Kamis, 25 Februari 2016

USAI: Membaca dan Menulis (Jagat Abjad Solo, 2016)

Buku Usai: Membaca dan Menulis (2016) diterbitkan oleh Jagat Abjad Solo. Buku pertama Widyanuari Eko Putra memuat pelbagai resensi yang pernah tampil di Solopos, Suara Merdeka, Jawa Pos, Harian Rakyat Jateng, Koran Kabar Probolinggo, Koran Tempo, juga Kompas. Resensi terbagi menjadi empat bab: Puisi, cerpen, novel, dan esai. Berminat? Silakan memesan di nomor hape 085225036797. Haerga 35rb.

Kamis, 04 Februari 2016

“Bom” di Masa Depan

Anak-anak yang tidak mendapat pendidikan yang baik dan tepat akan menjadi ancaman di masa depan. Watak anak yang mudah menerima ajaran dan didikan memungkinkan mereka bisa dibentuk ke dalam pelbagai karakter. Penanaman nilai dan pembentukan mental yang diberikan sejak anak-anak akan lebih mengakar ketimbang dimulai saat remaja.
Pemahaman inilah yang menjadi alasan kenapa proses pendidikan harus dimulai sejak masa anak-anak, terutama sekali di usia dini. Di tahap ini anak sedang melakukan proses imitasi terhadap apa pun yang ia lihat dan dengar. Hal itu pulalah yang kemudian mendasari kenapa anak sering dijadikan sasaran penanaman indoktrinasi ajaran tertentu. Kasus penyusupan ajaran bermuatan radikal dalam buku bacaan anak TK yang terjadi beberapa waktu silam membuktikan betapa anak masih rawan mendapat penyesatan lewat buku.
Anak-anak lugu itu mungkin tak menyadari bahwa buku yang mereka baca itu justru memberi ajakan-ajakan berbau kekerasan dan intoleransi. Buku bacaan seharusnya merangsang imajinasi dan memberi godaan kreativitas pada anak. Sebaliknya, buku bacaan yang telah disusupi itu justru jadi ajang perebutan pengaruh ideologis. Buku tak memberi terang malah mengusung misi indoktrinasi, ideologisasi, dan idealisasi.

Sejak dulu, buku bacaan kerap dijadikan ladang persemaian ideologis. Dari satu penguasa ke penguasa lainnya, buku bacaan anak tak pernah luput dari incaran pengarahan misi-misi politik. Di era Orde Baru, pembentukan nasionalisme bercorak militeristik jadi tema utama penggarapan buku bacaan anak di Indonesia. Buku-buku itu dicetak ribuan eksemplar dan sengaja dipasok ke sekolah-sekolah. Buku proyek pemerintah itu berlabel buku Inpres:“Milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tidak Diperdagangkan”. Buku terbit kisaran tahun 1970-an hingga 1990an.
Kita bisa menyimak buku tipis berjudul Cintailah Bumi di Negerimu (1983) karya Manto. Buku berisi kisah sederhana, menawarkan ilustrasi dan imajinasi yang mengarah pada garis politik ala Presiden Soeharto: militerisme. Uraian di dalam buku secara eksplisit memberi pengutamaan atas posisi militer sebagai suri tauladan. Anak-anak dianggap teladan jika bercita-cita sebagai tentara. Simak kutipan berikut:“Sebenarnya cita-cita saya ingin menjadi ABRI, ingin menjaga Tanah Air kita ini terhadap segala kejahatan”(hal.51).
Buku-buku itu secara tidak langsung menganjurkan agar cita-cita anak mesti bersejalan dengan ikhtiar mendermakan diri kepada negara. Idealisasi cita-cita anak versi Orde Baru adalah tentara (ABRI). Kita bisa menganggap kelakuan Orde Baru termasuk dalam upaya “penyusupan” ajaran negara secara tersamar.
Selain buku, kita juga bisa melacak bacaan anak lainnya sebagai sumber pembentukan watak anak, yaitu majalah. Majalah sanggup menarik minat baca anak-anak karena menyajikan gambar menarik, misalnya kartun. Dede Lilis Ch dalam buku Media Anak Indonesia: Representasi Idola Anak dalam Majalah Anak-Anak (Obor, 2014) membongkar bagaimana majalah anak ikut berperan besar merepresentasikan idola anak.
Secara mendalam, Dede mengkaji salah satu majalah anak paling populer, yaitu Majalah Bobo, dari pelbagai macam edisi. Salah satu temuannya, anak-anak dianggap sebagai komodifikasi (children as comodity) dan pembeli (children as consumer). Anak jadi lahan persemaian idealisasi yang cenderung mengarahkan mereka agar menjadi terkenal, gemar bermain di tempat mahal, serta menjadi selebritas.
Temuan itu memperpanjang daftar ketidakkuasaan anak dalam menghadapi “serangan” indoktrinasi, kekerasan, penindasan, hingga jerat kapitalisme tersamar. Buku bacaan anak memang sepantasnya memberi hamparan cakrawala pengetahuan, imajinasi, dan transfer nilai. Buku bacaan juga diharapkan memberi godaan agar anak-anak mau dan mampu menggerakkan imajinasi dan kreativitas.
Kini, anak-anak sudah semakin terkepung oleh acara-acara telivisi yang banal. Sinetron-sinetron tak layak tonton lolos sensor. Bahkan jam tayangnya bertepatan dengan waktu belajar anak. Internet pun tak berbuat banyak, justru lebih banyak menyeret anak ke arah mentalitas pemalas. Anak-anak tak lagi bermain layang-layang, mencari ikan di sungai, atau berlari-larian di lapangan. Mereka asik berjam-jam menatap layar di bilik warnet ataupun dari ponsel pintar. Orangtua tak sadar jika membebaskan anak “bermain” dan “berkeliaran” di internet adalah pengerdilan imajinasi anak. Buku bacaan pun ikut-ikutan menularkan “penyakit” akibat terus menerus disusupi kepentingan-kepentingan sesaat.
Kita tentu tak berharap anak-anak itu suatu saat menjadi “bom” yang meledak di masa depan akibat ajaran-ajaran intoleransi yang masuk ke buku pelajaran. Peristiwa semacam ini berulang kali terjadi, tapi tak membuat penerbit buku, pemerintah, bahkan guru di sekolah, bersikap waspada.
Berkaca dari kasus ini, kita pantas menuduh bahwa pemerintah masih memandang sepele urusan buku bacaan bagi anak. Menteri Anies Baswedan mungkin kerap menyerukan ajakan untuk gemar membaca di setiap pidatonya. Namun, kita semua tahu, seruan saja tak akan pernah cukup. []


Dimuat di koran Wawasan, 5 Februari 2016