Jumat, 17 Juli 2015

Menyegarkan Pemaknaan Masjid



Setiap Ramadan datang masjid dipastikan lebih ramai dibanding biasanya. Umat Islam merasa perlu memanfaatkan bulan penuh pahala ini dengan menambah intensitas datang ke masjid. Dari shalat berjamaah, membaca Alquran, berbuka bersama, tarawih, hingga sekadar tidur-tiduran. Di bulan Ramadan inilah keberadaan masjid menampilkan suasananya yang hangat.
Di siang hari, kala tubuh didera lapar, orang-orang menyempatkan shalat di masjid. Suasana masjid yang sejuk dan tenang merangsang jamaah untuk beribadah secara lebih khusuk. Menjelang malam hari, suasana masjid kian meriah. Hajatan buka bersama membuat kebersamaan jamaah kian terjalin. Setelah berbuka, agenda di masjid diisi tarawih dan tadarus Alquran. Begitu seterusnya setiap hari selama Ramadan. Belum lagi jika ada acara tambahan guna lebih menyemarakan masjid, seperti pengajian dan pesantren kilat bagi siswa-siswa sekolah. Masjid pun tak pernah sepi dari aktifitas-aktifitas berfaedah.
Maka tak keliru bila bulan Ramadan jadi momentum bagi umat muslim untuk memberi pemaknaan baru atas peran dan fungsi masjid. Keberadaan masjid bisa jadi rujukan untuk membaca dan memahami Islam dalam pelbagai perspektif, dari sejarah, budaya, hingga politik. Pemaknaan ini diharapkan mampu menempatkan masjid tak sekadar pada fungsinya sebagai tempat ibadah.
Untuk itu mari sejenak membuka catatan-catatan tentang kesejarahan masjid di Indonesia. Bangunan masjid menandai kedatangan dan persebaran agama Islam di Indonesia. Keberadaan masjid tidak bisa lepas dari peran para pedagang dari Arab, Persia, dan India, yang datang ke Nusantara sembari menyebarkan ajaran Islam. Di setiap wilayah yang mereka tinggali, mereka biasanya mengutamakan untuk membangun masjid (Badri Yatim, 1993). Dari masjid itulah dakwah Islam menyebar luas ke khalayak.
Pentingnya membangun masjid sebagai pusat gerakan dakwah juga disadari oleh Walisongo, penggerak agama Islam di tanah Jawa. Walisongo menjalin diplomasi dengan kerajaan dan penguasa di Jawa saat itu demi memuluskan dakwahnya, terutama lewat pembangunan masjid. Hasilnya, masjid diizinkan dibangun di tempat-tempat strategis, seperti di samping kraton dan alun-alun.
Membangun masjid di tempat strategis tentu punya misi yang tak sepele. Alun-alun, misalnya, merupakan tempat di mana tradisi pertemuan sang raja dan rakyatnya biasa digelar. Setelah ada masjid, pertemuan raja dan rakyat tetap berlangsung namun berpindah ke dalam masjid. Hal tersebut bertujuan agar penyebaran ajaran Islam ke dalam kepercayaan orang Jawa tak serta-merta menabrak dan menghapus nilai tradisi dan budaya mereka (Sidi Gazalba, 1975). Siasat ini juga dimaksudkan agar tak terjadi gesekan yang terlalu keras antara proses dakwah dengan ritual tradisi yang ada.
Keberadaan masjid di Jawa pada mulanya memang sebagai pusat dakwah. Namun, pada perkembangannya, masjid mulai digerakkan sebagai tempat pengajaran dan pendidikan. Para kyai di Jawa bersiasat membangun masjid di dalam pesantren sebagai manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Para kyai meniru tradisi Nabi Muhammad saw dalam memfungsikan masjid sebagai pusat pendidikan umat Islam (Zamakhsyari Dhofier, 1983).
Di masjid, para santri dididik shalat lima waktu, disuguhi ilmu dan ajaran-ajaran Islam, serta diajarkan untuk melanjutkan tradisi baik yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Masjid pun merangkap sebagai pusat pengajaran dan pendidikan berbasis Islam dan tradisi.
Masjid Istiqlal (sumber: pangutangans.wordpress.com)
Masjid terus mengalami perluasan fungsi dan makna. Nilai-nilai kultural dan kebangsaan ikut bersemai di dalam masjid. Di era Presiden Sukarno, kita bisa menyaksikan betapa masjid bisa dijadikan sebagai alat pencitaan harga diri negara. Pidato Sukarno tertanggal 18 Juli 1966 berjudul “Dirikanlah Masjid dari Beton,” menegaskan ambisinya agar Indonesia memiliki masjid bertaraf internasional, setara masjid-masjid agung di India, Turki, dan Pakistan.
Simaklah petikan pidato tersebut:”Masak kita bangsa Indonesia yang jumlah umat Islamnya lebih besar dari negara yang lain, bangsa Indonesia yang jumlah orang Islamnya, muslimin dan muslimatnya terbesar di dunia, masak kita mendirikan masjid Jami kok dari kayu dan genteng. Saya tidak berpikir dalam istilah kayu dan genteng. Saya berpikir dalam istilah beton….” Masjid Istiqlal itulah hasilnya.
Senarai singkat terkait peran dan makna masjid di masa lalu membuat kita mafhum betapa pemaknaan masjid tak sekadar peneduh saat beribadah. Masjid pernah mengalami masa-masa gemilang ketika umat Islam sanggup menempatkannya sebagai ruang-ruang bermisi pendidikan, tradisi, dan nasionalisme. Di sinilah masjid turut membentuk mentalitas manusia Indonesia. Dengan demikian, meningkatnya intensitas orang-orang datang ke masjid di bulan Ramadan sepantasnya jadi momentum bagi umat Islam untuk menyegarkan kembali pemaknanan mereka atas peran dan fungsi masjid, berkaca dari masa lalu. []

 
Dimuat di Suara Merdeka, 10 Juli 2015