Senin, 02 November 2015

Agar Cerita Tak Sebatas Monumen Kesedihan

Cerpen bisa dimaksudkan bukan semata-mata demi pewujudan ide dan imajinasi. Tak jarang, cerpen diciptakan sebagai usaha membingkai ingatan dan kesaksian. Korban geger 1965, misalnya. Cerpen memberi ruang bagi mereka untuk mengisahkan kegetiran hidup, depresi, serta perlawanan atas diskriminasi akibat stigma komunis, dengan cara lebih kreatif.
Pilihan itu ditempuh Gunawan Budi Susanto lewat penerbitan buku Penjagal Itu Telah Mati. Cerpennya tampil sebagai mimbar pengisahan diri, berisi ingatan dan gugatan. Episode mengharukan berlatar kisah keluarga dalam pusaran geger 1965 hadir sebagai cerita utama. Keputusan untuk menampilkan korban dalam relasi keluarga tentu tak lepas dari pengalaman hidupnya.
Dalam gegeran itu, Gunawan “kehilangan” bapaknya, dan sampai kini belum juga ketahuan di mana kuburnya. Tentu saja bukan hal mudah baginya untuk melewati bertahun-tahun lamanya dengan stigma “anak PKI”. Kita tahu, Orde Baru begitu buruk mencitrakan dan memandang mereka.
Maka, empat belas cerpen dalam buku ini bisa jadi cara Gunawan mengurangi beban berat trauma di masa lalu. Gunawan secara terang dan jelas menahbiskan cerpennya sebagai mimbar pengisahan dari perspektif korban. Kita bisa menelusuri imajinasi kesedihan yang ditanggung oleh korban lewat kisahan tokoh dalam cerpen-cerpen ini.  
Buku diawali dengan cerpen Di Kubur Manakah Kautemukan Tubuhku. Cerpen itu berkisah tentang penemuan kuburan korban geger 1965. Gunawan menghadirkan imajinasi kegelisahan arwah seorang korban saat mengetahui kuburan yang menyimpan jasadnya ditemukan.
Penemuan itu tak disangka menerbitkan dilema dan kecamuk.“Namun, jangan paksa aku mengakui itulah tubuhku. Jangan paksa aku” (hal.3). Cerpen ini menyiratkan informasi betapa berat kekerasan yang menimpa tokoh “aku” sebelum akhirnya mati terbunuh, hingga arwah mereka pun “enggan” mengakui jasadnya. 
Kita bisa ikut membayangkan pengimajinasian cerpen tersebut lewat sekian film dan buku. Film Jagal: The Act of Killing dan The Look of Sillence karya Joshua Oppenheimer menampilkan dengan gamblang betapa mengerikan kejahatan kemanusiaan terjadi saat itu. Juga buku hasil lacakan majalah Tempo berjudul Pengakuan Algojo 1965 yang secara runtut menarasikan bagaimana genosida terjadi, dari perspektif para pelaku.
Tak jarang apes juga menimpa mereka yang tak terlibat. Cerpen Penjagal Itu Telah Mati mengisahkan keterlibatan seorang awam saat gegeran itu terjadi. Ia dijebloskan ke Pulau Buru hanya karena sebuah gumam. Ia menyangsikan kenapa “penjagal” itu melibas semua orang yang dianggap bagian dari “kaum merah”. “Mereka pun mengenal Tuhan?” Gumamnya saat menyaksikan pembantaian itu terjadi. Masa itu, bergumam perihal orang-orang komunis bisa membuat siapa pun masuk bui.
Jejak Kesaksian
Lewat kumpulan cerpen inilah kita bisa membaca jejak-jejak kesaksian Gunawan dalam mengisahkan kembali apa yang ia rasakan sebagai korban. Sekian cerpen secara khusus berkisah tentang pencarian tokoh “bapak”. Dalam cerpen Luka Itu Terperam Dalam-dalam kita seperti membaca ungkapan batin pribadi Gunawan.“Bahkan sekarang pun saya belum bisa menjawab pertanyaan anak saya, yang tak mengerti kenapa kami tak pernah nyekar ke makam kakek mereka” (hal.107).
Begitu pula dalam cerpen Sudahi Saja Kisah Lapuk Itu. Cerpen ini berkisah tentang tokoh “aku” yang kerap menerima komentar bernada ancaman setiap mengunggah pengalaman hidupnya, terkait bapak yang “hilang”, di media sosial. “Ya, ya, justru ketika aku berterang-terang menyatakan Bapak mati dibunuh dan sampai sekarang kami tak pernah tahu di mana dikuburkan, mereka menatapku dengan pandangan entah jijik, ngeri, nanar, atau penuh kebencian” (hal.138).
Dari pengisahan cerpen-cerpennya, kita tentu menduga Gunawan menulis cerpen sepenuhnya bereferensi pengalaman hidupnya yang pahit, sebagai korban. Seolah tahu pembaca bakal mengajukan dugaan tersebut, Gunawan sigap memberi “jawaban” yang terselip di dalam dialog sebuah cerpen berjudul Luka Itu Terperam dalam-dalam. “Cerpen saya memuat sedikit saja fakta yang kami atau orang-orang yang kami kenal alami sebagai basis penceritaan. Semua saya ungkap dari sudut pandang korban: yang dikalahkan dan terus-menerus disalahkan” (hal.106).
Satu hal yang perlu kita catat dari kisah-kisah dalam buku ini: Betapa sulit bagi siapa pun untuk berkata jujur kepada publik, untuk sekadar mengaku bahwa ia adalah termasuk korban dari peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia ini. Bukankah sampai hari ini masih saja kita temui kelompok yang tak menghendaki adanya rekonsiliasi?
Namun, berangkat dari kisah nyata atau pun tidak, jika terkait pembacaan sebuah cerpen, hal itu sebenarnya tak terlalu menjadi soal. Cerita yang menarik tak ditentukan oleh karena hal itu nyata atau tidak. Toh, menukil Radhar Panca Dahana (2001), “pembaca sebenarnya diam-diam, disadari atau tak, lewat sejarah membacanya, ia telah menyusun strategi, kuda-kuda bahkan pamrih yang—kadang—berlebih ketika mengapresiasi karya sastra.”
Bagi pembaca yang menaruh perhatian pada isu-isu sejarah dan hak asasi manusia, buku ini tentu wajib dibaca dan dikabarkan ke publik sebagai bagian dari misi kemanusiaan. Berbeda dengan pembaca yang menganggap gaya, cerita dan eksplorasi imajinasi adalah kenikmatan utama dalam membaca sebuah cerpen ketimbang pesan yang disampaikan pengarang. Buku ini, tentu saja, kurang begitu menarik, juga monoton.
Hal itu lantaran 14 cerpen dalam buku ini sepenuhnya berkutat pada paragraf-paragraf berisi cerita-cerita merindingkan perihal keganasan sebuah rezim dan perilaku paling purba manusia pada sesama. Bahwa menulis cerpen dengan gaya memoar adalah strategi Gunawan menumpahkan kesaksian dan pengalaman hidupnya, itu tidak jadi soal. Pertaruhannya kemudian, dapatkah cara menulis seperti itu sanggup memadukan antara kesaksian dan pengalaman hidup, untuk kemudian mengolahnya dalam satu olahan imajinasi, kesegaran berbahasa, serta siasat bercerita yang memikat, sehingga menghasilkan citarasa cerita yang menarik, tidak hanya dari segi isi, juga bagaimana cerita itu dikemas. Tentunya agar kesaksian dan ingatan itu tak sekadar jadi monumen kesedihan belaka.
Tak mudah, memang. Dan, karena buku ini dimaksudkan sebagai kumpulan cerpen, di sinilah kelemahan Gunawan. Hasrat untuk mengajukan kisah kesaksian dalam perspektif korban ternyata melebihi kesadaran untuk mempertimbangkan, betapa cerpen tak semata isi dan pesan yang mesti disampaikan kepada pembaca. Tak menjadi soal bahwa cerpen-cerpen Gunawan dimungkinkan untuk dijadikan sebagai “varian rekonsiliasi pada tataran antarindividu”. Tetapi, tentu saja, pembaca punya kebebasan untuk bersepakat, atau menolaknya. []

Diedarkan dalam bundel Kelab Buku edisi 8, Oktober 2015.