Rabu, 14 Mei 2014

Dari Avonturir (Sastra) Dunia untuk Desa



Untuk ke sekian kalinya, beberapa hari silam, saya berkunjung ke rumah Sigit Susanto di Boja, Kendal. Tidak setiap hari saya bisa menemuinya. Ia menetap di Swiss, dan hampir setiap tahun menyempatkan pulang demi sebuah hajatan sastra tahunan yang ia gagas bersama rekan-rekannya. Kepulangannya pun tak sebatas melepas kerinduan. Parade Obrolan Sastra tahun ini memasuki sesi ke VII. Beberapa tokoh sastra kenamaan pernah menghabiskan malam dalam acara ini, sebut saja Saut Situmorang, D. Zamawi Imron, Agus Noor, Ahmad Tohari, Martin Aleida, F. Rahardi, I Wayan Sunarta, dan Remy Sylado. Setiap tahun acara selalu menarik, namun yang lebih menarik bagi saya justru sosok Sigit Susanto, tokoh di balik agenda bermanfaat ini. 

Saya berkesempatan menghabiskan malam  bersamanya, mengobrolkan pengalamannya bertualang, sekaligus mengobrolkan tokoh-tokoh sastra yang ia gemari. Saya lebih menyebut Sigit sebagai avonturir sastra. Sejak hijrah ke Swiss, ia sudah bertualang di hampir 36 negara. Pengembaraannya bukan sebatas uforia turisme. Sigit memprioritaskan untuk mengunjungi tempat-tempat yang menurutnya memiliki memori sejarah, atau berkaitan dengan para tokoh sastra dunia. Alasannya: di Eropa, bukan hal baru membicarakan sastra dalam buku panduan wisata. Selain itu, Sigit menyadari gairah membaca sastra di Indonesia mulai bergeliat, dengan demikian perlu adanya perkenalan lebih jauh perihal sastra dan satrawan dari negeri yang ia kunjungi. Catatan perjalanan tersebut tertuang dalam tiga jilid buku yang ia sudah terbitkan: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. 
 
Pengetahuan dan kecintaannya pada karya sastra dunia, serta para nobelis sastra, membuat tujuan tempat yang ia kunjungi selalu berdasarkan pertimbangan kaitan dengan sastrawan tertentu. Sigit begitu sumringah ketika mengunjungi tempat yang dulunya sempat disinggahi para sastrawan dunia. Alhasil, di rumahnya berderet buku karangan nobelis, yang mayoritas berbahasa asing, dan pernah ia kunjungi tanah kelahirannya. Apa saja buku nobelis sastra yang ada di sana, tak perlu saya sebutkan. Tapi saya kira lumayan lengkap. Perpustakaan ini gratis bagi siapa pun yang ingin pinjam. 

Tentang pengarang asal Irlandia itu, Sigit mengaku sudah menamatkan seri Ulysses jilid 1-3 bersama Reading Group Yayasan James Joyce di Zurich sebanyak dua kali, dan bahkan, hendak mengulang membaca kembali untuk ketiga kalinya. Ketekunan membaca Ulysses selama 6 tahun lebih, meski menurut saya justru sangat lambat, membuatnya begitu menguasai detail dan makna novel ini. Sigit menganggap karya Joyce begitu detail dan sangat ensiklopedis. Sigit juga kesengsem pada Frans Kafka. Dari kecintaannya, ia tuntas menerjemahkan Proses karya Frans Kafka, yang meski sudah dibeli penerbit besar di Indonesia, belum juga terbit. Terhadap nasib terjemahannya itu, Sigit tampak sedikit murung.  

Buku dan “Pembalasan Dendam”
Saya hampir menghabiskan sebungkus kretek ketika Sigit mulai bercerita tentang buku-buku murah yang ia beli di negeri asing. Di negara mana pun yang ia tuju, buku selalu jadi incaran menggiurkan. Membeli buku murah kerap mengingatkannya pada masa ketika ia harus menjual sepasang sepatu demi membiayai hidup saat mahasiswa. Namun, hasil berjualan sepatu itu terpaksa berkurang saat ia menjumpai buku Agatha Cristie di loakan. Buku lebih menggiurkan ketimbang sepiring nasi. Ia pun membelinya tanpa menyesal.

Hasil dari avonturnya ke pelbagai negara, Sigit memboyong buku-buku kelas nobel ke desanya. Sebuah rumah tak istimewa disulap menjadi rumah buku, bernama Pondok Maos Guyub. Sigit menerangkan, hasratnya mengumpulkan buku dan membuat perpustakaan adalah sebuah obsesi “balas dendam” sebagai anak desa. Sigit mengenang masa di mana ia nekat membuka perpustakaan di bekas warung jualan bubur ibunya. Buku didapat dari sumbangan warga desa. Pun pada akhirnya perpustakaan itu tutup karena keterbatasan dana dan tidak ada buku baru. Obsesi mendirikan perpustakaan kemudian terwujud pasca menetap di Swiss dan justru semakin berkembang.

Meski mayoritas perpustakaannya berisi buku berbahasa asing, sedikit pun Sigit tak risau. Ia yakin, kehadiran buku-buku bakal menularkan hasrat berliterasi, membaca ataupun menulis. Buku kerap memberi sihir intelektualisme. Bersama beberapa rekan, Sigit sudah menggagas Reading Group. Novel The Old Man and the Sea karya Ernest Hermingway dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, di antaranya. Jarak bahasa tak menyurutkan gairah menghidupi literasi di desanya.  

Tahun ini, salah satu cita-citanya kembali terwujud. Setelah Pondok Maos Guyub, forum tahunan Parade Obrolan Sastra, Perpustakaan Rumah Pohon kini berdiri. Sebuah angan-angan yang lahir setelah menyaksikan betapa di negara yang ia kunjungi, banyak berdiri rumah pohon bagi anak-anak untuk menghabiskan waktu sambil membaca. Saya berkesempatan merasakan kedamaian di perpustakaan pohon miliknya. Saya tidak tahu obsesi apalagi yang hendak Sigit ciptakan demi memekarkan hasrat berliterasi di desanya. 

Terasa begitu cepat obrolan itu berlalu. Subuh sudah di depan mata. Perbincangan malam itu belum menampakan tanda-tanda kebosanan. Di antara obrolan yang menyusup ke pelbagai wilayah dan tokoh dunia itu, saya justru bersolilokui di dalam hati. Kehidupan kesusastraan hari ini memang sangat memerlukan orang semacam Sigit Susanto. Di antara arus kapitalistik dan teknologiisme yang menggerus minat berliterasi; kesulitan mengakses buku-buku berkualitas; serta dominasi pusat dalam kesusastraan, gerakan literasi di desa dan di rumah-rumah adalah sebuah angin segar demi menggeliatkan etos berliterasi. Etos menggerakkan literasi tak perlu mengandalkan uluran birokrat dan pejabat, yang kita semua tahu, melulu berpamrih politis. Spirit yang terkumpul dari kunjungannya ke sudut negara, spirit non-kapitalistik yang kini berbuah di sebuah desa yang sejuk, sesejuk aroma literasi yang menguar dari perpustakaan milik Sigit Susanto. 

Pagi pun semakin mendekati terang, saya pamit untuk tidur meski Sigit masih bernafsu untuk berbagi cerita. Di dalam tidur, tiba-tiba saja saya memimpikan kampung halaman saya…[]
5 Mei 2014, Suara Merdeka

Dialektika




23 Februari 2014.

Penemuan makam Tan Malaka di Selopanggung, Kediri disambut dengan beberapa penyikapan. Sejarawan Asvi Marwan Adam menghendaki pemerintah segera memindah makam tersebut ke Taman Kalibata. Alasannya, Tan Malaka sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional di era Presiden Sukarno. Sebaliknya, warga Selopanggung justru menghendaki makam tidak diboyong ke Kalibata. Tapi, direlokasi di daerah sekitar Selopanggung. Tujuannya, akan dijadikan objek wisata. Semacam tempat peziarahan. 

Mengingat peran dan jasa Tan di panggung pergerakan sejarah kemerdekaan, sepantasnya para sejarawan mengusulkan pemindahan tersebut. Sejarawan tentu mafhum tentang kerja intelektual dan pergerakan Tan Malaka dalam menentang kolonial Belanda. Momentum ini bisa dijadikan ajang untuk menempatkan posisi Tan Malaka di catatan sejarah Indonesia, yang sempat dihapus rezim Orde Baru.

Warga Selopanggung menangkap penemuan makam ini sebagai momentum untuk membuka objek wisata baru. Penemuan makam diharapkan sanggup mengundang rupiah. Makam tokoh nasional bakal merangsang orang-orang untuk datang berziarah. Peziarahan itu kelak dilengkapi dengan kenang-kenangan berupa foto dan pernak-pernik cinderamata. Dan, warga di sekitar makam bisa mengantongi rupiah dari penjualan pernak-pernik tersebut. Tidak perlu jauh-jauh. Makam Sukarno di Blitar berhasil mengangkat perekonomian warga sekitar. Antusias publik mengunjungi makam Sukarno tak pernah surut, pertanda kebanggaan masyarakat terhadap Sukarno masih besar. 

Perlakuan rezim Orde Baru dalam mencatat Sukarno tentu saja berbeda dengan Tan Malaka. Perlakuan terhadap Sukarno tak separah Tan Malaka. Orde Baru masih mencatat namanya dalam buku sejarah. Perlakuan buruk diterima Tan Malaka di era Orde Baru, ia dihapus dari catatan sejarah Indonesia. Hampir 32 tahun lamanya masyarakat Indonesia dipaksa tidak mengenal Tan Malaka. Publik mengenal luas pemikiran Tan Malaka pasca-Orde Baru tumbang. Bukunya mendapat rangking nomor wahid dalam jajaran buku kiri yang sempat dilarang. Apakah warga Selopanggung sudah membaca karangan-karangan Tan Malaka?

Nah. Pada akhirnya niat warga untuk mengobjek-wisatakan Tan Malaka adalah sebuah ironisme, untuk tidak menyebutnya sebagai kekaprahan. Perlakuan bermisi penghormatan justru keliru. Kita bisa mengingat Tan Malaka lewat setumpuk kitab warisan pemikirannya. Salah satu seruannya: mengingatkan masyarakat agar terlepas dari pengkultusan dan berpikir mistik, yang menurut Tan, penyebab dari ketertinggalan pola pikir bangsa Indonesia. Bangsa ini terbelakang akibat pola pikir mistik.  

Maksud mendirikan makam bakal memunculkan agenda peziarahan, ritual pendoaan berkecenderungan pada pengkultusan. Pada akhirnya, makam akan menjelma tempat keramat, ritus merawat kemistikan manusia. Justru, semua itulah kemungkinan-kemungkinan yang hendak ditolak oleh Tan Malaka. Sejumlah kitabnya mengajarkan manusia untuk terus berdialektika, berpikir secara kritis dan ilmiah, serta menolak pola pikir mistik. 

Niatan warga Selopanggung untuk membangun makam berbau aroma mistik dan ekonomistik tentu bakal bertolak-belakang dari gagasan-dialektika Tan Malaka. Mengawetkan ingatan lewat pembuatan makam atau pematungan, justru tak berbeda dengan kelakuan orang-orang kuno, seperti membangun candi, petilasan, dan makam untuk dikeramatkan. Publik, pada akhirnya, akan meragukan niatan warga Selopanggung tersebut: apakah pemuliaan, atau pemutarbalikan warisan pemikiran? 

Dialektika yang mengacu pada proses berpikir tanpa henti harus menjadi arus utama penyikapan penemuan makam Tan Malaka. Simak pesan prestisius Tan dalam pengantar kitab Madilog:“Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahaminya”. Misi buku demi menajamkan mata pisau otak manusia. Maka penemuan makam Tan Malaka harus berorientasi pada dialektika, berani membicarakan atau pun mengkritisinya. Kemauan untuk terus berpikir inilah kemauan Tan Malaka sebenarnya. Lain dari pada itu, kita justru sedang berseberangan dengan pemikiran beliau.

Di Bawah Kibaran Bendera Ormas



Bulan Februari 2014, sedikitnya, telah terjadi dua kali pemberangusan kebebasan intelektual. Pertama, terkait dibubarkannya diskusi buku Tan Malaka, yang menghadirkan indonesianis dari Belanda: Harry Poeze, oleh sekelompok ormas intoleran di Surabaya. Diskusi buku tersebut untuk menindaklanjuti penemuan makam Tan Malaka di Selopanggung, Kediri. Sekelompok ormas menuduh diskusi sebagai upaya menghidupkan kembali paham komunisme, karena Tan Malaka dikenal pula sebagai tokoh komunisme internasional di masa pergerakan kemerdekaan. Diskusi pun urung digelar, menyisakan kekecewaan. Keriuhan gelombang protes oleh publik gempar di dunia maya, tapi tak di media nasional.
 
Kedua, pemindahan patung Manusia Akar di titik nol kilometer Yogyakarta karena dianggap mengandung unsur pornografi. Patung yang sedianya ditujukan untuk hiburan wisatawan di Yogyakarta kini tergeletak ambruk dan sia-sia, tak lagi menghiasi pusat kota. Pemindahan patung bermula dari teror sekelompok ormas yang keberatan dengan keberadaan patung tersebut. Patung pun tersingkir, dan sekali lagi, pertanda bahwa kebebasan berkreasi tak lagi dihargai di negara ini.

Kedua kasus tersebut pada akhirnya menunjukan sebuah gejala: tunduknya negara oleh teror ormas. Pada kasus pembubaran paksa diskusi Tan Malaka, setidaknya, ada sejumlah anakronisme pemahaman masyarakat tentang sejarah. Ketakutan (phobia) berlebih terhadap komunisme pada dasarnya adalah warisan indoktrinasi Orde Baru. Kita bisa mengenang komunisme phobia di zaman Orde Baru lewat serangkaian propaganda film G30S, dan tuduhan-tuduhan komunis pada siapa pun yang bersikap kritis pada pemerintah. Indoktrinasi mengakar selama puluhan tahun, tentu saja sulit dihapuskan. Tuduhan-tuduhan gampang sekali dicap kepada siapa pun yang hendak membicarakan, mempelajari—sebagai bagian dari kegiatan akademik—atau untuk sekadar membincang sejarah tokoh-tokoh komunisme.  

Saya berkeyakinan, hanya masyarakat berpemikiran rendah yang menolak dialog dan diskusi. Pembubaran diskusi buku adalah sebentuk kekeliruan cara berpikir, pertanda masyarakat belum mau berpikir kritis dan moderat. Tan Malaka seorang komunis, memang. Tapi, sejenak, kita perlu menilik perannya bagi pembentukan nasion Indonesia. Bentuk negara Republik bagi Indonesia, tak lain, adalah sumbangan besar Tan Malaka. Buku Naar de Republick adalah kitab hasil pemikirannya, yang juga dibaca Sukarno, Hatta, juga Syahrir. Kiranya, tak perlulah saya menyebutkan peran Tan Malaka bagi Indonesia di sini. Bacalah buku karya Harry Poeze. Tan Malaka pernah hilang dari sejarah Indonesia, kini mendapat titik terang. Penemuan makamnya diharapkan jadi pembuka kebenaran sejarah Indonesia. Pembubaran diskusi buku tentu tidak berbeda dengan pelanggengan pola pikir Orde Baru: komunisme phobia, bebal, dan tidak memberi ruang kebebasan berpikir.

Perihal kebebasan jadi isu sensitif dalam kasus protes patung Manusia Akar di titik nol Yogyakarta. Keberadaan patung dengan tuduhan pornografi, bagi saya yang kebetulan pernah melihat dari jarak dekat patung tersebut, tentu sulit dinalar. Baiklah, anggap saja patung itu porno. Lantas, bagaimana dengan keberadaan relief di candi-candi di Indonesia, yang mayoritas menampilkan aurat. Apakah juga termasuk pornografi? Saya kira pembahasan ini sudah teramat kuno. Yogyakarta adalah kota dengan wajah kesenian dan kebudayaan yang agung. Patung sebagai hasil karya seni adalah representasi masyarakat Yogyakarta dengan keunggulan kesenian, yang di daerah lain, mungkin, belum tentu memiliki. “Pembuangan” patung dikarenakan teror dari pihak ormas tertentu, adalah bentuk nyata perampasan kebebasan berkesenian. 

Peran Negara

Kesamaan dua kasus tersebut mengacu pada arogansi ormas dan absennya peran negara dalam menjamin rasa aman bagi warga negara. Seandainya, panitera diskusi buku sudah melakukan semua prosedur keamanan, kenapa polisi mandul dalam menjaga keamanan acara tersebut? Polisi takut pada ormas? Kasus pemindahan patung di Yogyakarta jadi bukti bahwa masyarakat sipil dan polisi sudah dikuasai serentetan kepentingan ormas dan kelompok kontra-demokrasi.  

Tidak adanya ketegasan negara, dalam hal ini polisi, untuk memberi jaminan rasa aman adalah satu kecacatan dalam sistem demokrasi. Keputusan menganut demokrasi sebagai sebuah sistem negara tentu harus dimaknai secara cerdas, kritis, dan moderat. Apa artinya demokrasi bila perspektif agama tertentu digunakan sebagai tolak ukur keberadaan karya seni? Apa pula artinya demokrasi bila kehendak untuk berpikir—mempelajari, memahami, dan membicarakan sesuatu—mesti dikalahkan oleh sikap phobia dari sekelompok masyarakat? Masih percayakah kita pada aparatus negara, para calon anggota legislatif, dan para calon pemimpin bangsa, bila pembredelan berpikir dan berkesenian dianggap sebagai kabar biasa dan tak perlu diributkan? 

Saya acap tenggelam dalam emosi ketika memikirkan betapa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi tanpa toleransi, tanpa kebebasan. Penuh kekerasan, kepalsuan, dan kerakusan. Saya berdoa, semoga para calon pemimpin negara ini lekas tersadar dari uforia kekuasaan. Demokrasi di negara kita memang sedang terjepit di ambang kematian. Negara sedang dikepung ormas-ormas penebar teror dan ancaman. Bendera ormas itu pun berkibar tinggi-tinggi, melebihi kibaran Merah Putih yang lesu dan termangu…

Manusia Jepang Menafsir Islam di Indonesia


 
Ketertarikan mendalami suatu agama kerap berangkat dari peristiwa di luar pengalaman kerohanian. Tahun 1991, Hisanori Kato, intelektual Jepang beragama Budha, tertarik pada Islam justru pada saat bimbang hendak memilih studi pasca-sarjana. Persentuhannya dengan kejadian dan tradisi Islam di Indonesia, yang kemudian, membajakan niatnya menyelam lebih dalam memahami Islam.
Setidaknya ada tiga rangsangan yang memikat Kato untuk berkeputusan menuntaskan penasarannya perihal Islam. Pertama, peristiwa saat malam akhir bulan Ramadan. Serombongan anak kecil menjunjung obor, melintas depan rumah Kato. Begitu khusuk dan riang menjemput Hari Idul Fitri. Kato pun mengimajinasikan serombongan anak kecil itu dalam sebentuk pertanyaan ringan: mau ke mana mereka? Mengapa mereka begitu ceria?
Momentum sebelumnya, Kato juga terheran-heran saat mendapati ada tradisi berpuasa di Islam. Tidak makan dan minum, serta menahan hawa nafsu selama satu bulan, namun tetap menjalankan aktifitas. Bagi Kato hal ini di luar kewajaran. Dan, pada waktu yang sama pula, terjadi penentangan Sosialisasi Dana Sosial Berhadiah (SDSB), yang direstui Presiden Soeharto, oleh gerakan mahasiswa Muslim. Kupon undian terang mengesahkan perjudian, berlawanan dengan ajaran Islam. Kato bertemu pelbagai peristiwa-peristiwa ganjil perihal Islam dan politik di Indonesia. Di negaranya, Jepang, agama terletak jauh di pinggiran wacana publik. Jarang diobrolkan, apalagi dikaitkan dengan urusan politik dan kenegaraan.
Tekad Kato semakin mengerucut untuk menyelami Islam lebih intim. Pilihan studinya jatuh pada program pasca-sarjana Universitas Sidney, Australia, perihal kajian Indonesia, terutama masalah agama. Kato bergerak memulai penelitiannya tentang Islam Indonesia lewat sejumlah pertemuan. Ambisi bertemu satu tokoh ke tokoh Islam lain. Kato berbincang dan memasuki ceruk Islam dari beberapa pintu. Dari kalangan fundamentalis (Abu Bakar Ba’asyir, Ismail Yusanto), pergerakan (Lily Munir), liberalis (Ulil Abshar Abdalla), pluralis (Gus Dur), politisi (Fadli Zon), hingga budayawan (Mohamad Sobary) dan tokoh pemerintahan (Bismar Siregar).
Pertemuan dengan tokoh lintas Islam memberi kesan tak biasa. Sebagai warga Jepang yang minim pengetahuan tentang Islam, Kato berangkat dari citra Islam di mata internasional pada umumnya. Maka keputusan bertemu tokoh-tokoh multi-penafsiran itu membuka jendela imajinasinya. Adegan bertemu orang-orang, yang konon, dianggap keras, berbahaya, liberal, konservatif, dan pluralis, justru secara drastis membelokkan pandangannya.
Kato mengenang ketegangan saat hendak bertemu Abdullah Ba’asyir di Solo. Nama tokoh ini mashur sebagai dedengkot Islam “keras”. Obrolan dengan Abu Ba’asyir berlangsung beberapa kali. Kesan pertama: publik terlalu berlebihan menilai sang kyai fundamentalis ini. Kato, meski seorang non-muslim, tetaplah disambut baik oleh Abu Bakar Ba’asyir. Kato justru menangkap keyakinan baja Abu Bakar Ba’asyir perihal ketaatan tanpa kompromi pada ajaran Islam. Bagi Kato, Abdullah Ba’asyir tak ubahnya Ganko-Oyaji (ayah yang keras kepala).
Ada pula debar dan gelisah yang berkelindan saat Kato hendak bertemu Eka Jaya, tokoh Front Pembela Islam. Imajinasinya tak henti menera, bagaimana sosok di balik penyerangan restoran dan kafe saat bulan puasa, tahun 2004 silam ini? Obrolan di kantor FPI, berlanjut pada silaturahmi ke kediaman Eka Jaya. Dari Eka Jaya-lah Kato memungut pemahaman baru tentang kaitan Islam, iman, dan nasionalisme. Ada rasa anti-penindasan dan keimanan yang kuat sebagai landasan keislamannya. Orang asing harus menghormati pribumi dan umat Islam jika tidak mau terjadi kekerasan. Islam tidak boleh ditindas oleh kekuasaan asing.
Kesan Islam sebagai agama beraroma Indonesia justru muncul saat Kato berjodoh bertemu Gus Dur. Siapa sangka, seorang Budha seperti dirinya, beruntung dapat semobil dengan Gus Dur, berdialog tanpa jarak. Obrolan berlangsung tanpa canggung, Gus Dur enteng menyanggupi obrolan Kato. Gus Dur mengajukan tafsir Islam berlawanan versi Abu Bakar Ba’asyir, Ismail Yusanto, dan Eka Jaya. Gus Dur mendambakan Islam toleran. Islam sebagai urusan pribadi, serta Islam yang benar-benar Indonesia. Gagasan ini mengamini pemikiran tokoh muda Ulil Abshar Abdalla dan Mohamad Sobary. Cita-cita Gus Dur pada Islam justru berakar pada masyarakat Indonesia penuh keluwesan, namun bukan semata-mata masyarakat Islam saja. Benturan perspektif lintas tokoh ini menggenapi cakrawala Islam di mata seorang peneliti.
Perspektif
            Kato adalah manusia pemberani. Berangkat dari pemahaman yang sedikit, berkembanglah  imaji dan pemikiran Kato perihal Islam di Indonesia. Ekspedisi bertatap muka dan membuka obrolan dengan tokoh multi-pemahaman, adalah langkah istimewa. Agenda ini jadi momentum mengabarkan pada dunia: bagaimana Islam di Indonesia tumbuh dan bermekaran. Keberanian Kato berdialog secara langsung, demi menanyakan gagasan keislaman tokoh-tokoh tersebut, jadi perantara mengisahkan Islam di Indonesia kepada warga Jepang dan dunia.
Rumusan Kato atas hakikat agama Islam bukanlah agama yang mengesahkan peperangan, tapi justru mengusung konsep keselamatan. Kato mengaku merasakan kehangatan yang sama manakala bertemu dengan orang Islam liberal atau pun fundamental, meski sempat dilanda cemas dan takut. Opini masyarakat dan media massa memang kerap menggiring citra tokoh-tokoh Islam ke arah yang berbeda dari aslinya.
            Catatan pengakuan dan pengisahan ini adalah bentuk eksplorasi pengalaman batin dalam memandang Islam. Kato tinggal di Indonesia kurun 1991-1994 dan 2004-2009. Kato sengaja memutuskan dialog secara personal demi pemaknaan tanpa berjarak. Kato membaca dan menafsir Islam dari literatur studinya, serta menggenapinya lewat serangkaian dialog.
Jika pada mulanya Kato tertarik untuk mencari tahu penyebab anak-anak yang begitu riang menjunjung obor menjelang Idul Fitri; juga umat Islam yang rela berpuasa sebulan lamanya, maka buku ini memberi jawaban lebih. Buku ini justru membuka selubung negatif yang kerap tersemat pada wajah Islam di mata internasional.
Buku ini memantapkan keyakinan publik bahwa Indonesia memiliki harapan yang besar untuk membuka dialog antar-kelompok Islam Indonesia, juga dunia. Meski perlu diingat, pengakuan buku ini lahir dari dialog keterwakilan. Perwakilan tokoh umat Islam memungkinkan keterwakilan suara-suara pengikutnya. Namun, kita, begitu juga dengan Kato, tidak pernah menduga, apakah pemahaman para pemuka Islam ini dipahami pula oleh para pengikutnya. Jika tidak, tentunya, Kato harus mau membuka dialog dengan masyarakat Islam di tataran akar-rumput. Islam di Indonesia tidak bisa hanya bisa dibaca dari suara-suara keterwakilan saja. Masih banyak kelompok Islam yang perlu didengar dan diajak berbicara, yang pada buku ini belum mendapat tempat.*