Minggu, 06 September 2015

Mengisahkan Jawa dari Secarik Kartu Pos

Selalu ada cerita di balik sebuah kartu pos. Dulu, kartu pos tak sekadar alat komunikasi tertulis. Foto yang tercantum di selembar kartu pos kerap menampilkan tempat dan hal-hal menarik dari mana kartu itu dikirimkan. Keragaman dan kecantikan foto-foto tersebut membuat kartu pos jadi benda incaran untuk dikoleksi.
Adalah Olivier Johannes Raap, seorang sejarawan, arsitek, sekaligus kolektor barang antik berkebangsaan Belanda, pengoleksi kartu pos yang memuat foto-foto Jawa awal abad 19. Raap mengoleksi kartu pos terbitan tahun 1990 sampai 1950. Dari kartu pos lawas itu, Raap berinisiatif mengadakan riset. Foto di kartu pos jadi rujukan membaca kesejarahan kota-kota di Jawa tempo doeloe.
Kini, hasil risetnya terbit dalam buku Kota di Djawa Tempo Doeloe. Foto-foto itu menghadirkan lanskap kota di Jawa, era Hindia Belanda. Raap memberi penjelasan pada setiap foto melalui perbandingan referensi dan data sejarah. Seperti lazimnya sebuah kota, foto menampilkan macam-macam bangunan, seperti gedung pemerintah, jembatan, rumah, jalan, taman, tempat dan transportasi publik.
Dalam pengisahannya, Raap menggunakan perbandingan kondisi dulu dan sekarang. Sebuah gedung, misalnya, akan dijelaskan mulai dari sejarah, fungsi, dan perubahannya dari masa ke masa, kemudian membandingkan keberadaan gedung itu saat masih di bawah kolonialisme Belanda dengan kondisi saat ini. Beberapa gedung mungkin masih ada dan menjadi bangunan cagar budaya. Tapi tak sedikit yang berubah fungsi, mengalami pemugaran total, bahkan sama sekali hilang karena diganti bangunan lain.
Kartu pos berjudul Oud Batavia (Batavia Lama), diterbitkan oleh G. Kolff & Co., Batavia, berlokasi di Jalan Kali Besar Timur, Jakarta, misalnya. Raaf menjelaskan:”Pada abad ke-18, daerah ini merupakan pemukiman Eropa di dalam perbentengan Kota Batavia. Rumah-rumah dibangun menghadap ke kali, seperti di Belanda.” Di akhir tulisan, Raaf seolah menyayangkan kondisi bangunan tersebut yang hari ini “dibiarkan tidak terawat dan terkesan kumuh”(hal.59).
Jika pembaca tidak kritis, perbandingan yang Raap ajukan bisa memunculkan dikotomi yang lebar antara kondisi di era kolonial dan pasakemerdekaan. Akan terbentuk kesan yang begitu menonjol bahwa Indonesia seolah tak sanggup mengelola pelbagai bangunan tinggalan Belanda. Hal itu bisa kita baca lewat beberapa penjelasan Raaf terkait bangunan yang berubah terpuruk dan ambruk ketika di kelola mandiri oleh pemerintah Indonesia. 
Meski begitu, Raaf masih menampilkan lanskap tradisi di masyarakat Jawa lewat foto-foto yang mengisahkan pasar, sungai (maritim), tempat ibadah (Islam) dan rumah. Sebuah kartu pos berjudul “Passar Redjowinangoen” menampakan orang-orang menggelar barang dagangan, seperti buah, cabe, hasil perkebunan, dengan membawa pelbagai bakul atau pikulan. Dagangan digelar begitu saja, kebanyakan menggunakan tikar. Kartu pos itu terbit 1910 oleh H.V.Maresch, Magelang (hal.79).  
Di bab “Tentang Aliran Air”, akan kita dapati bagaimana kebudayaan sungai pernah begitu hidup di Jawa. Orang Jawa memaknai sungai sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Sampan, perahu, dan kapal kecil, hilir mudik mengisi sungai-sungai di Jawa. Orang-orang berinteraksi di sekitaran sungai, seperti berperahu, mencuci pakaian, serta untuk urusan pengangkutan barang. Bahkan jembatan yang dibangun saat itu didesain agar tak mengganggu proses lalu lintas sungai.
Sebuah kartu pos bertitimangsa 1908, berjudul Ophaalbrug Pasar Ikan (Jembatan Angkat Pasar Ikan), diterbitkan oleh Visser & Co., Weltreveden, menampilkan sebuah jembatan angkat bergaya Belanda. Jembatan ini bisa diangkat ketika ada perahu hendak lewat, sehingga keberadaannya tidak mematikan jalur transportasi air saat itu (hal.213). Berbeda dengan kondisi saat ini, di mana banyak jembatan dibuat paten, yang akhirnya, secara perlahan memutus kebudayaan sungai di Jawa.
Terlepas dari cara pandang Raaf yang masih memakai perspektif kolonial, meski tidak keseluruhan, dalam menjelaskan Jawa lewat foto di kartu pos, hasil riset ini pantas jadi alternatif membaca kebudayaan dan keadaan kota di Jawa di masa lalu. Foto-foto itu, paling tidak, ikut membantu bagaimana Jawa dikenal dunia lewat secarik kartu pos.[] 

Resensi dimuat di Koran Jakarta, 07 September 2015