurt Cobain tahun 1994 sempat dianggap sebagai akhir kejayaan grunge di dunia. Tapi Wustuk menampik hal itu. Dengan menulis perjalanan Che dan Robi dalam menbuat lagu, terawetkanlah sekeping jejak musik grunge di Indonesia.

Buku ini menjadi penting karena mengupas dua tokoh yang kukuh bersetia di jalur grunge. Juga sikap dan pesan yang hendak mereka sebarkan lewat lagu-lagunya. Ia menolak tegas menganggap musik sebagai pelengkap suasana belaka. Dan seumpama para penggemar musik lain melakoni kerja kreatif seperti apa yang Wustuk lakukan, kita tentu tak takut akan kehilangan jejak-jejak musik indie di Indonesia akibat dokumentasi literatur yang sangat minim. Menikmati musik memang tak sekadar menyetelnya keras-keras atau bergembira ria saat mendatangi konser. []