Minggu, 21 September 2014

Jalan Lain Menebar Optimisme


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seolah hendak menahbiskan diri sebagai presiden tak biasa. Jika kebanyakan politisi di republik ini menutup masa jabatan dengan jeratan kasus korupsi, SBY justru memberi persembahan sebuah buku kumpulan puisi.
Presiden berpuisi tentu bukan sebuah kreasi biasa. Buku berjudul Membasuh Hati di Taman Kehidupan (2014) seolah-olah jadi rekaman pergulatan batin dan pemikiran SBY. Di sela kesibukan dan mobilitas yang tinggi sebagai presiden, SBY masih meluangkan waktu berpuisi. Kita pun membayangkan SBY menulis puisi di pesawat, di mobil, di tempat kunjungan, atau di Istana Negara.

Puisi bagi SBY jadi jalan menapaki pikiran-pikiran tak tersampaikan. Tuntutan presiden mengharuskan mentalitas SBY jadi manusia tegar dalam menghadapi serangan kritik dan hinaan. Presiden kerap jadi sasaran amarah dan hujatan kala rakyat sedang tertimpa bencana, himpitan ekonomi, serta kisruh politik. Lewat puisi SBY berkisah, melepas segala kesah. Namun tak sedikit pula puisi-puisi SBY memberi seruan dan ajakan tentang perdamaian, cinta, kasih, dan optimisme.
Optimisme
Jika dengan menulis sekian puisi sseorang layak disebut penyair, maka SBY adalah penyair optimis. Sajak-sajaknya bersuara pelan namun tegas, memberi pesan-pesan kekuatan dan kesabaran. SBY sadar posisinya sebagai presiden. Puisinya menampilkan wejangan dan penguatan kepada pembaca, yang tentu saja, ia anggap sebagai ‘rakyat’ yang mesti mendapat perhatian dan dukungan.
Puisi berjudul Demi Waktu mengagetkan kita perihal naluri estetik SBY. Puisi ini cenderung bersuasana sendu, sunyi. Simaklah:”Bulan di atas perahu/sendu//cemara di kaki gunung/termenung//…/Kutahu waktu menjanjikan berkah/Kuburu, pantang menyerah/Apalagi pasrah (hlm.14).
SBY seolah tak ingin terjebak dalam sajak-sajak bernada pesimistis. Kesadaran sebagai pemimpin panutan larut dan menyatu dalam sajak-sajaknya. Pun ketika bencana sedang melanda Indonesia. SBY tak lupa merekam pelbagai kejadian ke dalam puisi.
SBY berdoa di dalam puisi. Puisi Dalam Duka Kami Bangkit mengajak pembaca ikut merasakan kesedihan SBY sebagai manusia saat melihat negaranya tersapu bencana. Simaklah: ”Tetapi, Ya Rabbana/ kami tak pernah menyerah/ dalam pasrah, dan bukankah dalam musibah/ selalu ada berkah…” (hlm.25).
Pesan-pesan optimisme memang bertebaran dalam kumpulam puisi ini. Dalam pengantarnya, Putu Wijaya menilai “SBY telah merasakan potensi puisi, lalu memberdayakannya untuk memaparkan pikiran dan renungannya sebagai presiden dalam memimpin bangsa berjuang mengutuhkan kembali karakter yang retak”. Bait-bait puisi berisi petuah presiden kepada rakyatnya.
Politis
Di sisi lain, kita tak boleh lupa SBY adalah seorang politisi. Kiprah politik tentu merangsang gesekan kepentingan dengan lawan politik. Sebagai politisi, SBY tak lepas dari geliat kompetisi politik. Beberapa puisi menyiratkan sindiran-sindiran politis. Sindiran dalam puisi tentu tak berisi ujaran sarkastik. Medium puisi ‘memaksa’ SBY menata secara teratur kata yang hendak dipakai sebagai representasi pikirannya.
Kita mafhum, betapa kritik dan serangan politik kadang terasa begitu menusuk. Sewajarnya pula jika respons SBY dalam puisinya sarat akan satire. Kita bisa menera bagaimana kecamuk suasana hati SBY pada tanggal 28 Juli 2008. Tiga puisi lahir dalam sehari: berjudul Siapa Salah, Harus Menghujat, dan Populer, berisi satire politis yang tajam. Simaklah puisi Harus Menghujat:”Mereka menuding, keras, serempak/ “Mana tanggung jawabmu”/Mau ngomong apa kamu?’//Aku mengambil corong/ Berdiri//Mereka pergi” (hlm.98). SBY mengkritik sikap para lawan politik yang hanya mengkritik di belakang.
Begitu pula ketika sederet demonstrasi terjadi di era pemerintahannya. SBY bagai tak kuasa menahan getir di hati saat unjuk rasa berakhir bentrokan dan perusakan sarana umum. Baginya, demokrasi tak boleh berujung pada aksi vandalisme. Dalam puisi berjudul Taksi Jakarta, SBY menulis:”Inikah demokrasi/ dan kebebasan yang tidak terbatas?/ Tidak bisakah orang berunjuk rasa tanpa merusak?/ Adakah pula mereka yang beringas itu juga korban/ dari tangan-tangan serakah… (hlm. 119)
Membaca puisi-puisi SBY kita bakal dihadapkan pada peleburan kesadaran seorang presiden-politisi-manusia biasa yang merasuk-menyatu dalam sajak. Meski tak bisa dielakkan, ada sedemikian pencapaian estetik yang muncul dalam puisinya. Ketika SBY menulis tentang kerinduan dan cinta (puisi “Kangen” dan “Pelabuhan Terakhir”), misalnya.
Puisi, bagi SBY, barangkali tak didefinisikan sebagai karya seni semata. Puisi adalah penjelmaan sikap, pemikiran, rekaman kesan-kesan saat kunjungan, serta ‘jalan lain’ menyuarakan pesan selaku presiden, politisi, juga sebagai manusia tak berjabatan.
Cara terbaik menyambut kehadiran buku ini, sepatutnya, dimulai dari ‘kerelaan’ untuk tidak memusatkan penilaian pada pencapaian estetika dan imajinasi semata. Namun lebih sebagai ‘kenang-kenangan’ buah pikir SBY semasa menjabat presiden. Sependapat dengan Gus Mus, “Petinggi negeri menulis saja sudah merupakan sesuatu yang langka…”. Apalagi presiden. []

Dimuat di koran Jawa Pos, 21 September 2014