Minggu, 31 Mei 2015

Patung Gus Dur dan Petuah Berbuku

Foto diunduh dari  beritadaerah.co.id

Di Indonesia, cara menghormati tokoh penggerak bangsa kerap diwujudkan dalam pembuatan patung. Mereka yang diakui tokoh besar “dihadirkan” kembali dalam wujud patung. Niat membuat patung biasanya untuk menghormati dan nostalgia. Patung berdiri di museum, perempatan jalan, taman budaya, gedung pemerintahan, dan halaman rumah. Membuat patung adalah usaha merawat ingatan.
            Gairah membuat patung di tempat-tempat publik pernah dialami Indonesia di era Sukarno. Kita mengenal Sukarno adalah penggila patung. Di bawah pimpinan Sukarno, Indonesia adalah negara yang menggemari patung. Patung dihadirkan di hadapan publik sebagai perwujudan misi nasionalisme dan harga diri bangsa. Patung meneguhkan sikap politik dan pandangan negara. Antusiasme Sukarno pada patung tak lepas dari gelar insinyur dan gagasan politik yang dimilikinya.
            Hilmar Farid dalam Kisah Tiga Patung (2012) mengingatkan pengorbanan Presiden Sukarno demi melunasi ambisi pembangunan patung. Kisah muram terjadi saat pembangunan Patung Dirgantara. Patung dibangun guna mengenang keberanian penerbang Indonesia melawan Belanda, di mana saat itu hanya menggunakan pesawat bekas Jepang. Proyek mulai dikerjakan sejak tahun 1965 tetapi tersendat setelah meletus petaka G30S. Sukarno lengser, dan pendanaan proyek pun mandek.
Tak ingin melihat ambisinya gagal, Sukarno menyuruh ajudannya menjual mobil miliknya dan menyerahkan uang hasil penjualan demi melanjutkan proyek patung. Tahun 1970, pembangunan Patung Dirgantara rampung meski tak seorang pejabat pun datang meresmikan. Patung prestisius itu berdiri dalam sepi dan duka. Sukarno wafat sebelum sempat menyaksikan peresmian patung.   
Rezim Sukarno tumbang. Soeharto melenggang sebagai penguasa Orde Baru dan ambisi membuat patung terus dilakoni. Di era Presiden Soeharto, patung dibuat dalam bentuk sosok militer, anak-anak sekolah, hingga ibu dan dua anaknya. Trisno Yulianto (2015) menganggap patung-patung di era Soeharto dibuat sebagai perayaan atas keberhasilan program-program pemerintah, seperti Keluarga Berencana dan Wajib Belajar Enam Tahun. Sedangkan sosok patung dalam bentuk sosok-sosok militer tak lain bermisi penguatan ingatan atas ideologi antikomunis milik Soeharto.
Belum lama ini, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok meresmikan patung Gus Dur di Taman Amir Hamzah Jakarta (25 April 2015). Patung itu menampilkan wujud Gus Dur kecil berusia 9 tahun dalam pose membaca. Peletakan patung di taman tentu memiliki pamrih tertentu. Orang-orang datang ke taman untuk bersantai, menikmati ketenangan, membaca, bahkan pelesiran dan bermain sepakbola. Patung Gus Dur kecil bermaksud merangsang anak-anak untuk mau membaca. Pengunjung bakal datang dan melihat patung Gus Dur kecil sedang menenteng buku, mengingatkan sosok Gus Dur sebagai manusia berbuku.
Patung Gus Dur di Taman Amir Hamzah mengundang tafsir dan pemaknaan filosofis. Kita mengenal Amir Hamzah sebagai penyair kondang dab penulis puisi legendaris Padamu Jua. Di taman itu, Patung Gus Dur tampil sederhana, tak menebar kemewahan dan pengkultusan. Kita bisa menyentuh, memandang, dan membayangkan kehadiran Gus Dur dari dekat. Patung Gus Dur berukuran mungil tapi sanggup memberi ajakan-ajakan literatif.
Kita mengenang Gus Dur sebagai pembaca buku yang tekun. Saat-saat menjadi mahasiswa di Universitas Al Azhar adalah kesempatan bagi Gus Dur memenuhi hasrat membaca. Gus Dur menghabiskan waktu di perpustakaan, kedai kopi, dan bioskop. Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2003) mencatat:”Ia (Gus Dur) membaca apa saja, tanpa memilih–memilih tempat. Ia juga membaca di sekeliling rumah atau di tempat menunggu bus. Bila tidak ada buku, maka potongan surat kabar atau sebuah majalah tua dapat memuaskan dahaganya akan bacaan.”
Gus Dur melahap pelbagai jenis buku dari para pengarang kondang dunia, tak melulu dari literatur Islam. Dari novel karya William Foulkner, Leo Tolstoi, Kafka, hingga buku-buku kiri, seperti karangan Karl Marx dan Lenin. Godaan berbuku memaksa Gus Dur mengganti waktu berkuliah beralih ke ritus-ritus membaca di perpustakaan di Kairo. Patung kecil itu selaras dengan pribadi Gus Dur sebagai penggila buku tanpa harus dimaknai sebagai agenda propaganda dan pencitraan.
Ide membuat patung memang kerap berpamrih politis. Sukarno mengabadikan setiap peristiwa besar dalam babakan politik Indonesia dalam bentuk patung. Sedangkan Soeharto membuat patung bermisi pengabaran agenda-agenda pemerintah. Di masa lalu, patung seperti tak pernah hadir tanpa ada niatan dan misi politik.
Di koran-koran dan media daring, kita bisa melihat patung itu hadir tanpa menampilkan kesan pengultusan atas kebesaran tokoh. Patung Gus Dur tampil dalam bentuk yang sederhana dan tak menjulang tinggi-tinggi. Hal itu mengisyaratkan gagasan Gus Dur di mata kalangan Tionghoa Indonesia.
Patung itu adalah ejawantah etos Gus Dur semasa hidup. Sejak kecil Gus Dur sudah bersentuhan dengan rimbunan buku-buku. Gus Dur tampil sebagai intelektual dan tokoh penting di negara ini berkat intelektualitas yang ia miliki dari referensi buku bacaan. “Gus Dur kecil” itu membaca, berpetuah agar anak-anak, juga orang-orang “penting” di negeri ini, memaksa diri untuk berkeinginan membaca—merawat ingatan bersama buku-buku.[]

Dimuat di Jawa Pos, 31 Mei 2015.
(*) Judul tulisan ini semula Patung Gus Dur: Ingatan dan Pemaknaan, kemudian dimuat dengan judul Patung Gus Dur: Merawat Ingatan dan Pemaknaan. Untuk edisi blog, saya mengganti lagi judul tersebut, semata-mata agar enak dibaca dan tak wagu.