Seorang
penyair kerap bermesraan dengan secangkir kopi. Kopi jadi santapan penggali
imajinasi saat penyair bergumul dalam kreatifitas mencipta puisi. Kopi hadir
sebagai ‘teman’ sekaligus saksi. Melahirkan puisi bersama pekatnya hitam kopi. Penyair
Gol A Gong berkeputusan mengeksplorasi kopi, bukan sebatas sebagai teman
menulis puisi, melainkan mengangkat dunia kopi ke dalam puisi.
Keputusan
itu dimulai dengan mengadakan sebuah perjalanan panjang, pelesiran menyinggahi
kedai kopi ke berbagai pelosok di Sumatera. Perjalanan dimulai sejak 1 Mei
hingga 23 Juni 2012, mulai dari nol kilometer di Pulau Weh, Aceh, hingga ke
pelosok daerah-daerah penghasil kopi.
Merasai
kopi sekaligus membaca kenyataan-kenyataan yang luput dari pandangan khalayak,
perjalanan kopi memberi pengetahuan dan pemahaman tak biasa bagi Gong.
Hasilnya, sebuah buku puisi Air Mata Kopi
(Gramedia Pustaka Utama, 2014) dipersembahkan sebagai bukti keseriusan Gong
menekuri obrolan demi obrolan di kedai kopi, juga dengan para petani kopi.
Penggarapan
kopi sebagai rujukan puisi tentu tak sebatas pamrih estetika. Gong mengajukan
kopi sebagai jalan kritik, mengingat, memihak, dan melawan. Pengembaraan di
sejumlah daerah penghasil kopi sengaja ditempuh demi interaksi langsung dengan
petani. “Aku merasakan pahitnya kopi, pahitnya petani kopi, pahitnya kehidupan
mereka si penikmat kopi yang menghabiskan malam di kedai-kedai kopi” (hlm.xii).
Pengembaraan
dan pelesiran kopi menghasilkan temuan-temuan perihal penindasan dan
ketidakadilan. Urusan kopi tak lepas dari isu ekonomi, politik, sejarah, nasionalisme,
kapitalisme. Sejumlah 49 puisi tercipta berkat pertemuan dan obrolan dengan
petani, penjaja, penikmat kopi.
Keharuman
kopi produksi petani dalam negeri begitu tenar, diiklankan di televisi setiap
hari. Indonesia seperti surga bagi pecinta kopi. Namun, ironisnya, kesejahteraan
tak kunjung dinikmati kaum petani. Kopi sepantasnya dibaca sebagai wajah dan
harga diri negara. Dalam puisi Kopi
Pangku, penyair menganggap urusan kopi bisa ditautkan dengan isu kedaulatan
negara.
Simaklah
petikan berikut:“aku si pengembara menandai di buku harian/ kopi di negeriku
terancam kedaulatan/ kopi diaduk kopi dipangku/ rasanya tak sepadan dengan
harga diri/ (hlm.8-9). Harga diri
bangsa disimbolisasikan lewat kopi. Kopi jadi identitas, merujuk hasil kekayaan
asli alam negara.
Banyak
petani hidup serba pas-pasan meski panen kopi selalu melimpah. Hasil panenan kerap
dibayar murah oleh para tengkulak. Tak hanya itu, lahan perkebunan kopi kian
hari kian tersingkir. Puisi Belajar pada
Kebun Kopi mengangkat isu berkurangnya lahan perkebunan akibat semakin
tergusur pembangunan. Gong menulis: “Di kampungku kebun kopi minggir
tersingkir/ dikalahkan petak-petak sawah elektronik” (hlm.47). Puisi merekam
keterpinggiran petani kopi atas tekanan harga murah dan menyempitnya lahan.
Sebaliknya,
di negara tetangga, kebun kopi malah jadi dambaan. Dalam lawatannya ke
Singapura, Gong menulis puisi Orchard
Road. Berikut petikannya: ”Kau meminta mas kawin padaku/ menyulap apartemen
jadi kebun kopi”. Kebun kopi lebih bernilai dari kemewahan apartemen. Singapura
tentu memimpikan lahan kebun yang luas karena minimnya lahan di sana. Dari
sekian kenyataan getir itulah, pantas saja seandainya aroma perlawanan begitu
menyengat dalam sajak-sajaknya.
Eksplorasi
kopi jadi siasat Gong menyiratkan perlawan terhadap segala rupa ketidakadilan. Fikar
W. Eda, penyair sekaligus anak seorang petani kopi, menganggap pelesiran dan
pengembaraan Gong adalah “perjalanan yang akan mengantarkan siapa saja kepada
penghargaan dan pembelaan terhadap petani” (hlm.xvi).
Bunga
rampai puisi ini kentara menyuarakan kritik, sindiran, ingatan, serta pelbagai
isu tentang kedaulatan negara, nasionalisme, dan ekonomi, bertolak dari kopi.
Puisi jadi jalan mengabarkan keadaan-keadaan tak terkabarkan, mengisahkan tragedi
kopi di negeri sendiri.[]
Pernah dimuat di Kabar Probolinggo, 16 Desember 2014.
Pernah dimuat di Kabar Probolinggo, 16 Desember 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar