Senin, 29 Agustus 2016

Rayuan Puisi dan Panggung Referensi


Ada begitu banyak buku yang mengajari kita bagaimana kiat-kiat menulis puisi yang baik. Tetapi setiap penyair selalu punya cara tersendiri. Di masa lalu, penyair mungkin sekadar mengandalkan imajinasinya untuk berpuisi. Melamun dan merenung antara sebentar, menyulut kretek, menyesap kopi, lalu mulai menulis. Dan jadilah sebuah puisi. Namun, ada pula penyair yang mesti melakoni “ritual” khusus sebelum menulis. Penyair itu, mungkin saja, mesti mendatangi tempat-tempat kumuh, ikut merasakan orang-orang kelaparan, barulah bisa mencatatkan pengalaman itu ke dalam bentuk puisi.
Semua cara itu sah. Tak terkecuali dengan apa yang Triyanto Triwikromo lakoni. Laku berpuisinya bermula dari pergumulan dengan teks-teks yang telah ia baca. Teks itu bisa berupa novel, buku sejarah, atau epos. Dari persinggungan itu, ia mengajukan dialog, tafsir, hingga penceritaan ulang. Enam tahun silam, Triyanto menerbitkan buku berjudul Pertempuran Rahasia: Buku Puisi (2010) yang bertolak dari penafsirannya atas epos Mahabharata dan Ramayana. Lima tahun berselang, ia kembali dengan buku puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015). Buku ini menarasikan fragmen hidup sosok Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dalam pengertian yang berbeda dengan sejarah versi negara.
Kini, masih dalam etos yang sama, Triyanto menyuguhkan buku terbarunya yang berjudul Selir Musim Panas: Sehimpun Puisi (2016). Ia menulis puisi bertolak dari sekian literatur, juga film, bertema (kesejarahan) Cina, sejak akhir abad XVIII hingga awal abad XIX. Sejak era Dinasti Ch’ing sampai meletus Tragedi Tiananmen. Beberapa novel tertera sebagai rujukan, sebut saja Gunung Jiwa (Gao Xinjian), Sorgum Merah (Mo Yan), dan film Reign of Assasins. Juga dua novel sejarah yang tak Triyanto cantumkan judulnya tapi masih mudah kita tebak, yaitu Orchid Empress dan The last Empress karya novelis Cina Anchee Min. Pembaca yang belum sempat bersentuhan dengan referensi itu, tentu bakal berkerut kening dan terserang kesemutan saat hendak memasuki puisi-puisi Triyanto. Pembaca mungkin takut tak paham konteks waktu dan peristiwa.
Tetapi tunggu dulu, pembaca tak usah terburu-buru cemas. Penyair Sapardi Djoko Damono (2010) pernah menyarankan agar dalam menikmati puisi-puisi Triyanto, pembaca sebaiknya “menerima saja kisah dan renungan” yang ia hadirkan. Selain karena “telah disampaikan dengan pengucapan yang baik”, Sapardi juga meyakinkan bahwa “kita bisa saja membaca sajak-sajak ini berdasarkan bahasa penyampaiannya, yang dalam puisi bisa lebih penting dari apa yang disampaikan”.    
Saran Sapardi itu ada benarnya. Terkadang, untuk menikmati puisi-puisi Triyanto, pembaca hanya perlu menikmati bagaimana bait demi bait disusun dengan begitu padu, berbunyi, dan di saat yang bersamaan, menyitir komentar penyair Zen Hae, “menampilkan dunia ajaib yang berlebihan”. Pembaca pun bisa lekas membuktikan dengan membaca puisi Enigma. Puisi ini hadir di urutan pertama. Simak petikannya:”Siapakah aku? Jagal manis 3.000 kisah. Sembilan/ tahun tetes darah. Tetapi kau selalu menyebutku/ sebagai 20 gerombolan burung funiks, jantung/ dunia, tentara musim dingin, pemilik kota/ yang disembunyikan”.
Tak sampai di situ, pembaca juga disilakan untuk menikmati ungkapan-ungkapan khas Triyanto. Narasi-narasi puitik yang mencampuradukkan ungkapan “canggih”, objek-objek ganjil, serta metafor, yang tak jarang, mencekam. Ada baiknya pembaca menyiapkan teh hangat untuk melemaskan urat saraf saat mulai memasuki rimba raya metafor di buku ini, di antaranya:“Turis pukul 02.13 yang resah”(Enigma);“Lalu ayam berkaki tujuh pun lahir di salju salah waktu”(Kuil Kesedihan Wu Chao);“seekor kodok/ menelan Tuhan/ demi mendapatkan semesta/ kehampaan”(Teka-teki Desa Mati).   
Lebih dalam, Triyanto bahkan melakukan “pemanggungan ulang” atas cerita-cerita dalam novel, teks sejarah, atau film. Di puisi Tiananmen Miao Deshun, misalnya. Puisi ini menggambarkan situasi tragedi bersejarah-berdarah di Cina tahun 1989 silam. Bait pembukanya begini:“3.000? Bukan. 5.000? Lebih. Mereka—juga yang tak/ tampak—telah dilindas tank.//Bendera Deng Xiaoping begitu congkak. Darah/ terus mengucur, merembes ke tanah, dan membercak/ ke jalan-jalan”. Puisi mengisahkan tragedi, mengimajinasikan peristiwa sepenuhnya.
Hal itu tentu menjauhkan asumsi bahwa Triyanto hanya mencomot saja fragmen novel atau teks sejarah sebagai pondasi puisi-puisinya. Ia pun piawai mengoperasikan teks-teks referensi ke dalam puisi menjadi lebih performatif. Dalam puisi panjang berjudul Bandit Manis: Kisah lain Sorgum Merah Mo Yan, Triyanto memuisikan novel Sorgum Merah ke dalam 35 fragmen. Bagi yang pernah membaca novel itu, ada semacam letupan sensasi puitik saat pengalaman membaca novel berkelindan dengan proses pembacaan puisi. Di saat bersamaan, puisi-puisi Triyanto ibarat “menghidupkan” kembali teks-teks referensi itu ke dalam alam imaji pembaca.
Triyanto kentara ingin pembacanya ikut mengerti bagaimana proses puisi-puisinya diolah dan ditulis. Secara tersirat, puisi-puisinya mengajak, bahkan merayu, pembaca untuk tergerak menelusuri teks-teks rujukan yang ia hadirkan. Dengan begitu kita pun mafhum: betapa bagi Triyanto menulis puisi memang tak sekadar mengandalkan lamunan. []


 Jawa Pos, 28 Agustus 2016