Rabu, 18 September 2013

Novel (bukan) Kitab Suci

Novel memang “sihir” mujarab. Manusia sanggup menyelami pelbagai rupa manusia lewat suguhan tema, karakter, dan “ideologi” dari tokoh dalam novel. Novel memungkinkan adanya pemakluman, penyadaran, hingga toleransi atas konflik dan gesekan yang terjadi dalam realitas hidup bermasyarakat dan bernegara. Laku membaca novel mengajarkan manusia atas kesabaran, penghayatan, hingga pergulatan pemikiran. Novel tak sekadar kisah yang berhasil di khatamkan. Selebihnya, novel kerap membekas, memengaruhi, dan menyadarkan.

Kehebatan novel memang tak sebatas tebal halaman. Novel menjadi penuh makna saat menyampaikan ajakan bahkan ajaran tentang petilan-petilan kemanusiaan. Pembaca dirayu untuk terjun dalam imajinasi tak berkesimpulan. Novel menyampaikan meski kerap tak ditafsirkan seragam. Boleh jadi, novel adalah ajaran, meski tak wajib diamalkan. Novel bukan kitab suci yang mesti diagungkan. Novel boleh dipegang-dibaca siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Bahkan, di atas kakus, novel adalah bacaan bersahaja.

Di Indonesia, sejarah pernah mencatat kebrutalan Pemerintah dalam memberangus kemerdekaan novel. Novel pernah jadi semacam “manusia” berbahaya. Novel dengan kisah beraroma kontra-revolusioner, atau pun yang dituduh demikian, pernah terancam keberadaannya di era Presiden Soekarno. Wajar saja, pemimpin besar revolusi itu adalah sosok berhaluan revolusioner. Sebaliknya, di era Presiden Soeharto, buku beraliran revolusioner, atau pun yang dituduh bernafas komunis, ditentang habis-habisan keberadaannya. Novel jadi korban politik dan kekuasaan. Era di mana ideologi bisa memberangus kemerdekaan novel hingga nasib si pengarang novel. Sejarah memang tak pernah berwajah mulus. Novel adalah cermin pergolakan dan perubahan zaman. 

Novel dan Perubahan Diri

Meski imajinatif, novel menjanjikan pengalaman batin. Fragmen persoalan kehidupan ditampilkannya secara gamblang serta sarat sisipan gagasan dari si pengarang. Perkenalan dengan novel adalah tahap mengenali permasalahan kemanusiaan. Lebih jauh lagi, novel sanggup membawa perubahan tak sebatas jargon. Kenangan bersentuhan dengan novel adalah awal di mana pukau dunia sastra menjadi pilihan berkreatif meski belum menjadi profesi. Novel tipis bertajuk Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (H20 Publishing, 2007) karya S Prasetyo Utomo adalah momentum dan keberuntungan bagiku. Seperti pintu masuk bagiku menapaki lembaran kesusastraan dan kepenulisan. Membaca novel ini adalah pengalaman sepele namun berdampak besar dalam kehidupanku berikutnya. Kali pertama membeli sekaligus mengkhatamkan novel secara tuntas. Perkenalanku dengan novel memang belum selawas teman-teman yang lain.

Aku tumbuh, dan mengalami masa kanak-kanak hingga remaja di desa yang jauh dari aroma literasi, yang, harus diakui, menumbuhkan jati diri miskin referensi. Aku, juga teman-teman masa kecil, hidup di lingkungan masyarakat miskin fasilitas dan kesadaran berliterasi. Perpustakaan desa baru sebatas harapan. Di sekolah, perpustakaan tak ubahnya ruang pengap penuh jaring laba-laba. Buku tertumpuk lusuh jarang tersentuh manusia. Tidak ada novel di sana. Rak kecil nan usang itu dihuni beberapa tumpuk buku paket. Buku yang kaku dan dingin. Tegak dan menakutkan bagai barisan tentara. Aku pun tak pernah berhasrat menyentuh apalagi meminjamnya. Anak-anak sepertiku tumbuh tanpa banyak kesempatan mengimajinasikan kisah, tokoh, dan harapan dalam novel. Masa kecil bergulir tanpa keceriaan menggenggam novel. Terbentuklah seorang bocah tanpa kenangan bernovel, tanpa ketertarikan menyentuh halaman-halaman novel. Novel pun absen dari sejarah hidupku, minimal, hingga menjelang masa kuliah. Tapi aku tak pernah menyesal.

Perubahan datang tanpa mengenal terlambat. Perubahan muncul saat, untuk kali pertama dalam hidupku, novel perdana Pak Pras kukhatamkan dalam dua malam. Sungguh, waktu baca yang tidak sebanding dengan tebal buku 120 halaman! Novel ini sederhana namun bermuatan kritik sosial yang tegas. Berkisah tentang Panji, mantan wartawan. Ia keluar dari pekerjaan karena kerap dituduh terlalu kritis dalam mengolah berita oleh atasan. Ia pun memilih hengkang dari dunia jurnalisme yang sejatinya menjadi impiannya. Demi menenangkan diri, ia menyepi di rumah Mas Goen, kakak tirinya. Mencoba memungut ketenangan di sebuah desa di tepi hutan jati yang teduh. Bukan ketenangan yang Panji peroleh. Maraknya pembalakan dan pemborong tanah dari kota jadi polemik tak berkesudahan di daerah tersebut. Konflik di tepi hutan jati ini menyinggung pelbagai masalah tradisi, ekonomi, modernisasi, hingga cinta. Ada segan yang muncul dari novel ini. Ada hasrat untuk mengobrolkannya secara langsung dengan pengarang: S Prasetyo Utomo. Hasrat untuk membaca karyanya yang lain pun memuncak.

Ia, Pak Pras, seorang cerpenis-esais moncer di Semarang di mana karyanya tersebar luas di media lokal dan nasional. Maka cerpen dan tulisannya jadi incaranku sebagai pelunas penasaran. Puluhan cerpennya kunikmati dengan perenungan. Aku menangkap satu garis imajinatif yang merangkai mayoritas seluruh karyanya. Ada ketertarikan pada tema-tema lokal, tradisional, juga eksplorasi nilai-nilai kedewasaan. Kepedulian menggali tema-tema perlawanan budaya lokal versus gempuran modernisasi dan globalisasi memunculkan karakter tokoh serba kontradiktif. Selalu ada perongrong nilai-nilai lokal. Dan muncullah tokoh-tokoh penjaga nilai itu. Semua berkelindan, saling berkecamuk dalam balutan narasi, style, penggunaan mitos-mitos khas S Prasetyo Utomo. Aku giat menyimpulkan secara pribadi keterkaitan setiap karyanya meski belum sempat membuat esai panjang untuk mengapresiasinya. 

Rasa puas itu bagai gayung bersambut saat berlansung diskusi sastra di mana Pak Pras didaulat sebagai pembicara. Kuungkapkan segala teks yang pernah kucerap. Beberapa cerpennya: Penyusup Larut Malam, Cermin Jiwa, Ular Randu Alas, Pemuja Durga, dan seterusnya, begitu mengiang dan terkenang. Perkenalan dengannya adalah berkah dan sejarah. Pembicaraan yang berkutat seputar sastra dan kepenulisan tidak bisa tidak membawa sebuah doktrin besar dalam hidupku. Ideologi literasi muncul setelah beberapa kali perjumpaan dan perbincangan mengendap di dasar pikiran. Dari sebuah novel kecil itu, Tangis Rembulan di Hutan Berkabut, kegemaran bernovel tak lagi terbendung hingga saat ini, hingga saat tulisan ini selesai ditulis.

Perburuan Tak Sudah

Maka novel menjadi buruan tak terbantahkan saat memasuki toko buku, pedagang buku bekas, hingga toko buku online. Ada keinginan menjelajahi setiap ceruk novel demi harapan mendapati pengalaman batin yang baru. Memiliki novel adalah investasi intelektual, jauh dari kesan materialistis. Novel memang bukan barang yang layak digadai di pegadaian. Ia juga tak etis jika di jual dengan harga bombastis meski harga novel baru kerap mendekati mahal. Tak layak menilai novel dari pandangan ekonomistik.

Dan puluhan novel baru pun jatuh di genggamanku. Tentu dengan ketelatenan dan perjuangan bertamu ke pelbagai pedagang loak agar tidak terlalu mahal. Dari novel aku memetik nilai yang selama ini tak pernah terjelaskan secara menarik dalam ruang kelas. Novel kerap menampilkan informasi sejarah, ideologi, politik, tradisi, kebudayaan, hingga persoalan pribadi manusia. Dari sanalah aku menyerap nilai-nilai intelektual dan pengetahuan. Roman Pramoedya Ananta Toer kuanggap bagai kitab bertuah. Ada pelbagai pengorbanan untuk membuatnya berjejer di rak buku di kamarku. Pengorbanan waktu dan materi tak lagi ternilai demi novel-novel Pram. Ada belasan novel Pram berhasil kukhatamkan.

Dari ulasan-ulasan Pram pula, aku jadi berhasrat menelusuri novel pengarang dunia macam Boris Pasternak, Solzhenitsyn, John Steinbeck, Duong Thu Huong, Albert Camus, George Orwell, Leo Tolstoy, Nabokov, Yasunari Kawabata, Haruki Murakami, dan Maxim Gorky. Seleraku kian tumpah ruah. Novel Indonesia jadi hidangan mutlak saat rezeki sedang moncer. Aku masih terus berjuang membaca-memiliki novel-novel Seno Gumira Ajidarma, Mochtar Lubis, Ayu Utami, Leila S Chudori, Suparto Brata, hingga Sindhunata. Gelimang novel membawa faedah atas pemahamanku tentang kemanusiaan dan keindonesiaan.

Novel memang tak pernah usai memberi pencerahan dalam setiap kisahnya. Aku beruntung berkenalan dengan novel. Dari sebuah novel tipis itu aku berkenalan dengan pelbagai macam kisah dan tema. Membaca novel sekaligus berkenalan dengan S Prasetyo Utomo adalah berkah tak ternilai. Novel jadi santapan rohani berkat ajakan dan imbauan dari sang novelis “Sukro”. Novel Tangis Rembulan di Atas Hutan Berkabut adalah cara Tuhan memberi arahan padaku demi sebuah laku kreatif lagi penuh nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Novel telah jadi buku ajaran namun tak berhasrat menyaingi kitab suci.[] 


Negara Ramah Anak

Kecelakaan maut yang menimpa putra musikus kondang Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani alias Dul, jadi tamparan keras, tidak hanya bagi para orang tua, tapi juga negara. Kesalahan orang tua karena teledor dan membiarkan anak mengendarai mobil sebelum usia yang dianjurkan dalam undang-undang, itu sudah pasti. Namun, lepas dari peran orang tua, ada kiranya kita mencermati: benarkah kecelakaan yang melibatkan anak, semata, “hanya” kesalahan orang tua?

Bagi anda yang tiap harinya harus bertarung di jalan raya, untuk sekedar perjalanan atau urusan kerja, perhatikanlah sejenak lalu lalang para pengendara motor/mobil. Tidak sulit untuk menjumpai anak di bawah umur, dalam arti belum cukup umur untuk memiliki Surat Izin Mengemudi, mengendarai kendaraan di jalan raya. Ada yang berseragam sekolah, ada pula yang melenggang tanpa kelengkapan berkendara, seperti helm. Kita bisa segera berprasangka buruk. Menyalahkan orang tua karena melakukan pembiaran, misalnya.

Lantas, tidak adakah peran negara di sana? Saya yakin, negara, dalam hal ini aparat polisi lalu lintas, sudah bertindak tegas dengan menilang ataupun meningkatkan otensitas razia. Tapi, kenyataannya, para pengendara belia tersebut masih bebas berkeliaran di jalan raya. Ada hal yang menurut penulis mesti dikaji ulang terkait kecelakaan tersebut.

Fasilitas Publik

Pertama, angkutan massal di negara ini masih jauh dari nyaman dan aman. Di Jakarta saja, sebagai ibukota negara, masih terjadi banyak kekurangnyamanan angkutan publik. Apalagi di daerah pinggiran atau di kota-kota kecil. Tindak kriminalitas di atas angkutan publik hingga menelan korban nyawa kerap diberitakan di media massa. Kondisi ini menyebabkan orang tua kerap memilih memberi kemudahan izin bagi sang anak untuk berkendaraan pribadi meski belum cukup umur.

Kedua, kondisi infrastruktur publik. Kecelakaan yang menimpa putra Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani, semata bukan permasalahan kecepatan mobil. Lebih jauh lagi, konon sebelum bertabrakan dengan sejumlah kendaraan, Mitsubishi Lancer yang dikendarai Dul menabrak pembatas jalan hingga menerobos masuk jalur berlawanan dan bertabrakan dengan Daihatsu Gran Max silver. Dari tragedi ini, evaluasi atas infrastruktur jalan tol Jagorawi mutlak dilakukan. Minimal, pihak perancang jalan tol harus mengkaji ulang konstruksi jalan tol agar sanggup meminimalisir kemungkinan jebolnya pembatas jalan. Hal ini kelak berguna pula bagi kendaraan umum, terlepas dari kasus pengendara anak-anak yang menimpa Dul.

Ketiga, pembiaran negara atas gelombang motorisasi di kalangan masyarakat segala lapisan. Meski pada kasus Dul adalah pengendara mobil, pada kenyataannya sepeda motor juga marak dipakai para pengendara di bawah umur. Mudahnya izin kredit pembelian kendaraan bermotor yang tidak diimbangi dengan pengetatan kontrol dari kepolisian mengakibatkan pengendara di bawah umur kerap tak terpantau secara maksimal. Dalam satu keluarga setiap anak memiliki kendaraan masing-masing, misalnya. Keputusan masyarakat tersebut tentu bermula dari angkutan publik yang tidak bisa memberi jaminan rasa aman dan nyaman.

Keempat, peran edukasi di sekolah. Tidak bisa dimungkiri, sekolah memiliki andil dalam memberi nilai edukasi dalam berkendara sesuai aturan undang-undang. Sebagian besar waktu luang anak adalah di sekolah. Maka di sekolahlah proses pemahaman atas keselamatan berkendara mesti dipupuk. Meski penyuluhan safety riding dari kepolisian sudah masuk ke sekolah, hal ini belum maksimal. Meski melarang, sekolah tetap menyediakan lahan parkir dan pengawasannya pun kurang maksimal. Peraturan kerap sebatas hiasan di tembok sekolah. Dalam kasus ini, pihak institusi pendidikan tidak bisa lepas tangan.

Jaminan Negara

Peraturan undang-undang lalu lintas memang tegas melarang anak-anak untuk mengendarai kendaraan bermotor. Sangsi tegas pun disiapkan bagi orang tua yang melakukan pembiaran terhadap sang anak. Lantas, bukan berarti pula kontrol atas anak sepenuhnya jadi kewajiban orang tua. Seperti penulis ungkap di atas, faktor sekolah dan kesigapan aparat polisi lalu lintas juga mesti dipertimbangkan. Permasalahannya adalah, beranikah negara menjamin kenyamanan dan keamanan anak, terutama di daerah perkotaan?

Jika kita perhatikan secara detail, negara masih melakukan pembiaran terhadap faktor-faktor yang memicu anak berkendara sebelum cukup umur. Kita bisa membuktikan, betapa acara televisi ramai-ramai menampilkan adegan anak-anak berseragam sekolah yang, tanpa canggung, bermobil atau bermotor ria di jalanan. Kadang pula dibumbui adegan percintaan ala remaja. Nah! Tayangan yang demikian, tentu saja jadi model bagi anak untuk mencoba-coba mengendarai kendaraan. Padahal, kita punya Komisi Penyiaran Indonesia. Pada kasus ini, sudah jelas, negara abai terhadap tayangan non-edukatif. 

Dan, harus penulis tegaskan pula, betapa negara kerap lupa bagaimana membangun tata ruang, terutama kota, layak anak. Meski baru-baru ini sudah dimulai adanya perencanaan dan pelaksanaan program kota layak anak. Kita bisa melihat, betapa kota adalah tempat yang paling “berbahaya” untuk anak. Awam kita lihat anak-anak sekolah berjalan beriringan sepulang sekolah bersama teman-temannya. Mustahil saya kira. Hal ini terutama dikarenakan karena tindak kriminalitas yang mengancam anak-anak, seperti perampasan dan penculikan. Maka interaksi sosial yang terjalin sebatas sekolah dan rumah. Di sekolah mereka sibuk dengan pelajaran yang padat. Di rumah pun, mereka masih sibuk dengan tugas-tugas sekolah. Sedangkan tempat yang seharusnya dipakai untuk anak-anak berkumpul dan bermain bersama teman sebayanya, perlahan musnah digilas mall, kafe, dan pembangunan gedung bertingkat.

Maka, jalan(an) kerap jadi tempat mereka melampiaskan tercerabutnya ruang sosial mereka. Didukung lemahnya kontrol orang tua, longgarnya pengawasan aparat kepolisian, serta belum berpihaknya negara dalam melindungi keamanan dan kenyaman sang anak, terjadilah tragedi kecelakaan yang, kebetulan dialami seorang musikus kondang Ahmad Dhani, sehingga publik mengabarkannya sedemikian masif.

Kejadian yang menimpa Dul adalah peringatan, bukan hanya untuk para orang tua, tapi juga negara. Atas pelbagai pertimbangan di atas, beranikah negara menjamin keramahan dan kenyamanan untuk anak? Agar jalan(an) tidak menjadi alternatif ruang “bermain” yang jelas-jelas kita ketahui, sangat membahayakan.[]