Senin, 26 Oktober 2015

Dangdut yang Berpolitik


Pada mulanya, dangdut itu penghiburan. Mendatangi panggung musik dangdut berarti berharap menikmati suara merdu dan goyangan menggoda dari sang biduan. Menonton musik dangdut, sembari ikut berjoget bersama penonton lain, dianggap sebagai cara ampuh melepas penat. Alunan musik dangdut yang ringan dan mudah diingat membuat dangdut kerap digemari masyarakat dari pelbagai lapisan. Kita terbiasa menyebut dangdut sebagai musik rakyat.
Panggung musik dangdut memang tak pernah sepi dari penonton. Dangdut juga tak mesti digelar di lapangan besar saat pasar malam berlangsung. Orang-orang biasa menyewa kelompok orkes dangdut untuk tampil di acara hajatan, resepsi pernikahan, hingga di kelab hiburan malam. Di era kekinian, orang cukup datang ke bilik penyewaan karaoke, yang kini jamak bertebaran di kota besar maupun daerah pinggiran. Di desa-desa, orang biasa memanfaatkan musik dangdut dengan cara menyetel keras-keras sebagai tanda suatu hajatan sudah di mulai.
Ketenaran dangdut sebagai musik rakyat inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai siasat menjaring perhatian. Kita biasa melihat gempita pentas dangdut menjelang pemilihan umum. Para politisi memanfaatkan pikat musik dangdut demi meraih dukungan massa. Pentas dangdut disertai penampilan artis biduan dihadirkan sebagai pembuka sebelum kandidat politik berkampanye dan berpidato. Kita pun bingung melihat ulah penonton: mereka datang untuk terlibat politik atau sekadar tergoda pada pukau biduan cantik dan alunan musik dangdut?
Pada suatu masa, Indonesia pernah mengisahkan narasi politiknya lewat musik dangdut. Petinggi partai politik merasa perlu mengaku sebagi penggila dangdut agar setiap kedatangannya di panggung kampanye diminati banyak orang. Raja Dangdut Rhoma Irama jadi sorotan publik di era Orde Baru. Rhoma adalah pendakwah sekaligus juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sejak 1973, Rhoma dan grup Soneta bentukannya menebar pukau dakwah lewat nyanyian dangdut. Dakwah lewat dangdut tentu lebih diminati orang Indonesia ketimbang ceramah. Lagu ciptaan Rhoma memang berisi ajakan dan pesan-pesan islami. Lagu-lagu macam Judi, Mirasantika, Darah Muda, mengingatkan kita agar terjauh dari laku kurang beradab. Berdakwah jadi amalan agama, dan kampanye jadi ikhtiar meniti garis politik dan kekuasaan.
Foto: www.suluttoday.com
Rhoma berkeputusan menjaga khitah dangdut dalam relnya dakwah dan kebersahajaan.  Ia bahkan tak segan memberi seruan dan kritik atas ulah Inul Daratista saat itu mencoba meracik dangdut dengan goyang “ngebor” andalannya. Bagi Rhoma, goyang itu dianggap mencederai sakralitas dangdut. Dangdut itu transportasi dakwah, tak pantas diriasi goyang erotis. Di televisi, Inul menangis tersedu meminta maaf pada “Bang Haji”. Nama besar sang Raja Dangdut tentu jadi alasan kenapa Inul tak berani mengajukan konfrontasi. Inul kalah meski tak sedikit pula yang membela.
Zaman terus bergerak, kiprah dangdut perlahan menjauh dari lintasan politik. Para politisi tak lagi berambisi menggelar pentas dangdut dalam lawatan kampanyenya. Tahun 2009 silam, Susilo Bambang Yudhoyono memilih menggandeng grup band Andra And The Backbones, The Changcuters, dan Ungu. SBY memilih menyenandungkan lagu ciptaan sendiri, di antaranya Berjuang untuk Rakyat (Wisnu Nugroho, 2010). Begitupun kemenangan Joko Widodo pada pemilu 2014 silam, yang disokong langsung oleh band rock Slank dan penyanyi rap JFlow. Di media, Jokowi nyaris tak pernah tercitrakan dekat dengan musik dangdut.
Kini, kita justru disuguhi dangdut dengan beragam wajahnya yang kian majal. Dangdut ibarat Indonesia koplo, menadakan kisah-kisah nakal dan banal. Penciptaan lagu dangdut seolah tak memerlukan bidikan pesan dan misi kebersahajaan. Lantunan musik dangdut kontemporer melulu mengumbar umpatan, kisah perselingkuhan, romantika cinta picisan. Sindiran bermetafor binatang bertebaran menghiasi judul-judul lagu dangdut: Keong Racun, Tokek Belang, Buaya Buntung, Wedus….
Beberapa waktu silam, dangdut menyita perhatian kita berkat penampilan baru Rhoma Irama bersama Partai Islam, Damai, Aman (Idaman) bikinannya. Di Tugu Proklamasi, Rhoma menyanyikan visi dan misi partai dalam senandung lagu dangdut. Kelima lagu itu adalah Kita adalah Satu, Bersatulah, Reformasi, Indonesia, dan Pembaharuan. Melalui dangdut, Rhoma hendak berpolitik sekaligus menampilkan Islam yang rahmatan lil alamin serta mengamalkan Pancasila dalam segala lini kehidupan.

Lewat Partai Idaman, dangdut benar-benar diseret ke ranah politik: berlaku sebagai organ vital di dalam mesin partai. Rhoma memang orang lama dalam panggung politik Indonesia meski kerap dicap sebagai penghibur saat kampanye. Politik menjauhkan dangdut sebagai ajang penghiburan dan joged. “Jangan berjoget karena ini penyampaian visi-misi,” ucap Rhoma di atas panggung (Suara Merdeka, 15 Oktober 2015). Pergeseran citra dangdut terus terjadi, dari waktu ke waktu. Dangdut tak lagi bergoyang, malah berpolitik.[]

Dimuat koran Wawasan, 27 Oktober 2015

Senin, 19 Oktober 2015

Menziarahi Dunia Batin Terpidana Mati

Seberat-beratnya hukuman adalah mati. Pelaku kejahatan berat konon pantas diganjar hukuman mati. Kejahatan berat tentu terkait penghilangan nyawa manusia. Hukum mati jadi preseden agar orang-orang tak ceroboh berbuat jahat.
Isu hukuman mati dikisahkan secara mengharukan dalam novel Burial Rites: Ritus-Ritus Pemakaman (2015) karya Hannah Kent, seorang novelis kelahiran Adelaide, Australia. Pengisahan novel bermula ketika tahun 1928 kegemparan melanda Islandia Utara. Agnes Magnusdottir, bersama dua temannya, divonis mati lantaran membunuh dua lelaki. Putusan ini sontak jadi perbincangan di masyarakat. Bagi mereka pembunuhan dan hukum mati adalah peristiwa luar biasa.
Hukum di Islandia kala itu tegas menyatakan:”Siapa yang memukul seseorang hingga mati, pastilah ia dihukum mati”. Pasca penetapan itu, riwayat hidup Agnes Magnusdottir tinggal menunggu masa penghabisan. Fragmen penantian eksekusi mati inilah yang kemudian dikisahkan secara dramatis oleh Hannah Kent.
Imajinasi sosok Agnes Magnusdottir berangkat dari kisah nyata. Hannah Kent mengetahui kisah tersebut setelah melancong ke Islandia dalam pertukaran pelajar Rotary Exchange. “Agnes Magnusdottir adalah orang terakhir yang dijatuhi hukuman mati di Islandia, setelah peran-sertanya dalam pembunuhan terhadap Natan Ketilsson dan Petur Jonsson pada malam antara tanggal 13 dan 14 Maret 1828 di Illugastadir, di Semenanjung Vatnsnes, Islandia Utara”.
Lewat novel ini kita diajak untuk menziarahi dunia batin sang terpidana mati. Hari berganti dalam detik yang melamban. Agnes menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah keluarga Jon Jonsson karena rumah tahanan sementara belum tersedia. Kala itu, eksekusi mati jarang sekali terjadi. Pemerintah belum sepenuhnya memfasilitasi pelbagai persiapan untuk sebuah prosesi hukuman mati. Demi sebuah eksekusi, segalanya mesti dipersiapkan dari nol.
Pada mulanya Agnes menuai protes dan penolakan dari keluarga Jon. Menjalani hari-hari bersama seorang terpidana mati tentu menyulut dugaan dan kecemasan. Margret, istri Jon, mengaku:“Betapa aneh membayangkan bahwa, tidak terlalu lama lagi, perempuan yang tidur di ranjang itu tidak sampai dari tiga meter darinya akan berada di liang kubur.” (hlm.74)
Tetapi rasa kemanusiaan sungguh tak bisa dibohongi. Lambat-laun keluarga Jon justru berkenan menerima keberadaan Agnes. Sebagai perempuan terdidik, dengan kecerdasan di atas rata-rata, serta pandai bergaul, tak pelak membuat Agnes mudah diterima di keluarga Jon.
Di rumah ini pula, Agnes didampingi Pendeta Thorvardur Jonsson dalam usahanya menghadapi eksekusi mati. Kedatangan pendeta bermisi pencerahan dan peneguhan iman. Namun kadang kuatnya iman pun tak sanggup mereda ketakutan atas kematian. Getir hidup yang dialami Agnes sejak kecil membentuknya jadi sosok pesimis. Ia ditinggal kedua orang tua sedari belia, dan mesti berjuang keras demi menghidupi diri sebagai pelayan, dari rumah ke rumah.
Memori kelam itu membuat Agnes sulit ”berdamai” dengan iman dan Tuhan. Pendeta Thorvadur Jonsson menyadari suara lantang firman Tuhan kadang tak cukup membuat Agnes bersiap menerima kenyataan. Dialog bertema ketuhanan muncul sebagai kritik atas pemahaman publik dan penguasa yang kerap menggampangkan kondisi batin si terpidana mati.
“Saya sampai pada keyakinan bahwa apabila ingin menyibak tirai yang menutupi jiwa si terpidana, yang dibutuhkan bukanlah suara tegas seorang pendeta yang menyampaikan api neraka, melainkan nada lembut dan bertanya seorang sahabat” (hlm.203). Sang Pendeta larut dan hanyut dalam kisah hidup Agnes yang misterius.
Menjelang detik-detik terakhir, Agnes justru mengabarkan fakta baru yang tak sempat ia ungkapkan di meja persidangan. Dari fakta baru tersebut, Pendeta Thorvadur Jonsson sampai pada keputusan untuk membantu menyuarakan kesaksian Agnes, yang ia harapkan bisa membatalkan putusan mati meski ia tahu hasilnya akan sia-sia.
Di titik inilah Hannah Kent menyajikan perspektifnya perihal hukuman mati. Dialog yang dibangun antara Agnes, pendeta, dan keluarga Jon membawa kita pada pemahaman sifat manusia dalam menghadapi kematian. Tak ada seorang pun manusia normal yang rela hak hidupnya dirampas.
Ketakutan dan kegelisahan selalu muncul di hari-hari Agnes yang pendek. Masa penantian justru lebih menyakitkan dari sebuah kematian. “Penantian ini membuat muak. Kenapa tidak sekarang? Kenapa tidak mengambil saja kapak itu dan melakukannya di sini…” (hlm.303). Keputusasaan menjelang eksekusi memang tak terhindarkan.
Bagi Hannah Kent, hukum mati berpotensi menutup kemungkinan untuk membongkar alasan-alasan di balik kelakuan ceroboh terpidana. Atau, tidak tertutup kemungkinan, ada kekeliruan yang tak sempat tersampaikan saat proses peradilan. Dalam novel ini hukum mati dikisahkan telah menutup dua kemungkinan tersebut.
Isu eksekusi mati memang sensitif dan kerap memicu perdebatan, terutama di Indonesia. Kita kerap menuai polemik atas putusan negara yang enteng menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Pilihan Hannah Kent mengeksplorasi novel bertema hukum mati, dengan acuan referensi sejarah yang kuat, pantas jadi alternatif membaca dan memahami dunia batin terpidana mati dari sisi kemanusiaan yang intim. Penerjemahan novel ini di Indonesia pun menemukan momentumnya yang tepat.[] 

Dimuat di Harian Rakyat Sumbar, 17 Oktober 2015.

Sabtu, 10 Oktober 2015

Jagat Klenik Basoeki Abdullah

Bagi seorang seniman,bisikan gaib” bisa ditafsir sebagai ide, inspirasi, atau ramalan. Tak jarang bisikan itu dimaknai sebagai “sabda” yang bakal memberi suluh atas jalan hidup di masa depan. Maka ketika pada suatu malam di tahun 1933, Basoeki Abdullah mendapat bisikan agar bertandang ke Pantai Parangtritis, ia pun tak menyanggah. Malam itu juga, disusurinya jalan sepanjang 20 kilometer dengan mengendarai sepeda. Di pantai, Basoeki bersemedi dan berdoa.
Ketika suasana makin larut dalam ketenangan, terdengar suara perempuan dari tengah debur ombak. Suara itu berpetuah, menyarankan agar Basoeki lekas pulang ke rumah. Telah datang secarik surat untuknya. Surat itu mengabarkan bahwa Basoeki bakal mendapat beasiswa belajar melukis di Belanda. Bisikan gaib” itu seperti bukan suatu kebetulan.
Lukisan Pangeran Diponegoro Memimpin Perang.
(Sumber FB Museum Basoeki Abdullah)
Lantas, siapa sebenarnya “pembisik” itu? Basoeki berkeyakinan, bisikan itu berasal dari Nyai Roro Kidul. Sebagai seorang keturunan Jawa yang sejak kecil tumbuh dalam didikan tradisi istana Kasunanan Solo, tak aneh bila Basoeki begitu percaya pada hal-hal klenik dan kebatinan. Pengalaman kebatinan itu justru jadi referensi mengolah gagasan saat melukis. Kepercayaannya pada Nyai Roro Kidul, misalnya.

Basoeki gemar berkunjung ke “tempat-tempat suci” yang dianggap persinggahan Nyai, di antaranya Inna Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Konon, di tempat itu Basoeki pernah bertemu “Nyai dan tujuh ekor kudanya”. Pertemuan itu telah membentuk imajinasi Basoeki untuk melukis sosok Nyai Roro Kidul. Hasilnya, sebuah lukisan sesosok perempuan bermahkota mencuat dari deburan ombak yang ganas, bersama kuda pengikutnya (hal.33).
Hingga akhirnya Basoeki benar-benar menginjakkan kaki di Belanda. Di negeri kolonial itu Basoeki bersetia pada keyakinan kebatinannya. Basoeki jadi bunga bibir berkat lukisan Pangeran Diponegoro Memimpin Perang. Kenangan buruk akibat Java Oorlog (Perang Jawa) pimpinan Diponegoro membuat Belanda tercengang pada lukisan tersebut. Konon, penggambaran wajah Diponegoro dianggap oleh banyak orang persis seperti “jelmaan konkrit wajah Diponegoro, yang sebelumnya tidak pernah terekam dalam gambar resmi”.
Lukisan Diponegoro, dalam pengakuan Basoeki, dibuat setelah ia pernah dipertemukan dengan Pangeran Diponegoro di Parangtritis oleh Nyai Roro Kidul. Meski tak sempat “berdialog”, Basoeki mengaku “sempat curi-curi menatap wajahnya”(hal.50-51). Di kemudian hari, Basoeki mashur sebagai pelukis spesialis tokoh-tokoh pahlawan nasional, seperti Dr Wahidin Sudirohusodo, Moh. Yamin, Adam Malik, juga Sukarno.
Terkait Sukarno, Basoeki punya banyak kisah menarik berkat kedekatan mereka berdua. Semasa awal karir sebagai pelukis, Basoeki kerap dibantu Sukarno, terutama menyangkut promosi lukisan. Saat itu Basoeki tak berani meminta restu pada RM Sosrokartono, kakak Kartini, yang dengan suka rela telah memberinya tumpangan untuk melukis, untuk terlibat dalam pameran di sebuah pasar malam. Berkat Sukarno, Sosrokartono mau datang melihat studio Basoeki dan memberi masukan perihal lukisan apa yang sekiranya pantas dipamerkan.
Sebagai sesama penggemar lukisan, Sukarno merasa klop dengan Basoeki. Dua lelaki flamboyan itu punya kesamaan karakter: gampang tergoda perempuan cantik. Obrolan seputar perempuan dan lukisan membuat mereka selalu akrab. Banyak lukisan Basoeki dibeli Sukarno dengan “harga sahabat”. Ketika menjabat sebagai Presiden, persahabatan itu kian terjalin erat.
Perasaan galau menyerang Basoeki ketika meletus kisruh antara kubu penandatangan Manifes Kebudayaan dan blok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berkarib dengan Partai Komunis Indoinesia (PKI). Secara pribadi, Basoeki lebih sepaham dengan kelompok Manifes yang ditandatangani pada 17 Agustus 1963 itu. Ia sepakat bahwa “kebudayaan dan kesenian selayaknya tidak terseret arus politik dan seharusnya hidup independen”.
Di sisi lain, Basoeki tak enak hati dengan Sukarno yang secara tegas mendukung Lekra. Basoeki tak bisa lupa peran besar Sukarno padanya. Ia ingat pembelaan Sukarno terkait keberadaannya di Belanda saat awal revolusi kemerdekaan. ”Bila orang lain seperti saya berjuang lewat jalan politik, dengan pidato dan menggerakkan orang untuk melawan, orang seperti Basoeki bermain di jalan seni.” Beruntung  saat konfrontasi itu semakin memanas, Basoeki sedang berada di Thailand untuk melukis para petinggi kerajaan. Seandainya Basoeki berada di Indonesia, ia tentu tak bisa berkelit dari konfrontasi.
Ketidakhadiran Basoeki dalam dua momen bersejarah di Indonesia itu membuatnya kurang mendapat empati dari para seniman. Ia dianggap lebih mementingkan diri sendiri ketimbang bangsanya. Pelukis Sudjojono mengkritik lukisan Basoeki hanya meladeni selera turis. Basoeki dicap borjuis dan sombong lantaran kerap tak mau menemui tamu yang datang ke studionya. Basoeki beralasan,“orang (termasuk seniman) Indonesia lebih senang mengobrol daripada bekerja…Hal ini menyebabkan mereka tidak produktif”(hal.133).
Penerbitan buku Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan (2015) karangan Agus Dermawan T jadi momentum peringatan 100 tahun Basoeki Abdullah yang jatuh tahun ini. Membaca buku ini pembaca tak bakal dibawa pada pengagungan sosok Basoeki semata. Agus, kritikus seni rupa berdedikasi itu, secara apik dan berimbang mengisahkan sosok Basoeki Abdullah sebagai manusia Jawa yang begitu percaya pada hal-hal klenik; lelaki yang gemar bertualang perempuan; serta seniman dengan kedahsyatan karya-karyanya yang legendaris. []


Dimuat Jawa Pos 11 Oktober 2015

Jumat, 09 Oktober 2015

Ideologi Gaji


Beberapa pekan silam, urusan gaji kembali jadi obrolan pelik di media massa. Di Jakarta, ribuan guru honorer mengepung gedung parlemen, menuntut perbaikan nasib. Isi tuntutan itu antara lain agar guru segera diangkat jadi pegawai negeri, yang berarti mendapat jaminan gaji dan pensiunan. Tangis bahagia pecah saat tuntutan mendapat jawaban. Menpan RB Yuddy Chrisnandi berjanji akan mengangkat guru honorer menjadi PNS secara bertahap. Di negara ini, jutaan orang sedang bermimpi jadi pegawai negeri.
Tak hanya di luar, di dalam parlemen pun gaji jadi perdebatan tak kunjung usai. DPR usul agar ada kenaikan tunjangan dan menyarankan agar gaji presiden ikut naik, paling tidak Rp200 juta. Usulan itu mendapat sorotan. Kita bersyukur, Presiden Jokowi tak terpantik menanggapi. “Jangan aneh-aneh. Lha wong ekonomi melambat, lesu kayak gini, malu bicara gaji, tunjangan        ,” ucap Presiden (Suara Merdeka, 18 September 2015). Tawaran itu bisa jadi jebakan politik. 
Sebelumnya, wacana kenaikan gaji juga pernah muncul, bahkan langsung dari pernyataan presiden. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengeluh perihal gajinya yang tak pernah naik. Wisnu Nugroho (2010:379) mencatat:”Mungkin tidak seimbang dengan tugas yang diemban. Tetapi, apa boleh buat. Negara belum punya kemampuan memberi gaji yang lebih banyak.” Pengakuan SBY itu tentu saja menuai kritik dan cercaan di linimassa. Sebagai Presiden, ucapan itu dianggap tak etis.
Polemik gaji pun terus berlanjut sampai hari ini. Banyak orang berkeyakinan, gaji melimpah jadi penyokong produktifitas dan etos kerja. Gaji dianggap menentukan kinerja seseorang. Orang-orang kerap mengaku sukses bila bergaji melimpah. Pembuktian gaji bisa berupa membangun rumah gedong, kendaraan mewah, telepon superpintar, hingga kegemaran wisata kuliner di restoran mahal.
Dalam masyarakat Jawa, membicarakan gaji secara blak-blakan dianggap kurang etis. Jumlah rezeki yang didapat memang tak seberapa. Namun, ada keuntungan lain yang bisa didapat yaitu rasa persaudaraan yang semakin erat. Bahkan, orang Jawa, terutama di pedesaan, terbiasa bekerja gotong-royong semata-mata karena rasa kekeluargaan serta kesadaran gotong-royong. Istilahnya, “untung sathak, bathi sanak.” Takaran kepantasan lebih diutamakan ketimbang hitungan materialistis.
Bagi Ki Hajar Dewantara, istilah gaji kurang tepat digunakan dalam konsep pendidikan dan pengajaran. Ia lebih memilih menyebut “nafkah”. Jerih payah mengajar para guru ditebus dengan nafkah (“beaja hidup”), sesuai keperluan masing-masing. Dalam buku Pendidikan (1962), Ki Hajar Dewantara menyebut gadji sebagai “tjiri antithese madjikan-buruh, yang mengarah pada laku transaksional. Istilah “nafkah” lebih bermakna sebagai sesuatu yang mengandung berkah ketimbang gaji yang mengarah pada upah/imbalan.
Urusan gaji juga tak pernah menjadi obrolan penting oleh para tokoh penggerak bangsa. Mereka berpolitik dan berjuang untuk negara dalam kebersahajaan, mengutamakan laku keteladanan. Berpolitik kerap bersandar pada upaya mendidik masyarakat. Politik bergerak dalam medan pemikiran dan ideologi. Kita akan sulit menemukan catatan sejarah berkenaan ucapan atau keluhan dari para penggerak bangsa di masa lalu perihal kenaikan gaji dan tunjangan.   
Foto Sosok tua yang berwibawa, julukan The Grand Old Man rasanya tak berlebihan disematkan pada seorang Haji Agus Salim. Dalam foto tampak, meski di hadapannya seorang petinggi KNIL, tak ada sedikitpun gurat takut atau segan dalam gesture maupun ekspresi beliau. (Sumber: http://muharamsyah.tumblr.com)
Para politikus negeri ini sudah semestinya meneladani Hadji Agus Salim. Dia pejabat, politikus, sekaligus diplomat ulung era Presiden Sukarno. Menjadi pejabat tak membuatnya tergoda untuk bermewah-mewahan. Hidup berjalan di atas relnya idealisme dan kejujuran. Jangankan kendaraan mewah, rumah pun ia tak punya. Agus Salim tak malu ketika harus berkali-kali pindah kontrakan. Kondisi ekonomi negara era revolusi memang sedang kritis. Berpolitik dan berdiplomasi terus berlanjut meski terjerat hidup miskin (Tempo, 12-18 Agustus 2013)
Kita tidak tahu kapan persisnya orang Indonesia mulai menempatkan gaji sebagai acuan dalam bekerja dan menentukan nasib seseorang. Dalam sebuah kamus lawas berjudul Kamus Moderen Bahasa Indonesia garapan Sutan Muhammad Zein, “gadji” telah didefinisikan sebagai “(bld. Gage) upah jang tetap, upah bulanan. Definisi tersebut memang menegaskan betapa urusan gaji selalu mengarah pada transaksional dan untung-rugi.
Kini, urusan gaji ikut tersuarakan dalam pidato, demonstrasi, dan berita di media massa. Orang-orang berburu jabatan dan pekerjaan berpamrih gaji besar. Pilihan bersekolah tak jarang didasari dugaan-dugaan atas profesi yang sekiranya mampu memberi gaji berlimpah. Di saat wawancara kerja pun kita bakal berhadapan dengan pertanyaan dilematis perihal jumlah gaji yang diinginkan.
Kecerdasan, intelektualisme, dan kreatifitas manusia perlahan tunduk di bawah rezim gaji. Gaji turut berperan dalam menentukan profesi dan cita-cita manusia. Ideologi gaji lahir seiring pergeseran pola pikir manusia menuju ke arah masyarakat kapitalistik. Kita kehilangan kebersahajaan dalam laku keseharian akibat pukau gaji. Ideologi gaji sedang menuntun kita menjadi manusia serba berpamrih. []

Dimuat Koran Wawasan, 10 Oktober 2015