Senin, 28 Desember 2015

Etos Kaum Sarjana

 Di Indonesia, orang-orang bergelar sarjana sudah ada sejak puluhan tahun silam. Mereka menempuh kuliah dan meraih gelar sarjana sebagai misi mendongkrak harkat dan martabat bangsa. Dulu, sarjana adalah orang-orang terpilih. Mereka kerap digadang-gadang menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka ada untuk menjalankan misi keberaksaraan, nasionalisme, dan revolusi Indonesia. Sukarno, Hatta, Frans Seda, untuk menyebut beberapa cobtoh, adalah sarjana di masa lalu yang sanggup mewariskan pemikiran dan sumbangsihnya kepada negara.
Bergelar sarjana bukan tanpa risiko. Di zaman kolonial, menjadi sarjana adalah siasat mempersiapkan manusia-manusia pengisi kemerdekaan. Capaian gelar sarjana tentu membuktikan betapa kaum bumiputera tak lebih rendah dari penjajah. Tak pelak, sarjana di zaman itu mesti berhadapan dengan penguasa kolonial. Karena kepandaiannya, sarjana kerap dirayu untuk ikut berpihak pada kepentingan kolonial. Godaan kaum sarjana bisa berupa tawaran proyek, jabatan, dan kekuasaan.
Cindy Adams (1966:95) mencatat pengisahan Sukarno saat berkeputusan menolak rayuan kolonial pasca bergelar sarjana. Kepandaian Sukarno di bidang arsitektur telah memukau gurunya, seorang warga Belanda. Pasca lulus kuliah, Sukarno diajak bekerja sama dalam proyek pembangunan rumah untuk kepentingan para pegawai kolonial. Sukarno pun menolak tegas, ia punya keyakinan ideologis terkait penolakan itu.
“Pemuda sekarang harus merombak sebiasaan untuk mendjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnja. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama-lamanja.” Sukarno memilih tak mendapat kerja ketimbang berpihak pada penjajah. Padahal, saat itu, untuk membeli gula pasir saja Sukarno tak mampu. Godaan seorang sarjana di masa lalu berkaitan dengan sikap dan pandangan politik. Mereka yang tak tahan godaan bakal terseret ajakan kolonial, yaitu dipekerjakan untuk urusan-urusan kolonial dan, tentu saja, dicap pengkhianat di kalangan pejuang dan aktivis kemerdekaan.
Waktu terus berlalu, tantangan kaum sarjana terus berubah. Pasca Indonesia merdeka, para sarjana mesti menentukan pilhan, melanjutkan etos kesarjanaan atau apatis sepenuhnya dan memilih berkarir demi urusan pribadi. Tak bisa dimungkiri, selepas studi, kaum sarjana dibayangi tuntutan untuk lekas bekerja, berpenghasilan cukup, serta berumahtangga.
Namun, selalu saja muncul tokoh-tokoh yang dengan keteguhan idealismenya tak ingin cepat-cepat berlabuh pada dermaga bernama pragmatisme demi urusan personal. Pilihan untuk terus bergelayut dalam idealisme dan intelektualisme ditempuh oleh Soe Hok-Gie. Bulan Desember adalah bulan peringatan Soe Hok Gie. Ia lahir 17 Desember 1942 dan wafat 16 Desember 1969.  Semasa mahasiswa, Gie menempatkan diri sebagai pemanjat gunung, aktivis, serta pembaca buku yang tekun. Ia tegas menjunjung moral, serta lantang menebar kritik pada penguasa.
Menjelang akhir masa kuliah, Gie sadar atas pilihan hidup yang bakal ia pilih. Gie tak sempat bimbang memilih jalan hidup pasca bergelar sarjana meski dihadapkan pada beberapa pilihan: Kerja di fakultas sambil jadi wartawan bebas; pergi ke luar negeri, atau kerja di fakultas dan mulai membuat karier lain (1983:303). Gie tak ingin terseret arus uforia politik kekuasaan pasca keruntuhan rezim Sukarno, seperti pilihan teman-temannya yang lain. Gie memilih bersetia pada jalan yang memungkinkan baginya untuk tetap independen dan kritis.
Jika Gie mantap menatap pilihan karier, dilema justru dialami Ahmad Wahib, intelektual muda Islam era 1970an. Wahib bimbang ketika harus mengimbangi antara pilihan memperbanyak jenjang studi dan tuntutan ekonomi. Saat itu, Wahib mendekati akhir masa kuliah. Ia pun berhasrat menambah waktu berkuliah demi mempelajari bidang-bidang politik, sosial, agama, dan kebudayaan umumnya.“Tapi untuk semua itu harus ada tempat tinggal yang memadai dan…uang tentu saja” (1981:314).
Ambisi berintelektual terganjal urusan uang dan tempat tinggal. Wahib pun berkeputusan memilih jadi wartawan, berdalih keterawatan nalar kritis. Tahun 1973, Wahib meninggal di usia muda akibat sebuah kecelakaan. Kita bersyukur Wahib “sempat” mewariskan catatan hariannya sebagai hasil pemikirannya yang cemerlang itu. Kini, kita mengenang Wahib sebagai tokoh muda sang pembaharu Islam.
Kisah para sarjana di masa lalu mengingatkan kita perihal dilema kaum sarjana. Cerita menyedihkan terus bertambah saat rezim Orde Baru berulah melancarkan pembungkaman dan penyeragaman. Ideologi pembangunanisme menciptakan elitisme bagi para sarjana. Kebebasan berpikir terkubur di sumur peraturan. Bergelar sarjana telanjur disalahmaknai sebagai jaminan berpekerjaan enak dan berstatus sosial tinggi. Bergelar sarjana memang prestisius meski tak menjamin hidup berkelimpahan materi.
“Nasib sarjana digariskan oleh politik tanpa pemerdekaan peran dan misi. Pengondisan ini mengingkari jejak-jejak intelektualitas saat para penggerak bangsa mendefinisikan Indonesia” (Mawardi, 2014). Ironisme sarjana pun semakin marak, dari plagiarisme, pragmatisme, hingga diletantisme akademik. Pemaknaan sarjana berakhir pada adegan berfoto bersama keluarga dan teman-teman saat wisuda.
Uforia menghadiri wisuda bakal berganti kecemberutan saat sarjana dihadapkan pada kenyataan perihal sempitnya lapangan kerja. Keberlimpahan sarjana justru tampil saat acara-acara bertema “job fair”. Mereka berdesak-desakan menyerbu lowongan kerja. Wajah-wajah pucat mengiaskan nasib sarjana sedang limbung. Kita pun semakin kehilangan jejak etos kesarjanaan mengacu Sukarno, Soe Hok-gie, dan Ahmad Wahib.  []


Dimuat koran Wawasan, 29 Desember 2015

Minggu, 20 Desember 2015

Kisah Para Pejuang Menentang Kekuasaan

Persinggungan dengan kekuasaan memang kerap memicu konsekuensi rawan. Mereka yang memilih menentang kekuasaan mesti sadar atas risiko tersebut. Kedigdayaan kekuasaan ibarat amuk badai. Para penentang itu mesti siap jika suatu saat dihempas badai kekuasaan sebagai konsekuensi perlawanan. Kekuasaan sanggup menghilangkan jejak dan ingatan, melempar para penentangnya ke pingggiran zaman, ke sudut-sudut mematikan.
Dalam konteks inilah, buku Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran Soe Hok Gie sampai Putra Sang Fajar Bung Karno (2015) karangan Daniel Dhakidae menghadirkan lacakannya terkait peran yang dimainkan oleh tokoh-tokoh yang dalam hidupnya berkeputusan untuk berhadapan dengan kekuasaan. Daniel “menangkap momen hidup seseorang, melihat mengapa momen itu penting bagi dirinya”. Dalam artian, “sekiranya tiada momen itu dalam seluruh konteks historisnya, seorang akan melalui jalur yang normal saja”. Daniel pun merunut faktor “apa yang mengubah jalur itu” (hal.xi).
Untuk menjelaskannya, Daniel membagi buku ini dalam tiga kerangka besar. Pertama, keberkuasaan mereka yang tak berdaya, powerfullnes of the powerless. Daniel memberi perhatian kepada tokoh-tokoh yang dalam ketidakberdayaannya justru sanggup menggetarkan dunia sekitar dan pusat kekuasaan. Adalah Soe Hok Gie, pemuda idealis penyeru kritik atas kekuasaan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin. Kita mengenal Gie sebagai pemuda tukang protes, moralis, serta pembaca buku yang ambisius.
Gie tentu saja tak memenuhi syarat untuk disebut sebagai individu yang berkuasa. Namun, Gie berani menulis kritik dan makian, tertuju pada penguasa. Ia turun ke jalan demi menggerakkan demonstrasi mahasiswa, menuntut penggulingan Sukarno dari ranjang kekuasaan. Sikapnya itu, dalam istilah Daniel, semacam praktik sadisme intelektual.
Di sisi lain, bagi Daniel “kekuasaan” yang dimiliki Gie, dalam kapasitasnya sebagai pengkritik dan pemantik sumbu perlawanan di kalangan mahasiswa, sangatlah ironik. Gie ibarat dilema bagi zamannya. Ia “senantiasa dikagumi, dipuja dan dipuji, tetapi dalam dirinya dia sebenarnya orang yang ditolak dalam setiap lingkungan yang dia masuki”(hal.96). Gie sanggup menyerang jantung kekuasaan, yang oleh karenanya dibanggakan oleh kawan seperjuangan namun sekaligus ditolak karena sikap kritisnya yang tak pandang pihak.
Kedua, keberkuasaan kaum yang terbuang, power of the outcasts. Keberkuasaan tokoh-tokoh yang oleh negara dicap sebagai penjahat, kaum durjana, dan juru kriminal. Dalam pembahasan ini, Daniel mengajak pembaca bertamasya ke masa silam, membuka kembali catatan dan berita di masa lalu. Daniel mengisahkan sosok Kusni Kasdut yang sangat mungkin saat ini sudah hilang dari ingatan publik.
Kasdut dikenal sebagai pejuang di era kemerdekaan namun bernasib apes. Bertahun-tahun melakoni hidup sebagai pembela Republik, Kasdut justru tak diakui sebagai tentara Indonesia. Sejak itu, Kasdut “memutuskan untuk membalas dendam kepada negara yang “mengkhianati” dirinya dan memilih tempat “bersebarangan” dengan negara yaitu dengan menjadi penjahat” (hal.223).
 Kekecewaan itu termanifestasikan lewat serangkaian aksi pemberontakan dan perampokan. Lakon pejuang apes itu pun berakhir dalam petaka. Tahun 1980, Kasdut dieksekusi mati. Daniel menyebut perjumpaan Kasdut dengan kekuasaan “membawanya ke dunia hitam, dan karena menerjang badai menemui ajalnya” (hal.235).
Ketiga, ketidakberdayaan mereka yang mampu, powerless of the powerfull. Mereka yang memiliki daya, berilmu tinggi, dan banyak pendukung, belum tentu tangguh di hadapan kekuasaan. Kisah tragis itu menimpa Sukarno. Hidup sebagai aktivis-nasionalis di era kolonial tentu menanggung risiko tak sederhana, dari penangkapan, pemenjaraan, hingga pembuangan. Sukarno mungkin sadar atas risiko menjadi aktivis kemerdekaan meski tak menyangka bakal tak kuasa menahan serangkaian teror dan intimidasi dari pihak kolonial.
Pada 31 Juli 1933, pasca pembacaan pledoi Indonesia Menggugat, untuk kedua kalinya, Sukarno kembali dipenjara. Belanda sukses meruntuhkan keteguhan Sukarno karena tak bisa membela diri lagi, dan semua itu dihadapinya sendiri tanpa dukungan pembela-pembelanya. Sukarno pun dibuang ke pengasingan di Ende, Flores. Peristiwa ini telah membuat Sukarno “menjadi jinak, bisa dikendalikan ke mana saja para penguasa mau, dan takluk. Karena itu tekanan-tekanan yang diperoleh dalam interogasi menghancurkan perlawanan Sukarno”(h.381).
Selain ketiga tokoh di atas, Daniel juga membahas tokoh-tokoh lain yang dalam hidupnya pernah mengambil sikap berbeda terhadap kekuasaan, seperti Pramoedya Ananta Toer, Frans Seda, Mohammad Hatta, Sam Ratulangi, hingga Gus Dur. Meski pada mulanya naskah asli buku ini ditulis bukan demi satu kepentingan yang sama, Daniel sanggup merangkainya ke dalam satu kerangka teori yang kokoh.
Dalam uraiannya, terbaca jelas keterpengaruhan Daniel pada pemikiran Michel Foucault, yaitu dari tulisannya yang berjudul The Infamous Men, dan Pierre Bourdieu, terkait relasi-relasi dalam proses produkasi dan hal-hal di luar proses kreatif (The Field of Power, Literary Field, dan Genesis of the Producers Habitus).

Penjelajahan Daniel menelusuri saling kait antara sejarah, biografi, dan konteks sosial, berhasil membeberkan keputusan dan peran yang dimainkan oleh para tokoh dalam konfrontasinya dengan kekuasaan. Rentang waktu tiga puluh tahun penulisan naskah buku ini membuktikan keseriusan dan ketekunan Daniel dalam menyuntuki wacana kekuasaan di Indonesia, bereferensi ketokohan para penentang kekuasaan.[]

Dimuat Koran Jakarta, 21 Desember 2015

Kamis, 19 November 2015

Diorama Puisi Cinta

: 80 Tahun W.S. Rendra (7 November 1935 – 7 November 2015)

Sejak dulu, penyair jadi pengisah paling ulung perihal bait-bait romantis. Lewat puisinya, penyair seperti tak pernah bosan menarasikan romantisme cinta dalam pelbagai perspektif dan persoalan. Selain bersifat universal, konon tema itu dianggap paling diminati pembaca. Di Indonesia, kita bisa mengajukan W.S. Rendra (1935-2009) sebagai satu di antara sekian banyak penyair yang, dengan intensitas tinggi, pernah menggarap tema cinta ke dalam puisi-puisinya.
Beberapa bulan silam terbit buku Puisi-Puisi Cinta (2015). Buku itu memuat sejumlah puisi Rendra yang selama ini belum pernah dibukukan. Penerbitan buku menjadi istimewa karena menampilkan puisi awal masa kepenyairan, yaitu kisaran tahun 1950-an. Puisi yang ditulis pada tahun-tahun itu memang menandai gairah Rendra sebagai anak muda yang kerap terjerat asmara. Cinta dalam pengisahan Rendra adalah kristalisasi pelbagai kisah, pengalaman, dan trauma.
Lelaki bertampang flamboyan itu memang kerap jadi bunga bibir di antara teman-teman perempuannya. Kita bisa menilik kesaksian Umar Kayam (2000) sebagai pembuktian ketenaran dan pesona Rendra saat itu:”Rendra adalah seorang yang manja (mungkin juga biasa dimanjakan) dan sangat playful, bercumbu dengan cewek-cewek yang memang tidak dapat lain daripada tersedot oleh karismanya…” Bagi Rendra, menulis puisi bisa dimungkinkan sebagai pelampiasan dan pengisahan atas lika-liku kisah cintanya.
Tahun 1950-an, Rendra sedang mengalami masa-masa pubertas. Hal itu terwujud dalam puisi-puisi yang kerap berisi teks-teks bernada rayuan, godaan, serta optimisme berlebihan, khas anak muda. Puisi berjudul Optimisme berhasil merekam keyakinan Rendra muda atas getar-getar cintanya saat itu. Berikut petikannya: Cinta kita berdua/ adalah istana porselen./ Angin telah membawa perdamaian/ membelitkan kita dalam pelukan. Perspektif Rendra dipenuhi simpul-simpul optimisme, meski, seperti halnya “porselen” yang anggun, begitu ringkih dan gampang pecah.
Saat Rendra berstatus siswa kelas 2 SMA, kisah tragis juga pernah menimpanya. Rendra kehilangan sang kekasih akibat sebuah kecelakaan maut. Tragedi itu membuat hari-hari Rendra berkabut dan penuh kekalutan. Traumanya mengkristal, melahirkan puisi berjudul Bunga Gugur. Penulisan puisi itu tentu dimaksudkan untuk mengenang kepergian pujaan hati sekaligus ekspresi kedukaan. Rendra menulis: Bunga gugur/ di atas tempatmu terkubur/ gugurlah segala hal ihwal antara kita. Puisi bertitimangsa “Solo, 1954” itu menyiratkan kepasrahan, menampilkan bentangan imajinasi dan romantisme Rendra meski teks-teks yang ia hadirkan terasa begitu terang.
Mengisahkan Peristiwa
Detik demi detik berlalu, perjalanan cinta Rendra terawetkan lewat puisi. Hingga bersandarlah kemudi cintanya pada Jeng Narti, perempuan yang kemudian disunting menjadi istri. Dalam buku Empat Kumpulan Sajak (1961), Rendra terang-terangan memberi persembahan kepada Dik Narti:”Bagi Dik Narti/ Istriku/ Mataair sajak-sajakku”. Puisi jadi kado mulia, membuktikan keteguhan dan keyakinan yang kokoh.
Puisi ikut mengabadikan momen-momen romantis, mengajak pembaca ikut tersihir dan merasai. Dalam puisi Surat Cinta, Rendra secara eksplisit mengimajinasikan adegan romantis saat ia meminang Jeng Narti: Kutulis surat ini/ kala langit menangis/ dan dua ekor belibis/ bercintaan dalam kolam/ bagai dua anak nakal/ jenaka dan manis/ mengibaskan ekor/ serta menggetarkan bulu-bulunya./ Wahai, Dik Narti,/ kupinang kau menjadi istriku!
Rendra berhasil menggambarkan romantisme saat melamar Jeng Narti, tanpa terjebak ungkapan klise. Puisi tak lagi berisi letupan-letupan gejolak kawula muda yang banal dan cenderung sesaat. Kita bisa ikut “tersedot” saat membaca puisi Kangen. Rendra merayu pembaca ikut luruh dalam imajinasi kerinduan yang menekan dan menghimpit. Simaklah: Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku/ menghadapi kemerdekaan tanpa cinta/ kau tak akan mengerti segala lukaku/ kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Pergulatan Rendra pada teks-teks puisi bertema cinta lambat laun mengalami jeda akibat tergoda mencicipi tema-tema kritik politik, sosial, dan budaya. Puisi-puisinya justru nyaring di atas mimbar, menyuarakan protes dan perlawanan. Rendra kian mentereng sebagai penyair penentang rezim Orde Baru. Seruan puisi “pamflet masa darurat” mengundang orang-orang untuk kagum serta memberi cap penyair perlawanan kepadanya.
Sekian waktu berlalu, Rendra tak lagi mendefinisikan cinta sebatas hubungan antarmanusia. Pengimajinasian cinta justru mengarah pada ikhtiar pengendapan diri dalam jagat religiusitas dan keilahian. Puisi Tuhan, Aku Cinta pada-Mu telah memungkasi narasi cinta Rendra dalam kisahan puisi-puisinya. Rendra menulis penuh takzim: Aku ingin kembali ke jalan alam/ Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.// Tuhan, aku cinta pada-Mu.
Puisi telah meriwayatkan narasi cinta Rendra, dari masa ke masa. Temuan puisi terakhir itu membuktikan pemaknaan dan pengisahan tema cinta di dalam puisin Rendra terus mengalami peralihan. Penerbitan buku-buku yang memuat warisan puisinya yang tak terpublikasikan jadi pelengkap khasanah referensi pembaca agar kerja penafsiran tak terjadi bolong-bolong.
Membaca dan menafsir ulang puisi-puisi Rendra tak lain jadi pengingat kiprah ketokohan Rendra, yang tahun ini memasuki usia 80 tahun, yaitu pada 7 November silam. Rendra telah membuktikan betapa “usia cinta lebih panjang dari usia percintaan”. Dan usia puisi memang lebih panjang ketimbang penyair. []

Dimuat di Edaran Ora Weruh Nomor 6 Tahun IV 2015



Gelar dan Etos

 Di Indonesia, gelar (akademik) kerap jadi kebanggaan. Gelar itu diraih dari usaha dan pengorbanan. Orang-orang menghabiskan waktu sekian tahun dan uang jutaan rupiah berpamrih mendapat asupan ilmu pengetahuan dan gelar. Ilmu jadi bekal menghadapi masa depan yang penuh teka-teki. Dan gelar, dibuktikan dengan ijasah, jadi “kendaraan” ketika melewati pelbagai persyaratan melamar kerja. Gelar ikut menentukan pekerjaan seseorang. Ada banyak pekerjaan yang mewajibkan seseorang memiliki gelar tertentu jika ingin menempatinya.
Sudah sepantasnya pula orang-orang berjuang meraih gelar sarjana, doktor, hingga profesor, berdalih pamrih keilmuan. Raihan gelar itu diharapkan mampu menandai tingkatan ilmu, daya saing, hingga etos akademik. Namun, pergerakan zaman ternyata mengubah perspektif publik terkait gelar. Gelar tak lagi jadi penjamin tingkatan kualitas akademik. Gelar menjadi penanda status sosial. Tak sedikit jumlah mereka berburu gelar sebagai pemenuh ambisi jabatan. Gelar pun turut menentukan tambahan penghasilan.
Mereka yang mulus mendarat di kursi jabatan baru kerap abai pada hakikat manusia akademik: bermisi ilmiah dan intelektual. Ganjaran gaji dan tunjangan jarang tersalurkan untuk membeli buku sebagai bagian dari kewajiban laku kaum terdidik bergelar. Mereka justru memilih untuk mengutamakan pemenuhan ambisi bermobil, berumah mewah, berbaju mahal, serta bertelepon serba canggih.
Gelar malah memunculkan kebanggaan berlebih, mengarah pada sikap-sikap feodalistis. Hal ini terbaca dalam lacakan Nirwan Ahmad Arsuka, penulis sekaligus pemikir kebudayaan kontemporer, lewat pidato kebudayaan berjudul “Percakapan dengan Semesta”, yang ia dibacakan di Teater Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 Noveber 2015. Forum itu dipersembahkan oleh Dewan Kesenian Jakarta, dan pernah menghadirkan tokoh-tokoh intelektual tersohor, sebut saja B.J. Habiebie, Ignas Kleden, Umar Kayam, Hilmar Farid, hingga Karlina Supeli. Sebuah momentum yang sengaja dimanfaatkan untuk merefleksikan permasalahan budaya di negara ini, dari kacamata para intelektual, budayawan, hingga seniman.
Dalam pidatonya, Nirwan menyoroti kemelorotan ilmu pengetahuan di tengah masyarakat, terutama terkait pseudo-nalar (nalar semu/palsu) yang mengindapi para akademisi kita. Dan, satu di antara sekian penyebabnya, dalam amatan Arsuka, justru berasal dari perguruan-perguruan tinggi. Lembaga ilmiah itu dianggapnya perlahan beralih menjadi tempat pemujaan gelar akademik semata.
Ikhtiar melakoni gelar dengan pertanggungjawaban diri, kian hari semakin memudar. Gelar akademik justru ibarat pakaian kebesaran ala bangsawan, mesti terus disebut sepenuh takzim. Pemujaan terhadap gelar telah melebihi etos dan produktivitas. Apa yang diargumentasikan oleh Arsuka menemukan pembuktiannya ketika kita menengok kampus-kampus, kantor pemerintahan, serta kelakuan elit politikus negeri.
Percakapan antar akademisi jarang menyinggung permasalahan kebangsaan, keilmuan, kajian, serta perkembangan isu dan wacana kontemporer. Obrolan itu justru dianggap elitis dan sok-sokan. Perjumpaan dengan para politisi pun tak jauh berbeda. Mereka hanya sesumbar perihal janji-janji klise diiringi pandangan politik pragmatis.
Dari peristiwa itu, kita mafhum betapa urusan gelar melulu menyangkut kebanggaan, kewibawaan, dan pencitraan—bukan tanggung jawab moral-intelektual. Maka ketika Terry Mart, fisikawan Universitas Indonesia, melontarkan kritik tajam lewat tulisan berjudul Menggugat Kinerja Profesor (Kompas, 11 November 2015), kita pun tersentak: kemunduran etos sudah mencapai level kaum profesor!
Terry Mart mendakwa hasil penelitian para profesor di Indonesia masih bermutu rendah. Para profesor itu dianggap terlalu mengasingkan diri dari pergaulan internasional. Mereka mendefinisikan sendiri pemaknaan riset beserta standarisasinya. Akibatnya, ketika disandingkan dengan standar kualitas keprofesoran internasional, negara kita masih jauh tertinggal.
Temuan Terry ini pun melanjutkan seruan Darmanto Jatman, penyair sekaligus budayawan, yang termuat di koran Manunggal (edisi 10/th VI/April/1987). Darmanto menganggap ikhtiar menempuh tahap-tahap menjadi guru besar ibarat kerajinan mengumpulkan kum, tak lagi mengutamakan mutu. Hal tersebut, menurutnya, dipicu oleh masyarakat kita masih memiliki “budaya yang meremehkan mutu, mempermuliakan kedudukan”. Perilaku yang menurut Darmanto sebagai kemacetan budaya.
Pelbagai kritik itu pun menjadi peringatan bagi dunia pendidikan kita, terutama atas kejumudan etos kaum bergelar di republik ini. Kita memang sedang dilanda krisis etos. Orang-orang berantusias untuk bersekolah tinggi tapi enggan merawat etos dan gairah sebagai manusia pembelajar. Hasilnya, persis seperti apa yang telah diwasiatkan Nirwan Ahmad Arsuka dan Terry Mart.
Untuk itu, mari sejenak merenungkan kembali petuah Soekarno (1951) saat menerima gelar doktor kehormatan di Universitas Gadjah Mada:“Sudahkah saja berdjasa besar? Apalagi berdjasa jang bermanfaat bagi hidupnja dan suburnja ilmu pengetahuan?” Hari ini, siapa masih ingat pesan Soekarno?[]

Dimuat koran Wawasan, 20 November 2015


Senin, 02 November 2015

Agar Cerita Tak Sebatas Monumen Kesedihan

Cerpen bisa dimaksudkan bukan semata-mata demi pewujudan ide dan imajinasi. Tak jarang, cerpen diciptakan sebagai usaha membingkai ingatan dan kesaksian. Korban geger 1965, misalnya. Cerpen memberi ruang bagi mereka untuk mengisahkan kegetiran hidup, depresi, serta perlawanan atas diskriminasi akibat stigma komunis, dengan cara lebih kreatif.
Pilihan itu ditempuh Gunawan Budi Susanto lewat penerbitan buku Penjagal Itu Telah Mati. Cerpennya tampil sebagai mimbar pengisahan diri, berisi ingatan dan gugatan. Episode mengharukan berlatar kisah keluarga dalam pusaran geger 1965 hadir sebagai cerita utama. Keputusan untuk menampilkan korban dalam relasi keluarga tentu tak lepas dari pengalaman hidupnya.
Dalam gegeran itu, Gunawan “kehilangan” bapaknya, dan sampai kini belum juga ketahuan di mana kuburnya. Tentu saja bukan hal mudah baginya untuk melewati bertahun-tahun lamanya dengan stigma “anak PKI”. Kita tahu, Orde Baru begitu buruk mencitrakan dan memandang mereka.
Maka, empat belas cerpen dalam buku ini bisa jadi cara Gunawan mengurangi beban berat trauma di masa lalu. Gunawan secara terang dan jelas menahbiskan cerpennya sebagai mimbar pengisahan dari perspektif korban. Kita bisa menelusuri imajinasi kesedihan yang ditanggung oleh korban lewat kisahan tokoh dalam cerpen-cerpen ini.  
Buku diawali dengan cerpen Di Kubur Manakah Kautemukan Tubuhku. Cerpen itu berkisah tentang penemuan kuburan korban geger 1965. Gunawan menghadirkan imajinasi kegelisahan arwah seorang korban saat mengetahui kuburan yang menyimpan jasadnya ditemukan.
Penemuan itu tak disangka menerbitkan dilema dan kecamuk.“Namun, jangan paksa aku mengakui itulah tubuhku. Jangan paksa aku” (hal.3). Cerpen ini menyiratkan informasi betapa berat kekerasan yang menimpa tokoh “aku” sebelum akhirnya mati terbunuh, hingga arwah mereka pun “enggan” mengakui jasadnya. 
Kita bisa ikut membayangkan pengimajinasian cerpen tersebut lewat sekian film dan buku. Film Jagal: The Act of Killing dan The Look of Sillence karya Joshua Oppenheimer menampilkan dengan gamblang betapa mengerikan kejahatan kemanusiaan terjadi saat itu. Juga buku hasil lacakan majalah Tempo berjudul Pengakuan Algojo 1965 yang secara runtut menarasikan bagaimana genosida terjadi, dari perspektif para pelaku.
Tak jarang apes juga menimpa mereka yang tak terlibat. Cerpen Penjagal Itu Telah Mati mengisahkan keterlibatan seorang awam saat gegeran itu terjadi. Ia dijebloskan ke Pulau Buru hanya karena sebuah gumam. Ia menyangsikan kenapa “penjagal” itu melibas semua orang yang dianggap bagian dari “kaum merah”. “Mereka pun mengenal Tuhan?” Gumamnya saat menyaksikan pembantaian itu terjadi. Masa itu, bergumam perihal orang-orang komunis bisa membuat siapa pun masuk bui.
Jejak Kesaksian
Lewat kumpulan cerpen inilah kita bisa membaca jejak-jejak kesaksian Gunawan dalam mengisahkan kembali apa yang ia rasakan sebagai korban. Sekian cerpen secara khusus berkisah tentang pencarian tokoh “bapak”. Dalam cerpen Luka Itu Terperam Dalam-dalam kita seperti membaca ungkapan batin pribadi Gunawan.“Bahkan sekarang pun saya belum bisa menjawab pertanyaan anak saya, yang tak mengerti kenapa kami tak pernah nyekar ke makam kakek mereka” (hal.107).
Begitu pula dalam cerpen Sudahi Saja Kisah Lapuk Itu. Cerpen ini berkisah tentang tokoh “aku” yang kerap menerima komentar bernada ancaman setiap mengunggah pengalaman hidupnya, terkait bapak yang “hilang”, di media sosial. “Ya, ya, justru ketika aku berterang-terang menyatakan Bapak mati dibunuh dan sampai sekarang kami tak pernah tahu di mana dikuburkan, mereka menatapku dengan pandangan entah jijik, ngeri, nanar, atau penuh kebencian” (hal.138).
Dari pengisahan cerpen-cerpennya, kita tentu menduga Gunawan menulis cerpen sepenuhnya bereferensi pengalaman hidupnya yang pahit, sebagai korban. Seolah tahu pembaca bakal mengajukan dugaan tersebut, Gunawan sigap memberi “jawaban” yang terselip di dalam dialog sebuah cerpen berjudul Luka Itu Terperam dalam-dalam. “Cerpen saya memuat sedikit saja fakta yang kami atau orang-orang yang kami kenal alami sebagai basis penceritaan. Semua saya ungkap dari sudut pandang korban: yang dikalahkan dan terus-menerus disalahkan” (hal.106).
Satu hal yang perlu kita catat dari kisah-kisah dalam buku ini: Betapa sulit bagi siapa pun untuk berkata jujur kepada publik, untuk sekadar mengaku bahwa ia adalah termasuk korban dari peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia ini. Bukankah sampai hari ini masih saja kita temui kelompok yang tak menghendaki adanya rekonsiliasi?
Namun, berangkat dari kisah nyata atau pun tidak, jika terkait pembacaan sebuah cerpen, hal itu sebenarnya tak terlalu menjadi soal. Cerita yang menarik tak ditentukan oleh karena hal itu nyata atau tidak. Toh, menukil Radhar Panca Dahana (2001), “pembaca sebenarnya diam-diam, disadari atau tak, lewat sejarah membacanya, ia telah menyusun strategi, kuda-kuda bahkan pamrih yang—kadang—berlebih ketika mengapresiasi karya sastra.”
Bagi pembaca yang menaruh perhatian pada isu-isu sejarah dan hak asasi manusia, buku ini tentu wajib dibaca dan dikabarkan ke publik sebagai bagian dari misi kemanusiaan. Berbeda dengan pembaca yang menganggap gaya, cerita dan eksplorasi imajinasi adalah kenikmatan utama dalam membaca sebuah cerpen ketimbang pesan yang disampaikan pengarang. Buku ini, tentu saja, kurang begitu menarik, juga monoton.
Hal itu lantaran 14 cerpen dalam buku ini sepenuhnya berkutat pada paragraf-paragraf berisi cerita-cerita merindingkan perihal keganasan sebuah rezim dan perilaku paling purba manusia pada sesama. Bahwa menulis cerpen dengan gaya memoar adalah strategi Gunawan menumpahkan kesaksian dan pengalaman hidupnya, itu tidak jadi soal. Pertaruhannya kemudian, dapatkah cara menulis seperti itu sanggup memadukan antara kesaksian dan pengalaman hidup, untuk kemudian mengolahnya dalam satu olahan imajinasi, kesegaran berbahasa, serta siasat bercerita yang memikat, sehingga menghasilkan citarasa cerita yang menarik, tidak hanya dari segi isi, juga bagaimana cerita itu dikemas. Tentunya agar kesaksian dan ingatan itu tak sekadar jadi monumen kesedihan belaka.
Tak mudah, memang. Dan, karena buku ini dimaksudkan sebagai kumpulan cerpen, di sinilah kelemahan Gunawan. Hasrat untuk mengajukan kisah kesaksian dalam perspektif korban ternyata melebihi kesadaran untuk mempertimbangkan, betapa cerpen tak semata isi dan pesan yang mesti disampaikan kepada pembaca. Tak menjadi soal bahwa cerpen-cerpen Gunawan dimungkinkan untuk dijadikan sebagai “varian rekonsiliasi pada tataran antarindividu”. Tetapi, tentu saja, pembaca punya kebebasan untuk bersepakat, atau menolaknya. []

Diedarkan dalam bundel Kelab Buku edisi 8, Oktober 2015.