Sabtu, 13 Desember 2014

MEMBELA PETANI KOPI LEWAT PUISI

Seorang penyair kerap bermesraan dengan secangkir kopi. Kopi jadi santapan penggali imajinasi saat penyair bergumul dalam kreatifitas mencipta puisi. Kopi hadir sebagai ‘teman’ sekaligus saksi. Melahirkan puisi bersama pekatnya hitam kopi. Penyair Gol A Gong berkeputusan mengeksplorasi kopi, bukan sebatas sebagai teman menulis puisi, melainkan mengangkat dunia kopi ke dalam puisi.
Keputusan itu dimulai dengan mengadakan sebuah perjalanan panjang, pelesiran menyinggahi kedai kopi ke berbagai pelosok di Sumatera. Perjalanan dimulai sejak 1 Mei hingga 23 Juni 2012, mulai dari nol kilometer di Pulau Weh, Aceh, hingga ke pelosok daerah-daerah penghasil kopi.
Merasai kopi sekaligus membaca kenyataan-kenyataan yang luput dari pandangan khalayak, perjalanan kopi memberi pengetahuan dan pemahaman tak biasa bagi Gong. Hasilnya, sebuah buku puisi Air Mata Kopi (Gramedia Pustaka Utama, 2014) dipersembahkan sebagai bukti keseriusan Gong menekuri obrolan demi obrolan di kedai kopi, juga dengan para petani kopi.
Penggarapan kopi sebagai rujukan puisi tentu tak sebatas pamrih estetika. Gong mengajukan kopi sebagai jalan kritik, mengingat, memihak, dan melawan. Pengembaraan di sejumlah daerah penghasil kopi sengaja ditempuh demi interaksi langsung dengan petani. “Aku merasakan pahitnya kopi, pahitnya petani kopi, pahitnya kehidupan mereka si penikmat kopi yang menghabiskan malam di kedai-kedai kopi” (hlm.xii).
Pengembaraan dan pelesiran kopi menghasilkan temuan-temuan perihal penindasan dan ketidakadilan. Urusan kopi tak lepas dari isu ekonomi, politik, sejarah, nasionalisme, kapitalisme. Sejumlah 49 puisi tercipta berkat pertemuan dan obrolan dengan petani, penjaja, penikmat kopi.
Keharuman kopi produksi petani dalam negeri begitu tenar, diiklankan di televisi setiap hari. Indonesia seperti surga bagi pecinta kopi. Namun, ironisnya, kesejahteraan tak kunjung dinikmati kaum petani. Kopi sepantasnya dibaca sebagai wajah dan harga diri negara. Dalam puisi Kopi Pangku, penyair menganggap urusan kopi bisa ditautkan dengan isu kedaulatan negara.
Simaklah petikan berikut:“aku si pengembara menandai di buku harian/ kopi di negeriku terancam kedaulatan/ kopi diaduk kopi dipangku/ rasanya tak sepadan dengan harga diri/ (hlm.8-9). Harga diri bangsa disimbolisasikan lewat kopi. Kopi jadi identitas, merujuk hasil kekayaan asli alam negara.
Banyak petani hidup serba pas-pasan meski panen kopi selalu melimpah. Hasil panenan kerap dibayar murah oleh para tengkulak. Tak hanya itu, lahan perkebunan kopi kian hari kian tersingkir. Puisi Belajar pada Kebun Kopi mengangkat isu berkurangnya lahan perkebunan akibat semakin tergusur pembangunan. Gong menulis: “Di kampungku kebun kopi minggir tersingkir/ dikalahkan petak-petak sawah elektronik” (hlm.47). Puisi merekam keterpinggiran petani kopi atas tekanan harga murah dan menyempitnya lahan.
Sebaliknya, di negara tetangga, kebun kopi malah jadi dambaan. Dalam lawatannya ke Singapura, Gong menulis puisi Orchard Road. Berikut petikannya: ”Kau meminta mas kawin padaku/ menyulap apartemen jadi kebun kopi”. Kebun kopi lebih bernilai dari kemewahan apartemen. Singapura tentu memimpikan lahan kebun yang luas karena minimnya lahan di sana. Dari sekian kenyataan getir itulah, pantas saja seandainya aroma perlawanan begitu menyengat dalam sajak-sajaknya.
Eksplorasi kopi jadi siasat Gong menyiratkan perlawan terhadap segala rupa ketidakadilan. Fikar W. Eda, penyair sekaligus anak seorang petani kopi, menganggap pelesiran dan pengembaraan Gong adalah “perjalanan yang akan mengantarkan siapa saja kepada penghargaan dan pembelaan terhadap petani” (hlm.xvi).
Bunga rampai puisi ini kentara menyuarakan kritik, sindiran, ingatan, serta pelbagai isu tentang kedaulatan negara, nasionalisme, dan ekonomi, bertolak dari kopi. Puisi jadi jalan mengabarkan keadaan-keadaan tak terkabarkan, mengisahkan tragedi kopi di negeri sendiri.[]


Pernah dimuat di Kabar Probolinggo, 16 Desember 2014.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar