Senin, 12 Agustus 2013

Yang Tersisa Setelah Ali Alafi Tertembak

Oleh: Widyanuari Eko Putra

Perubahan memang jadi semacam persuasi yang seolah-olah hadir di depan mata. Perubahan adalah jargon gampang, untuk tidak menyebutnya picisan, bagi setiap kontestan politik. Di negeri ini perubahan bergema dari zaman ke zaman. Masyarakat terjajah mengharap perubahan (kemerdekaan); masyarakat pasca-kemerdekaan menantikan perubahan secara menyeluruh: sebuah revolusi, meskipun roda revolusi pada akhirnya macet; dan di era reformasi, perubahan masih kerap terdengar.

Barangkali hanya Orde Pembangunan yang lirih meneriakan perubahan. Masa ini adalah momen di mana jargon perubahan dilipat oleh misi pembangunan. Dan, sejak reformasi lahir hingga sekarang, perubahan adalah “puisi” di setiap panggung kampanye. Perubahan memang mengairahkan. Ia menguap dari mulut aktivis, birokrat, politikus hingga intelektual. Meski pada suatu waktu, masyarakat terkaget-kaget, justru, oleh perwujudan perubahan. Perubahan bisa saja membikin gerah, bising, hingga marah.

Di negara kita, ada masa di mana ajakan perubahan di radio menjadi semacam nenek tua yang cerewet bagi Soe Hok Gie, di mana kata-kata, seperti, revolusioner, neo-imperialisme, hingga nasakom, terdengar begitu memekakkan telinga. Gie terutama sekali muak dengan segala kicauan para generasi tua. Paling tidak, itulah yang tampak dalam film Gie (2005) garapan Riri Riza dan Mira Lesmana.

Seruan untuk perubahan memang tidak sepenuhnya digubris. Ia tak jarang tak jauh beda dengan iklan jamu di radio yang gaduh. Di luar sana, tepatnya Iran, sebuah film mengatakan demikian. Adegan seruan angkat senjata dari sebuah radio kepada siapapun yang berani menodongkan “tangan besi” tidak lebih baik dari adegan lain. Film The Hunter (2010) garapan Rafi Pitts, paling tidak, menampikan secuil adegan di mana sebuah ajakan perlawanan pada perusuh lebih banyak diacuhkan ketimbang diindahkan.

Orasi dari mulut radio bersanding dengan sebuah lanskap negara yang lebih banyak menyajikan sebuah birokrasi yang cerewet; jalan penuh sesak oleh mobil tak berkesabaran; keadilan yang lagi-lagi, tidak hanya di Iran tapi juga di hampir seluruh dunia, begitu mahal harganya. Kondisi umum yang marak di negara manapun.

Film ini berkisah tentang seorang lelaki pekerja swasta, Ali Alafi. Istrinya terbunuh dalam sebuah insiden penembakan ketika menjemput sang anak. Peliknya, si anak juga raib. Polisi dan birokrat acuh atas kasus ini. Kondisi psikologis Ali begitu terguncang atas kejadian ini. Dan meledaklah kesedihan itu. Ia menembak dua polisi sebagai luapan kekesalan tak tersalurkan.

Tak Cerewet

Satu hal yang membuat film ini menjadi hiburan tak picisan adalah karena pada kondisi yang karut marut itu, film ini justru hadir tanpa sebuah kecerewetan. Kecerewetan realitas yang kerap disuguhkan film-film Amerika absen dalam film yang sepenuhnya didukung oleh German Federal Culture Fondation dan Goethe Institute ini.

Pemunculan sekelompok pemuda bermotor besar, dengan sebuah lambang bendera Amerika yang terbentang di jalan beraspal, bisa jadi menandakan sebuah hasrat untuk tidak menampilkan film secara amerikaisme. Di tembok sebelah kanan terlihat jelas poster, yang dari pengamatan saya, kemungkinan besar adalah tokoh berpengaruh di sana. Tapi, hal ini baru semacam dugaan. Pada hemat saya, bagaimana mungkin tokoh tidak berpengaruh akan dipampang di tepi jalan. Kita tentu bisa membandingkannya dengan mural tokoh Munir atau Soekarno yang kerap dimuralkan di Indonesia. Perlawanan tampil secara simbolis-ekspresif dan terbuka. Iran memang muak dengan Amerika.


Yang terang, film ini menyuguhkan sebuah fragmen tidak melulu menampilkan kisah besar. Ali Alafi hadir di antara petilan-petilan kondisi Iran secara natural: perempatan jalan tanpa lampu merah-kuning-hijau; kondisi jalan bertingkat yang gaduh; birokrasi yang macet; dan terutama sekali, betapa nyawa adalah sebuah guyonan. Ia bisa saja didiamkan karena tak lucu. Dan pada lain kesempatan, nyawa dijadikan objek tertawaan tanpa batas henti. Dan perubahan, barangkali sama ketika zaman revolusi terjadi di Indonesia. Berbahaya sekaligus picisan bagi sebagian orang.***

Solzhenitsyn Mengingatkan…

Oleh: Widyanuari Eko Putra

Alexander Solzhenitsyn (1918-2008) mendapat hadiah nobel pada tahun 1970, tepat ketika ia dipecat dari Serikat Pengarang Rusia. Literary Gazzete, sebuah jurnal sastra Rusia, sejak tahun 1967, menuduhnya telah berkhianat pada ajaran kesusastraan Rusia, realisme-sosialis.

Beruntunglah mereka, para penulis, yang di masa hidupnya harus berhadapan dengan tinju penguasa yang lalim. Dengan demikian ia telah memperjuangkan pilihan berkeseniannya. Dan perlawanan itu tak harus keras, menggelegar, atau berbenturan. Seperti tokoh Matryona Vasilyevna dalam novel Rumah Matryona (MataAngin, 2001), Solzhenitsyn tidak melawan secara frontal. Meski akhirnya ia ditahan. Hidupnya mendadak berubah karena mengkritik Stalin. Solzhenitsyn adalah seorang “penentang dalam diam”.

Rumah Matryona adalah gambaran sebuah wilayah kecil di Sovyet saat kepemimpinan Stalin. Matryona adalah seorang pasivis. Ia tidak tahu bagaimana mengatasi penderitaannya, karena sakit, kemiskinan, serta kesewenang-wenangan birokrasi pemerintahan di desa Talnova, desa berselimut salju tempat Matryona hidup. “Mereka terus menerus membunuhku, Ignatich,” ungkap Matryona kepada pemondok di isba-nya (:gubuk kayu).

Matryona adalah pusat di mana harga diri manusia Sovyet, kala itu, dikritik. Ia memegang keyakinannya yang erat kepada Tuhan—hal ini, tentunya, berbeda dengan masyarakat Sovyet saat itu, yang lebih banyak “menolak” Tuhan ketimbang meyakininya. Masyarakat dengan persediaan makananan yang sangat terbatas; birokrasi yang semrawut; serta ketidakpedulian negara pada kaum miskin, perlu dikabarkan. Dan, pada akhirnya, Matryona yang diam, menerima apapun nasib yang menimpanya. Ia tak tahu kapan nasibnya berubah. Matryona hidup demi memenuhi semua permintaan orang yang minta tolong, dan berakhir dengan kematian tragis tertabrak kereta api. Ia mati di saat sanak saudaranya memperebutkan gornitza (: kerangka rumah kayu), warisan yang ia wasiatkan. Dan iapun mewariskan sebuah ironi:”kerja adalah cara terbaik menyembuhkan penyakit”. Betapa harapan untuk sehat begitu kencang diikat oleh keyakinan “ibadah” kaum proletar: kerja!

Solzhenitsyn tentulah Ivan Denisovich. Ia tak berbeda dengan Matryona yang pasif namun menyengat. Novel Sehari dalam Hidup Ivan Desovich (Pustaka Jaya, 1975) pada akhirnya bersuara “lirih” namun perih. Kisah tokoh Sukhov, tahanan politik yang menolak gabung bersama tentara Pembangunan Masyarakat Sosialis, menjadi penyengat para jamaah realisme-sosialis. Novel ini menjadi memoir saat berada di barak tahanan, tepatnya saat ia dituduh menghina Stalin. Delapan tahun dari umurnya ia habiskan di tahanan Karaganda, Kazakstan, tempat setting cerita tokoh novelnya, Ivan Denisovich. Ia hidup dalam jeruji penjara tanpa kemanusiaan: jatah makanan sedikit; persediaan baju hangat yang minim: cuaca di barak di bawah nol derajat tiap hari; enam ons bubur gandum per hari dan sepotong roti; kerja paksa tanpa upah; serentetan hukuman tanpa ampun; hingga penambahan masa hukuman secara sepihak. Hingga hilanglah orientasi kemanusiaan para penghuni barak. Mereka menjadi manusia tanpa belas kasihan. Manusia dengan kegiatan sama setiap hari, dengan penderitaan tanpa orientasi bakal berakhir. Terkecuali Ivan Denisovich. Ia hadir untuk menyinari. Ia masih mau berbagi sepotong roti, puntung rokok, hingga kerja membuat dinding sebaik mungkin, meski ia tahu tak akan mendapat bayaran dari buah kerjanya.

Ketulusan itu berbuah. Solzhenitsyn diganjar nobel beberapa tahun pascapenerbitan novel Sehari dalam Hidup Iva Denisovich. Tentu saja ia, sebelumnya, tak terlalu mengharapkannya. Sastra yang lahir di tangannya adalah isyarat mengabarkan ketidakadilan—meski tidak dalam bentuk realisme-sosialis seperti teman-temannya. Berbeda dengan seniornya, Maxim Gorky (1868-1936), pengabar realisme-sosialis, yang pernah dekat dengan Lenin namun kemudian berbalik menyerang karena tindakan kekerasan dan penindasan yang diterapkannya, dan akhirnya mati di tangan polisi utusan Stalin, berkeyakinan bahwa kesusastraan tidak mungkin bisa diam melihat penindasan. Kemanusiaan harus menjadi nafas kesusastraan.


Dan, Solzhenitsyn beruntung. Ia lolos dari moncong senapan tentara Stalin. Ia, dalam novelnya, tak pernah menjadi manusia penggerak dan pendobrak. Ia justru mengingatkan tentang bagian kecil dari kehidupan Sovyet yang masih layak diagungkan. Tentang Matryona yang tak mengenal pamrih, serta Ivan Denisovich yang masih mau berbagi di saat keterkekangan dan keterbatasan. Ia mengajak pembaca pada jagat kemanusian yang berketuhanan di antara kengerian kekuasaan dan kekejaman Pemerintah. Matryona, Ivan Denisovich, dan Solzhenitsyn, adalah suara “lirih” namun mengingatkan, betapa yang kecil masih bisa bermanfaat. Meski kadang tidak mendapat tempat.***  

Buen Camino!

Oleh: Widyanuari Eko Putra

Yang menarik dari sebuah perjalanan, biasanya, adalah tujuan. Sebuah akhir, perhentian, sebagai alasan kenapa jalan harus ditapaki, selangkah demi selangkah. Lantas, pada akhirnya harus diakhiri. Chairil Anwar, mungkin, tidak menyadari, betapa “seribu tahun”, adalah nominal, yang pasti akan terpenuhi—meski bukan oleh dirinya, namun oleh generasi setelahnya. Sajak itu bermakna di bawah rasio “seribu tahun” lagi. Setelahnya, sajak “Aku” adalah catatan sejarah.

Bukan berarti perjalanan mutlak memerlukan akhir. Yang menghendaki sebuah titik akhir adalah kefanaan. Umur adalah satu di dalamnya. Pikiran, hasil pemikiran, tentu berlainan. The Way (2012), sebuah kisah tentang a naked trafficking pilgrim, perjalanan ziarah yang sebenarnya, mungkin saja menangkap realitas yang tak mungkin dimungkiri dalam kefanaan. Perjalanan jauh dari Pyrenees, Perancis, ke Santiago de Compostela, 800 kilometer barat laut Spanyol. Orang melakoni hiking religius ini karena sebuah alasan: sebagian orang percaya ada peninggalan Santo Yakobus, Yesus, di Santiago de Compostela. Selebihnya, tentu saja iseng. Jika tidak ada halangan berarti, konon, perjalanan ini menghabiskan dua bulan berjalan kaki. Wah!

Buen Camino! Salam sesama peziarah. Empat manusia bertemu dari masing-masing keinginan. Kisah ke empat tokoh tersebut menjadi menarik, justru, tidak dalam rangka perjalanan religius. Thom, Joost, Sarah, dan Jack, adalah sebuah fragmen kehidupan. Tokoh utama, Thomas “Thom”Avery diperankan oleh Martin Sheen, menjalani ratusan kilometer perjalanan demi sebuah penebusan rasa sesal: anaknya tewas karena cuaca ekstrem saat memulai perjalanan ini. Ia merasa wajib menuntaskan hasrat anaknya. Nafsu ayah, yang tak lebih sebagai penebusan rasa dosa karena kerap menghakimi sang anak, dilakoni lewat misi ini. “Anak adalah anak panah”, tentu sama sekali tidak benar, baginya. Di lain pihak, Joost menganggap perjalanan ini tak lebih dari usaha mengecilkan perut tambunnya, dan Sarah—sang perokok kelas pawon—, demi niatnya berhenti merokok, menempuh pilgrim’s route. Hanya Jack yang menaruh harapan besar bagi lawatannya: ia seorang penulis blog dan majalah. Ia bernafsu menerbitkan buku perihal pengalamannya menaklukan rute super jauh ini. Dari alasan yang tak sama itulah mereka dipertemukan dalam satu tujuan.

Meski pada akhirnya rute ini terbayar, film ini hendak menawarkan sebuah perspektif. Sebuah pemaknaan yang tak sepele apalagi picisan. Bagi seorang tanpa nafsu bertualang seperti saya, tentu bukan hal mendesak untuk menera, atas peristiwa apakah kerang, shell, termaktub sebagai simbol sebuah perjalanan ziarah? Barangkali Soe Hok Gie tahu. Namun, tetap saja film ini mengesankan. Jalan memang sepenuhnya hanya media. Ia tak pernah berkewajiban menyediakan tujuan. Baginya, sudah teramat cukup bila ada yang sudi menelusuri. Sebuah jalan adalah sebuah pilihan. Terkadang tak lebih dari hiburan. Kecuali bagi para romusha di Indonesia, yang menebus kokohnya jalan dengan darah, air mata, dan nyawa semasa pemerintahan kolonial Belanda.
Manusia memilih tujuan yang sama meski berbeda jalan. Mereka yang hidup di “jalan” karena merasa tidak memerlukan akhir adalah tak berbeda dengan sebuah jalan kepenulisan. Seorang penulis adalah manusia yang selamanya hidup di “jalan”. Puncak-puncak dunia kepenulisan adalah koma (,), bukan titik (.). Ia yang merasa mencapai “titik” sebaliknya sedang berdiam untuk menyiapkan kematiannya. Karena itulah, misalnya, ada dikotomi yang teramat tebal antara sastrawan Eko Tunas dan S Prasetyo Utomo, ketika, mereka harus berbincang perihal cerpen Indonesia mutakhir. ET tertinggal dari cakrawala SPU tentang sastra koran karena cenderung menuju ke arah kesenian panggung. SPU berjalan terus menikmati jalan tanpa keraguan sedikitpun. Ia akhirnya berbaris bersama cerpenis Indonesia mutakhir sementara ET cukup puas sebagai seniman “Jawa Tengah” saja.

Dan inilah yang saya renungi dari The Way: jalan hanya perlu sebuah keyakinan. Adapun tujuan adalah pemanis. Toh pada akhirnya fim ini ditutup dengan sebuah aforisma tokoh Jack. “Penulis, mereka selalu ingin kata terakhir. Tapi ini…” Kalimat ini tentu tidak eksklusif. Ia berlaku egaliter. Jack, sang tokoh penulis blog, bisa mungkin adalah Jack Hitt, penulis buku Off The Road: A Modern Day Walk Down The Pilgrim’s Route Into Spain.

Penafsiran saya barangkali salah. Karena terkadang kita pernah terjebak masuk pada sebuah jalan buntu. Jalan di mana kita tak sekalipun menerka. Dan memaksa kita berputar arah, atau meneruskannya. Dengan konsekuensi, sama ketika kita memilih jalan sebagai sebuah keyakinan. Ia tidak akan pernah memberi jaminan atas sebuah tujuan…



Birahi mengundang Dendam

Oleh: Widyanuari Eko Putra

 “… bahwa kehidupan keluarga yang paling menyedihkan sekalipun masih lebih baik daripada parodi inses yang merupakan hal terbaik yang bisa kuberikan kepada bocah kurus itu.”
(Humbert Humbert, dalam karya Lolita karya Vladimir Nabokov)

 Pada akhirnya adalah makna, pesan, dan pengakuan. Sekelam apapun kisah sebuah novel, ia pada akhirnya menegaskan sebuah aforisma. Vladimir Nabokov (1899-1977) mengakhiri novel kelam, percintaan—cenderung pada inses—aneh, dan mengguncang, dengan penegasan pesan pada pembaca. Novel ini kuat karena ketidak-laziman.

 Humbert Humbert, tokoh maniak dalam novel Lolita (Serambi, 2011) terjemahan Anton Kurnia, menggetarkan bukan karena mesum. Ia menjadi agung karena Nabokov menciptanya menjadi lelaki intelek, buas, tajam, sekaligus berkepribadian rumit. Masa lalu Humbert sebagai seorang Perancis, kemudian hijrah ke Amerika, mau tidak mau, menjalin sebuah ditorsi. Eropa, medio 1940-an, dikenal lebih ramah ketimbang Amerika. Pertemuan dengan Charlotte Haze menyeret Humbert pada dua kebudayaan yang jauh berbeda, serta dunia percintaan tak wajar. Humbert menikahi Charlotte, namun juga berkisah cinta dengan sang anak tiri: Dolorez Haze alias Lolita—perempuan 12 tahun pelampiasan nafsu pedofil Humbert pascakematian Charlotte dalam sebuah kecelakaan.

 Lolita selesai ditulis pada 1953 di Ithaca, dan diterbitkan kali pertama pada September 1955. Novel ini menggemparkan karena ganjil. Ia pernah beberapa kali ditolak penerbit karena cenderung melenceng dari kebanyakan kisah-kisah yang dilahirkan oleh pengarang Rusia. Novel ini pun lahir dalam bahasa Inggris. Diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia pada medio 1980-an, setelah era keterbukaan (Glasnost) pada pemerintahan Mickhail Gorbacev. Pada perjalanannya, Lolita dibaca oleh sekian juta warga dunia sebagai salah satu karya adiluhung penulis Rusia. Perjalan hidup terusik akibat revolusi Bolshewik di Rusia. Ia mesti hijrah berulangkali agar tidak terseret gelombang revolusi komunisme.

 Nabokov tidak memilih cerita bernafas ideologis. Ia memilih mengupas kisah nyata dari Humbert Humbert yang terjadi pada Septeber 1952. Pergulatan psikologis, serta pengupasan karakter masing-masing karakter menjadi nilai dalam novel ini. Humbert yang berkepribadian ganda; Lolita yang kenes, manja dan pembangkang; serta Charlotte yang keras dan kasar. Dunia imajinasi Humbert adalah intelektual bercampur nalar mesum. Ia pembaca yang tekun. Ia membaca James Joyce, pengagum mitologi Yunani, ia paham betul tokoh-tokoh revolusi Perancis—namun tidak menyinggung revolusi atau muatan ideologis dalam tulisannya. Ia mengungkapkan birahinya bukan pada ungkapan kasar dan seronok, tapi deskripsi psikologis detail sang tokoh.

Novel ini mengabarkan betapa kesusastraan tidak melulu menceritakan hal-hal demi kemanusiaan yang bermoral. Pengisahan kelainan seksual, dengan bumbu karakterisasi tokoh yang kuat dan menonjol, serta pengungkapan referensi intelektual, menjadi sebab novel ini akhirnya berjejer di antara buku-buku sastra berpengaruh di dunia. Meski berangkat dari kisah nyata, dunia imaji-psikologis tokoh Humbert menjadi keutamaan novel ini. Pembaca akan disuguhi pelbagai perspektif dalam melihat hal-hal ganjil: kematian, nafsu birahi, juga perasaan seorang ayah sekaligus kekasih bagi anaknya.

Saya sempat terjebak dalam dunia psikologis Humbert kala berhasil mengkhatamkan buku setebal 540 halaman ini. Betapa untuk beberapa saat, mata birahi terkadang muncul dan memancar dari tubuh seorang perempuan kecil, seorang Lolita. Namun majinasi itu seketika musnah, berganti kengerian perilaku inses-cum-pedofilia. Novel ini difilmkan hingga dua kali: 1962 oleh sutradara Stanley Kubrick dan skenarion oleh Nabokov, dan 1997 oleh sutradara Adrian Lyne. Saya belum berkesempatan menontonnya. Saya mengibaratkan tubuh perempuan kecil larut dalam dekap birahi seorang lelaki dewasa bejat! Ah! Membaca novel ini, saya terbakar birahi sendirian. Dendam membara bagi pembaca atas Humbert yang buas.

Di luar itu, saya menganggap Lolita sebagai sebuah karya sastra fenomenal pengusung tema seksual dengan pendalaman psikologis dan daya ungkap teks sastra yang bermutu. Tidak berpijak pada, semata-mata, upaya membangkitkan birahi pembaca, dengan kedetailan teks pengungkapan, serta kuat dalam meneguhkan karakter tokoh, namun kuasa mengendalikannya, adalah kehebatan novel ini. “Aku hanyalah seorang pencatat yang sangat berhati-hati,” tukas Nabokov dalam novel ini. Saya berniat menamatkan seluruh karya-karya penulis Rusia agar imaji Nabokov tidak “mencemari” pandangan saya tentang kehebatan para sastrawan Rusia.***