Kamis, 15 Desember 2016

Alun-alun dan Ingatan Publik


Beberapa pekan terakhir, media massa tengah ramai mengabarkan rencana Pemerintah Kota Semarang membangun kembali alun-alun lama kota Semarang. Rencana ini diakui memiliki sambungan dengan upaya Pemkot melakukan revitalisasi Pasar Johar pasca kebakaran sekaligus pembenahan besar-besaran kompleks Kota Lama. Kedua proyek besar itu juga sebagai respons atas masuknya Kota Lama dalam daftar sementara World Heritage City oleh UNESCO (PBB) 2020. Bagi pemerintah, membangun kembali alun-alun dianggap penting sebagai perangsang gairah orang-orang untuk tergoda berwisata ke Semarang.  
Gagasan tersebut pantas mendapat perhatian. Keberadaan alun-alun di Indonesia memang punya sumbu sejarah yang panjang. Sejak era prakolonial hingga abad modern, alun-alun sudah ada di bumi Nusantara. Alun-alun tak sekadar perkara ruang terbuka. Dalam catatan sejarawan Olivier Johannes Raap (2015), alun-alun biasa digunakan sebagai tempat berkumpul rakyat bersama pejabat kerajaan, tempat pidato pejabat pemerintahan, acara pertunjukan kesenian, pesta rakyat, hingga pelaksanaan hukuman pancung.
Kemunculan alun-alun juga tak lepas dari dampak keberadaan pemerintahan kolonial. Kala itu, banyak kota berstatus sebagai ibukota daerah administratif kolonial afdeeling yang dipimpin oleh seorang residen. Pembentukan afdeeling diikuti pula pembentukan daerah administratif pribumi yang sederajat, yaitu kabupaten yang dipimpin oleh bupati. Alhasil, di sekitar alun-alun tidak hanya dibangun kediaman untuk asisten residen tetapi juga bupati.
Diunduh (16/12/2016) dari https://stephanushannie.com/tag/sejarah-alun-alun-semarang/
Berakhirnya kolonialisme lantas mewariskan banyak alun-alun di Indonesia. Waktu demi waktu berlalu, alun-alun dianggap sebagai entitas penanda kota. Kita gampang menjadikan alun-alun sebagai pengingat saat datang ke kota atau daerah tertentu. Bahkan, alun-alun kerap dijadikan etalase atau ajang pamer keberhasilan pembangunan sebuah kota. Alun-alun dikelilingi jalan beraspal mulus. Di sekitar alun-alun biasa terpampang spanduk atau baliho bergambar bupati, walikota, hingga presiden.
Tak pelak banyak pemerintah daerah berusaha mempercantik alun-alun sedemikian rupa, berharap publik betah dan sering datang ke alun-alun. Alun-alun jadi ruang milik bersama. Warga kota berkumpul bersama mengisi waktu senggang. Di hari Minggu, alun-alun dimanfaatkan sebagai tempat untuk berolahraga pagi atau sekadar jalan-jalan. Kerumunan orang pun merangsang adanya geliat ekonomi. Pedagang kaki lima dan asongan kerap mangkal di alun-alun meski mendapat tentangan polisi pamong praja. Restoran dan kafe pun ikut bertebaran di sekitar alun-alun.
Geliat ekonomi dan wisata yang timbul berkat keberadaan alun-alun tentu kian menarik perhatian publik. Dari segi ekologis, alun-alun juga berfungsi sebagai ruang serapan air. Lokasi alun-alun yang strategis itu pun tak jarang dimanfaatkan sebagai ruang politis, sebut saja untuk kampanye dan unjuk rasa. Ukurannya yang luas memungkinkan pengumpulan massa dengan jumlah yang masif sekaligus lebih menarik perhatian khalayak ramai.
Kebermanfaatan yang berlimpah itu menjadikan alun-alun memiliki ruang dalam ingatan kolektif publik. Mereka punya cerita, kisah, bahkan kenangan, berkaitan dengan alun-alun. Ingatan itu pun bisa dimaknai betapa keberadaan alun-alun memang punya ruang tersendiri dalam ingatan publik.
Anggoro Suprapto lewat catatan berjudul Kenangan Alun-alun Semarang (Suara Merdeka, 22 Februari 1987) mengisahkan nostalgia alun-alun lama Semarang kisaran tahun 1950-1960an. Anggoro bercerita seputar pemanfaatan alun-alun:Pertunjukan sirkus pun dapat diadakan di tempat ini. Demikian juga jika ada pasar malam atau dugderan, tidak repot-repot cari tempat. Setiap malam banyak warga kota yang melancong ke alun-alun. Sekadar rileks atau jajan. Tentu saja juga ramai dengan kupu-kupu malam yang beroperasi secara diam-diam”. Alun-alun jadi tujuan pelesiran, tempat melepas ketegangan sekaligus mencari penghiburan. Keindahan alun-alun juga dilengkapi kehadiran “kupu-kupu malam”.
Pengisahan itu pun nostalgia. Catatan justru diakhiri kesaksian bernada kesedihan. Anggoro mengakhiri tulisannya:”Ramainya alun-alun waktu itu kini tinggal kenangan. Sebagai gantinya kini bermunculan gedung-gedung tinggi.” Ungkapan “tinggal kenangan” ternyata tak hanya muncul di lirik lagu berurai mata milik penyanyi enigmatik bernama Gaby. “Tinggal kenangan” justru disematkan untuk alun-alun, bermisi nostalgia dan penyesalan.
Penyesalan itu tak dilanjutkan oleh pemerintah. Kenangan dan imajinasi alun-alun justru hendak dihidupkan lagi. Rencana itu pun bakal menghadapi banyak godaan dan halangan karena alun-alun telah menjelma pasar dan gedung bertingkat. Pemerintah kota mesti ingat relokasi pedagang Pasar Johar yang setahun silam sempat memicu konflik.
Terkait rancangan pembangunan alun-alun itu, kita berharap pemerintah tak terjebak dalam anakronisme terkait fungsi ruang dan historisitas alun-alun. Tampilan dan desain alun-alun mesti memiliki “sambungan” kekhasan dan estetika dengan kompleks Pasar Johar dan Kota Lama. Konsekuensi ini sepantasnya sudah diperkirakan jauh-jauh hari, sepaket dengan antisipasi dan penyelesaiannya—berkaca dari catatan dan ingatan di masa lalu.


Wawasan, 16 Desember 2016

Jumat, 18 November 2016

Siasat Nama Kuliner

Tampaknya tidak hanya artis sinetron yang gemar menggunakan nama aneh, unik, dan tak jarang nyleneh, demi meraih simpati publik. Kuliner juga. Di belantika perkulineran mutakhir, para pengusaha beradu siasat menamai produk kuliner mereka dengan penekanan pada kekhasan rasa, penampilan, bahkan sensasi agar nama enak dibaca.
Nama-nama produk itu tak jarang keminggris, mengikuti merek berlabel internasional. Tentu saja untuk menggoda calon pembeli. Namun, kita justru dibuat kecut saat disuguhi nama produk itu ditulis dengan ejaan keliru, bahkan ngawur, terpajang di kedai, warung atau gerobak kaki lima.
Kekeliruan itu pun tak perlu kita ributkan sampai ke rubrik bahasa di majalah atau koran ibukota. Hanya saja, patut disayangkan pemilihan dan penulisan nama tak dilakukan secara kreatif dan teliti.
Bisnis kuliner memang urusan rasa tapi perkara penjualan ditentukan oleh taktik pemasaran. Tak sedikit pengusaha besar rela beriklan jutaan rupiah di majalah, televisi, spanduk di pinggir jalan, agar nama dagangannya menancap di ingatan publik.
Sebagian lain memilih berolah kreasi memakai nama-nama yang berkesan lucu, juga mistis. Dalam waktu lima tarikan nafas, misalnya, kita lancar mengingat: rawon setan, sambal setan, sambal bledek, ayam jingkrak, oseng-oseng mercon, dsb.
Pemilihan nama itu tentu bukan karena wangsit atau mimpi. Keputusan memilih nama kadang bermula dari peristiwa unik atau berkesan. Konon, seorang pengusaha kuliner asal Cirebon bernama Mutiah mulai menggunakan nama sambal setan untuk sambal buatannya sejak kedatangan turis asal Amerika Serikat yang makan di warungnya.
“Karena kepedasan, wajahnya mengeluarkan banyak keringat, ingus dan ludah. Dia kemudian berteriak,’Pedes sekali. Saya jadi kayak setan”. Sejak saat itu, warung Bu Mutiah, yang berada di Jakarta itu, akrab disebut warung sambel setan (Kompas, 11 November 2016).
Ternyata oh ternyata, sambal ekstra pedas bisa berfaedah dan membawa hoki. Kini, jualan Bu Mutiah jadi kian tenar. Kita tak usah repot-repot mengadakan riset serius untuk membuktikan apakah Mutiah adalah pemakai pertama istilah sambal setan di Indonesia.
Yang jelas, sambal bercap “setan” itu disukai orang-orang. Publik pun mafhum: siapa berani icip-icip sambal setan mesti siap lidahnya “terbakar” karena kepedasan. Kini, orang-orang terbiasa disodori istilah sambal setan.
Bersejarah
Sejak ratusan tahun silam, bangsa ini memiliki catatan sejarah perihal rasa pedas. Konon, awal kehadiran makanan pedas di Nusantara bermula dari perebutan pengaruh perdagangan rempah di kawasan Indonesia Timur, yaitu di Maluku dan Sulawesi Utara.
Semula, rasa pedas itu berasal dari rempah-rempah. Hingga kemudian pada akhir abad XV, Spanyol masuk ke Nusantara sembari mengangkut tanaman cabai. Spanyol berniat menggantikan lada hitam yang kala itu jadi alat tukar perdagangan dan dikuasai oleh penguasa Maluku Utara.
Ketika pada tahun 1644 VOC Belanda dan Ternate bersekutu dan berhasil mengusir Spanyol dari Maluku dan Sulawesi Utara, tinggallah tanaman cabai di sana. Akulturasi pun terjadi. Orang-orang  Minahasa mulai tergoda mencampur cabai dan rempah-rempah. Hasilnya, makanan di daerah itu bercitarasa pedas sekaligus panas (Tempo, 1-7 Desember 2014). Kita sulit mencari informasi apakah kala itu sudah ada orang-orang yang memakai istilah sambal setan.
Penamaan makanan secara “tak lazim” justru tercatat sudah ada di era kepemimpinan Presiden Soekarno. Buku Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Soekarno yang terbit kali pertama tahun 1967, dan dicetak ulang oleh penerbit Komunitas Bambu (2016), mencatat puluhan resep makanan bernama unik dan aneh.
Kita bakal tersenyum tipis saat membaca sekian nama resep masakan di dalam buku: Sambal penganten, sambal bantji, sambal banteng, gelombang samudra, granat muntjrat, asmorodono, dan sajur manipol usdek…. Wah, ada “sambal banteng” dan “sajur manipol usdek”!  
Kita menduga penamaan “sambal banteng” terinspirasi oleh kegemaran Soekarno dalam menggunakan kepala banteng sebagai lambang dan simbol. Sedangkan istilah Manipol Usdek tak lain adalah gagasan politik milik Soekarno saat menerapkan politik terpimpin, tepatnya sejak tahun 1959.
Lantas, apa isi resep “sajur manipol usdek” itu? Nama masakan terkesan serius padahal berisi bahan-bahan biasa: “daging/tetelan 1/4 kg, kedelai ½ gls, katjang pandjang 2 ikt, daun melindjo dengan buahnya 1 gls, kelapa ½ btr, daun katuk 1 ggm, djagung muda 3 bh, terong 1 bh, daun katjang pandjang 1ggm”.
Penamaan makanan tergoda acuan ideologis. Sejarawan JJ Rizal menyebut urusan pangan adalah bagian dari politik selfreliance Soekarno. Lidah orang Indonesia mesti disuguhi resep milik sendiri agar berkepribadian dan berwatak nasionalistis, bermula dari lidah dan pangan.
Merebaknya nama-nama unik yang kini banyak dipakai oleh pengusaha kuliner barangkali sambungan dari masa lalu. Penamaan itu tak terkait politik atau ideologi, semata-mata bermisi ekonomistik—menjaring pembeli sebanyak-banyaknya.
Terkadang, nama makanan bercorak mistis atau nyleneh sanggup mengganggu selera atau imajinasi kita. Tetapi, apa daya perut lapar. Asal lezat dan halal, apa pun namanya tak jadi soal.[]


Tribun Jateng, 19 November 2016

Rabu, 16 November 2016

Cangkul Bercerita Indonesia

Beberapa pekan silam, cangkul atau pacul mendapat banyak sorotan dari publik. Konon, pemerintah telah mengimpor 86.000 mata cangkul impor dari Cina. Ribuan cangkul itu mendarat di Pelabuhan Belawan, Medan.
Cangkul pun termuat di sampul koran-koran. Para penjual cangkul mendadak mendapat rentetan pertanyaan seputar respons petani menanggapi keberadaan cangkul impor tersebut.
Kita bersyukur para petani tak tergoda pada cangkul impor berharga murah itu. Kita patut bangga dan bersyukur lantaran kualitas produk cangkul lokal jauh lebih baik daripada produk impor.
Para petani di Temanggung mengaku tak terlalu tergiur memakai cangkul impor. Mereka berpendapat, cangkul Cina ”dari kualitas besi dan ketajamannya tidak sebaik cangkul buatan lokal”(Wawasan, 2 November 2016).
Petani lebih berterima memakai cangkul mesti teknologi traktor telah tersedia. Traktor dimiliki para juragan dan tuan tanah. Tetapi traktor tak sepenuhnya sanggup menggantikan fungsi cangkul. Kita menduga tak semua petani berkenan membeli traktor berharga jutaan rupiah. Mereka tetap memilih membeli dan memakai cangkul.
Sejak dulu, kita telah memiliki kedekatan dengan cangkul. Cangkul-cangkul itu diperlukan petani guna menyokong ketahanan pangan.
Di era Presiden Soekarno, petani jadi soko guru revolusi. Mencangkul itu revolusioner! Mencangkul ibarat kerja bermisi nasional. Soekarno pun memerlukan foto menenteng cangkul. Foto itu tersebar di buku-buku dan majalah, penyambung gagasan Manipol Usdek. Soekarno ingin mempertontonkan ke publik bahwa ia berpihak ke pencangkul (petani).

Pembentukan misi dan ambisi mencangkul di era Soekarno tertera di buku tebal berjudul Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat (Jilid 1). Buku terbit tahun 1961, disusun oleh Maj. Moch. Said, Kepala Seksi B.K.I Peperrda/Pedarmilda Djawa-Timur. Buku memuat bahan indoktrinasi dan pidato Presiden Soekarno sejak masih berstatus aktivis kemerdekaan hingga bergelar “Paduka Jang Mulia”.
Di halaman sampul, kita langsung disuguhi gambar ilustrasi siluet orang mencangkul. Mencangkul berarti menggerakkan revolusi. Bab demi bab menjelaskan bagaimana cangkul mesti diayunkan. Di halaman 856, kita simak pidato Soekarno bertarikh 1 Djanuari 1961:”Maka pada hari ini kita, Insjaallah Swt, mengtjangkul jang pertama untuk pembangunan semesta berentjana”.
Di tahun 1960-an, Indonesia memang tengah dilanda krisis pangan. Padahal, revolusi terus menguras kas negara. Presiden mesti menyokong semangat rakyatnya agar lebih giat bekerja. Mencangkul jadi ajakan ideologis-ekonomistik. Soekarno sadar rakyatnya kebanyakan berasal dari kaum buruh dan tani. Indonesia mesti terus dicangkul dan ditanami bibit padi, ketela, jagung. Terus mencangkul menjanjikan panen-panen kian melimpah.
Tahun terus berganti, tampuk kekuasaan beralih ke pundak Presiden Soeharto tapi cangkul tetap jadi alat penting bagi propaganda pembangunan. Soeharto memang gandrung mencitrakan diri sebagai sosok anak petani desa sekaligus penggerak pembangunan meski berbeda haluan dengan Soekarno. Di mata Soeharto, cangkul tak bermuatan ideologis. Cangkul justru menentukan pertumbuhan ekonomi dan citraan gerakan pembangunanisme.
Buku Pak Harto Petani dari Desa Kemusu (1987) garapan Moh. Alwi, tegas-tegas memuat foto Soeharto di halaman sampul. Soeharto berpose berdiri di antara becek lumpur sawah, bercaping, sembari kedua tangan menenteng cangkul. Penyusun buku mungkin menginginkan pembaca langsung terpukau pada Soeharto sebelum diajak memasuki cerita demi cerita.
Soeharto ingin publik yakin atas keberpihakannya pada petani. Di halaman awal, buku sengaja dipersembahkan “untuk generasi muda dan petani Indonesia sepanjang masa”.
Konon, pengisahan hidup bocah bernama Soeharto dipenuhi kesulitan meski tak membuat si bocah putus asa. Moh. Alwi menulis:“Ketika kemudian kesulitan baru muncul, Soeharto memutuskan untuk kembali ke Dusun Kemusu, bekerja di sawah sambil menuntut pelajarannya di sekolah.” Pengisahan ini merangsang imajinasi pembaca atas kedekatan Soeharto dengan sawah, petani, dan cangkul.
Di hari-hari menjadi presiden, kita ingat Soeharto kerap menampilkan adegan berfoto bersama petani saat panen padi. Foto-foto itu mengukuhkan misi Soeharto agar Indonesia terkesan berlimpah beras, bermula dari keberpihakannya pada kaum pencangkul.
Cangkul punya riwayat panjang berkaitan dengan pergerakan Indonesia melewati zaman demi zaman. Cangkul itu simbol usaha dan doa. Cangkul tak bersanding dengan palu atau celurit. Soekarno dan Soeharto tepat telah berpihak kepada kaum pencangkul.
Kini, Indonesia tengah diserbu cangkul-cangkul impor. Pemerintah mesti lekas menengok nasib para pandai besi yang menggantungkan hidup pada penjualan cangkul-cangkul lokal. Mereka jelas paling merasa terkena imbas impor cangkul. Keberadaan pandai besi kian hari semakin punah.
Di kabupaten Agam, Sumatera Barat, kota yang dikenal sebagai pusat pengrajin cangkul, misalnya. Pandai besi menyisakan cerita pilu. Pandai besi di sana semakin tua, rata-rata berumur di atas 50 tahun (Jawa Pos, 8 November 2016). Apakah kita menginginkan pandai besi menjadi cerita tak terwariskan?
Pemerintah tak usah menunggu ada demonstrasi dari para petani dan pandai besi. Jelas, prosedur peredaran cangkul di negeri ini mesti segera dibenahi![]

Wawasan, 17 November 2016


Minggu, 13 November 2016

Puisi sebagai Jalan Tafsir

Para penyair kerap menempuh pelbagai cara kreatif agar puisi ciptaannya tak sekadar mengulang apa yang pernah ditulis oleh para pendahulu. Dari membaca sebanyak mungkin referensi hingga melakukan “pembongkaran” atas konvensi berpuisi yang pernah ada. Sekian penyair mengutak-atik tema. Bahkan ada yang sampai memilih untuk mengembalikan hakikat puisi kepada mantra. Harapannya, tentu untuk menghasilkan puisi yang menawarkan kesegaran puitik maupun estetik.
Triyanto Triwikromo bisa dikategorikan sebagai penyair yang getol melakukan eksplorasi dan mencari “kesegaran”. Meski satu dekade terakhir ini ia lebih banyak menerbitkan buku kumpulan cerpen, Triyanto tetaplah seorang penyair. Sejak akhir tahun 1980-an, Triyanto sudah berpredikat penyair tapi baru pada tahun 2010 kita bisa menikmati kumpulan puisi perdananya yang berjudul Pertempuran Rahasia. Di buku puisi itu, Triyanto tampil memukau dengan sajian puisi bertema wayang, bertolak dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Selang beberapa tahun kemudian, Triyanto menerbitkan buku puisi kedua berjudul Kematian Kecil Kartosoewirjo: Sehimpun Puisi (2015). Buku ini menarasikan “suara-suara lain” dari sosok kontroversial Sekarmadi Maridjan Kartosoewirjo.
Kini, sang penyair kembali menyapa pembaca lewat penerbitan kumpulan puisi Selir Musim Panas (2016). Judul buku begitu menggoda. Kita mungkin bakal tergerak untuk mulai melacak maksud penggunaan kata “selir”, menaut pada riwayat kesejarahan kisah raja-raja di Nusantara, sebelum menelusuri puisi demi puisi. Sayang sekali, dugaan ini meleset ketika kita sadar bahwa frasa “musim panas” sulit mendapati sambungan imajinasi jika mengacu keberadaan musim di negara ini. Perlahan, pembaca mulai tercerahkan saat mendapati Triyanto telah menyisipkan pelbagai “petunjuk” di beberapa puisinya, sebagai suluh agar pembaca tak tersesat. Triyanto menghadirkan puisi-puisi yang bertolak dari referensi berkonteks Tiongkok di masa lalu. Puisi-puisi berkelindan dan mewujud bersama deretan peristiwa dan tokoh-tokoh bersejarah.
Di bagian awal, kita disuguhi puisi Tiananmen Miao Deshun. Puisi berkisah tentang peristiwa tragis di lapangan Tiananmen tahun 1989, yang menelan korban rakyat dan mahasiswa. Membaca puisi ini, kita diajak menziarahi salah satu peristiwa berdarah yang paling dikenang dunia tentang sejarah Tiongkok. Begini kutipan puisinya: 3.000? Bukan. 5.000? Lebih. Mereka—juga yang tak/ tampak—telah dilindas tank.//Bendera Deng Xiaoping begitu congkak. Darah/ terus mengucur, merembes ke tanah, dan membercak/ ke jalan-jalan. Triyanto berpuisi tapi mirip pencerita sejarah. Pembaca diajak mengingat sejarah Tiongkok, mengarah pada peristiwa-peristiwa berdarah.
Di puisi-puisi lainnya, Triyanto mencoba “menuliskan kembali” novel yang pernah ia baca. Judul novel itu tertera sebagai penuntun bagi pembaca: Bandit Manis: Kisah Lain Sorgum Merah Mo Yan, dan Teka Teki Desa Mati: Setelah 12 Tahun membaca Gunung Jiwa Gao Hing Jian. Bahkan dua novel karangan penulis Cina modern Anchee Min, yaitu Empress Orchid (2011) dan The Last Empress (2011), melatari sebagian besar puisi-puisi di buku ini. Dua novel ini bercerita seputar sejarah Tiongkok era Dinasti Ch’ing di bawah pimpinan Ratu Anggrek.  
Puisi Reinkarnasi Cheng Ho, misalnya, bertolak dari cuplikan novel The Last Empress halaman 96-97, yang menceritakan kematian janggal budak kepercayaan Ratu Anggrek. Simak petikannya: Pada september 1872/ kepalamu memang dipenggal, An-te-hai. Permaisuri/ Nuharoo, Kaisar, Pangeran Kung, dan Gubernur Ting/ bersekongkol membunuhmu//”Kasim brengsek telah mati,” teriak seseorang./“Burung selingkuhan Ibu Permaisuri tak bisa lagi/ berkicau,” kata orang istana. (hal.49).
Puisi tak kehilangan jejak-jejak literer dalam novel, tapi bercitarasa khas ala Triyanto. Tak bisa disebut teks yang sma sekali baru namun juga tak bisa dipandang sebagai semacam tafsir biasa. Tersebab lewat kepiawaiannya, Triyanto seperti menulis ulang teks-teks referensi itu menjadi puisi. Bahkan dalam puisi berjudul Bandit Manis: Kisah Lain Sorgum Merah Mo Yan, pembaca masih merasakan alur dalam novel tetapi efek dari puisi ini sama sekali berbeda seperti saat kita membaca novelnya. Triyanto memuisikan novel (dalam versi terjemahan bahasa Indonesia) setebal 543 halaman ke dalam 35 fragmen puisi.
Apa yang dilakoni Triyanto dalam buku ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan dua buku puisi sebelumnya. Hanya saja, dalam buku ini, upaya meramu referensi menjadi teks puisi, patut diakui, benar-benar kompleks. Puisi menjadi semacam jalan tafsir atas hasil pembacaan. Ada pelbagai macam konteks waktu, peristiwa, konflik, dan karakter tokoh, dari sekian novel, yang mesti benar-benar ia pahami. Meski menggubah ulang ke dalam bentuk puisi, Triyanto masih menjaga agar konteks cerita tetap terjaga.

Hasilnya, sebuah buku yang sanggup mengajak kita mengingat sekaligus bertualang menyinggahi khasanah literatur Tiongkok, yang barangkali, sudah mapan—untuk tak menyebut “mati”—sebagai novel. Dan Triyanto mulus “menghidupkannya” kembali sebagai puisi. []

Dimuat Majalah Basis edisi November – Desember 2016

Keterangan: Acara UPGRIS Bersastra, membincang 3 Buku Triyanto Triwikromo, 19 Oktober 2016. Foto: Muhajir Arrosid

Pengorbanan Membaca Buku

Saya berandai-andai ada sebuah aforisma mutakhir yang isinya begini: Kemewahan terakhir seorang manusia adalah punya banyak waktu untuk membaca buku.
Aforisme itu, saya kira, tak berlebihan. Kesibukan manusia mengurusi pekerjaan, keluarga, sekolah, hingga pemenuhan kewajiban sebagai manusia sosial, mengubah hari-hari terasa lebih pendek.
Gawai turut menyita waktu, sedari bangun tidur hingga saat tubuh kembali merebah di atas ranjang. Detik demi detik dihabiskan oleh rutinitas pragmatis. Alhasil, orang-orang mulai sulit menyempatkan waktu berdiam diri untuk membaca buku.
Kesibukan itu berimbas pada kebekuan pikir alias bebal. Dalam skala yang lebih besar, ketidaksanggupan menyediakan waktu baca juga menjadi masalah bagi negara kita. Belum lagi perkara buta aksara.
Penderitaan itu kian lengkap dengan tudingan Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan oleh Central Connecticut State University, yang mencap Indonesia ada di urutan ke-60 di antara total 61 negara atau peringkat kedua dari bawah (Jawa Pos, 13 April 2016).
Anies baswedan, Mendikbud kala itu, merespons tudingan tersebut dengan mengagendakan gerakan literasi melalui pembiasaan membaca di sekolah. Selama 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai, siswa diwajibkan membaca buku apa saja.
Usaha itu perlu kita apresiasi meski terkesan tanggung. Membaca 15 menit itu terlalu sebentar seumpama dibandingkan dengan waktu yang diperlukan guna  menengok “beranda” Facebook.
Negara kita, barangkali, perlu meniru kebijakan yang ditempuh oleh Uni Emirat Arab (UAE) dalam upaya meningkatkan budaya membaca di masyarakat. Belum lama ini, Presiden UAE Sheikh Khalifa bin Sayed Al-Nahyan meresmikan kebijakan wajib membaca bagi rakyatnya.
Dalam praktiknya kelak, negara akan memberikan keringanan kepada kaum pekerja untuk mendapatkan waktu istirahat yang lebih lama agar mereka bisa menyempatkan diri membaca buku. Negara beralasan, kerja keras boleh saja tapi membaca buku jangan ditinggalkan.
Kebijakan UEA itu pun berlanjut ke institusi pendidikan, tempat hiburan, dan urusan pajak. Jajaran pendidik dan akademisi ditugasi menggenjot gairah siswa untuk membaca buku. Kedai-kedai kopi diharuskan menawarkan buku bacaan agar orang-orang tak hanya bergosip tetapi juga mau membaca buku. Di pusat perbelanjaan, juga wajib dibangun perpustakaan. Tak hanya itu.
Demi menyokong penulis, editor, dan perusahaan percetakan, pemerintah menyediakan pelbagai fasilitas menggunakan alokasi dana khusus. Pajak yang berkenaan dengan produksi buku pun dihilangkan (Media Indonesia, 7 November 2016). Dahsyat, bukan?
Kebijakan pemerintah UEA itu mungkin bermula dari kesadaran atas pentingnya menyiapkan waktu khusus untuk membaca di sela kesibukan rutinitas keseharian. Tak bisa dimungkiri, banyak orang gampang mengajukan alasan sibuk, lelah, stres, frustasi, kere, agar tak merasa bersalah telah menutup buku bacaan beratus-ratus hingga ribuan hari lamanya.
Kaum berduit mungkin sanggup membeli puluhan buku tiap akhir pekan tapi kewalahan mengatur waktu membaca. Buku-buku itu tercampakkan dan terkutuk di rak-rak berdebu atau kamar gelap.
Si empunya buku ingin menebus rasa bersalah karena tak lagi sempat membaca dengan menumpuk buku-buku baru. Buku tak lekas dibuka dan dibaca tapi difoto dan dipajang di media sosial.
Kelak, di hadapan rekan-rekan ia bisa sesumbar: meski sibuk bekerja tapi masih sempat membaca dan mengoleksi buku! Alamak…. Kita boleh menduga “penyakit” ini menjangkiti pekerja kantoran, sosialita, akademisi, bahkan seniman, yang keok dilibas urusan birokrasi, jabatan, dan kekuasaan.
Pada akhirnya, sebesar apa pun peran negara dalam menggenjot gairah membaca, penentunya ada pada inisiatif dan kesadaran dari masing-masing individu. Secuil kutipan dari novel Rumah Kertas (2016) karya novelis Argentina Carlos Maria Dominguez berikut ini bisa mengingatkan kita bagaimana seseorang mesti berusaha keras menjaga gairah membaca buku meski tengah dilanda kesibukan:
“berapa jam sehari yang bisa saya peruntukkan buat membaca? Paling banter empat, lima jam. Saya kerja pukul delapan pagi sampai lima sore di sebuah jabatan yang tidak enteng tanggung jawabnya. Tapi sepanjang waktu itu yang saya rindukan cuma bisa kembali ke sini. Di gua inilah—izinkan saya menggunakan istilah itu—saya luangkan beberapa jam yang menyenangkan sampai pukul sepuluh….”
Kutipan ini mungkin sulit mendapat “amin” atau “like” bila ditulis di media sosial. Orang-orang cenderung memilih menghabiskan empat sampai lima jam sehari untuk tidur, main gawai, menonton televisi, bergosip di kedai, atau belanja di minimarket.
Novelis Haruki Murakami (2016) pernah bepanjang cerita seputar pengalamannya mencari waktu senggang demi laku berliterasi:“aku berusaha meluangkan waktu 30 menit, sejam, atau mencari sedikit waktu saat aku bekerja di kelab”. Sebelum moncer sebagai novelis, hari-hari Murakami memang disibukkan untuk mengelola kelab jazz.
Kita memang tak diharuskan meniru laku Haruki Murakami. Di zaman yang serba bergerak cepat, pengorbanan demi membaca buku memang bukan perkara sepele. Membaca jelas bukan aksi heroik agar terkesan intelektual belaka.
Buku, tulis Kafka dalam suratnya kepada Oskar Pollak, temannya semasa sekolah, harus menjadi kapak yang memecah lautan beku dalam diri kita. Maka membaca buku, pada hakikatnya, semata-mata agar kita tak gampang terserang lupa, pikun, atau ngawur. []

Jawa Pos, 13 November 2016


Foto: Haruki Murakami. Sumber: thedailybeast.com/diunduh tanggal 14 November 2016

Senin, 29 Agustus 2016

Rayuan Puisi dan Panggung Referensi


Ada begitu banyak buku yang mengajari kita bagaimana kiat-kiat menulis puisi yang baik. Tetapi setiap penyair selalu punya cara tersendiri. Di masa lalu, penyair mungkin sekadar mengandalkan imajinasinya untuk berpuisi. Melamun dan merenung antara sebentar, menyulut kretek, menyesap kopi, lalu mulai menulis. Dan jadilah sebuah puisi. Namun, ada pula penyair yang mesti melakoni “ritual” khusus sebelum menulis. Penyair itu, mungkin saja, mesti mendatangi tempat-tempat kumuh, ikut merasakan orang-orang kelaparan, barulah bisa mencatatkan pengalaman itu ke dalam bentuk puisi.
Semua cara itu sah. Tak terkecuali dengan apa yang Triyanto Triwikromo lakoni. Laku berpuisinya bermula dari pergumulan dengan teks-teks yang telah ia baca. Teks itu bisa berupa novel, buku sejarah, atau epos. Dari persinggungan itu, ia mengajukan dialog, tafsir, hingga penceritaan ulang. Enam tahun silam, Triyanto menerbitkan buku berjudul Pertempuran Rahasia: Buku Puisi (2010) yang bertolak dari penafsirannya atas epos Mahabharata dan Ramayana. Lima tahun berselang, ia kembali dengan buku puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015). Buku ini menarasikan fragmen hidup sosok Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dalam pengertian yang berbeda dengan sejarah versi negara.
Kini, masih dalam etos yang sama, Triyanto menyuguhkan buku terbarunya yang berjudul Selir Musim Panas: Sehimpun Puisi (2016). Ia menulis puisi bertolak dari sekian literatur, juga film, bertema (kesejarahan) Cina, sejak akhir abad XVIII hingga awal abad XIX. Sejak era Dinasti Ch’ing sampai meletus Tragedi Tiananmen. Beberapa novel tertera sebagai rujukan, sebut saja Gunung Jiwa (Gao Xinjian), Sorgum Merah (Mo Yan), dan film Reign of Assasins. Juga dua novel sejarah yang tak Triyanto cantumkan judulnya tapi masih mudah kita tebak, yaitu Orchid Empress dan The last Empress karya novelis Cina Anchee Min. Pembaca yang belum sempat bersentuhan dengan referensi itu, tentu bakal berkerut kening dan terserang kesemutan saat hendak memasuki puisi-puisi Triyanto. Pembaca mungkin takut tak paham konteks waktu dan peristiwa.
Tetapi tunggu dulu, pembaca tak usah terburu-buru cemas. Penyair Sapardi Djoko Damono (2010) pernah menyarankan agar dalam menikmati puisi-puisi Triyanto, pembaca sebaiknya “menerima saja kisah dan renungan” yang ia hadirkan. Selain karena “telah disampaikan dengan pengucapan yang baik”, Sapardi juga meyakinkan bahwa “kita bisa saja membaca sajak-sajak ini berdasarkan bahasa penyampaiannya, yang dalam puisi bisa lebih penting dari apa yang disampaikan”.    
Saran Sapardi itu ada benarnya. Terkadang, untuk menikmati puisi-puisi Triyanto, pembaca hanya perlu menikmati bagaimana bait demi bait disusun dengan begitu padu, berbunyi, dan di saat yang bersamaan, menyitir komentar penyair Zen Hae, “menampilkan dunia ajaib yang berlebihan”. Pembaca pun bisa lekas membuktikan dengan membaca puisi Enigma. Puisi ini hadir di urutan pertama. Simak petikannya:”Siapakah aku? Jagal manis 3.000 kisah. Sembilan/ tahun tetes darah. Tetapi kau selalu menyebutku/ sebagai 20 gerombolan burung funiks, jantung/ dunia, tentara musim dingin, pemilik kota/ yang disembunyikan”.
Tak sampai di situ, pembaca juga disilakan untuk menikmati ungkapan-ungkapan khas Triyanto. Narasi-narasi puitik yang mencampuradukkan ungkapan “canggih”, objek-objek ganjil, serta metafor, yang tak jarang, mencekam. Ada baiknya pembaca menyiapkan teh hangat untuk melemaskan urat saraf saat mulai memasuki rimba raya metafor di buku ini, di antaranya:“Turis pukul 02.13 yang resah”(Enigma);“Lalu ayam berkaki tujuh pun lahir di salju salah waktu”(Kuil Kesedihan Wu Chao);“seekor kodok/ menelan Tuhan/ demi mendapatkan semesta/ kehampaan”(Teka-teki Desa Mati).   
Lebih dalam, Triyanto bahkan melakukan “pemanggungan ulang” atas cerita-cerita dalam novel, teks sejarah, atau film. Di puisi Tiananmen Miao Deshun, misalnya. Puisi ini menggambarkan situasi tragedi bersejarah-berdarah di Cina tahun 1989 silam. Bait pembukanya begini:“3.000? Bukan. 5.000? Lebih. Mereka—juga yang tak/ tampak—telah dilindas tank.//Bendera Deng Xiaoping begitu congkak. Darah/ terus mengucur, merembes ke tanah, dan membercak/ ke jalan-jalan”. Puisi mengisahkan tragedi, mengimajinasikan peristiwa sepenuhnya.
Hal itu tentu menjauhkan asumsi bahwa Triyanto hanya mencomot saja fragmen novel atau teks sejarah sebagai pondasi puisi-puisinya. Ia pun piawai mengoperasikan teks-teks referensi ke dalam puisi menjadi lebih performatif. Dalam puisi panjang berjudul Bandit Manis: Kisah lain Sorgum Merah Mo Yan, Triyanto memuisikan novel Sorgum Merah ke dalam 35 fragmen. Bagi yang pernah membaca novel itu, ada semacam letupan sensasi puitik saat pengalaman membaca novel berkelindan dengan proses pembacaan puisi. Di saat bersamaan, puisi-puisi Triyanto ibarat “menghidupkan” kembali teks-teks referensi itu ke dalam alam imaji pembaca.
Triyanto kentara ingin pembacanya ikut mengerti bagaimana proses puisi-puisinya diolah dan ditulis. Secara tersirat, puisi-puisinya mengajak, bahkan merayu, pembaca untuk tergerak menelusuri teks-teks rujukan yang ia hadirkan. Dengan begitu kita pun mafhum: betapa bagi Triyanto menulis puisi memang tak sekadar mengandalkan lamunan. []


 Jawa Pos, 28 Agustus 2016