Sabtu, 13 Desember 2014

IMAJINASI KEMATIAN DAN PESAN KEMANUSIAAN

Perang dan pertikaian kerap menyisakan ingatan dan kenangan pedih bagi korban. Perang tersulut akibat fanatisme suku, ras, agama, dan politik. Kita belum lupa serentetan tragedi di negeri ini. Konflik separatisme di Aceh, konflik antarsuku di Kalimantan, serta kerusuhan disintegrasi di Timor-Timur. Di kancah internasional, pembantaian pernah terjadi di Rwanda, Bosnia Herzegovina, dan Palestina. Bahkan, sampai hari ini perang belum lelah menebar peluru di Palestina.  
Dari berbagai konflik inilah, buku kumpulan cerpen Juragan Haji karangan Helvy Tiana Rosa mencoba “menyusup” dan menampilkan petilan kisah di balik tragedi berperspektif korban. Buku yang pernah terbit tahun 2008 dengan judul Bukavu ini, seperti sengaja mengajukan cerpen-cerpen berlatar tragedi dan konflik kemanusiaan. Ada amis darah bercecer, tubuh-tubuh tertembus peluru, tangis pilu anak-anak, dan ratapan para istri ditinggal mati sang suami.  

Helvy membangun cerpennya bukan pada narasi besar di mana konflik berpusat. Cerita justru dipungut dari petilan kisah para korban, yang terkena langsung  imbas konflik. Korban kerusuhan dan perang memang tak pernah jauh dari pengalaman-pengalaman getir perihal kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Helvy mengimajinasikan “kenyataan” dalam cerpen-cerpennya dengan getir dan mengharukan tanpa kehilangan ciri khas: keberpihakan pada kemanusiaan.
Cerpen Ze Akan Mati Ditembak mengisahkan impian seorang pemuda perihal perdamaian dan pembagian wilayah di Timor Timur, pro-kemerdekaan dan pro-integrasi. Ze kehilangan banyak keluarga sejak konflik meletus. Ia tak kuasa jika harus semakin terpisah dari saudara, keluarga, dan teman-temannya. Dan kita pun tahu, niat baik Ze tak akan pernah terwujud. Sebuah peluru justru menyambut tubuhnya ketika hasrat menyuarakan perdamaian itu begitu besar.
“Ze mengerang. Matanya basah. Ternyata cuma seperti ini rasanya ditembak. Tidak terlalu sakit, seperti yang selalu dibayangkan” (hlm.52). Ironisme kematian. Ze mewakili satu dari sekian banyak masyarakat Timor Timur yang dulu mengimpikan perdamaian namun justru mati sia-sia. Kematian, bagi mereka yang terjepit di daerah konflik, sudah terbayangkan jauh-jauh hari. Hidup di daerah konflik seolah-olah justru lebih menyakitkan ketimbang kematian itu sendiri.
Helvy memang cenderung memberi deskripsi kematian secara dramatis dan gamblang. Sekian cerpen menempatkan kematian demi kematian sebagai jalan mengingatkan manusia. Kematian kerap disalahpahami sebagai penyelesaian oleh pihak bertikai. Mereka membunuh sebagai lampiasan emosi sekaligus pembenaran atas “apa” yang mereka yakini.
Dalam cerpen Darahitam konflik antara suku Dayak dan Madura telah membuat banyak orang-orang saling curiga, sewaktu-waktu saling bunuh hanya karena amarah sesaat. Tokoh Alawy, lelaki penolong yang dengan sukarela memberi pendidikan anak-anak korban konflik, justru jadi korban sentiman warga setempat. Simaklah petikan berikut: “Seperti ada yang meledakkan dirinya, saat ia temukan kepala lelaki itu, tepat di depan pintu rumahnya. Siapakah yang tega mengayau manusia penolong seperti lelaki itu?” (hlm.63).
Helvy kentara tekun dan berambisi menghadirkan imajinasi kematian dan ceceran darah di setiap cerpennya. Namun, lewat jalan inilah, Helvy secara eksplisit menyampaikan pesan kemanusiaan meski terkesan kontradiktif. Helvy menghadirkan kengerian tingkah polah orang-orang tak beradab dalam cerpennya demi menarik sebuah pesan spiritual-kemanusiaan.
Cerpen-cerpen Helvy bergerak cepat melintasi berbagai kisah dan tragedi. Kita dirayu untuk berimajinasi dalam kengerian dan kesedihan, dari satu kematian ke kematian selanjutnya. Langkah ini membuat pembaca hanyut dalam emosi, diaduk-aduk, digeret dalam ketegangan cerita.
Pada akhirnya, kita akan sampai di satu titik kesadaran, di mana kita seperti menonton hamparan sejarah kelam kemanusiaan yang diputar ulang. Sastrawan Budi Darma bahkan menangkap sinyal bahwa Helvy memulai menulis cerita “dengan “ancang-ancang” penelitian terlebih dahulu”. Cerpen-cerpen Helvy layak dibaca sebagai ikhtiar untuk terus-menerus menebar kesadaran kemanusiaan secara universal. []

Juara 1 Lomba Resensi Buku FLP Milad ke-18, 2015
Widyanuari Eko Putra

MEMBELA PETANI KOPI LEWAT PUISI

Seorang penyair kerap bermesraan dengan secangkir kopi. Kopi jadi santapan penggali imajinasi saat penyair bergumul dalam kreatifitas mencipta puisi. Kopi hadir sebagai ‘teman’ sekaligus saksi. Melahirkan puisi bersama pekatnya hitam kopi. Penyair Gol A Gong berkeputusan mengeksplorasi kopi, bukan sebatas sebagai teman menulis puisi, melainkan mengangkat dunia kopi ke dalam puisi.
Keputusan itu dimulai dengan mengadakan sebuah perjalanan panjang, pelesiran menyinggahi kedai kopi ke berbagai pelosok di Sumatera. Perjalanan dimulai sejak 1 Mei hingga 23 Juni 2012, mulai dari nol kilometer di Pulau Weh, Aceh, hingga ke pelosok daerah-daerah penghasil kopi.
Merasai kopi sekaligus membaca kenyataan-kenyataan yang luput dari pandangan khalayak, perjalanan kopi memberi pengetahuan dan pemahaman tak biasa bagi Gong. Hasilnya, sebuah buku puisi Air Mata Kopi (Gramedia Pustaka Utama, 2014) dipersembahkan sebagai bukti keseriusan Gong menekuri obrolan demi obrolan di kedai kopi, juga dengan para petani kopi.
Penggarapan kopi sebagai rujukan puisi tentu tak sebatas pamrih estetika. Gong mengajukan kopi sebagai jalan kritik, mengingat, memihak, dan melawan. Pengembaraan di sejumlah daerah penghasil kopi sengaja ditempuh demi interaksi langsung dengan petani. “Aku merasakan pahitnya kopi, pahitnya petani kopi, pahitnya kehidupan mereka si penikmat kopi yang menghabiskan malam di kedai-kedai kopi” (hlm.xii).
Pengembaraan dan pelesiran kopi menghasilkan temuan-temuan perihal penindasan dan ketidakadilan. Urusan kopi tak lepas dari isu ekonomi, politik, sejarah, nasionalisme, kapitalisme. Sejumlah 49 puisi tercipta berkat pertemuan dan obrolan dengan petani, penjaja, penikmat kopi.
Keharuman kopi produksi petani dalam negeri begitu tenar, diiklankan di televisi setiap hari. Indonesia seperti surga bagi pecinta kopi. Namun, ironisnya, kesejahteraan tak kunjung dinikmati kaum petani. Kopi sepantasnya dibaca sebagai wajah dan harga diri negara. Dalam puisi Kopi Pangku, penyair menganggap urusan kopi bisa ditautkan dengan isu kedaulatan negara.
Simaklah petikan berikut:“aku si pengembara menandai di buku harian/ kopi di negeriku terancam kedaulatan/ kopi diaduk kopi dipangku/ rasanya tak sepadan dengan harga diri/ (hlm.8-9). Harga diri bangsa disimbolisasikan lewat kopi. Kopi jadi identitas, merujuk hasil kekayaan asli alam negara.
Banyak petani hidup serba pas-pasan meski panen kopi selalu melimpah. Hasil panenan kerap dibayar murah oleh para tengkulak. Tak hanya itu, lahan perkebunan kopi kian hari kian tersingkir. Puisi Belajar pada Kebun Kopi mengangkat isu berkurangnya lahan perkebunan akibat semakin tergusur pembangunan. Gong menulis: “Di kampungku kebun kopi minggir tersingkir/ dikalahkan petak-petak sawah elektronik” (hlm.47). Puisi merekam keterpinggiran petani kopi atas tekanan harga murah dan menyempitnya lahan.
Sebaliknya, di negara tetangga, kebun kopi malah jadi dambaan. Dalam lawatannya ke Singapura, Gong menulis puisi Orchard Road. Berikut petikannya: ”Kau meminta mas kawin padaku/ menyulap apartemen jadi kebun kopi”. Kebun kopi lebih bernilai dari kemewahan apartemen. Singapura tentu memimpikan lahan kebun yang luas karena minimnya lahan di sana. Dari sekian kenyataan getir itulah, pantas saja seandainya aroma perlawanan begitu menyengat dalam sajak-sajaknya.
Eksplorasi kopi jadi siasat Gong menyiratkan perlawan terhadap segala rupa ketidakadilan. Fikar W. Eda, penyair sekaligus anak seorang petani kopi, menganggap pelesiran dan pengembaraan Gong adalah “perjalanan yang akan mengantarkan siapa saja kepada penghargaan dan pembelaan terhadap petani” (hlm.xvi).
Bunga rampai puisi ini kentara menyuarakan kritik, sindiran, ingatan, serta pelbagai isu tentang kedaulatan negara, nasionalisme, dan ekonomi, bertolak dari kopi. Puisi jadi jalan mengabarkan keadaan-keadaan tak terkabarkan, mengisahkan tragedi kopi di negeri sendiri.[]


Pernah dimuat di Kabar Probolinggo, 16 Desember 2014.