Rabu, 28 September 2011

Puasa dan Sindrom Konsumerisme¹

Oleh: Widyanuari Eko Putra²
Bulan puasa adalah selebrasi atas ibadah suci bagi umat Islam. Puasa menjadi semacam momentum yang mempunyai ekses ke beberapa bidang lain. Puasa menjadi penantian atas semacam ajang pencucian dosa. Masyarakat muslim, dimanjakan untuk beribadah secara intens dengan pamrih atas kesucian di hari raya Idul fitri.

Bulan puasa bagi masyarakat secara umum—muslim atau bukan—memberi harapan lebih atas kemungkinan mendapatkan keuntungan berlebih atas aspek perekonomian. Penjual makanan, pengusaha, juga pedagang dadakan yang bermunculan, turut serta mengais rejeki di bulan ramadan.

Menyambut bulan puasa era kekinian adalah sebuah momentum mengabsahkan tradisi “membeli”. Ramadan memberi pelbagai alasan yang tepat untuk sekedar membarui diri, semisal membeli keperluan sandang, papan, dan pangan sebagai uforia atas ramadan dan Idul Fitri.

Kehebatan ramadan nampaknya menjadi fenomena atas perayaan ibadah pada Tuhan yang serta merta menjanjikan gempita dan sukacita. Penyambutan hari raya yang bersifat masif menjadikan nilai ibadah yang terkandung dalam puasa menjadi samar dan terpinggirkan. Belum lagi tradisi mudik—pulang ke kampung halaman setelah merantau—menjadi magnet yang justru kerap menafikan makna puasa sejati.

Puasa di siang hari menjadi ujian atas manusia yang menjalankan, dan menuntaskan ajang balas dendam di sore hari. Tentunya dengan memuaskan menu berbuka puasa. Rasa lapar yang sedari pagi, dimaklumkan sebagai ajang konsumsi yang menuntut pembenaran. Rasanya, tidak ada salahnya memuaskan diri di saat berbuka puasa. Konsumsi adalah jalan pelampiasan atas penangguhan rasa lapar yang larut.

Masyarakat muslim perlahan “terinfeksi” sindrom konsumsi demi persembahan atas perut di saat berbuka puasa. Misal, takjil sebelum buka puasa yang berlebih, menu yang cenderung lebih bermakna boros tinimbang manfaat. Lihatlah, di mana-mana orang berbondong berburu kuliner, sedangkan demi ibadah wajib seperti halnya sholat yang jelas-jelas musti ditunaikan, masyarakat cenderung hanya ingat di awal bulan saja. Shof sholat hanya minggu awal saja yang nampak penuh. Selanjutnya mesjid atau mushola seperti bertambah luas.

Pada dasarnya puasa atau dalam bahasa arab disebut saumu, menahan diri dari segala sesuatu atau secara istilah adalah menahan lapar dan hawa nafsu sedari matahari terbit hingga terbenam matahari. Di dalam Al’ Quran disebutkan dalam surat [Q.S, Al baqoroh: 183-184]. Intisari ayat tersebut mengarah pada usaha untuk menahan diri dari nafsu diri. Puasa digunakan sebagai ajang, penebusan atas segala dosa umat manusia yang telah dilakukan.

Fase puasa yang dengan jelas menjamin kesucian di akhir bulan, yaitu dengan perayaan Idul Fitri: kembali kepada kesucian, memberi pencerahan dan kebahagiaan yang tak terbendung. Meski proses ini tak lebih dari ibadah yang sama halnya dengan ibadah lain, namun pamrih bebas dosa dari Allah S.W.T menjadi kabar yang memberi harapan, semangat, dan sukacita.

Masyarakat islam pada umumnya dan kaum urban perlahan-lahan kaprah dalam memaknai ramadan. Yang ada, sindrom konsumerisme-lah yang merebak—masyarakat cenderung mempunyai hasrat untuk lebih memfasilitasi hal yang bersifat materiil, jauh dari kesan dan makna ramadan sejatinya.

Puasa adalah konsepsi atas kesadaran dalam menahan segala keinginan. Realita kekinian menunjukan grafik terbalik. Intensitas atas keinginan untuk membeli, entah itu untuk kebutuhan berbuka puasa, ataupun demi menyambut Idul Fitri, justru menafikan makna puasa dan ramadan yang senantiasa mengajak umat untuk menahan keinginan. Orang berbondong-bondong membeli pakaian baru, papan dan pangan yang turut serta ikut dibaru-barukan. Hal ini nampak pada peningkatan transaksi jual di pelbagai sektor perdagangan. Keinginan tak terbendung. Puasa menjadi muasal alasan atas pembenaran konsumsi berlebih.

Kaum miskin kian termarjinalkan, adanya bulan puasa tidak mempunyai peran yang terlalu penting. Masih banyak orang-orang yang puasa tidak hanya di bulan puasa, akan tetapi hampir setiap hari—yang memang karena ketidakcukupan biaya untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Puasa dan gelora cahaya berkah seolah mati dari makna yang sejati.

Sebagai umat islam di era mutakhir yang terjepit gejolak kehidupan modern, tak ada salahnya mulai kini mengendalikan diri. Puasa adalah momen menahan diri, mempertajam kepedulian, serta ikut merasa penderitaan sesama. Pemenuhan hajat hidup atas penghormatan pada bulan ramadan tak lebih dari upaya penyemangat, serta luapan kebahagian atas terhapusnya dosa.

Tidak ada yang salah dengan hasrat memperindah hidup di bulan puasa, serta menjelang hari raya. Memakai baju baru, boleh-boleh saja. Namun, utamanya menjadi diri, jiwa, iman yang baru, serta kembali pada yang fitrah. Islam pun juga mewajibkan atas mereka yang mampu agar berzakat: zakat fitrah.

Permenungan atas makna dan penghayatan puasa adalah utama, tinimbang memedulikan selebrasi atas material semata. Masih banyak sesama yang merindukan kepedulian. Bagaimanapun konsumerisme tak boleh dibiarkan membuncah tanpa katup pengendalian diri. Puasa harus kembali pada makna dan manfaat yang kiranya bisa meredam gejolak konsumerisme. Dan puasa adalah solusi tepat, selama sesuai dengan ajaran dan kaidah agama islam. Amin.

Jerakah, 10 agustus 2011

Note:
1. Artikel ini disusun guna mengikuti lomba menulis Moslem Creative Writing oleh UKKI IKIP PGRI Semarang.
2. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, semester 8. NPM: 07420609. Bergiat di UKM KIAS, serta merangkap menjadi Koordinator LKM.
3. Cp: 085225036797

Minggu, 25 September 2011

Sekali Peristiwa Di Banten Selatan: Perlawanan Petani




Seorang kecil pun, bukan berarti tak bisa melawan. Sekali ia melawan, sebesar apapun musuh bisa diummbangkan.
Seorang petani desa bernama Ranta, menjadi korban ketidakadilan seorang juragan tanah bernama Musa. Seorang lurah di sebuah daerah terpencil di sekitaran Bannten Selatan.
Ranta bersama istrinya—Ireng—dioeralat oleh Juragan Musa. Selain diperlakukan sewenang-wenang, Ranta ternyata juga dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak sewajarnya. Suatu ketika Ranta ditemui oleh juragan Musa. Ranta di tugasi untuk mencuri bibit pohon teh milik pihak DI: Darul Islam. Salah satu pergerakan Islam radikal yang ternyata tidak membela rakyat, malah justru ikiut-ikutan merampas hak rakyat.
Menjelang malam pekat, Ranta bergegas menuju hutan untuk melaksanakan tugas dari juragan Musa. Tidak ada pilihan lain. Kalau Ranta tidak mau, siap saja ia mendapatkan penganiayaan dari Juragan Musa. Lurah yang seharusnya melindungi rakyatnya, ternyata juga sama saja menindas rakyat. Misi pun berhasil. Ranta bergegas menemui Juragan Musa dengan hasil curian. Bukan upah yang Ranta terima, malah justru pemukulan. Rupa-rupanya Juragan Musa tidak berkenan membayar upah bagi Ranta. Pulanglah Ranta dengan luka di tangan kirinya.
Bagaimanapun kesabaran manusia selalu terbatas. Kemudian hari, Juragan Musa datang lagi ke gubuk Ranta. Kali ini, Ranta sudah tidak mau lgi tinggal diam. Dengan segenap amarah yang tertumpuk, Ranta menemui Juragan Musa dengan semangat perlawanan. Ranta telah bosan dengan takut dan keputusasaan. Berbeda dari biasanya, di mana Ranta harus kerap selalu mengapurancang ketika bertemu Juragan Musa, kali ini Ranta berdiri tegak dengan tatapan igin menerkam. Ranta melawan dengan sebuah sikap, tidak dengan kekerasan. Dan meskipun baru demikian, Juragan tidak nyali untuk melawan Ranta. Juragan lari tunggang langgang. Tas dan tongkatnya luput terbawa. Dari sini awal kehancuran Juragan Musa, yang ternyata juga merupakan anggota komplotan Darul Islam yang kerap membrontak dan menjajah masyarakat.
Dengan sebuah keyakinan, Ranta melaporkan tas Juragan Musa kepada Komandan militer setempat. Isi tas pun digeledah. Nyatalah keterlibatan Juragan Musa dengan Darul Islam. Juragan Musa pun ditangkap. Seorang lurah yang ternyata pengkhianat negara.
Penangkapan atas Juragan Musa ternyata bukan kabar aman untuk waktu yang cukup lama. Karena Darul Islam pun tidak tinggal diam. Mau tidak mau, masyarakat sekitar harus berani melawan. Mengandalkan tentara militer setempat nampaknya hal yang musykil. Rakyat dilanda keragu-raguan atas keputusan tersebut. Rakyat belum siap untuk perang dan melawan Darul Islam.
Kekosongan kekuasaan lurah yang semula dipimpin Juragan Musa menjadi celah bagi Komandan untuk menunjuk Ranta menjadi lurah baru sementara, sekaligus sebagai komando perlawanan rakyat melawan Darul Islam. Di antara keraguraguan rakyat, serta ketidaklengkapan senjata, Ranta mesti bergulat meyakinkan mental rakyat, serta meyakinkan mereka. Apakah Ranta berhasil meyakinkan masyarakat untuk melawan gerombolan Darul Islam? Apakah perang benar-benar terjadi? Pembaca bisa mendapat jawabannya di sini.
Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan adalah novel singkat yang ditulis Pramudya Ananta Toer pada pertengahan 1958. Sebuah masa di mana konflik masih bertebaran, dan pemberontakan masih kerap terjadi. Di antaranya adalah Darul Islam. Sebuah kelompok pemberontakan yang berencana berdiri sendiri di atas tanah Indonesia. Novel ini adalah sebuah ulasan singkat tentang Reportase Pramudya saat mengunjungi Banten Selatan. Dari novel ini Pram ingin memotret sebuah kondisi di wilayah Banten Selatan yang masih kerap mengalami kekacauan, yang intinya merupakan efek gerakan Darul Islam. Namun, dari konflik ini juga Pram ingin memberi semacam pengukuhan atas pentingnya gotong-royong dan kerja sama. Bahwasanya gotong royong dan kerjasama adalah modal utama bangasa Indonesia untuk lepas dari jeratan penindasan kaum pemverontak. Seperti halnya Ranta yang begitu yakin: kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar.***[Wid]

Tentang Midah Simanis Bergigi Emas




Melawan nampaknya menjadi sebuah khas dari karya-karya Pramudya Ananta Toer. Seperti halnya Midah Simanis Bergigi Emas.
Midah, sebagai anak dari pedagang kaya dari Desa Cibatok, adalah korban dari gengsi dan citra. Midah lahir dan tumbuh—hingga usia 9 tahun—dalam buaian kasih sayang mesra dari sang orang tua. Bapaknya, Hadji Abdoel, seorang yang taat terhadap ajaran Tuhan. Ia berhasil membawa citra keluarga pada tahap kehormatan. Begitu pula Midah. Ia lahir dalam kondisi kecukupan dan penuh kasih. Minimal sebelum adik-adiknya lahir. Ya, untuk sementara Midah anak tunggal.
Hidup sepertihalnya detak jam yang tak lelah berdetik. Kali ini Midah untuk kali pertama dinomorduakan. Ya. Ibunya melahirkan lagi. Midah sekarang punya adik. Hari-hari yang penuh kasih sayang dari orang tua perlaan dan pasti bergulir untuk adiknya. Apalagi, keinginan sang ayah untuk punya anak laki-laki begitu kuat. Dan terkaullah doa ayah. Sepasang anak kembar laki-laki yang sehat. Sekaligus pembuka nestapa bagi Midah. Hilang semua kasih sayang ayah-ibu. Mereka terlalu brlebihan menyayangi adik-adik Midah. Midah pun terpinggirkan. Segala urusan dan gerak-geriknya tiada lagi dipedulikan orang tuanya. Hidup menjelma asing, asing sekali.
Keasingan Midah di rumah sedikit cair ketika Ia berkenalan dengan Keroncong. Ya, musik keroncong. Midah begitu terlena oleh alunan musik kerncong. Beberapa judul pun berhasil Ia hapalkan dalam sehari. Midah yang manis pun menjelma gadis yang keranjingan alunan kroncong. Jauh berbeda dengan alunan musik yang biasa disetel oleh orang tuanya. Musik arab ala Umi Kulsum. Ayahnya yang taat beragama, membuatnya akrab dengan aulnan musik arab itu.
Seperti sebuah kematian yang pasti, Midah tak pelak begitu sering memutar piringan hitam yang tentunya berisi alunan keroncong di rumah. Ibunya acuh saja mendapati Midah tenggelam dalam alunan keroncong. Midah pun kerap menonton gerombolan pengamen keroncong. Dari jauh pula Ia mengagumi. Dan sangat berbeda dengan ayah tentunya. Ya, ayahnya naik pitam ketika menemukan Midah tengah asik bergoyang di hadapan alunan keroncong. Piringan hitam dilepas dengan paksa. Terjun bebas ke lantai hing pecah belah tak tersusun. Sebuah tamparan dari kekolotan mendarat di pipi Midah si manis. Rasanya bukan sebuah tamparan saja yang kini merenggut ketenagan hati Midah. Ya, elusan ayah sewaktu Midah kecil, kini remu sudah. Hilang sosok ayah yang mengerti anaknya. Hilang pula kepercayaan Midah pada ayahnya. Mdah menangis sebisanya. Dalam hatinya kini tersimpan benih perlawanan. Perilaku kasar di balik sosok ayah yang taat pada tuhan.
Belum lagi jemuran kering, hujan datang lagi dengan rintiknya. Belum selesai sakit batin Midah karena kelakuan ayahnya yang sepihak,Midah kembali didudukan sebagai pesakitan. Ayahnya menerima lamaran seorang kaya dari Cibatok. Haji Trebus namanya. Dan sebagaimana pesakitan, Hadji Trebus tidaklah sebaik imannya. Hadji Trebus tak lain seorang hadji beristri banyak. Dan Midah adalah yang ke-... Kenyataan seperti bukan kenyataan. Midah amat terpukul. Pasangan hidup pilihan ayahnya menjadi muara kebencian dan penderitaan. Rasa tidak terima sebagai perempuan baik-baik, ternyata hanya menjadi luapan kawin hadji kaya tersebut, menjadi sakit yang teramat. Midah pun minggat. Meski di perutnya tergeletak jabang bayi dari si Hadji Trebus. Tiga bulan umur jabang bayi. Kekecewaannya menjadi semangat. Midah pergi meninggalkan rumah dengan semangat. Dengan keteguhan hati dan keyakinan.
Kegemaran Midah pada keroncong mengantarnya tergabung dalam gerombolan keroncong jalanan. Kelompok musik yang muncul dalam citra kehinaan yang lekat. Dalam kelompok ini, Midah bukannya mendapat suasana yang nyaman, justru mendai pesakitan selanjutnya. Setelah hampir saja diperkosa oleh Mimin Si Kurus, Midah menjadi perbibiran anggota lainnya. Apalagi bagi Si Nini, penyanyi seniornya dalam group musik keroncong tersebut. Midah bersikukuh keluar dari kelompok keroncong sesat itu. Dan di antara ketidakmenentuan hidupnya selepas dari grup keroncong, lahirlah Rodjali. Anak pertama buah keterpaksaan Midah pada Hadji Terbus.
Rupa-rupanya Pram belum ingin menyudahi penderitaan Midah. Setelah lepas cengkraman gerombolan keroncong, Midah masuk pelukan Ahmad. Seorang polisi yang tertarik pada Midah Simanis. Cinta seperti halnya gula yang manis. Dan didalanya bersarang racun. Midah jatuh cinta pada Ahmad, dan celakalah cinta yang berpasrah pada birahi. Hasrat Ahmad menumbangkan keteguhan hati Midah. Berulang kali Midah tenggelam oleh cintanya sendiri. Janin Ahmad pun bersarang di rahim Midah Simanis. Kepengecutan Ahmad untuk menolak mengakui anak yang sedang di kandung Midah, membuat kian keras kebatuan ahti Midah. Midah tidak memaksa Djali untuk taggung jawab. Suasana kian menggulita. Belum lagi Nyonya Abdul yang berhasil meraih Djali dari gendongan Midah. Dalam kebimbangan pun akhirnya Midah pulang ke orang tua.
Layaknya si anak elang pulang ke sarang, Midah membuka segala yang menjadi deritanya. Bagaimana sikap orang tuanya mengetahui hal tersebut? Lalu, bagamana dengan Ahmad? Akankah Ia mau mengakui janin dalam rahim Midah. Temukan jawabannya.
Dan begitulah Pram hadir dalam nuansa ketertindasan dan perlawanan. Tidak ada sekalipun pandangan hidup yang muncul dalam novel-novel Pram yang berjibaku pada keputusasaan. Sebagai sudut bercerita, Midah, nampaknya menjadi sarkasme yang tangguh. Ia menelusup dalam tradisi, kekolotan, serta keberingasan hidup di kota Jakarta. Kebobrokan institusi juga disindir oleh Pram ketika Midah hendak melahirkan. Dan bukan lagi menjadi sesuatu yang muskil, kiranya begitulah potret Jakarta 50-an.

Novel ini juga mengusik warisan kepriyayian yang oleh Pram dianggap sebagai buah dari feodal-kolonial. Kelakuan tokoh-tokoh taat agama yang justru tidak berdaya melawan humanisme. Luntak dalam kekaguman atas prestis dan pujian. Namun, kiranya satu hal yang selalu kita dapatkan dari karya Pram adalah optimisme. Keteguhan seorang Midah dalam menerima segala konsekuensi. Ketabahan melawan hidup, serta keberpihakan Pram pada nilai kewanitaan dan gender. Khas dan bergairah. Konflik yang sengaja dibangun Pram dalam Midah Simanis Bergigi Emas nampaknya akan selalu pantas jika dihadapkan pada tradisi dan kekolotan bangsa Indonesia yang hingga kini masih subur. Semoga

Sabtu, 16 Juli 2011

Organisasi sebagai Pemicu Kreativitas Mahasiswa

Lingkungan kampus sebagai tempat hidup sementara mahasiswa selalu berdekatan dengan organisasi. Memang sudah menjadi kebutuhan, bahwa mahasiswa senantiasa “harus” terjun dalam dunia keorganisasian.

Organisasi kampus tidak hanya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Himpunan Mahasiswa (Hima), melainkan ada juga Untit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bagi mahasiswa yang mempunyai bakat dan minat pada bidang tertentu. Belum lagi organisasi eksternal (baca: luar kampus) yang memang berbasis massa mahasiswa.

Organisasi kampus disiapkan untuk kebutuhan mahasiswa agar tidak hanya beraktivitas seputar mata kuliah saja. Mereka mendapat fasilitas untuk menuangkan ide dan kreativitas, sehingga kelak sepulang dari masa belajar, mahasiswa sudah dipersiapkan untuk tampil di masyarakat secara akademik, mental dan kecakapan sosial.
Di dalam organisasi mahasiswa akan terbiasa berinteraksi dengan sesama, juga masyarakat. Mahasiswa belajar mengorganisir diri dalam kesatuan organisasi. Belajar berbaur sebagai media aktualisasi diri dalam ranah sosial. Dengan demikian, mahasiswa akan semakin siap terjun ke masyarakat.

Tidak semua mahasiswa berminat pada organisasi. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi mahasiswa terkesan enggan bergabung dalam organisasi dan menjadi pegiat organisasi kampus (baca: aktivis).

Kebutuhan untuk turut serta di organisasi adalah hak masing-masing mahasiswa. Namun, hal yang patut disayangkan adalah perihal citra organisasi yang kadung dicap buruk oleh mahasiswa sendiri. Ada anggapan bahwa para aktivis kampus, cenderung lalai pada tugas akademik yang menyebabkan kemoloran masa belajar. Kerusuhan dan aksi turun ke jalan kadang sering ditengarai sebagai ulah para aktivis. Menjadi penyebab citra buruk mahasiswa—terutama para aktivis.

Sebagian kalangan mahasiswa justru cenderung menyukai hedonisme kehidupan mahasiswa, menyukai segala yang instan serta berbau konsumerisme. Bersukarela dalam organisasi, menjadi hal yang seolah-olah percuma.

Menjadi pegiat organisasi kampus adalah pilihan tepat bagi mahasiswa. Melalui organisasi mahasiswa akan sangat terbantu dalam hal ketrampilannya. Mahasiswa bisa bebas memilih, mana unit kegiatan yang sekiranya mampu menampung bakat minat.
Tidak bisa dipungkiri, lulusan sebuah kampus akan dinilai dari ketrampilan dan bakat-minat. Dan di sinilah organisasi berperan menampung segala kreativitas mahasiswa.
Kita lihat tokoh besar di negara ini, dari Ir. Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mereka adalah orang-orang yang gemar berorganisasi. Dan bukan orang yang hanya berjibaku di menara gading.

Lemahnya kesadaran berorganisasi sepatutnya tidak menjangkiti generasi mahasiswa, generasi agent of change. Justru pada dasarnya, merekalah, para pegiat organisasi, orang-orang yang senantiasa menyiapkan diri menjadi manusia yang berkemampuan secara akademik, sosial, logis dan intelektual, yang kelak mampu meneruskan perjuangan bangsa.

Citra buruk organisasi, sepatutnyalah tidak ditimpakan secara kesuluruhan. Karena hal tersebut adalah permasalahan pribadi. Kita tentu masih ingat, tragedi 1998, di mana mahasiswa, yang rata-rata adalah organisatoris, mampu menyuarakan amanat reformasi dan menggulingkan kediktatoran alm. Soeharto. Dan sampai kapanpun, sejak masih mahasiswa hingga menjadi alumni, akan selalu berhadapan dengan organisasi. Maka gunakanlah dengan sebaik-baiknya manfaat berorganisasi. Begitu.

Minggu, 10 Juli 2011

Calon Guru dan Buku

Memilih IKIP PGRI Semarang menjadi tempat studi berarti memahami bahwa kelak, setelah lulus, mereka diharapkan bisa menjadi guru professional. Seperti slogan yang kerap lengket di media publikasi kampus pendidikan ini: melaju dengan mutu. Dengan harapan, pribadi yang kelak dibentuk semasa kuliah, mampu menjadi sosok calon guru profesional: mempunyai kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Namun, dunia pendidikan Indonesia mutakhir, tidak selalu sesuai harapan. Beberapa kasus yang terjadi: kekerasan pendidikan, kekurangan sarana dan pra-sarana, kurangnya kualitas guru, selalu saja mengotori wajah pendidikan kita. Untuk kasus yang terakhir, tentunya perlu kita soroti secara lebih detail.

Kualitas calon guru yang terkadang kurang mampu memenuhi kualifikasi guru profesional, acap kali membuat produk suatu institusi pendidikan “tidak terpakai”. Alasannya jelas: kurang berkualitas. Hal tersebut kiranya ada beberapa penyebab. Pertama, orientasi nilai pada calon guru ketika menempuh studi kuliah, yang mengakibatkan bahan pengetahuan, pengajaran dan skill hanya diukur berdasar nilai yang didapat. Sehingga, terkadang semasa menjadi mahasiswa, pendalaman pada penguasaan materi kurang dikuasai. Kedua, calon guru kurang memperluas pengetahuan lewat buku. Singkatnya, ada kecenderungan malas membaca buku. Dan tampaknya gejala malas membaca buku perlu menjadi sorotan.

Sebagai calon guru, sudah menjadi kewajiban untuk berlaku dan berpikir cerdas. Membiasakan aktifitas yang bersifat pengayaan intelektual, seperti diskusi, membaca buku, dan seminar, adalah kebutuhan pokok.

IKIP PGRI Semarang memiliki perpustakaan yang cukup menampung banyak sekali koleksi buku. Tentunya cukup untuk memenuhi kebutuhan baca mahasiswa. Juga beberapa unit kegiatan mahasiswa yang kerap menyediakan acara diskusi dan bedah buku. Hanya saja, permasalahan utama pada dasarnya adalah pada minat dan apresiasi mahasiswa itu sendiri. Sikap mahasiswa yang enggan bersentuhan dengan buku, apalagi membaca, tentunya merupakan bahaya laten pendidikan Indonesia di masa mendatang.
Malas membaca menyebabkan kualitas calon guru kurang matang. Kerap mahasiswa bersentuhan dengan buku hanya untuk urusan tugas semata. Selebihnya, menjadi sesuatu yang sulit untuk direalisasikan.

Membaca, pada dasarnya adalah proses penciptaan generasi intelektual. Dengan kebiasaan membaca, tentunya secara tidak sadar, kita dilatih untuk berpikir analisis, serta semakin melatih pemikiran yang bersifat kritis. Ada ungkapan yang sering dikaitkan untuk memahami kecerdasan seseorang. Kecerdasan seseorang adalah apa yang dibacanya. Dan kebebasan membaca buku sekarang sudah tidak lagi ada pembatasan. Kita bebas membaca buku apa saja. Semua tersedia, tidak dilarang pula. Berbeda pada zaman Orde Baru, untuk membaca buku tertentu, seperti buku beraliran kiri dan karya sastra serupa, sangatlah dilarang, bahkan sampai pada penangkapan. Hanya karena membaca buku!

Lalu bagaimana proses pemulihan minat mahasiswa pada buku bisa tercapai? Sehingga calon guru, lulusan kampus pendidikan, mampu memenuhi kualitas yang dibutuhkan?
Pertama, penciptaan tradisi dekat buku. Pengadaan kegiatan yang bersifat apresiasi buku—bedah buku, pameran buku, reading group—secara berkelanjutan, dan didesain semenarik mungkin. Upayakan acara demikian juga disokong oleh lembaga terkait seperti pihak institut, sehingga apresiasi buku tidak terkesan menjemukan.
Kedua, gerakan wajib baca buku masuk ke dalam sistem perkuliahan. Kecenderungan dosen untuk mewajibkan mahasiswanya membaca buku belumlah sepenuhnya terealisasi. Sebagai imbasnya, untuk pemahaman terhadap materi tertentu, mahasiswa cenderung mencari jalan instan seperti googling. Dengan mewajibkan mahasiswa untuk membaca buku pada tugas tertentu, kebiasaan ini akan terlatih.

Ketiga, dorongan dari segala pihak—institusi, pemerintah, lembaga pembukuan, mahasiswa—untuk memudahkan akses buku dijangkau mahasiswa. Institusi seperti kampus menyediakan buku. Pemerintah memberi bantuan pengadaan dan sosialisasi gerakan baca buku. Juga mengusahakan agar harga buku bisa terjangkau. Mahasiswa bersikap apresiatif terhadap buku. Dengan demikian, penciptaan tradisi buku pada calon guru bisa mulai tertata dan terlatih.

Membakar buku itu kejahatan, namun tidak membaca buku adalah kejahatan yang paling jahat. Kiranya begitulah pameo yang kerap kita dengar. Jelaslah pula kedudukan sebuah tradisi membaca buku. Sebagai calon guru, tentunya penguasaan atas kompetensi materi sangat diperlukan. Membaca buku adalah jalan menuju kompetensi diri yang berintelektual tinggi. Dengan adanya semangat membaca buku, calon guru tentu akan mendapatkan pendidikan yang berwawasan luas, pendidikan yang mendapatkan bumbu serta anjuran dari berbagai referensi. Semakin kuat referensi, semakin kokoh calon guru di Indonesia. Dan bila konsep tersebut bisa diterapkan di kampus IKIP PGRI Semarang, pendidikan bagi calon guru akan benar-benar melaju dengan mutu. Tentu dengan banyak membaca buku. Begitu.

Sabtu, 09 Juli 2011

Perempuan dan Kultus Kartini

Seandainya kartini lahir di tahun 2011, apakah beliau mampu menelorkan sejarah tentang perlawanan via teks dan intelektualitasnya lewat kumpulan catatan bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang?

Pertanyaan ini berawal ketika setiap menjelang peringatan Hari Kartini, 21 april, wacana selalu saja berkubang dalam perspektif perubahan kultur wanita masa kini yang kerap diidentifikasikan sudah melenceng dari apa yang Kartini ajarkan.

Kartini dalam beberapa tulisannya kerap mengejawantahkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pada era kekinian, permasalahan tersebut—meskipun sudah bukan menjadi masalah yang bersifat masif--tetap saja menjadi sasaran wacana publik.

Permasalahan perempuan Indonesia mutakhir, sejatinya tidak lagi mengacu pada gender policy, melainkan lebih pada substansi mindset dalam memandang kehidupan global.

Ejawantah seorang Kartini yang notabene perempuan Jawa yang ngalah terhadap adat. Perempuan harus taat terhadap adat meskipun bertentangan dengan kesetaraan gender. Kartini menolak keras.

Dalam salah satu kutipannya Kartini juga menyampaikan “cubitan halus” lewat pernyataan, alangkah senangnya laki-laki, bila istrinya tidak hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaanya, menghayatinya bersama suaminya”[Kartini, 4 oktober 1902]. Meski perempuan setara dengan laki-laki, tetap saja tak boleh melupakan peran sosialnya.

Perempuan harus mampu menyeimbangkan peran sebagai istri yang tak sekedar masak, macak, manak, melainkan mampu berpikir setara dengan menghayatinya bersama suami. Kartini, sebagai perempuan Jawa dengan ciri khas sanggul—bentuk rambut yang dibuat menggrumbul dibagian belakang kepala namun tertata rapi dan dilengkapi tusuk konde—mempunyai makna psikis yang kental. Sanggul digambarkan sebagai deskripsi cara berpikir yang hati-hati, tidak clingukan, cerdas, menjunjung tinggi adat, serta menjadi simbolisasi mahkota dari seorang perempuan.

Senyum tipis lamat-lamat yang dipamerkan dalam setiap lukisannya, memberi makna, perempuan mempunyai pembawaan tenang, lembut, namun tegas. Dari ikon kesempurnaan yang terlanjurkan pada sosok Kartini inilah krisis perempuan berawal. Kultus Kartini era mutakhir memang bergeser. Kartini tidaklah dipandang sebagai pahlawan emansipasi semata, namun mengarah pada standar perempuan yang “baik”. Sosok perempuan sejati.

Hal ini tentunya menyebabkan distransisi nilai moral-histori dan kenyataan kekinian. Kartini tidaklah lahir pada era lipstik berbahan baku emas, pergulatan di atas tahta kekuasaan, pergaulan ala Tomb Raider atau pun Charlies Angel, juga perempuan pada titik intelektual dan lintas peran. Perempuan Indonesia mutakhir adalah sebuah peran sosial-kodrati yang mampu menempatkan sisi modernitas secara global.

Kartini menjadi kultus, didewa-dewakan, yang tidak selidah-seiya dengan ajarannya berarti melenceng, yang apa-apanya harus ditakar dari kaca mata seorang Kartini. Sejarah selalu meninggalkan pesan yang bersifat memaksa dan membebani peran yang sudah pasti beda masa dan jamannya.

Kartini hidup dalam keterbungkaman, adat dan tradisi yang galak. Perempuan era kini ialah berdiri diantara nilai tehnologi, globalisasi, yang secara struktural dan anatominya terkontaminasi menjadi pemikiran manusia modern.

Tidak bisa disalahkan, mindset perempuan Indonesia modern tak lagi diukur dari kapasitas seorang pahlawan emansipasi. Memaknai Kartini di era Indonesia modern tidaklah pada baju adat yang sengaja diadatkan lewat karnaval atau model busana di atas cat walk. Bukan pula semacam style sanggul yang patut ditiru dan dielu-elukan. Kultus Kartini hari ini musti bersifat kualitas, bukan entitas.

Kita wajib bersyukur atas jasa Kartini. Memaknai segala pemikiran yang mampu menembus waktu dan zaman. Kartini mengabadi lewat pemikiran yang subversif, resisten, serta penuh penolakan. Kartini tidak lahir di abad 21. Abad di mana perempuan adalah mahluk sosio-kultural yang mampu berpijak pada nilai global. High heel dalam geliat modernisasi serta pergeseran peran secara sosial, intelektualitas.

Dan ketika Kartini dan sanggulnya yang mulai berdebu menyeruak dalam wacana Hari Kartini, perempuan Indonesia mutakhir tetaplah pada tendesi untuk perubahan. Meninggalkan Kartini pada zamannya, untuk segera beralih menjadi Kartini modern dalam tatanan sosio-kultural serta mampu berpikir think global act local. Not just sanggul dan kebaya. Dan mungkin akan semakin ekstrim, dengan melepas sanggul dan menggantinya dengan model atas daya cipta sendiri.

Perempuan Indonesia mutakhir mulai menulis jalan hidup, profesi, serta pemikiran yang lebih modern. Meninggalkan kultus entitas Kartini semata, yang sudah puluhan tahun silam dan tak perlu untuk ditiru ataupun diulang-ulang. Mencipta sebuah wajah. Wajah baru perempuan indonesia modern yang mengacu kualitas Kartini, sekali lagi, bukan entitas semata. Semoga.


[tulisan ini pernah jadi juara lomba artikel, tapi bukan atas nama diriku sendiri, melainkan pake nama teman tetangga kos saya. tidak disangka, tidak dinyana, e, malah dapat juara satu...hmmmlumayan....]

“Kesiasiaan” : pegiat puisi dan perwujudannya.¹

Oleh: Widyanuari Eko Putra²

Perkembangan kesastraan—dalam hal ini puisi—sangat ditentukan oleh banyaknya puisi yang muncul, baik secara formal melalui penerbit menjadi buku ataupun terbit di media. Utamanya adalah buku, karena lebih membentuk suatu intensitas dan keseriusan. Buku merepresentasikan gairah produktivitas nyata. Menandakan masyarakat puisi Indonesia masih rela untuk bekerja “sia-sia” dalam menjaga kehidupan puisi. Produk puisi di kalangan bisnis buku, tentu penjualannya tidak begitu menyenangkan. Puisi kalah dengan booming novel-novel cinta bestseller yang kerap memenuhi rak paling depan di toko buku. Disusul buku motivasi, biografi orang sukses [kenapa tidak biografi orang gagal?], kemudian cerpen diurutan ke sekian.
Kekuatan produksi pada penulis puisi yang masih saja berupaya menciptakan buku, masih membahagiakan. Mereka sadar betul, kemungkinan keuntungan dari buku puisi—secara finansial, ataupun prestis—kurang mencukupi. Tidak berharap untuk habis terjual. Ada yang membeli saja sudah bagus. Justru terkadang penulis puisi membagi-bagikan buku kepada penonton yang hadir saat launching. Itupun teman komunitas, juga keluarga. Alot jika harus menarik empati masyarakat secara umum demi apresiasi sebuah buku puisi.
Perjalanan menuju menjadi buku, akan sangat ditentukan oleh beberapa hal. Misal, dalam tahap seleksi, tentunya ada bayangan untuk memasang nama besar sebagai kurator, yang diharapkan mampu menjadi pemantik minat pembaca kelak. Beruntung jika punya banyak relasi, atau masih dalam lingkaran keluarga penulis, hal tersebut lebih memudahkan. Lalu bagaimana bagi penulis baru yang namanya baru sepintas nampang di facebook, tapi berambisi instan menjadi penulis hebat? Celakanya, banyak penulis pemula yang akhirnya banting setir. Menyeleksi puisi sendiri, mengkatapengantari sendiri, mengeditori sendiri, kemudian mencetak sendiri, dan akhirnya buku tersebut dibaca sendiri. Tragis.
Adapula proyek puisi yang dibuat hanya sebagai pemenuh program kerja. Misal agenda dari lembaga dan organisasi kesenian, institusi akademik, maupun komunitas tertentu. Untuk sekedar menuntaskan deadline. Sehingga ada kebebasan untuk sekedar mengumpulkan puisi untuk dibukukan. Dalam kasus ini, tentu tidak ada kendala secara finansial. Permasalahan justru muncul dari keengganan pihak terkait untuk secara serius menggarap proyek puisi tersebut. Karena memang hanya sebagai pemenuh agenda. Akibatnya kualitaspun hanya sepintas-lalu. Asal bisa terbit.
Untuk buku yang diciptakan secara pribadi, dengan biaya pribadi pula—tentunya bagi penulis dengan ekonomi serba pas, akan sangat berbeda dengan proyek buku puisi yang direalisasikan dengan mengandalkan sponsor, entah dari produk komersil, ataupun pihak lembaga dan institusi yang memungkinkan dimintai pertolongan untuk mendanai proses pembukuan. Biasanya terjadi pada komunitas, ataupun pegiat puisi yang tidak punya modal, sehingga menggaet beberapa pihak untuk kerjasama. Kongkritnya, seperti EO dan donatur. Proyek puisi seperti ini, biasanya yang bergerak adalah komunitas atau pegiat puisi yang dengan duka-rela mesti manut pada pihak donatur. Dengan membuka informasi pembukuan puisi, dan menyebar iklan, dengan harapan akan mampu meraup banyak puisi untuk diseleksi.

Mempertahankan estetika(?)

Banyak hal yang musti ditanggalkan oleh pegiat puisi ketika ada proyek semacam ini. Pertama, idealisme-estetis dari pemilihan puisi yang cenderung harus memenuhi standar sponsor. Standarisasi puisi yang sengaja ditetapkan oleh donatur, yang justru tidak pernah bersentuhan dengan puisi. Toh, meskipun terkadang bisa diantisipasi dengan menyewa nama besar yang pernah bersinggungan dengan puisi, entah itu mantan penulis, penikmat sastra, kaum akademika sastra, dan mungkin benar-benar seorang penulis, sebagai penyeleksi. Tapi tetap saja “ngalim”, tidak ada kebernasan menemukan sikap sebagai sastrawan. Negoisasi antara peran pelaksana dan donatur sungguh tidak ada. Kekuasaan mutlak.
Kedua, standarisasi biasanya pada ukuran umum, yaitu puisi tidak menjelek-jelekan, tidak propaganda, tidak “macem-macem”. Dengan demikian apakah penerapan standarisasi tersebut mampu menjaga kualitas dan kuantitas puisi? Sejauh mana penulis puisi mampu menjaga keliaran imajinasi mereka agar tidak bersinggungan dengan standar tersebut. Apakah donatur berhak membaptis diri untuk menentukan standarisasi puisi? Dan apakah memang ada standarisasi puisi? Semisal, untuk sebuah ukuran antologi puisi pendidikan, apakah semua puisi yang terkumpul harus menyuarakan dan mengagung-agungkan sekolah, nilai, guru dan belajar, yang merupakan bagian dari formalitas pendidikan? Tidak bolehkah, misal, seorang yang tidak mengenyam pendidikan secara formal, meneriakan kebenciannya pada pendidikan di negara ini, yang seolah seperti sudah tidak menjadi hak lagi, yang seolah tak pernah lepas dari politisasi dan komersialisasi? Bukankah masyarakat kita adalah manusia dewasa, tentu mereka memahami seperti apa kodrati sebuah puisi.
Akhirnya, puisi-puisi yang dianggap subversif, yang tidak sepakat dengan aturan di negara ini, harus rela dikebumikan, dilarang tampil. Sehingga tidak jarang, puisi yang kuat secara estetika, harus rela “dikebumikan” karena luapan, ungkapan, dan metafor yang bertentangan dengan pakem, meskipun hal tersebut adalah biasa bagi khalayak puisi. Seperti halnya Wiji Tukul dengan sajak “Peringatan”, yang justru mengantarkan si penulis pada keraiban.
Ketiga, pelaksana kerja [baca: pegiat puisi sebagai pelaksana] seakan tidak dimanfaatkan kekuatan referensi-puitikanya demi memproduksikan buku puisi yang bernilai secara estetis. Keotoritarian dari pihak donatur justru kerap tidak memberi manfaat bagi perkembangan puisi yang kini sedang lumpuh. Alhasil, puisi yang hadir adalah yang oleh almarhum Rendra disebut sebagai puisi dari penyair salon. Ataupun puisi yang melulu berbicara tentang daun yang jatuh dari tangkai pohon yang rapuh. Puisi menjadi pakaian yang bisa lepas-pakai semaunya. Tidak ada kedalaman makna yang bisa disampaikan.
Kelahiran buku adalah bukti kesadaran secara moralis untuk menjaga kebudayaan dan berkesenian bagi penciptanya. Namun, dengan pelbagai politisasi yang bukannya mempercantik, namun cenderung mengotori, akankah kehadiran buku puisi bisa memberi “penyelamatan dan penyucian” ruhani yang terkarutmarutkan. Lalu apakah masih bisa kita sepakati, bahwa “jika politik mengotori, maka puisi membersihkan”, seperti yang pernah dicetuskan oleh John F. Kennedy. Kita musti terus berusaha dan berdoa, agar kehadiran manusia yang rela bekerja “sia-sia” dalam mencipta buku puisi, meskipun itu di tengah suasana keterkekangan donatur [baca:penguasa], akan terus ada dan mewabah. Tinggal kita yang memilih, menjadi penyambung puisi secara estetis, atau sekedar politisasi terhadap puisi, dan membiarkannya tumbuh sepeti kanker. Semakin banyak “kesiasiaan”, saya yakin akan semakin hidup kesastraan puisi di Indonesia. Begitu saja.

Pandean lamper, 26 juni 2011

Catatan:
1.Tulisan bebas ini menanggapi kesemrawutan proses pembukuan puisi yang kerap disisipi standarisasi oleh pihak institusi/ pemerintah terhadap aturan-aturan puisi yang sama sekali tidak bisa dibenarkan.
2.Mahasiswa Bahasa Inggris, bermukim di UKM Kias.

Jumat, 18 Februari 2011

Rasanya Baru Kemarin" karya Mustofa Bisri

tentang sepatu pantopel


Solilokui. Sebenarnya tidak ada alasan apapun kenapa sampai sekarang saya belum membeli sepatu kulit hitam, atau kalau teman-teman saya bilang, namanya sepatu Pantopel. Tapi yang jelas, alasan utamanya adalah karena saya belum ada uang untuk membelinya.

Sebenarnya saya punya sepatu sejenis. Saat itu, setelah beberapa bulan diterima kuliah, saya diberi sepasang sepatu kulit merek Nike oleh Mas Yono—beliau adalah mantan preman di desa saya, akan tetapi sudah taubat dan sekarang kami kerap nongkrong dan sering ngobrol bersama. Mungkin karena seringnya saya main ke rumah Mas Yono, jadi ketika mengetahui saya sedang membutuhkan, beliau spontan menawarkannya. Saya pun menerimanya dengan senang. Menurut beliau, sepatu itu dipakai sejak masih bujangan, sampai sekarang masih awet. Saya jadi tersanjung dengan ucapan beliau.

Entah kenapa saya malas sekali kalau pake pantopel. Ya kurang nyaman lah, ya wagu lah, ada saja alasan untuk tidak memakainya. Pernah juga saya pakai pantopel pemberian Mas Yono. Saat itu saya sedang demam sastra. Jadi ceritanya, dulu saya jadi ketua UKM sastra, agar kelihatan nyastra, saya memakai kostum berbeda. saya sering membiarkan penampilan saya kumal dan tidak terawat; gondrong, pakaian tidak pernah disetrika, dan tidak ketinggalan, kemana-mana selalu pakai sepatu pemberian Mas Yono. Dengan begitu saya ingin terlihat sok nyastra, hahaha. Tapi nasib sepatu itu, kini sudah tidak saya ketahui. Seingat saya, dulu tertinggal di kost teman, tapi sepertinya raib.

Ketidakpernahan saya menggunakan pantopel sering dikait-kaitkan dengan tertundanya mengikuti Praktek Pengalaman Lapangan [PPL]. Padahal intinya karena satu, malas! Tapi biarlah, yang penting teman-teman sebenarnya tahu. Tapi ya itu, mereka suka ngerjain.

Nah ini dia, berhubungan dengan sepatu yang saya ceritakan tadi. Sebenarnya ulang tahun saya sudah kadaluarsa, ya sekitar tiga minggu silam. Tapi entah kenapa, hari rabu kemarin [9/2] sewaktu sedang rapat LKM-lembaga keuangan mahasiswa--lagi-lagi aku dikerjain oleh teman-teman. Jika kemarin saya dikerjain habis-habisan oleh teman-teman KIAS, kali ini giliran dari LKM.

Suasana rapat saat itu berbeda dari biasanya. Jika biasanya rapat LKM tidak pernah ada adu sengit, kali ini benar-benar bikin aku naik pitam. Apalagi, seorang teman saya di LKM, Hasif, yang biasanya sependapat, tiba-tiba berubah drastis. Dia seolah menyudutkan setiap usulan dan pendapat saya. Apalagi masalah yang dibahas saat itu adalah berkenaan dengan dana subsidi, tentu hal ini rawan jika tidak berhati-hati.

Berkali-kali emosi saya tersulut, dan berkali-kali pula saya hampir lepas kendali. Hasif dan yang lain benar-benar membuat saya naik pitam. Hampir satu jam lebih rapat berlangsung tegang. Saya benar-benar tidak tahu kalu mereka semua bersekongkol. Berulang kali saya beradu dengan nada keras dan tampak pula emosi saya.

Rapat pun selesai dengan sisa emosi yang nyala. Hasif kemudian menyuruh saya untuk menutup mata beberapa detik. Saat itulah saya baru sadar kalau saya sedang dikerjain. Saya sempat curiga juga ketika harus menutup mata. Saya membatin, pasti mereka akan memberi kado petaka buatku. Yah, seperti kado dari teman-teman kias. Kau tau? Kado isi kecoa! Benar-benar memuakkan, mereka tahu kalau aku paling takut sama mahluk bernama kecoa, tapi mereka sengaja.

Apakah kali ini berbeda? Saya belum tahu. Namun begitu mata kubuka, kotak besar bersampul kertas pink bermotif bunga, ada di hadapan. Kotak itu nampak besar dan mewah. Tidak ada ikatan pita layaknya sebuah kado, tapi saya tetap belum yakin dengan isinya.

Benar dugaan saya, ternyata teman-teman LKM memberi hadiah atas ulang tahun yang ke 22 kepada saya. Untuk ke dua kalinya saya mendapat suprise. Tapi saya tetap kurang yakin kalau isinya hadiah, siapa tahu dikerjain lagi. Agar sedikit yakin, kuperiksa kado tersebut. Saya senggol tepiannya, kemudian saya gerak-gerakkan. Sedikit berat, dan nampaknya memang benar-benar hadiah. Teman-teman memaksa untuk segera membuka bingkisan kotak berlapis warna pink itu. Ya, akhirnya dengan penasaran saya buka kado itu. Perlahan saya sobek sampilnya, menguliti hingga sampulnya habis. Kalian pasti bisa menebak isinya. Ya! Sepatu pantopel merek Fladeo nomor 42. Sepatu yang sempat sangat membuat saya malas jika harus memakainya. Tampilannya mengkilat dan nampaknya cukup mahal.

Aku bangga dan senang. Bangga karena masih ada teman-teman yang mengingat hari jadiku. Senang karena aku memang sedang membutuhkan sepatu pantopel untuk PPL semester depan. Dengan tawa yang teramat puas, teman-temanku mengucap selamat padaku. Aku sungguh terharu. Mereka semua masih mengingat hari jadiku. Dengan sedikit guyon, hasif memberikan ucapan selamat sembari berkata, “ini sepatu sengaja kami hadiahkan karena kami tahu kamu belum punya, ayo ndang cepet PPL..!”. Saya tersenyum tipis, sedikit berkaca-kaca, kata-katanya seperti tamparan sandal swalow yang mendarat di pipiku, juga hatiku....

Senin, 14 Februari 2011

Bela sungkawa dalam proses “menjadi”

Keputusan menciptakan ruang tersendiri adalah hal biasa bagi yang kuat dalam niatan untuk “menjadi”. Seperti halnya keprihatinan sebelum menuju kesuksesan, setiap individu berhak atas pemilihan ruang yang bisa membuka jalan baginya. Tidak berbeda adanya bagi para pemuda pegiat sastra. Sebuah pijak awal yang perlu dirumuskan dengan matang. Apakah nantinya keputusan itu bisa melancarkan jalan ataupun kerap menjadi penghalang, itu urusan belakangan. Yang pasti keinginan dan bulat tekad merupakan syarat wajib sebelum bisa melangkah menuju proses untuk “menjadi”.

Kelahiran komunitas bukanlah jaminan atas eksistensi individu yang mempunyai kegelisahan yang sama sekalipun. Bisa dimaklumi jika apa yang membuat semangat kian nyala adalah ketika kecocokan dan kondisi kebetulan bersetubuh pada individu tersebut, seperti group band sajalah. Bongkar-pasang personil sudah menjadi hal wajar, bahkan ganti nama group atau pindah. Kesemuanya menjadi akrab dan lebur menjadi satu yang belum tentu akan mengabadi. Individu mempunyai ego dan superego yang terkadang bisa saling bergesekan dan meruncing. Sejauh ini bisa kita pahami bahwa kelompok yang mengompakkan diri adalah pada batas kebetulan yang benar-benar tidak kokoh. Lingkup kuliah misalnya. Pertemuan atas latar belakang lokasi kuliah yang sama dan keinginan yang sama adalah hal yang kebetulan. Dan kemudian membentuk kelompok kecil dengan misi yang kerap “disama-samakan”. Maka bisa dipastikan hal tersebut sama halnya musim durian, tumbang-tumbuh sesuai jadwal.

Keterlibatan personal dalam berkelompok adalah dengan misi yang tentunya berbeda, dengan dalih berbeda pula. Jadi penulis tegaskan, keinginan dan kesamaan visi-misi bagi pegulat komunitas adalah nihil. Karena hakikatnya semua individu punya keinginan orisinil, dan hal itu tak bisa dipetakan sesuai keikutsertaan deadline acara yang disiapkan. Tidak ada yang bisa menjudikasi kesamaan dan keterlibatan individu pada kelompok tertentu adalah sebuah bukti keloyalitasan. Setiap mimpi tidaklah sama, dan kaitan ego yang tinggi-meninggi itu adalah sebuah bukti. Keikutsertaan bukan tanpa alasan, dan kesemuanya akan lepas ketika sudah meraih hal yang menjadi tujuan.

Karena itulah, berproses mengorganisir diri dalam komunitas adalah mempersiapkan sebelum maju berperang dalam jagad yang tidak bersahabat. Karena sahabat adalah musuh sekaligus teman berproses. Jadi waspadai semua teman yang kini berproses bersama anda! Dan tak perlu berbelasungkawa jika keadaan akan berputar balik, menjadi lawan, ataupun menjadi bukan teman. Sekian.

Pandean lamper, 9 oktober 2010

[Sebenarnya tulisan ini sudah lama saya tulis, dan saat itu belum tahu untuk apa tulisan ini saya buat. Tapi hari ini, menjadi berarti; setelah mengetahui seorang teman saya yang dulu seperjuangan dalam berkarya, kini mati dengan pilihannya sendiri. Ya, ia bunuh diri karena memutuskan untuk tak lagi berurusan dengan namanya "sastra". condolences for Maftuhah Arriedwan, God blessing..]