Senin, 19 Oktober 2015

Menziarahi Dunia Batin Terpidana Mati

Seberat-beratnya hukuman adalah mati. Pelaku kejahatan berat konon pantas diganjar hukuman mati. Kejahatan berat tentu terkait penghilangan nyawa manusia. Hukum mati jadi preseden agar orang-orang tak ceroboh berbuat jahat.
Isu hukuman mati dikisahkan secara mengharukan dalam novel Burial Rites: Ritus-Ritus Pemakaman (2015) karya Hannah Kent, seorang novelis kelahiran Adelaide, Australia. Pengisahan novel bermula ketika tahun 1928 kegemparan melanda Islandia Utara. Agnes Magnusdottir, bersama dua temannya, divonis mati lantaran membunuh dua lelaki. Putusan ini sontak jadi perbincangan di masyarakat. Bagi mereka pembunuhan dan hukum mati adalah peristiwa luar biasa.
Hukum di Islandia kala itu tegas menyatakan:”Siapa yang memukul seseorang hingga mati, pastilah ia dihukum mati”. Pasca penetapan itu, riwayat hidup Agnes Magnusdottir tinggal menunggu masa penghabisan. Fragmen penantian eksekusi mati inilah yang kemudian dikisahkan secara dramatis oleh Hannah Kent.
Imajinasi sosok Agnes Magnusdottir berangkat dari kisah nyata. Hannah Kent mengetahui kisah tersebut setelah melancong ke Islandia dalam pertukaran pelajar Rotary Exchange. “Agnes Magnusdottir adalah orang terakhir yang dijatuhi hukuman mati di Islandia, setelah peran-sertanya dalam pembunuhan terhadap Natan Ketilsson dan Petur Jonsson pada malam antara tanggal 13 dan 14 Maret 1828 di Illugastadir, di Semenanjung Vatnsnes, Islandia Utara”.
Lewat novel ini kita diajak untuk menziarahi dunia batin sang terpidana mati. Hari berganti dalam detik yang melamban. Agnes menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah keluarga Jon Jonsson karena rumah tahanan sementara belum tersedia. Kala itu, eksekusi mati jarang sekali terjadi. Pemerintah belum sepenuhnya memfasilitasi pelbagai persiapan untuk sebuah prosesi hukuman mati. Demi sebuah eksekusi, segalanya mesti dipersiapkan dari nol.
Pada mulanya Agnes menuai protes dan penolakan dari keluarga Jon. Menjalani hari-hari bersama seorang terpidana mati tentu menyulut dugaan dan kecemasan. Margret, istri Jon, mengaku:“Betapa aneh membayangkan bahwa, tidak terlalu lama lagi, perempuan yang tidur di ranjang itu tidak sampai dari tiga meter darinya akan berada di liang kubur.” (hlm.74)
Tetapi rasa kemanusiaan sungguh tak bisa dibohongi. Lambat-laun keluarga Jon justru berkenan menerima keberadaan Agnes. Sebagai perempuan terdidik, dengan kecerdasan di atas rata-rata, serta pandai bergaul, tak pelak membuat Agnes mudah diterima di keluarga Jon.
Di rumah ini pula, Agnes didampingi Pendeta Thorvardur Jonsson dalam usahanya menghadapi eksekusi mati. Kedatangan pendeta bermisi pencerahan dan peneguhan iman. Namun kadang kuatnya iman pun tak sanggup mereda ketakutan atas kematian. Getir hidup yang dialami Agnes sejak kecil membentuknya jadi sosok pesimis. Ia ditinggal kedua orang tua sedari belia, dan mesti berjuang keras demi menghidupi diri sebagai pelayan, dari rumah ke rumah.
Memori kelam itu membuat Agnes sulit ”berdamai” dengan iman dan Tuhan. Pendeta Thorvadur Jonsson menyadari suara lantang firman Tuhan kadang tak cukup membuat Agnes bersiap menerima kenyataan. Dialog bertema ketuhanan muncul sebagai kritik atas pemahaman publik dan penguasa yang kerap menggampangkan kondisi batin si terpidana mati.
“Saya sampai pada keyakinan bahwa apabila ingin menyibak tirai yang menutupi jiwa si terpidana, yang dibutuhkan bukanlah suara tegas seorang pendeta yang menyampaikan api neraka, melainkan nada lembut dan bertanya seorang sahabat” (hlm.203). Sang Pendeta larut dan hanyut dalam kisah hidup Agnes yang misterius.
Menjelang detik-detik terakhir, Agnes justru mengabarkan fakta baru yang tak sempat ia ungkapkan di meja persidangan. Dari fakta baru tersebut, Pendeta Thorvadur Jonsson sampai pada keputusan untuk membantu menyuarakan kesaksian Agnes, yang ia harapkan bisa membatalkan putusan mati meski ia tahu hasilnya akan sia-sia.
Di titik inilah Hannah Kent menyajikan perspektifnya perihal hukuman mati. Dialog yang dibangun antara Agnes, pendeta, dan keluarga Jon membawa kita pada pemahaman sifat manusia dalam menghadapi kematian. Tak ada seorang pun manusia normal yang rela hak hidupnya dirampas.
Ketakutan dan kegelisahan selalu muncul di hari-hari Agnes yang pendek. Masa penantian justru lebih menyakitkan dari sebuah kematian. “Penantian ini membuat muak. Kenapa tidak sekarang? Kenapa tidak mengambil saja kapak itu dan melakukannya di sini…” (hlm.303). Keputusasaan menjelang eksekusi memang tak terhindarkan.
Bagi Hannah Kent, hukum mati berpotensi menutup kemungkinan untuk membongkar alasan-alasan di balik kelakuan ceroboh terpidana. Atau, tidak tertutup kemungkinan, ada kekeliruan yang tak sempat tersampaikan saat proses peradilan. Dalam novel ini hukum mati dikisahkan telah menutup dua kemungkinan tersebut.
Isu eksekusi mati memang sensitif dan kerap memicu perdebatan, terutama di Indonesia. Kita kerap menuai polemik atas putusan negara yang enteng menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Pilihan Hannah Kent mengeksplorasi novel bertema hukum mati, dengan acuan referensi sejarah yang kuat, pantas jadi alternatif membaca dan memahami dunia batin terpidana mati dari sisi kemanusiaan yang intim. Penerjemahan novel ini di Indonesia pun menemukan momentumnya yang tepat.[] 

Dimuat di Harian Rakyat Sumbar, 17 Oktober 2015.