Rabu, 18 Maret 2015

Mengorek Luka Perempuan Tanah Papua



Novel mengisahkan Papua belum beranjak dari tema ketertindasan perempuan. Perempuan mengalami apes lantaran kepercayaan adat ikut melanggengkan dogma patriarki dan diskriminasi. Imajinasi para pengarang Indonesia menganggap Papua belum selesai mengurai benang kusut persoalan perempuan.
Dorothea Rosa Herliany menghadirkan penggung imajinasi Papua lewat penerbitan novel Isinga: Roman Papua (2015). Novel ini mengajak kita menjelajahi semesta Papua lewat tragedi percintaan Meage dan Irewa berlatar konflik sosial-kultural, isu gender, dan aktivisme. Dorothea mengajukan kisah percintaan sebagai siasat menampilkan uraian etnografis-sosiologis di tanah Papua.
Pengisahan bermula saat Meage dan Irewa, dua anak muda di kampung Aitubu, terjerat hubungan cinta. Meage berhasrat meminang Irewa sebagai calon istri. Pelbagai ritual adat sudah dilakoni Meage demi mendapat restu dari sang calon mertua.
Namun tak disangka, Malom, seorang pemuda dari kampung Hobone, terpikat juga pada Irewa. Tali kasih telanjur tertambat pada Meage, Irewa pun menolak pinangan Malom. Tak terima pinangannya ditolak, Malom nekat menculik Irewa. Penculikan ini memicu perang tak berkesudahan antara kampung Aitubu dan Hobone.
Perang berkepanjangan pada akhirnya sampai di titiknya yang terjenuh. Pihak Hobone berinisiatif mengajukan tawaran perdamaian. Isi tawaran tak lain agar warga Aitubu merestui Irewa dipersunting oleh Malom. Irewa dipilih untuk “ditumbalkan” sebagai yonime: juru damai dari dua adat yang bertikai.
“Perempuan bisa menolak laki-laki saat dilamar. Tapi ia tak bisa menolak saat diminta seluruh penghuni perkampungan untuk kepentingan perdamaian (hal.52)”. Irewa tak kuasa melawan kehendak adat. Sejak pertunangan itu Irewa menapaki babak baru dalam hidupnya: hari-hari yang panjang sebagai pesakitan.
Menjadi juru damai berarti mendermakan diri pada kepentingan adat. Kepatuhan pada adat ikut melanggengkan penguasaan otoritas suami atas istri. Hasrat Malom untuk memiliki banyak anak berakibat fatal pada Irewa.
Tugas Irewa sebagai istri adalah bekerja di ladang, hamil, dan melahirkan, tak peduli tubuh lungkrah dan lemah. Hampir separuh buku ini mengisahkan malapetaka hidup Irewa di bawah jeratan kekerasan dan penindasan Malom.
“Makin banyak anak laki-laki, makin berharga dan bermartabat. Tanah luas dan keturunan banyak. Anak laki-laki juga berguna agar prajurit mati ada yang menggantikan” (hal.91). Keinginan Malom punya banyak anak berdalih warisan dan kekuasaan. Anak laki-laki jadi tumpuan saat perang datang.
Nestapa Irewa kian lengkap berkat ulah Malom yang gemar berkunjung ke pelacuran. Banyak perempuan terjangkit penyakit kelamin lantaran suaminya kerap “jajan”. Dari Malom inilah Irewa menemui sial karena terjangkit penyakit sifilis.
Penyakit itu tak hanya menjangkiti Irewa, banyak perempuan lain bernasib sama. Sejak saat itu Irewa merasa terpanggil untuk memasuki dunia aktivisme perempuan. Ada gairah yang menggebu dalam diri Irewa untuk mengentaskan perempuan Papua dari penderitaan dan ketidaktahuan
Secara kekayaan data dan referensi, novel ini berhasil menyajikan pengetahuan etnografis dan imajinasi perihal kondisi sosial-kultural masyarakat di Papua secara meyakinkan. Tetapi, kekayaan referensi dalam novel ini tidak diiringi kesanggupan bercerita yang lentur dan memikat. Cerita berjalan lurus tanpa basa-basi. Dorothea tampak kurang piawai meleburkan data dan referensi dalam olahan gaya penceritaan dan narasi.
Sekian data etnografis terdeskripsikan secara ensiklopedis. Penceritaan model tersebut tentu mengganggu kenikmatan pembacaan saat menapaki jalan cerita dan imajinasi. Selain terasa “kaku”, novel ini juga tak berhasil mengaduk-aduk emosi pembaca.
Tetapi di antara sedikit novel yang memberi perhatian besar pada isu-isu di Papua, kehadiran novel Isinga layak mendapat respons dari pembaca sastra kita. Papua memang mesti dikisahkan dan diwartakan agar tak terus menerus menyimpan luka dan penindasan. []

Dimuat Koran Jakarta, 19 Maret 2015