Sabtu, 14 Desember 2013

Tak berobsesi berarti mati



Apa yang menarik dari pertemuan dengan seorang pengarang, jika kamu sendiri adalah orang yang sedang merangkak jadi seorang pengarang? Tentu saja, aku kira, lebih banyak hal-hal menarik yang bakal terjadi, minimal, perihal obrolan. Sudah bisa ditebak ke mana arah obrolan itu: tulisan, bacaan, dan hal-hal tentang kepengarangan, yang sebenarnya sudah “ada” di buku-buku para kampium sastra. Tapi, apakah yang lebih menarik selain mengobrolkan hobi dan kesukaan?

Senja itu aku gegas dari rumah kos ke kampus, melaju via sepeda motor, bertemu pengarang senior, S Prasetyo Utomo. Tidak biasanya aku begitu bersemangat menemuinya. Aku percaya, selain bertegur sapa di media massa, aku juga mesti menyempatkan bertegur sapa di dunia nyata. Serawung itu penting. Maka, jika kali ini aku bersemangat menemuinya, tentu saja karena aku jarang menyapa Pak Pras di media massa, atau pun di dunia nyata. Hmmm…  

Seperti sebelum-sebelumnya, obrolan bergerak tanpa basa-basi. Senja itu memang dipersiapkan oleh teman-teman di UKM sebagai obrolan proses kreatif. Pak Pras mulai bercerita, mengisahkan pegetahuan agar kami, para junior, melahap semua isi omongannya. Obrolan berkisah tentang apa saja yang mesti dimiliki pengarang agar tetap bertahan, tak tergiur urusan di luar kepengarangan. Mirip acara motivasi di televisi, menjadi pengarang pun punya jurus jitu. Ada empat pokok, sesuai ingatan saya, hal yang mesti dirawat dalam diri seorang pengarang: obsesi, style, inovasi, yang terakhir aku lupa. Tapi, kalau boleh menambahkan, tentu saja referensi. Obsesi dan referensi berkisar tentang individu, sedangkan style dan inovesi bergerak pada teks. Ibaratnya, inilah empat pilar kepengarangan.

Tak perlu kuceritakan bagaimana obrolan berlangsung, dan bagaimana Pak Pras mengurai empat pilar kepengarangan tersebut. Cukuplah aku dan teman-teman yang tahu. Obrolan bermutu ketimbang melewatkan senja di kamar sambil menonton lawakan konyol di tivi! Duh!

***
Sehari berselang, tepat ketika aku sudah teramat bosan, seharian berdiam diri di kamar, membolak-balik buku di rak, menyetel musik, mengantuk, minum Kapal Api, merokok, dan tidur antara sebentar. Malam hampir sempurna mendekati pukul dua belas. Mata mulai berat sebelah, pinggang mulai linu untuk duduk. Sebelum merelakan tubuh untuk tidur, kuambil buku bercorak hijau, bergambar helem tentara. Kumcer Laki-laki Lain dalam Secarik Surat karya Budi Darma. Romantis…  

Adegan agung, berangkat tidur dibuai sang profesor sastra. Haha. Sengaja tak kumulai membaca cerpen-cerpen tersebut. Aku hanya berniat menyempurnakan kantukku saja. Esai pendek pengantar buku jadi sasaran utama. Esai kalem penuh nutrisi. Esai berkisah tentang lawatan Budi Darma di Jakarta, bertemu sejumlah pengarang dan teman-teman pengarang. Budi Darma bertemu teman seprofesi, bertukar cerita, menambah gagasan. Wajar jika pertemuan sesama pengarang jadi mirip ibu-ibu cerewet. Bukankah pengarang suka mencuri-curi ide dari omongan teman-temannya yang sama-sama pengarang? Ah, saya tidak tahu persis dengan siapa Budi Darma mengobrol. Yang jelas, ia berkisah tentang obsesi bagi pengarang.

Seperti sebuah narasi dari obrolan senja kemarin, Budi Darma berkisah perihal obsesi. Ya, obsesi. Betapa vitalnya kata ini bagi pengarang. “Obsesi adalah modal”, kata Pak Pras. Budi Darma tak ketinggalan:”… obsesi pengarang, yaitu serangkaian pertanyaan yang terus menerus mendorong pengarang untuk menulis”. Obsesi jadi alasan kenapa pengarang bergerak menemukan inovasi, menyatu dengan style. Obsesi pulalah yang mendorong pengarang untuk terus menerus menambah referensinya tanpa henti. Berhenti adalah kematian bagi pengarang. Aku jadi teringat kalimat pamungkas Budi Darma dalam novelnya, Rafillus: Rafillus mati dua kali. Aku tak mau mati dua kali. Sekali mati, berarti berkali-kali.

Aku pun tak jadi mengantuk. Imajinasi bergerak mengikuti sejumlah obsesi. Aku berobsesi setiap akhir pekan tulisanku tampil di media massa. Aku beruntung masih punya obsesi. Tak berobsesi berarti mati. Aku terhenyak, hari ini aku belum menulis barang satu lembar. Aku bergegas ke kamar mandi, gosok gigi lalu menyalakan rokok. Merokok sehabis sikat gigi kadang memiliki sensasi tersendiri. Kunyalakan leptop,  dan jadilah tulisan pendek ini. Tulisan bermisi kantuk! Aku berobsesi bertemu Pak Pras dan Budi Darma dalam sebuah diskusi hangat, di sebuah cafĂ© dengan sayup-sayup iringan lagu Payung Teduh menemani. Wah! Adegan romantis bergelimang intelektual…

Pandean Lamper, 28 November 2013