Jumat, 31 Juli 2015

Lebaran dan Panggung Sosial

Sumber: keepo.me

 “Biarpun harus berebut saat membeli tiket, saya tetap mudik. Biarpun untuk mendapatkan tiket harus antri sejak sehabis subuh, saya tetap mudik. Biarpun harus berdesak-desakan di semua moda transportasi, saya tetap mudik. Biarpun harus menghadapi  kemacetan yang parah bahkan di jalan tol, saya tetap mudik. Walaupun kesal dan jengkel atas ketidakmampuan negara memberikan pelayanan yang baik bagi para pemudik, saya tetap mudik,” (Jamal D Rahman, 2013: 288).
Kutipan di atas bukan sebuah puisi. Namun, bagi sebagian orang, terutama di kalangan umat Islam di Jawa, pernyataan Jamal D Rahman, sang penyair dari tanah Madura, di atas tentu bukan sesuatu yang berlebihan. Justru dari kutipan itu, kita bakal tahu apakah perspektif Jamal D Rahman tentang keharusan mudik diyakini pula oleh jutaan umat muslim di Indonesia.
Begitulah arus mudik menandai waktu Lebaran sudah semakin dekat. Dalam konteks sosial, pulang ke kampung kelahiran untuk berlebaran seperti sudah menjadi sebuah keharusan. Lebaran adalah pertemuan kembali antara manusia dengan sesuatu yang konon bersifat keruhanian.
Tradisi sungkeman memunculkan pengalaman spiritual yang begitu membekas dalam perjalanan ruhani manusia. Setelah menjalani puasa sebulan lamanya, serta saling meminta maaf dan memaafkan saat Lebaran, manusia seperti terbebas dari dinding dosa di masa lalu.    
Lebaran juga dimaknai sebagai momentum peziarahan tanah leluhur. Biasanya, selepas shalat Ied, masyarakat berbondong-bondong datang ke pesarean, melafalkan doa bagi leluhur dan keluarga yang sudah meninggal. Orang Jawa menyebutnya nyekar. Ritual ini menunjukan ada kerinduan kepada mereka yang pernah mengisi kenangan hidup di masa lalu. Kerinduan yang kadang bersifat mistik dan sulit dijelaskan secara nalar.
Nurcholish Madjid (2000:137) menganggap Lebaran sebagai puncak pengalaman hidup manusia dalam daur waktu selama setahun. Lebaran jadi sentral atas segala kegembiraan, kebahagiaan, serta kedirian manusia yang paling mendalam. Dengan demikian, tentu bisa dimaklumi adanya fenomena pergerakan manusia dari kota/tanah rantau menuju tanah kelahiran, menempuh segala risiko demi bersua dengan sanak saudara: mudik.
Jalan dipenuhi gelombang manusia bermudik. Mereka bersedia menanggung jarak ratusan, bahkan ribuan kilometer, di atas kendaraan. Ada yang rela berdesakan di dalam bis. Ada pula yang mengantri berjam-jam lamanya demi sebuah tiket keretaapi. Bahkan tak sedikit dari mereka rela menyabung nyawa dengan berboncengan, berdua, kadang sampai bertiga, menggunakan sepeda motor. Debu dan jalan rusak bukan masalah yang pantas diributkan. Kebahagiaan bertemu keluarga mesti dibayar dengan sekian pengorbanan.
Lebaran pada akhirnya pantas dimaknai sebagai panggung sosial bagi masyarakat. Lebaran menjadi semacam ajang pembuktian bagi mereka yang telah melakoni hidup dengan mengadu nasib di kota. Seolah-olah, setahun bekerja memang dipersiapkan hanya untuk menantikan Lebaran. Lebaran pada akhirnya menjelma peristiwa yang berekses luas di luar nilai keagamaan semata, tetapi juga sosial.  
Kita bisa mengajukan serangkaian amatan untuk membuktikan dugaan ini. Mereka yang setahun hidup di kota, pada umumnya punya ambisi untuk mementaskan kesuksesan di hadapan keluarga dan kerabat saat Lebaran tiba. Mereka punya gelagat untuk menunjukan apa-apa saja yang telah mereka peroleh di tanah rantau. Taruhlah semisal, membawa pulang kendaraan baru, berpakaian baru, memamerkan sekian aksesoris mewah yang melekat pada tubuh, bisa berupa perhiasan ataupun gawai canggih.
Dalam bentuk lain, panggung sosial itu bisa berupa selebrasi kuliner, pelesiran, dan bagi-bagi uang kepada sanak saudara. Tak sedikit pula yang menjadikan Lebaran, terutama mereka yang belum berpendamping, sebagai momentum mengenalkan calon pasangan hidup yang mereka temukan di tanah rantau.
Hasrat untuk dipandang sebagai manusia kota (baca: orang sukses) tampak dalam perubahan penggunaan bahasa. Mereka tak hanya menuai penghasilan materi dari kota, tetapi juga identitas baru. Tak sedikit dari mereka enggan untuk berbicara dalam bahasa asal (daerah).
Menggunakan bahasa kota dianggap sebagai identitas kesuksesan. Mereka ingin dianggap sebagai manusia kota dengan segenap citra kesuksesan meski identitas kultural sebagai manusia kampung/desa tetap saja melekat. Penampilan boleh ala orang kota, tetapi pola pikir tetap saja tak berubah.
Padahal, kita pun mafhum, tak semua orang yang mengadu nasib di kota mendapati apa yang mereka cita-citakan. Di kota, kenyataan tak pernah sama dengan harapan. Tuntutan kerja yang kelewat melelahkan, mahalnya biaya kebutuhan, semua itu memaksa mereka berjuang mati-matian.
Segala jerih payah penderitaan hidup di tanah rantau dibayar lunas ketika bisa merayakan Lebaran dengan segenap kelimpahan materi. Dimensi sosial ini telah menempatkan Lebaran sebagai sebuah panggung sosial yang selalu dinantikan oleh segenap umat Islam. Terutama sekali oleh mereka yang merantau di kota, mereka yang mempertaruhkan nasib sebagai manusia urban. []

Dimuat di edaran Ora Weruh nomor 2 tahun IV, 2015 dan Jurnal Urbanologi edisi Juli 2015


Jumat, 17 Juli 2015

Menyegarkan Pemaknaan Masjid



Setiap Ramadan datang masjid dipastikan lebih ramai dibanding biasanya. Umat Islam merasa perlu memanfaatkan bulan penuh pahala ini dengan menambah intensitas datang ke masjid. Dari shalat berjamaah, membaca Alquran, berbuka bersama, tarawih, hingga sekadar tidur-tiduran. Di bulan Ramadan inilah keberadaan masjid menampilkan suasananya yang hangat.
Di siang hari, kala tubuh didera lapar, orang-orang menyempatkan shalat di masjid. Suasana masjid yang sejuk dan tenang merangsang jamaah untuk beribadah secara lebih khusuk. Menjelang malam hari, suasana masjid kian meriah. Hajatan buka bersama membuat kebersamaan jamaah kian terjalin. Setelah berbuka, agenda di masjid diisi tarawih dan tadarus Alquran. Begitu seterusnya setiap hari selama Ramadan. Belum lagi jika ada acara tambahan guna lebih menyemarakan masjid, seperti pengajian dan pesantren kilat bagi siswa-siswa sekolah. Masjid pun tak pernah sepi dari aktifitas-aktifitas berfaedah.
Maka tak keliru bila bulan Ramadan jadi momentum bagi umat muslim untuk memberi pemaknaan baru atas peran dan fungsi masjid. Keberadaan masjid bisa jadi rujukan untuk membaca dan memahami Islam dalam pelbagai perspektif, dari sejarah, budaya, hingga politik. Pemaknaan ini diharapkan mampu menempatkan masjid tak sekadar pada fungsinya sebagai tempat ibadah.
Untuk itu mari sejenak membuka catatan-catatan tentang kesejarahan masjid di Indonesia. Bangunan masjid menandai kedatangan dan persebaran agama Islam di Indonesia. Keberadaan masjid tidak bisa lepas dari peran para pedagang dari Arab, Persia, dan India, yang datang ke Nusantara sembari menyebarkan ajaran Islam. Di setiap wilayah yang mereka tinggali, mereka biasanya mengutamakan untuk membangun masjid (Badri Yatim, 1993). Dari masjid itulah dakwah Islam menyebar luas ke khalayak.
Pentingnya membangun masjid sebagai pusat gerakan dakwah juga disadari oleh Walisongo, penggerak agama Islam di tanah Jawa. Walisongo menjalin diplomasi dengan kerajaan dan penguasa di Jawa saat itu demi memuluskan dakwahnya, terutama lewat pembangunan masjid. Hasilnya, masjid diizinkan dibangun di tempat-tempat strategis, seperti di samping kraton dan alun-alun.
Membangun masjid di tempat strategis tentu punya misi yang tak sepele. Alun-alun, misalnya, merupakan tempat di mana tradisi pertemuan sang raja dan rakyatnya biasa digelar. Setelah ada masjid, pertemuan raja dan rakyat tetap berlangsung namun berpindah ke dalam masjid. Hal tersebut bertujuan agar penyebaran ajaran Islam ke dalam kepercayaan orang Jawa tak serta-merta menabrak dan menghapus nilai tradisi dan budaya mereka (Sidi Gazalba, 1975). Siasat ini juga dimaksudkan agar tak terjadi gesekan yang terlalu keras antara proses dakwah dengan ritual tradisi yang ada.
Keberadaan masjid di Jawa pada mulanya memang sebagai pusat dakwah. Namun, pada perkembangannya, masjid mulai digerakkan sebagai tempat pengajaran dan pendidikan. Para kyai di Jawa bersiasat membangun masjid di dalam pesantren sebagai manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Para kyai meniru tradisi Nabi Muhammad saw dalam memfungsikan masjid sebagai pusat pendidikan umat Islam (Zamakhsyari Dhofier, 1983).
Di masjid, para santri dididik shalat lima waktu, disuguhi ilmu dan ajaran-ajaran Islam, serta diajarkan untuk melanjutkan tradisi baik yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Masjid pun merangkap sebagai pusat pengajaran dan pendidikan berbasis Islam dan tradisi.
Masjid Istiqlal (sumber: pangutangans.wordpress.com)
Masjid terus mengalami perluasan fungsi dan makna. Nilai-nilai kultural dan kebangsaan ikut bersemai di dalam masjid. Di era Presiden Sukarno, kita bisa menyaksikan betapa masjid bisa dijadikan sebagai alat pencitaan harga diri negara. Pidato Sukarno tertanggal 18 Juli 1966 berjudul “Dirikanlah Masjid dari Beton,” menegaskan ambisinya agar Indonesia memiliki masjid bertaraf internasional, setara masjid-masjid agung di India, Turki, dan Pakistan.
Simaklah petikan pidato tersebut:”Masak kita bangsa Indonesia yang jumlah umat Islamnya lebih besar dari negara yang lain, bangsa Indonesia yang jumlah orang Islamnya, muslimin dan muslimatnya terbesar di dunia, masak kita mendirikan masjid Jami kok dari kayu dan genteng. Saya tidak berpikir dalam istilah kayu dan genteng. Saya berpikir dalam istilah beton….” Masjid Istiqlal itulah hasilnya.
Senarai singkat terkait peran dan makna masjid di masa lalu membuat kita mafhum betapa pemaknaan masjid tak sekadar peneduh saat beribadah. Masjid pernah mengalami masa-masa gemilang ketika umat Islam sanggup menempatkannya sebagai ruang-ruang bermisi pendidikan, tradisi, dan nasionalisme. Di sinilah masjid turut membentuk mentalitas manusia Indonesia. Dengan demikian, meningkatnya intensitas orang-orang datang ke masjid di bulan Ramadan sepantasnya jadi momentum bagi umat Islam untuk menyegarkan kembali pemaknanan mereka atas peran dan fungsi masjid, berkaca dari masa lalu. []

 
Dimuat di Suara Merdeka, 10 Juli 2015