Jumat, 18 November 2016

Siasat Nama Kuliner

Tampaknya tidak hanya artis sinetron yang gemar menggunakan nama aneh, unik, dan tak jarang nyleneh, demi meraih simpati publik. Kuliner juga. Di belantika perkulineran mutakhir, para pengusaha beradu siasat menamai produk kuliner mereka dengan penekanan pada kekhasan rasa, penampilan, bahkan sensasi agar nama enak dibaca.
Nama-nama produk itu tak jarang keminggris, mengikuti merek berlabel internasional. Tentu saja untuk menggoda calon pembeli. Namun, kita justru dibuat kecut saat disuguhi nama produk itu ditulis dengan ejaan keliru, bahkan ngawur, terpajang di kedai, warung atau gerobak kaki lima.
Kekeliruan itu pun tak perlu kita ributkan sampai ke rubrik bahasa di majalah atau koran ibukota. Hanya saja, patut disayangkan pemilihan dan penulisan nama tak dilakukan secara kreatif dan teliti.
Bisnis kuliner memang urusan rasa tapi perkara penjualan ditentukan oleh taktik pemasaran. Tak sedikit pengusaha besar rela beriklan jutaan rupiah di majalah, televisi, spanduk di pinggir jalan, agar nama dagangannya menancap di ingatan publik.
Sebagian lain memilih berolah kreasi memakai nama-nama yang berkesan lucu, juga mistis. Dalam waktu lima tarikan nafas, misalnya, kita lancar mengingat: rawon setan, sambal setan, sambal bledek, ayam jingkrak, oseng-oseng mercon, dsb.
Pemilihan nama itu tentu bukan karena wangsit atau mimpi. Keputusan memilih nama kadang bermula dari peristiwa unik atau berkesan. Konon, seorang pengusaha kuliner asal Cirebon bernama Mutiah mulai menggunakan nama sambal setan untuk sambal buatannya sejak kedatangan turis asal Amerika Serikat yang makan di warungnya.
“Karena kepedasan, wajahnya mengeluarkan banyak keringat, ingus dan ludah. Dia kemudian berteriak,’Pedes sekali. Saya jadi kayak setan”. Sejak saat itu, warung Bu Mutiah, yang berada di Jakarta itu, akrab disebut warung sambel setan (Kompas, 11 November 2016).
Ternyata oh ternyata, sambal ekstra pedas bisa berfaedah dan membawa hoki. Kini, jualan Bu Mutiah jadi kian tenar. Kita tak usah repot-repot mengadakan riset serius untuk membuktikan apakah Mutiah adalah pemakai pertama istilah sambal setan di Indonesia.
Yang jelas, sambal bercap “setan” itu disukai orang-orang. Publik pun mafhum: siapa berani icip-icip sambal setan mesti siap lidahnya “terbakar” karena kepedasan. Kini, orang-orang terbiasa disodori istilah sambal setan.
Bersejarah
Sejak ratusan tahun silam, bangsa ini memiliki catatan sejarah perihal rasa pedas. Konon, awal kehadiran makanan pedas di Nusantara bermula dari perebutan pengaruh perdagangan rempah di kawasan Indonesia Timur, yaitu di Maluku dan Sulawesi Utara.
Semula, rasa pedas itu berasal dari rempah-rempah. Hingga kemudian pada akhir abad XV, Spanyol masuk ke Nusantara sembari mengangkut tanaman cabai. Spanyol berniat menggantikan lada hitam yang kala itu jadi alat tukar perdagangan dan dikuasai oleh penguasa Maluku Utara.
Ketika pada tahun 1644 VOC Belanda dan Ternate bersekutu dan berhasil mengusir Spanyol dari Maluku dan Sulawesi Utara, tinggallah tanaman cabai di sana. Akulturasi pun terjadi. Orang-orang  Minahasa mulai tergoda mencampur cabai dan rempah-rempah. Hasilnya, makanan di daerah itu bercitarasa pedas sekaligus panas (Tempo, 1-7 Desember 2014). Kita sulit mencari informasi apakah kala itu sudah ada orang-orang yang memakai istilah sambal setan.
Penamaan makanan secara “tak lazim” justru tercatat sudah ada di era kepemimpinan Presiden Soekarno. Buku Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Soekarno yang terbit kali pertama tahun 1967, dan dicetak ulang oleh penerbit Komunitas Bambu (2016), mencatat puluhan resep makanan bernama unik dan aneh.
Kita bakal tersenyum tipis saat membaca sekian nama resep masakan di dalam buku: Sambal penganten, sambal bantji, sambal banteng, gelombang samudra, granat muntjrat, asmorodono, dan sajur manipol usdek…. Wah, ada “sambal banteng” dan “sajur manipol usdek”!  
Kita menduga penamaan “sambal banteng” terinspirasi oleh kegemaran Soekarno dalam menggunakan kepala banteng sebagai lambang dan simbol. Sedangkan istilah Manipol Usdek tak lain adalah gagasan politik milik Soekarno saat menerapkan politik terpimpin, tepatnya sejak tahun 1959.
Lantas, apa isi resep “sajur manipol usdek” itu? Nama masakan terkesan serius padahal berisi bahan-bahan biasa: “daging/tetelan 1/4 kg, kedelai ½ gls, katjang pandjang 2 ikt, daun melindjo dengan buahnya 1 gls, kelapa ½ btr, daun katuk 1 ggm, djagung muda 3 bh, terong 1 bh, daun katjang pandjang 1ggm”.
Penamaan makanan tergoda acuan ideologis. Sejarawan JJ Rizal menyebut urusan pangan adalah bagian dari politik selfreliance Soekarno. Lidah orang Indonesia mesti disuguhi resep milik sendiri agar berkepribadian dan berwatak nasionalistis, bermula dari lidah dan pangan.
Merebaknya nama-nama unik yang kini banyak dipakai oleh pengusaha kuliner barangkali sambungan dari masa lalu. Penamaan itu tak terkait politik atau ideologi, semata-mata bermisi ekonomistik—menjaring pembeli sebanyak-banyaknya.
Terkadang, nama makanan bercorak mistis atau nyleneh sanggup mengganggu selera atau imajinasi kita. Tetapi, apa daya perut lapar. Asal lezat dan halal, apa pun namanya tak jadi soal.[]


Tribun Jateng, 19 November 2016