Rabu, 23 Maret 2016

Dua Jam untuk Seratus Tahun Esai


Tahun 1909, Tirto Adhi Soerjo, penggerak pers bumiputera di era kolonial, menulis karangan panjang berjudul Boedi Oetomo di koran Medan Prijaji. Tulisan bersambung itu memuat harapan Tirto terkait organisasi Boedi Oetomo yang, dalam imajinasinya, disimbolkan sebagai pohon beringin. Pohon beringin dianggap memiliki banyak filosofi: terus tumbuh meski sedikit demi sedikit, tahan badai, dan berumur panjang. Dengan demikian, organisasi itu diharapkan mampu mewujudkan cita-citanya, yaitu memuliakan orang Jawa.
Apa yang Tirto tulis barangkali tak pernah secara sengaja dimaksudkan sebagai tulisan berbentuk esai. Ia hanya menulis apa yang ada dalam pikirannya, tak peduli mau disebut apa tulisan itu kelak. Hingga berkali lipat dekade kemudian, Muhidin M Dahlan mendakwa bahwa tulisan Tirto di koran itu masuk dalam kategori esai. Sebuah esai dengan gaya pengandaian yang sederhana namun mengandung pemaknaan filosofis yang kuat.
Seperti itulah kiranya metode penulisan buku Inilah Esai: Tangkas Menulis Bersama Para Pesohor karya bahadur arsip Muhidin M Dahlan. Bertolak dari seratus lebih esai yang terbit dari pelbagai lintasan zaman, kita diajak menziarahi teks-teks yang dinubuatkan sebagai esai, sekaligus disuguhi apa-apa saja yang bisa ditakik guna belajar menulis esai. Meski masuk dalam jenis buku “how to”, buku ini tak hanya menyajikan hal-hal teknis kepenulisan.
Sajian cuilan esai yang pernah terbit rentang seabad terakhir sanggup memberi gambaran menyeluruh, sekaligus meluaskan cakrawala pengetahuan pembaca. Esai-esai itu menghadirkan riwayat kesejarahan Indonesia, bertolak dari tema dan pengisahan dalam esai. Esai dianggap mewakili pergolakan pemikiran yang terjadi di zamannya.
Di era revolusi, Sukarno menjejakkan diri sebagai aktivis kemerdekaan sekaligus esais super produktif. Sukarno “membangun” Indonesia lewat kata-kata. Tahun 1926, Sukarno menulis esai berjudul “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme”. Kedigdayaan esai ini tak hanya ditopang dengan kekayaan intelektual Sukarno belaka. Jenis esai Sukarno ini, dalam istilah Muhidin, disebut “esai yang berkaki” (hal.55-56).
Seperti apa esai yang berkaki? Muhidin menganggap “kerja mimbar, organisasi, sumpeknya penjara, sepinya pembuangan, dan percobaan-percobaan pembunuhan setelah menjadi presiden”, adalah proses panjang pembentukan kaki-kaki esai Sukarno. Maka setelah Indonesia merdeka, esai menjadi kian kokoh berkat kekuasaan dan kepopuleran Sukarno sebagai presiden. Di era Demokrasi Terpimpin, esai tersebut bahkan ditahbiskan sebagai garis politik negara. Sampai kemudian meletus Tragedi 1965, esai ini pun ambruk seiring jatuhnya Sukarno dari tampuk kepemimpinan.
Selain Sukarno, Muhidin juga menyajikan esai-esai dari tokoh lintas ideologi, seperti Hatta, Sjahrir, Hamka, Tan Malaka, Aidit, Yamin, Soedjatmoko, Soewardi Soerjaningrat, hingga Marco. Pendiri bangsa ini tak lain adalah para esais ampuh. Esai mengungkap pilihan ideologis serta menampilkan bagaimana karakteristik dan gaya menulis dari masing-masing tokoh.
Kepada tulisan Soewardi yang berjudul “Als ik eens Nederlander was…(Seandainya saya seorang Belanda…) di majalah Expres, kita tahu bagaimana “pengandaian” dalam sebuah tulisan dipakai secara efektif dan tepat sasaran. Imbas esai ini memang di luar dugaan: Soewardi ditangkap karena dianggap subversif, dan organisasi Indische Partij, tempat ia bernaung, dibubarkan (hal.63-68). Dan dari tulisan Marco yang berjudul Sama Rasa dan Sama Rata di koran Sinar Djawa, 16 April 1918, kita jadi tahu siasat menulis esai menggunakan kutipan sebagai pembuka sudah di lakukan sejak “Negara Indonesia” masih bersemayam di dalam cita-cita (hal.87-88).
Di luar esai yang tersebar di koran dan majalah lawas, Muhidin pun tak abai pada esai di media daring. Esai berjudul Surat Terbuka kepada Pemilih Jokowi Sedunia (2014) karya Iqbal Aji Daryono di situs mojok.co, adalah esai jenis “surat terbuka” yang sukses memancing perhatian publik dan menorehkan rekor diklik lebih kurang lima juta pembaca. Surat yang malih rupa menjadi esai memang cenderung menggoda pembaca ketimbang jenis lain.
Acuan esai demi esai yang Muhidin pilih sanggup mengantarkan imajinasi pembaca berkelana memasuki kesejarahan Indonesia, sejak awal kemerdekaan sampai rezim Jokowi. Kita dikenalkan pada esais dari generasi tua tapi masih kuat menancapkan tajinya, seperti Goenawan Mohamad, Sindhunata, Cak Nun, Dahlan Iskan. Juga esais muda yang kerap menyapa pembaca koran dan majalah, sebut saja AS Laksana, Yudi Latif, Bandung Mawardi, dan J Sumardianta. Dua jam mengkhatamkan buku ini, kita seperti diajak menyigi dan menjelajahi seratus tahun esai-esai pengisah Indonesia.
Meski begitu, tak semua esai(s) kondang mendapat tempat di buku ini. Mohamad Sobary, misalnya, tak masuk hitungan. Muhidin memang mengaku hanya mengutip esai-esai dari “koleksi di Perpustakaan Indonesia Buku yang saya kelola bersama rekan dan handai taulan”. Penjelasan ini mengafirmasi keberatan pembaca terkait nama-nama yang mungkin tak ikut tercatat. Perhatian utama buku ini memang pada bagaimana keberlimpahan data bisa jadi rujukan belajar menulis esai. Lengkap tidaknya data yang berhasil dikumpulkan, itu lain soal. []

Dimuat di Jawa Pos, 20 Maret 2016