Jumat, 18 Februari 2011

Rasanya Baru Kemarin" karya Mustofa Bisri

tentang sepatu pantopel


Solilokui. Sebenarnya tidak ada alasan apapun kenapa sampai sekarang saya belum membeli sepatu kulit hitam, atau kalau teman-teman saya bilang, namanya sepatu Pantopel. Tapi yang jelas, alasan utamanya adalah karena saya belum ada uang untuk membelinya.

Sebenarnya saya punya sepatu sejenis. Saat itu, setelah beberapa bulan diterima kuliah, saya diberi sepasang sepatu kulit merek Nike oleh Mas Yono—beliau adalah mantan preman di desa saya, akan tetapi sudah taubat dan sekarang kami kerap nongkrong dan sering ngobrol bersama. Mungkin karena seringnya saya main ke rumah Mas Yono, jadi ketika mengetahui saya sedang membutuhkan, beliau spontan menawarkannya. Saya pun menerimanya dengan senang. Menurut beliau, sepatu itu dipakai sejak masih bujangan, sampai sekarang masih awet. Saya jadi tersanjung dengan ucapan beliau.

Entah kenapa saya malas sekali kalau pake pantopel. Ya kurang nyaman lah, ya wagu lah, ada saja alasan untuk tidak memakainya. Pernah juga saya pakai pantopel pemberian Mas Yono. Saat itu saya sedang demam sastra. Jadi ceritanya, dulu saya jadi ketua UKM sastra, agar kelihatan nyastra, saya memakai kostum berbeda. saya sering membiarkan penampilan saya kumal dan tidak terawat; gondrong, pakaian tidak pernah disetrika, dan tidak ketinggalan, kemana-mana selalu pakai sepatu pemberian Mas Yono. Dengan begitu saya ingin terlihat sok nyastra, hahaha. Tapi nasib sepatu itu, kini sudah tidak saya ketahui. Seingat saya, dulu tertinggal di kost teman, tapi sepertinya raib.

Ketidakpernahan saya menggunakan pantopel sering dikait-kaitkan dengan tertundanya mengikuti Praktek Pengalaman Lapangan [PPL]. Padahal intinya karena satu, malas! Tapi biarlah, yang penting teman-teman sebenarnya tahu. Tapi ya itu, mereka suka ngerjain.

Nah ini dia, berhubungan dengan sepatu yang saya ceritakan tadi. Sebenarnya ulang tahun saya sudah kadaluarsa, ya sekitar tiga minggu silam. Tapi entah kenapa, hari rabu kemarin [9/2] sewaktu sedang rapat LKM-lembaga keuangan mahasiswa--lagi-lagi aku dikerjain oleh teman-teman. Jika kemarin saya dikerjain habis-habisan oleh teman-teman KIAS, kali ini giliran dari LKM.

Suasana rapat saat itu berbeda dari biasanya. Jika biasanya rapat LKM tidak pernah ada adu sengit, kali ini benar-benar bikin aku naik pitam. Apalagi, seorang teman saya di LKM, Hasif, yang biasanya sependapat, tiba-tiba berubah drastis. Dia seolah menyudutkan setiap usulan dan pendapat saya. Apalagi masalah yang dibahas saat itu adalah berkenaan dengan dana subsidi, tentu hal ini rawan jika tidak berhati-hati.

Berkali-kali emosi saya tersulut, dan berkali-kali pula saya hampir lepas kendali. Hasif dan yang lain benar-benar membuat saya naik pitam. Hampir satu jam lebih rapat berlangsung tegang. Saya benar-benar tidak tahu kalu mereka semua bersekongkol. Berulang kali saya beradu dengan nada keras dan tampak pula emosi saya.

Rapat pun selesai dengan sisa emosi yang nyala. Hasif kemudian menyuruh saya untuk menutup mata beberapa detik. Saat itulah saya baru sadar kalau saya sedang dikerjain. Saya sempat curiga juga ketika harus menutup mata. Saya membatin, pasti mereka akan memberi kado petaka buatku. Yah, seperti kado dari teman-teman kias. Kau tau? Kado isi kecoa! Benar-benar memuakkan, mereka tahu kalau aku paling takut sama mahluk bernama kecoa, tapi mereka sengaja.

Apakah kali ini berbeda? Saya belum tahu. Namun begitu mata kubuka, kotak besar bersampul kertas pink bermotif bunga, ada di hadapan. Kotak itu nampak besar dan mewah. Tidak ada ikatan pita layaknya sebuah kado, tapi saya tetap belum yakin dengan isinya.

Benar dugaan saya, ternyata teman-teman LKM memberi hadiah atas ulang tahun yang ke 22 kepada saya. Untuk ke dua kalinya saya mendapat suprise. Tapi saya tetap kurang yakin kalau isinya hadiah, siapa tahu dikerjain lagi. Agar sedikit yakin, kuperiksa kado tersebut. Saya senggol tepiannya, kemudian saya gerak-gerakkan. Sedikit berat, dan nampaknya memang benar-benar hadiah. Teman-teman memaksa untuk segera membuka bingkisan kotak berlapis warna pink itu. Ya, akhirnya dengan penasaran saya buka kado itu. Perlahan saya sobek sampilnya, menguliti hingga sampulnya habis. Kalian pasti bisa menebak isinya. Ya! Sepatu pantopel merek Fladeo nomor 42. Sepatu yang sempat sangat membuat saya malas jika harus memakainya. Tampilannya mengkilat dan nampaknya cukup mahal.

Aku bangga dan senang. Bangga karena masih ada teman-teman yang mengingat hari jadiku. Senang karena aku memang sedang membutuhkan sepatu pantopel untuk PPL semester depan. Dengan tawa yang teramat puas, teman-temanku mengucap selamat padaku. Aku sungguh terharu. Mereka semua masih mengingat hari jadiku. Dengan sedikit guyon, hasif memberikan ucapan selamat sembari berkata, “ini sepatu sengaja kami hadiahkan karena kami tahu kamu belum punya, ayo ndang cepet PPL..!”. Saya tersenyum tipis, sedikit berkaca-kaca, kata-katanya seperti tamparan sandal swalow yang mendarat di pipiku, juga hatiku....

Senin, 14 Februari 2011

Bela sungkawa dalam proses “menjadi”

Keputusan menciptakan ruang tersendiri adalah hal biasa bagi yang kuat dalam niatan untuk “menjadi”. Seperti halnya keprihatinan sebelum menuju kesuksesan, setiap individu berhak atas pemilihan ruang yang bisa membuka jalan baginya. Tidak berbeda adanya bagi para pemuda pegiat sastra. Sebuah pijak awal yang perlu dirumuskan dengan matang. Apakah nantinya keputusan itu bisa melancarkan jalan ataupun kerap menjadi penghalang, itu urusan belakangan. Yang pasti keinginan dan bulat tekad merupakan syarat wajib sebelum bisa melangkah menuju proses untuk “menjadi”.

Kelahiran komunitas bukanlah jaminan atas eksistensi individu yang mempunyai kegelisahan yang sama sekalipun. Bisa dimaklumi jika apa yang membuat semangat kian nyala adalah ketika kecocokan dan kondisi kebetulan bersetubuh pada individu tersebut, seperti group band sajalah. Bongkar-pasang personil sudah menjadi hal wajar, bahkan ganti nama group atau pindah. Kesemuanya menjadi akrab dan lebur menjadi satu yang belum tentu akan mengabadi. Individu mempunyai ego dan superego yang terkadang bisa saling bergesekan dan meruncing. Sejauh ini bisa kita pahami bahwa kelompok yang mengompakkan diri adalah pada batas kebetulan yang benar-benar tidak kokoh. Lingkup kuliah misalnya. Pertemuan atas latar belakang lokasi kuliah yang sama dan keinginan yang sama adalah hal yang kebetulan. Dan kemudian membentuk kelompok kecil dengan misi yang kerap “disama-samakan”. Maka bisa dipastikan hal tersebut sama halnya musim durian, tumbang-tumbuh sesuai jadwal.

Keterlibatan personal dalam berkelompok adalah dengan misi yang tentunya berbeda, dengan dalih berbeda pula. Jadi penulis tegaskan, keinginan dan kesamaan visi-misi bagi pegulat komunitas adalah nihil. Karena hakikatnya semua individu punya keinginan orisinil, dan hal itu tak bisa dipetakan sesuai keikutsertaan deadline acara yang disiapkan. Tidak ada yang bisa menjudikasi kesamaan dan keterlibatan individu pada kelompok tertentu adalah sebuah bukti keloyalitasan. Setiap mimpi tidaklah sama, dan kaitan ego yang tinggi-meninggi itu adalah sebuah bukti. Keikutsertaan bukan tanpa alasan, dan kesemuanya akan lepas ketika sudah meraih hal yang menjadi tujuan.

Karena itulah, berproses mengorganisir diri dalam komunitas adalah mempersiapkan sebelum maju berperang dalam jagad yang tidak bersahabat. Karena sahabat adalah musuh sekaligus teman berproses. Jadi waspadai semua teman yang kini berproses bersama anda! Dan tak perlu berbelasungkawa jika keadaan akan berputar balik, menjadi lawan, ataupun menjadi bukan teman. Sekian.

Pandean lamper, 9 oktober 2010

[Sebenarnya tulisan ini sudah lama saya tulis, dan saat itu belum tahu untuk apa tulisan ini saya buat. Tapi hari ini, menjadi berarti; setelah mengetahui seorang teman saya yang dulu seperjuangan dalam berkarya, kini mati dengan pilihannya sendiri. Ya, ia bunuh diri karena memutuskan untuk tak lagi berurusan dengan namanya "sastra". condolences for Maftuhah Arriedwan, God blessing..]