Senin, 28 Desember 2015

Etos Kaum Sarjana

 Di Indonesia, orang-orang bergelar sarjana sudah ada sejak puluhan tahun silam. Mereka menempuh kuliah dan meraih gelar sarjana sebagai misi mendongkrak harkat dan martabat bangsa. Dulu, sarjana adalah orang-orang terpilih. Mereka kerap digadang-gadang menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka ada untuk menjalankan misi keberaksaraan, nasionalisme, dan revolusi Indonesia. Sukarno, Hatta, Frans Seda, untuk menyebut beberapa cobtoh, adalah sarjana di masa lalu yang sanggup mewariskan pemikiran dan sumbangsihnya kepada negara.
Bergelar sarjana bukan tanpa risiko. Di zaman kolonial, menjadi sarjana adalah siasat mempersiapkan manusia-manusia pengisi kemerdekaan. Capaian gelar sarjana tentu membuktikan betapa kaum bumiputera tak lebih rendah dari penjajah. Tak pelak, sarjana di zaman itu mesti berhadapan dengan penguasa kolonial. Karena kepandaiannya, sarjana kerap dirayu untuk ikut berpihak pada kepentingan kolonial. Godaan kaum sarjana bisa berupa tawaran proyek, jabatan, dan kekuasaan.
Cindy Adams (1966:95) mencatat pengisahan Sukarno saat berkeputusan menolak rayuan kolonial pasca bergelar sarjana. Kepandaian Sukarno di bidang arsitektur telah memukau gurunya, seorang warga Belanda. Pasca lulus kuliah, Sukarno diajak bekerja sama dalam proyek pembangunan rumah untuk kepentingan para pegawai kolonial. Sukarno pun menolak tegas, ia punya keyakinan ideologis terkait penolakan itu.
“Pemuda sekarang harus merombak sebiasaan untuk mendjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnja. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama-lamanja.” Sukarno memilih tak mendapat kerja ketimbang berpihak pada penjajah. Padahal, saat itu, untuk membeli gula pasir saja Sukarno tak mampu. Godaan seorang sarjana di masa lalu berkaitan dengan sikap dan pandangan politik. Mereka yang tak tahan godaan bakal terseret ajakan kolonial, yaitu dipekerjakan untuk urusan-urusan kolonial dan, tentu saja, dicap pengkhianat di kalangan pejuang dan aktivis kemerdekaan.
Waktu terus berlalu, tantangan kaum sarjana terus berubah. Pasca Indonesia merdeka, para sarjana mesti menentukan pilhan, melanjutkan etos kesarjanaan atau apatis sepenuhnya dan memilih berkarir demi urusan pribadi. Tak bisa dimungkiri, selepas studi, kaum sarjana dibayangi tuntutan untuk lekas bekerja, berpenghasilan cukup, serta berumahtangga.
Namun, selalu saja muncul tokoh-tokoh yang dengan keteguhan idealismenya tak ingin cepat-cepat berlabuh pada dermaga bernama pragmatisme demi urusan personal. Pilihan untuk terus bergelayut dalam idealisme dan intelektualisme ditempuh oleh Soe Hok-Gie. Bulan Desember adalah bulan peringatan Soe Hok Gie. Ia lahir 17 Desember 1942 dan wafat 16 Desember 1969.  Semasa mahasiswa, Gie menempatkan diri sebagai pemanjat gunung, aktivis, serta pembaca buku yang tekun. Ia tegas menjunjung moral, serta lantang menebar kritik pada penguasa.
Menjelang akhir masa kuliah, Gie sadar atas pilihan hidup yang bakal ia pilih. Gie tak sempat bimbang memilih jalan hidup pasca bergelar sarjana meski dihadapkan pada beberapa pilihan: Kerja di fakultas sambil jadi wartawan bebas; pergi ke luar negeri, atau kerja di fakultas dan mulai membuat karier lain (1983:303). Gie tak ingin terseret arus uforia politik kekuasaan pasca keruntuhan rezim Sukarno, seperti pilihan teman-temannya yang lain. Gie memilih bersetia pada jalan yang memungkinkan baginya untuk tetap independen dan kritis.
Jika Gie mantap menatap pilihan karier, dilema justru dialami Ahmad Wahib, intelektual muda Islam era 1970an. Wahib bimbang ketika harus mengimbangi antara pilihan memperbanyak jenjang studi dan tuntutan ekonomi. Saat itu, Wahib mendekati akhir masa kuliah. Ia pun berhasrat menambah waktu berkuliah demi mempelajari bidang-bidang politik, sosial, agama, dan kebudayaan umumnya.“Tapi untuk semua itu harus ada tempat tinggal yang memadai dan…uang tentu saja” (1981:314).
Ambisi berintelektual terganjal urusan uang dan tempat tinggal. Wahib pun berkeputusan memilih jadi wartawan, berdalih keterawatan nalar kritis. Tahun 1973, Wahib meninggal di usia muda akibat sebuah kecelakaan. Kita bersyukur Wahib “sempat” mewariskan catatan hariannya sebagai hasil pemikirannya yang cemerlang itu. Kini, kita mengenang Wahib sebagai tokoh muda sang pembaharu Islam.
Kisah para sarjana di masa lalu mengingatkan kita perihal dilema kaum sarjana. Cerita menyedihkan terus bertambah saat rezim Orde Baru berulah melancarkan pembungkaman dan penyeragaman. Ideologi pembangunanisme menciptakan elitisme bagi para sarjana. Kebebasan berpikir terkubur di sumur peraturan. Bergelar sarjana telanjur disalahmaknai sebagai jaminan berpekerjaan enak dan berstatus sosial tinggi. Bergelar sarjana memang prestisius meski tak menjamin hidup berkelimpahan materi.
“Nasib sarjana digariskan oleh politik tanpa pemerdekaan peran dan misi. Pengondisan ini mengingkari jejak-jejak intelektualitas saat para penggerak bangsa mendefinisikan Indonesia” (Mawardi, 2014). Ironisme sarjana pun semakin marak, dari plagiarisme, pragmatisme, hingga diletantisme akademik. Pemaknaan sarjana berakhir pada adegan berfoto bersama keluarga dan teman-teman saat wisuda.
Uforia menghadiri wisuda bakal berganti kecemberutan saat sarjana dihadapkan pada kenyataan perihal sempitnya lapangan kerja. Keberlimpahan sarjana justru tampil saat acara-acara bertema “job fair”. Mereka berdesak-desakan menyerbu lowongan kerja. Wajah-wajah pucat mengiaskan nasib sarjana sedang limbung. Kita pun semakin kehilangan jejak etos kesarjanaan mengacu Sukarno, Soe Hok-gie, dan Ahmad Wahib.  []


Dimuat koran Wawasan, 29 Desember 2015

Minggu, 20 Desember 2015

Kisah Para Pejuang Menentang Kekuasaan

Persinggungan dengan kekuasaan memang kerap memicu konsekuensi rawan. Mereka yang memilih menentang kekuasaan mesti sadar atas risiko tersebut. Kedigdayaan kekuasaan ibarat amuk badai. Para penentang itu mesti siap jika suatu saat dihempas badai kekuasaan sebagai konsekuensi perlawanan. Kekuasaan sanggup menghilangkan jejak dan ingatan, melempar para penentangnya ke pingggiran zaman, ke sudut-sudut mematikan.
Dalam konteks inilah, buku Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran Soe Hok Gie sampai Putra Sang Fajar Bung Karno (2015) karangan Daniel Dhakidae menghadirkan lacakannya terkait peran yang dimainkan oleh tokoh-tokoh yang dalam hidupnya berkeputusan untuk berhadapan dengan kekuasaan. Daniel “menangkap momen hidup seseorang, melihat mengapa momen itu penting bagi dirinya”. Dalam artian, “sekiranya tiada momen itu dalam seluruh konteks historisnya, seorang akan melalui jalur yang normal saja”. Daniel pun merunut faktor “apa yang mengubah jalur itu” (hal.xi).
Untuk menjelaskannya, Daniel membagi buku ini dalam tiga kerangka besar. Pertama, keberkuasaan mereka yang tak berdaya, powerfullnes of the powerless. Daniel memberi perhatian kepada tokoh-tokoh yang dalam ketidakberdayaannya justru sanggup menggetarkan dunia sekitar dan pusat kekuasaan. Adalah Soe Hok Gie, pemuda idealis penyeru kritik atas kekuasaan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin. Kita mengenal Gie sebagai pemuda tukang protes, moralis, serta pembaca buku yang ambisius.
Gie tentu saja tak memenuhi syarat untuk disebut sebagai individu yang berkuasa. Namun, Gie berani menulis kritik dan makian, tertuju pada penguasa. Ia turun ke jalan demi menggerakkan demonstrasi mahasiswa, menuntut penggulingan Sukarno dari ranjang kekuasaan. Sikapnya itu, dalam istilah Daniel, semacam praktik sadisme intelektual.
Di sisi lain, bagi Daniel “kekuasaan” yang dimiliki Gie, dalam kapasitasnya sebagai pengkritik dan pemantik sumbu perlawanan di kalangan mahasiswa, sangatlah ironik. Gie ibarat dilema bagi zamannya. Ia “senantiasa dikagumi, dipuja dan dipuji, tetapi dalam dirinya dia sebenarnya orang yang ditolak dalam setiap lingkungan yang dia masuki”(hal.96). Gie sanggup menyerang jantung kekuasaan, yang oleh karenanya dibanggakan oleh kawan seperjuangan namun sekaligus ditolak karena sikap kritisnya yang tak pandang pihak.
Kedua, keberkuasaan kaum yang terbuang, power of the outcasts. Keberkuasaan tokoh-tokoh yang oleh negara dicap sebagai penjahat, kaum durjana, dan juru kriminal. Dalam pembahasan ini, Daniel mengajak pembaca bertamasya ke masa silam, membuka kembali catatan dan berita di masa lalu. Daniel mengisahkan sosok Kusni Kasdut yang sangat mungkin saat ini sudah hilang dari ingatan publik.
Kasdut dikenal sebagai pejuang di era kemerdekaan namun bernasib apes. Bertahun-tahun melakoni hidup sebagai pembela Republik, Kasdut justru tak diakui sebagai tentara Indonesia. Sejak itu, Kasdut “memutuskan untuk membalas dendam kepada negara yang “mengkhianati” dirinya dan memilih tempat “bersebarangan” dengan negara yaitu dengan menjadi penjahat” (hal.223).
 Kekecewaan itu termanifestasikan lewat serangkaian aksi pemberontakan dan perampokan. Lakon pejuang apes itu pun berakhir dalam petaka. Tahun 1980, Kasdut dieksekusi mati. Daniel menyebut perjumpaan Kasdut dengan kekuasaan “membawanya ke dunia hitam, dan karena menerjang badai menemui ajalnya” (hal.235).
Ketiga, ketidakberdayaan mereka yang mampu, powerless of the powerfull. Mereka yang memiliki daya, berilmu tinggi, dan banyak pendukung, belum tentu tangguh di hadapan kekuasaan. Kisah tragis itu menimpa Sukarno. Hidup sebagai aktivis-nasionalis di era kolonial tentu menanggung risiko tak sederhana, dari penangkapan, pemenjaraan, hingga pembuangan. Sukarno mungkin sadar atas risiko menjadi aktivis kemerdekaan meski tak menyangka bakal tak kuasa menahan serangkaian teror dan intimidasi dari pihak kolonial.
Pada 31 Juli 1933, pasca pembacaan pledoi Indonesia Menggugat, untuk kedua kalinya, Sukarno kembali dipenjara. Belanda sukses meruntuhkan keteguhan Sukarno karena tak bisa membela diri lagi, dan semua itu dihadapinya sendiri tanpa dukungan pembela-pembelanya. Sukarno pun dibuang ke pengasingan di Ende, Flores. Peristiwa ini telah membuat Sukarno “menjadi jinak, bisa dikendalikan ke mana saja para penguasa mau, dan takluk. Karena itu tekanan-tekanan yang diperoleh dalam interogasi menghancurkan perlawanan Sukarno”(h.381).
Selain ketiga tokoh di atas, Daniel juga membahas tokoh-tokoh lain yang dalam hidupnya pernah mengambil sikap berbeda terhadap kekuasaan, seperti Pramoedya Ananta Toer, Frans Seda, Mohammad Hatta, Sam Ratulangi, hingga Gus Dur. Meski pada mulanya naskah asli buku ini ditulis bukan demi satu kepentingan yang sama, Daniel sanggup merangkainya ke dalam satu kerangka teori yang kokoh.
Dalam uraiannya, terbaca jelas keterpengaruhan Daniel pada pemikiran Michel Foucault, yaitu dari tulisannya yang berjudul The Infamous Men, dan Pierre Bourdieu, terkait relasi-relasi dalam proses produkasi dan hal-hal di luar proses kreatif (The Field of Power, Literary Field, dan Genesis of the Producers Habitus).

Penjelajahan Daniel menelusuri saling kait antara sejarah, biografi, dan konteks sosial, berhasil membeberkan keputusan dan peran yang dimainkan oleh para tokoh dalam konfrontasinya dengan kekuasaan. Rentang waktu tiga puluh tahun penulisan naskah buku ini membuktikan keseriusan dan ketekunan Daniel dalam menyuntuki wacana kekuasaan di Indonesia, bereferensi ketokohan para penentang kekuasaan.[]

Dimuat Koran Jakarta, 21 Desember 2015