Senin, 25 April 2016

Samadikun, Foto dan Diskriminasi

Sumber foto: www.tribunnews.com/
Foto penangkapan buron kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Samadikun Hartono, yang diberitakan beberapa koran, membuktikan bahwa tulisan pemerhati foto Tubagus P. Svarajati dalam buku Photagogos: Terang-Gelap Foto Indonesia (2013) tidak keliru. Dikatakannya gambar atau citraan foto adalah representasi realitas empirik, bukan berasal dari imajinasi fotografer belaka.
Tak berlebihan bila kita menganggap sebuah foto memang bisa bercerita. Foto sanggup menyampaikan pesan, dengan atau tanpa teks yang mendampinginya. Atau, seumpama foto memang diharuskan tampil bersama teks, seperti halnya di koran-koran, tak jarang makna yang disampaikan foto bisa melebihi apa yang bisa dan hendak dijelaskan oleh sebuah teks.
Foto penangkapan Samadikun itu, bisa berbicara melebihi apa yang sekadar tampak dalam foto. Berita di Tribun Jateng, 22 April 2016, halaman 8, berjudul Samadikun Akhirnya Pulang. Berita tampil bersama foto, dengan sub judul Dijemput Kepala Bin dan Jaksa. Pengambilan foto dilakukan dari arah muka, atau persis di hadapan.
Di dalam foto tampak Kepala BIN Sutiyoso berjalan bersanding dengan buron Samadikun. Meski memuat foto penangkapan buron, yang diperkuat dengan keterangan teks, kita justru curiga dengan penangkapan itu. Sang buron tak diborgol. Tak pula digandeng aparat. Bahkan raut wajah Samadikun tak sedikitpun mengisyaratkan bahwa ia seorang pesakitan yang hendak masuk bui.
Memperhatikan foto itu dengan seksama, kita menangkap kesan antara sang buron dan penangkap tak ada jarak yang membedakan status di antara keduanya. Mereka seolah sejajar. Melihat foto itu saya teringat beberapa adegan dalam film Hongkong Young and Dangerious yang kerap menampilkan sekelompok laki-laki preman tengah berjalan berjejer sebelum memulai perkelahian antar geng.
Kita juga bakal menemukan “keanehan” saat menatap halaman sampul Media Indonesia, 22 April 2016. Di atas berita berjudul Tiada Tempat Aman buat Koruptor, terpampang foto penangkapan Samadikun yang diberi sub judul “Tiba di Jakarta”. Foto ini hampir-hampir mengaburkan apa yang sebenarnya terjadi.
Di dalam foto tampak Sutiyoso di sebelah kiri sambil melambaikan tangan (sepertinya mengarah pada para wartawan). Sedangkan Jaksa Agung HM Prasetyo, dan ini puncaknya, terlihat tengah menyilakan Samadikun seolah-olah ia bukan seorang buron tapi pejabat teras negeri.
Kesan tersebut kian dipertegas saat kita menengok halaman sampul harian Kompas, 22 April 2016. Dalam foto ini Sutiyoso tampak sedang berjalan sembari mengacungkan tangan. Tentunya dengan raut wajah yang sumringah. Sedangkan Samadikun, meski agak tegang, tetap tak menunjukan sewajarnya seorang terpidana yang hendak masuk bui.
Singkatnya, foto penangkapan Samadikun yang beredar di koran-koran mengesankan bukan penangkapan biasa. Maka benar apa yang disentilkan oleh peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, “perlakuan itu mengesankan pemerintah membentangkan karpet merah untuk buron BLBI. Pengemplang uang negara milyaran rupiah itu disambut ibarat tamu negara. Ia tidak diborgol layaknya buron kelas salmon.
 Menangkap ketidakberesan itu, beberapa tajuk dan editorial di koran-koran lekas menyoroti kejanggalan tersebut. Ada yang menyebut terjadi perbedaan perlakuan. Ada pula yang menuduh memberi perlakuan istimewa.  
Kita bisa mengajukan pembuktian sederhana dengan cara membandingkan foto-foto penangkapan Samadikun dengan koruptor Century Hartawan Aluwi. Kita ambil beberapa contoh foto yang ditampilkan oleh beberapa koran.
Di halaman depan koran Media Indonesia (23 April 2016) tampak Hartawan berbaju  hitam, diborgol, sekaligus diapit polisi bersenjata. Begitu pula di Kompas dan Tribun Jateng (23 April 2016) dimunculkan foto Hartawan berbaju tahanan, kepala merunduk, dengan raut wajah penuh pesakitan. Ketiga foto ini, menjelaskan bagaimana sepatutnya adegan sebuah penangkapan pelaku kejahatan.
Dari perbandingan foto-foto dia atas, siapa pun bisa dengan mudah menyimpulkan bagaimana, dalam hal ini pemerintah, memperlakukan tiap-tiap tersangka. Jelas sekali, ada diskriminasi. Setidaknya dalam hal perlakuan penangkapan. Samadikun mendapat perlakuan layaknya tamu kehormatan. Berbeda dengan Hartawan.
Atau, kalau kita ingat kasus penangkapan terduga teroris Siyono oleh Densus 88 beberapa pekan silam. Perlakuan keduanya justru kontradiktif dengan Samadikun. Bahkan, Siyono mesti meregang nyawa akibat kesalahan prosedur—berdasarkan pengakuan pihak otoritas. Belum lagi kisah-kisah penangkapan yang kerap disertai pemukulan, penembakan, dan perlakuan kasar lainnya yang menimpa pelaku kejahatan yang hanya berstatus wong cilik atau kaum tak berpunya. Perlakuannya sama sekali berkebalikan.
Kita tentu tak ingin tergesa-gesa menuduh bahwa pemerintah memang memberlakukan perbedaan perlakuan dalam penangkapan, bergantung jenis kejahatan dan ketokohan sang tersangka. Kita hanya berharap, pemerintah “adil sedari dalam pikiran” dalam menerapkan hukum di Indonesia.
Pemerintah bisa saja mengelak asumsi publik terkait perbedaan perlakuan tersebut. Tapi, mereka mesti ingat: kelakuan mereka terabadikan dalam sebuah foto. Foto memang sanggup mengabarkan apa yang tersembunyi dari sebuah fakta. Seperti halnya tulisan ini: bermula dari foto, berakhir pada sebuah kecurigaan. []


Dimuat Tribun Jateng, 26 April 2016

Rabu, 06 April 2016

SEBUAH BUKU TENTANG BUKU-BUKU

 Hasil pembacaan Arif Fitra Kurniawan atas buku USAI: Membaca dan Menulis (Jagat Abjad, 2016) karya Widyanuari Eko Putra

“Buku-buku ditulis, hadir, mengada, menancapkan akar ontologisnya, menunggu kita datang demi menghidupkan beribu-ribu kali keberadaan mereka”
---
            Kutipan di atas saya bikin sendiri, percayalah, kalian tak akan menemukan kembarannya, bahkan ketika kalian susah payah mengetikkannya ke dalam mesin pencari semacam Yahoo atau Google. Kalian cuma akan menemukan kutipan-kutipan lain, mungkin dari Stephen King, atau dari Margareth Atwood atau dari Mario Vargas Llosa, atau William Faulkner atau Jorge Luis Borges—atau, jika kau aras-arasen dengan langgam bahasa Inggris, kau akan cukup puas mendapati kutipan dari Mohammad Hatta atau Pramoedya Ananta Toer, dari Iwan Simatupang atau Kuntowijoyo,  yang keseluruhan dari mereka yang saya sebut akan menyinggung-nyinggung tentang bagaimana kita mesti menyanjung buku dan aktivitas membaca, atau bagaimana memperdalam ilmu laduni agar bisa menjadi penulis yang nirmandek bahkan  seandainya tangan dan kakimu digerogoti kelumpuhan serta sepasang matamu dihabisi oleh kebutaan.
            Dengan membikin kutipan di atas, sebenarnya saya sedang membuat  pola melingkar, semacam rute alternatif  saja agar  merasa relaks, santai, mengaso sembari melakukan beberapa peregangan otot, ancang-ancang  terlebih dahulu  sebelum memulai sebuah tulisan yang (agak) panjang. Saya rasa, menulis panjang pastilah sama letih dan acap menegangkannya  dengan  perayaan lari maraton. Kami, baik penulis maupun atlet lari, sama-sama butuh bekal dan persiapan matang guna menaklukkan medan. Baiklah, sekarang setelah saya sudah benar-benar merasa siap mengetik kelanjutan tulisan ini, kalian—kaum pembaca, dengan langkah kalem bisa mencari tempat duduk, atau sandaran tepi jendela, kursi-kursi di tempat pemberhentian bus, bahu pacar atau bisa leyeh-leyeh berbaring di matras kos-kosan sambil membiarkan telinga direcoki lagu-lagu sentimentil yang menyeruak dari pelantang alat pemutar musik.

/1/
            Merasa sudah cukup banyak memamah  banyak buku lantas menuliskan apa-apa yang ia lahap, esais  dan penulis resensi kita—Widyanuari  Eko Putra, akhirnya memilih menerbitkan buku pada medio Maret  tahun 2016 ini.  Sudah barang tentu, para calon pembaca tak layak jika berharap dari buku ini cara bercocok tanam lidah buaya  di atas selang hidroponik atau teknik mengembangbiakkan cumi-cumi di air tawar, sebab buku milik penulis kita ini berisi ulasan-ulasan  perihal apa dan  bagaimana—dari beragam varian genre buku, mulai buku puisi, kumpulan cerita pendek, novel, serta  buku-buku berisi esai, dan apesnya, bagi para pecinta tanaman dan binatang ternak, mereka patut sedih lantaran tak ada satupun termaktub ulasan tentang buku-buku flora dan fauna atau agrobisnis.
            Usai: Membaca dan menulis, bagi saya adalah buku berisi kronik buku-buku. Kronik membaca. Kronik menulis. Dan pada akhirnya menjadi kronik diskursus. Sebagai sebuah kronik, kita akan mendapatkan bermacam pernak-pernik  ensiklopedis: Buku yang ditulis pengarang A tak lain adalah representasi kemurungan jaman kita; Cerpen-cerpen penulis  X apik, sarat makna meski disembunyikan dalam semesta simbol dan patut dibaca jika seseorang butuh pertimbangan absurd perkara keberadaan diri; atau—Apa yang akhirnya dapat kita peras dari buku  ZW  ini, selain pertanyaan yang mesti kita lembingkan  jauh ke tanah lapang bernama Kebudayaan?
            Begitulah beberapa kisaran  premis dan pertanyaan yang muncul di buku ini, selain tentunya, seri kuantitatif dari  paparan diakronis  yang mesti diulang untuk memberi rujukan sebagai identifikasi buku. Penulis kita kadang akan berlaku seperti para aparat penegak hukum yang  mengetukkan palu agungnya sembari membuat testimoni bahwa buku ini bagus dan wajib dibaca, atau buku itu  bagus namun masih ada cacat, atau tak ada buku yang sempurna dan manusia paling terpuji dari segala jenis manusia adalah menjadi seseorang yang mampu memaafkan akan kecacatan.  Di luar itu, lewat kekuatan evokatif bahasanya, kadang penulis kita mengajak calon pembaca lain untuk ikut  sama-sama tergoda dengan isi buku, atau paling tidak mempertimbangkan, atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan sempalan, apakah memang benar  isi buku yang dimadahkan oleh  peresensi layak diamini, atau justru dilepehkan.
            Lantas, apa peran seorang peresensi, esais, kolomnis buku  bagi kita? Hermes-kah? Pendikte? Mesias? Calo bacaan?
            Saya jadi ingat, lantaran tiga bulan ini, saya, entah karena memang tak kunjung menemukan ruang baca di media-media Indonesia yang genah, dan  khusus mengulas buku, atau kemalasan saya saja untuk mencari akses dimana tempat tersembunyi dari sekumpulan orang-orang yang benar-benar gandrung dengan buku, setelah setahun ini saya kerap melangsirkan diri  untuk bolak-balik menjadi pembaca Paris Review, pelan-pelan saya juga jadi kepincut dan secara rutin mengunjungi halaman-halaman digital yang disediakan  koran The New York  Times. Di sana, ada kolom yang terbit tiap akhir pekan. Nama kolom mingguan tersebut adalah ‘Bookends’. Atau jika disulingbahasakan secara nyentrik menjadi ‘Akhir Pekan yang Buku’. Akan ada dua orang penulis, dari total belasan kolomnis yang memang sudah didapuk oleh empunya koran untuk silih berganti membahas secara tematik perihal buku. Buku. Buku. Buku. Lama-kelamaan  saya jadi ikut hapal dan akrab dengan tulisan-tulisan milik  Siddharta Deb, Zoe Heller, Dana Steven,  James Parker, Pankaj Misra, atau Benjamin Moser— sebagian para kolomnis di ‘Bookends’.
            Saya  hendak menalikan lebih lanjut tulisan ini, dengan  sebuah diskusi tertulis  antara James Parker dan Anna Holmes yang pernah terbit di koran tersebut. Mereka berdua kelewat  semangat dan blak-blakan, saling mempertanyakan, menggunjingkan, sesungguhnya lebih baik  dimasukkan ke dalam keranjang manakah, para esais, kolomnis, dan peresensi buku. Apakah posisi mereka cuma mampu mengapung sebobot dengan para buruh  yang bergerak di bidang pelayanan masyarakat, pekerja di lembaga-lembaga  dinas sosial, ataukah layak dinaikkan derajatnya menjadi kreator karya seni?
            Tentu, saya tak akan membawa serta sepaket keruwetan cara berpikir mereka dalam  melakukan upaya-upaya  terminologis tentang esais buku, tentang peresensi, atau kolomnis secara hisroris maupun tesaurusnya.  Saya justru ingin langsung membawa gunting pemotong rumput guna memangkas, lantas merogoh dari kantong dan menawarkan afirmasi, jika kaum peresensi ingin menaikkan derajatnya agar tidak lagi sekadar dengan pekerja sosial, maka unsur-unsur sebagai penanda yang menuntut dan yang  ada dalam estetika penulisan mesti mereka rengkuh. Jadilah, membalikkan permukaan sisi  resensi yang acap bersinonim dengan bantuan kerja kreatif yang datar juga keseragaman  sebagai acuan agar semua yang dilayani mendapatkan fitur-fitur kemudahan tentunya tidak cuma upaya dalam batas meredifinisi identitas. Pekerjaan raksasa  tersebut pada akhirnya membutuhkan semangat-semangat yang dimiliki para martir, konsekuensi untuk meminjam  kesejatian berpikir yang pernah bermukim di batok-batok kepala segelintir  pejuang  avant-garde  kesusastraan.
            Setelahnya, lagi-lagi kita akan diseret ke arah pemahaman, bahwa  tanpa laku yang keras kepala untuk terus membobok dan menggrowongi  beton-beton tebal, tabir-tabir pekat dari kabut yang diciptakan oleh kemalasan, kesesat pikiran, kediletantisme-an, juga  jouissance palsu hasil rakitan  para pelaku sastra bermental menyek-menyek dan semenjana, semua itu akan jadi pamlet-pamlet utopis belaka. Yang gambarnya megah dalam besutan  warna merah menyala  namun  kita cuma bisa memandangnya dari seberang pulau nun jauh.
             Penulis kita, Widyanuari, tentunya juga memiliki semangat nggetih untuk menaikkan martabat resensinya, semangat untuk membebaskan  tulisan-tulisannya dari stereotip  dibundel bersama-sama dengan katalog-katalog di toko yang menyediakan mesin dinamo dan perkakas pertukangan.  Simaklah tulisannya, dan kita akan menemukan ruh pemberontakan tersebut.  Lantas,  sebagai pembaca yang, paling tidak  semestinya  juga kecipratan semangat avant-garde-nya, akankah kita sekadar menjadi pembaca bebal yang leha-leha, yang tidak memiliki hasrat untuk menimbang, menguji, mempertanyakan, seberapa jauh dan seberapa terang semangat tersebut terepresentasikan  melalui teks-teks di buku USAI ini? Celaka dan terkutuklah jika itu yang kita pilih.

/2/
            Penulis kita, Widyanuari, menuliskan esai dan resensi  atas rupa-rupa puisi dari buku puisi, rupa-rupa cerita pendek dari kumpulan cerita pendek, novel dan juga beberapa buku esai.  Dari puisi-puisi  Triyanto Triwikromo, (mantan) presiden SBY,  Radhar Panca Dahana, Gola Gong, Rendra, hingga Wiji Thukul. Dari prosa relijius milik Helvi Tiana Rosa, Eka Kurniawan,  cerpen-cerpen Rio Johan, Ryunnusuke Akutagawa, sampai  novel  Dorothea Rosa Herliany. Ia  ulas pula  esai-esai  budaya populer dari Ariel Heryanto, sejumlah kajian sastra anggitan Harjito, cerita-cerita dibalik kartu pos dari  O. J Raap, Pramoedya Ananta Toer, sampai Hisanori Kato yang  mencoba memberikan alternatif kisahan tentang Islam di Indonesia.
            Ada baiknya kita memberikan pujian terlebih dahulu, atas bacaan penulis kita yang bervariatif, dan dari ulasan-ulasannya, kita tahu, bagaimana semestinya mempertanggung jawabkan  apa-apa yang sudah kita baca.  Setelahnya, kita mari  tempatkan, teks-teksnya sebagai sesuatu yang terpisah dari pembacaan, bahwa yang  sekarang kita hadapi adalah  produk teks dari sebuah seni menulis, seni menciptakan.
            Apa yang membuat segala sesuatu menjadi membosankan? Salah satu piranti penyusun dari kebosanan adalah kemonotonan. Kau bisa mempraktekkan cara-cara mekanis untuk membuktikannya, dengan misalnya, membuka dan menutup pintu atau  daun jendela atau tutup panci  tiap dua menit sekali dengan gerakan lengan  yang sama terus menerus sehari penuh, dan  kau akan muntah-muntah sesudahnya. Saya yakin, garis kausal antara kebosanan dan kemonotonan  itu juga akan berlaku di area teks.  Saya mulai bertanya-tanya, kemonotonan yang saya dapati di buku ini jangan-jangan, atau bisa jadi, adalah   sisi bopeng dari  ketidakberdayaan penulis kita dalam meluaskan jangkauan pengetahuannya, penempatan definisi dalam teks yang tak tepat akibat surplusnya makna, atau—semoga ini tidak, sebuah laku pabrikasi teks yang timbul dari kurangnya ‘waktu senggang’*.
            Ada beberapa hal yang mesti saya uraikan, salah satunya adalah kesembronoan penulis kita dalam menempatkan terma yang bersifat polidefinisi. Kita mulai saja dari, siapa yang bisa memberikan tafsir yang benar-benar tunggal atas  terma seperti  Kebudayaan? Siapa yang bisa menegakkan secara lurus makna Posmodern? Pertanyaan semacam itu juga akan kita tambahkan pada terma Kemanusiaan, Licensia Poetica, Peradaban, Imajinasi, Komunikasi, dan  banyak lagi deretan  objek realitas yang  memang justru akan bias jika kita menggeretnya ke dalam pemaknaan tunggal.
            Dari titik itulah kritik sebagai pembaca saya lesakkan. Bagaimana penulis kita menuliskan:
(-) Sebuah puisi memungkinkan untuk dibaca sebagai representasi imajinasi, daya intelektual, pemikiran, dan ingatan sang penyair. (hlm  9: Dan Puisi Mengekalkan Ingatan...)
(-) Cara terbaik menyambut kehadiran buku ini, sepatutnya, dimulai dari ‘kerelaan’ untuk tidak memusatkan penilaian pada pencapaian estetika dan imajinasi semata. (hlm 16: Jalan Lain Menebar Optimisme)
(-)  Mata  pisau seorang penyair berkuasa membedah narasi sejarah menjadi repihan tafsir dan penyulut imajinasi (hlm 17: Kala Penyair Menafsir Kartosoewirjo)
(-)  Kopi jadi santapan penggali imajinasi saat penyair bergumul dalam kreativitas penciptaan puisi. (hlm 20: Membela Petani Kopi Lewat Puisi)
(-)  Radhar mengimajinasikan anggota dewan sebagai manusia beretos “kurakura”: bercangkang keras sekaligus lambat dalam bergerak. (hlm 29: Puisi Menarasikan Politik)
(-)  Keberanian mengeksplorasikan gagasan dan imajinasi adalah pertaruhan besar bagi pengarang agar jamaah pembaca tak bosan. (hlm 43: Eksperimen Cerpen Meyakinkan Pembaca)
(-) Begitulah ciri khas karya Ryunosuke Akutagawa, sastrawan antik dari Jepang. Penulis novel dan cerita pendek dengan kecenderungan imajinasi kelam dan mencekam (hlm 48: Halusinasi Neraka Ala Ryunosuke)
(-)  Helvy mengimajinasikan “kenyataan” dalam cerpen-cerpennya dengan getir dan mengharukan tanpa kehilangan ciri khas: keberpihakkan pada kemanusiaan (hlm 50: Imajinasi Kematian dan Pesan Kemanusiaan)
(-) Kita bisa membayangkan, dari toilet, imajinasi dan ide berjejalan minta diperhatikan. (hlm 54: Kejujuran dari Dinding Toilet)
(-) Sejarah diurai secara jeli, meski sebenarnya kedaulatan imajinasi pengarang sepenuhnya berkuasa. Kecenderungan ini membuat pengarang “seringkali membulatkan kisahnya dengan serba-kebetulan”. (hlm 60: Lebih Dalam dari Sekadar Pergundikan)
(-)  Novel tak mesti berisi imajinasi tinggi-tinggi. (hlm 64: Bersetia itu Berisiko)
(-)  Secara kekayaan data dan referensi, novel ini berhasil menyajikan pengetahuan etnografis dan imajinasi perihal kondisi sosial-kultural masyarakat di Papua secara meyakinkan. (hlm 74: Mengorek Luka Perempuan Papua)
(-) Imajinasi sosok  Agnes Magnusdottir berangkat dari kisah nyata. (hlm 76: Menziarahi Terpidana Hukuman Mati)
(-) Kegenitan pengarang menciptakan adegan surealistis ini membuat kisah Ajo Kawir bagai hidup di imajinasi yang entah, berdiam di antara ingatan-ingatan pelik. (hlm 88: Tragedi, Kemaluan, dan Wasiat Spiritual)
(-) Pertemuan  itu telah membentuk imajinasi Basoeki untuk melukis sosok Nyai Roro Kidul. (hlm 101:  Jagat Klenik Basoeki Abdullah)
(-) Karya sastra tak pernah jauh dari pengisahan manusia dan sekitarnya. Lewat imajinasi  pengarang, manusia ditafsir dalam pelbagai perspektif. (hlm 115: Mengejek Indonesia secara Kritis)
(-) Setelah bertemu dengan pelbagai tokoh itu, imaji  dan pemikiran Kato perihal Islam di Indonesia kian bervariatif. (hlm 128: Orang Jepang Menafsir Islam di Indonesia)
(-) Kenangan Pramoedya bersama ayah dan rumah terimajinasikan secara komplit dalam novel Bukan Pasar Malam (2010).  ( hlm 131: Rumah dalam Pengisahan Hidup Pramoedya)
            Barangkali saya luput dalam mencatat keseluruhan termin  ‘imajinasi’  yang begitu banyak sekali, berulang-ulang diunggah dalam buku ini, yang pasti, dengan sajian data tersebut, kita bisa urun rasa was-was, mencurigai, memperkirakan, mengapa penulis bisa sebegitu mudahnya menarik garis dari banyak wacana yang muncul dalam teks yang dibaca menjadi satu tonggak termin: imajinasi. Seolah-olah jika kita mendapati  teks puisi  yang mengawang, subtil, maka tak ada jalan lain selain menggiring identitas teksnya  ke kandang imajinasi, jika ada tokoh-tokoh dalam  sebuah cerita pendek atau novel yang liar dan penuh kejutan, maka kita cuma akan berdecak dan mengangguk-ngangguk, bahwa tokoh-tokoh tersebut adalah produk imajinasi. Begitu juga sikap penulis kita ketika menghadapi wacana yang, barangkali jauh dari teritori  wacana fiksional, ia seolah membabi-buta hendak  mengalungkan ‘imajinasi’ ke dalam ulasannya. 
            Sedikitnya ada  150an  varian definisi  kebudayaan yang  dikemukaan oleh para pemikir ilmu sosiologi dan filsafat dan ilmu-ilmu eksakta. Ada  dua ratusan definisi untuk termin ‘komunikasi’ yang dikemukakan oleh banyak pakar, dari pakar ilmu hitung sampai pakar dunia klenik. Dan, untuk imajinasi sendiri, memang secara terminologi ia terwujud dari nalar dan citraan, tapi sejauh ini, orang-orang tak mampu membikin definisi tunggal dari imajinasi.  Bahkan—lewat Josef Pieper yang merangkum buah pikir dari para ahli filsafat, kita tahu, yang ada selama ini  cuma mentok menjadi tawaran kemungkinan dalam mengurai  imajinasi. Pertama, imajinasi sebagai kemampuan dalam memproduksi kesan-kesan yang menghubungkan kembali kombinasi-kombinasi baru yang terpisah dari peristiwa aktualnya dalam realitas. Kedua, proses menghidupkan kembali persepsi sebagai gambar-gambar, mengubah dan menyusunnya kembali ke pelbagai pola atau kesatuan yang baru. Ketiga, kemampuan untuk mengidealisasikan atau untuk mengobjektivitasikan pengalaman-pengalaman. Keempat, aktivitas menyusun gagasan (konsep, gambar, mode) yang memberikan pemahaman tentang gejala-gejala yang menjelaskannya.
            Intinya, jika penulis kita ingin mengunggah  menghubungkan sebuah wacana dengan imajinasi, ia harus tahu persis, dan dengan kepresisian milik seorang tukang las kapal tangker dalam mengguratkan, menempelkan definisi yang dipilihnya secara tepat. Perkara ini sama riskannya ketika  penulis kita, dan sepertinya memang perlu kita telisik lebih jauh apakah motifnya, ketika mengunggah termin Kebudayaan. Begitu juga ketika diskursus Kemanusiaan. Kemanusiaan semacam apa? Lelucon sarkasnya, pastilah tidak ada yang tidak bisa ditarik ke arah ‘kemanusiaan’ apa-apa yang ditulis manusia, seperti halnya tidak ada yang tidak bisa ditarik ke bagan imajinasi jika itu sudah berkaitan dengan nalar. Kau cuma akan mendapatkan kesukaran menarik wacana dari apa yang kau baca  ke arah perbincangan tentang  ‘kemanusiaan dan kebudayaan’ ketika memang ada sebuah buku berhasil  ditulis oleh seekor lutung atau  ayam kate.
           
Gayam, Maret 2016.

(ditulis untuk kepentingan diskusi pada helatan bedah buku dan ‘ngangsu kawruh’, atas pembacaan buku USAI: Menulis dan Membaca karya Widyanuari Eko Putra, di Progdi S2 Universitas PGRI- Semarang)

*  Saya tertarik menggunakan ulang frasa ‘waktu senggang’ yang digunakan Yunan Setiawan, seorang penulis esai dan resensi yang aktif di Kelab Buku Semarang,  pada teks resensinya atas buku USAI yang terbit di Solopos pekan lalu. Kalimat utuhnya:

Membaca  tak lagi sebagai mengisi waktu senggang, namun sebagai bagian  rutinitas hidup. Dan resensi semacam kerja mengabadikan pengalaman membaca buku.

Saya tak hendak memperbincangkan, yang sebenarnya bisa saja perlu, tentang blunder penulisan kata ‘mengisi’ yang seharusnya adalah ‘pengisi’, atau jika Yunan ingin variasi dengan tetap menggunakan ‘mengisi’, ia harus menempatkan kata ‘aktivitas untuk’ sebelum kata ‘mengisi’, dan meletakkan lema ‘menjadi’ di antara kata ‘lagi’ dan ‘sebagai’. Saya hendak mempersoalkan keterburuannya menggunakan ‘waktu senggang’, dan menjadikannya sebagai bukti kesalahkaprahannya memahami waktu senggang dengan menempatkannya sebagai aktivitas yang negatif, yang tak memiliki guna apa-apa selain pengisi waktu ketika menunggu, simbol dari keberleha-lehanan. Hal-hal seperti ini, mestinya ditelisik ulang oleh Yunan, bahwa, sama seperti kita sudah latah ketika menggunakan kata ‘nyinyir’, dan dengan begitu sudah membelokkan makna dari ‘nyinyir’ yang berarti “..perintah/nasehat yang diulang-ulang” menjadi salah pemaknaan ketika kita secara massal membengkokkan artinya. Kasusnya jadi sama dengan waktu senggang, bahwa sebenarnya, waktu senggang justru waktu di mana seluruh pikiran jernih kita terfokus, jam-jam di mana contemplatio hadir. Waktu senggang didirikan di atas pondasi pembebasan (liberation) dan (festify).  Pembebasan dari kungkungan target mekanik, perayaan atas subur dan mekarnya segala bentuk imajinasi, buah pikir, gagasan. Bahkan seorang Thomas Aquinas mencetus: kemalasan justru adalah kemandulan menggauli waktu senggang, dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengulkultusan terhadap kerja, karena kerja hanya dipandang sebagai kerja semata. Sepertinya Yunan perlu sekali membaca catatan kaki dalam tulisan ini.



Kliping ulasan buku USAI: Membaca dan Menulis dan profil Widyanuari Eko Putra di koran Jawa Pos,20 Maret 2016).


Resensi atas buku USAI: Membaca dan Menulis, berjudul "Resensi di Atas Resensi" oleh Mohammad Yunan Setiawan (Solopos, 28 Maret 2016)


Kliping Peluncuran dan Diskusi Buku USAI: Membaca dan Menulis (2016) di GP.5 UPGRIS (Wawasan, 23 Maret 2016)


Kliping Peluncuran buku USAI: Membaca dan Menulis di Gp.Lantai 5 UPGRIS (Sindo, 17 Maret 2016)


Kliping Bedah Buku dan Ngangsu Kawruh buku USAI: Membaca dan Menulis (2016) yang diselenggarakan oleh Progdi Pascasarjana PBSI UPGRIS (Wawasan, 7 April 2016)


Selasa, 05 April 2016

Tanah dan Gejolak Modernitas

Di atas tanah peradaban dibentuk. Tanah adalah muasal dari segala hasrat manusia pada kekuasaan, kemodernan, dan keberadaban. Di Ilheus, sebuah wilayah di selatan kawasan pantai Bahia, Brazil, tak ada yang lebih terhormat selain tanah dan kebun kakao yang subur. Saat itu, tahun 1925, tanah adalah identitas dan harga diri.
Dulu, perebutan tanah dan pertumpahan darah pernah jadi memori kelam kota Ilheus. Tanah yang semula hutan, bukit, dan lereng-lereng, jadi sumber segala macam kisruh. Orang-orang bertarung demi perebutan tanah. Ada darah dan nyawa yang dipertaruhkan demi sepetak tanah. Tanah adalah muasal dari peradaban Ilheus.
Jorge Amado, penulis kondang asal Brazil, menampilkan kota Ilheus sebagai kota sarat kisruh dan konflik berdalih perebutan tanah lewat novel Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis (2014). Novel tentang kehidupan pelik para pemilik tanah perkebunan kakao di tepi pantai kota Ilheus. Tanah jadi alasan orang-orang untuk singgah dan menanam cita-cita di Ilheus.
Kemonceran kakao memicu serentetan perubahan. “Kemajuan adalah kata yang paling sering terdengar di Ilheus…” (hlm.27). Kemajuan itu tampil lewat pendirian sekolah, bioskop, kabaret, pembacaan puisi di panggung yang megah, dan bar-bar modern.
Kemajuan mulai menggema sejak kedatangan Mundinho Falcao, pemuda penggagas pembangunan jalan demi kelancaran pengangkutan kakao. Dari jalan yang luas itu, melebarlah ide-ide kemajuan lain di Ilheus: pendirian Klub Kemajuan, organisasi para pengusaha dan profesional, klub sepak bola, Perhimpunan Sastra Rui Barbosa, hingga penerbitan Koran Ilheus.
Sebagai kota yang memiliki memori gelap perihal pertumpahan darah di masa lalu, Ilheus masih menyisakan karakteristik kepurbaannya. “Ada banyak pembicaraan mengenai kemajuan; uang mengalir deras; kakao membangun jalan-jalan, membuat permukiman, mengubah wajah kota. Namun, keterbelakangan, kebiasaan-kebiasaan lama tetap tidak berubah” (hlm.200).
Kemajuan di Ilheus belum menuntaskan kebebalan tradisi kuno tak beradab: kekerasan, perselingkuhan, pergundikan, perjudian, pembunuhan, dan pelacuran. Menggosip jadi pilihan tak berisiko daripada merombak tradisi yang terbelakang.
Kemajuan Ilheus teruji sejak gonjang-ganjing politik ramai dibicarakan publik. Gagasan Mundinho tentang kemajuan Ilheus membuat Ramiro Bastos, penguasa kota yang disegani, merasa gerah. Terutama inisiatif Mundinho perihal pengerukan gundukan pasir di pantai yang menghalangi kapal-kapal pengangkut kakao masuk ke Ilheus. Tujuannya agar kelak pelabuhan bisa dibangun sehingga bea ekspor bisa masuk ke Ilheus. Selama ini ekspor kakao dari Ilheus memang bergantung pada pelabuhan di Bahia, kota di bawah kekuasaan Ramiro Bastos.
Ketegangan terjadi. Adab berpolitik mulai dipertontonkan. Serangkaian teror dan aksi sepihak dilancarkan kubu Ramiro Bastos demi membungkam gerakan Mundinho. Dari pembakaran Koran Ilheus, yang pada edisi tersebut mewartakan gagasan-gagasan Mundinho, hingga penembakan tokoh pendukungnya. Isu politik jadi siasat Jorge Amado menampilkan keberadaban penghuni Ilheus.
Di antara kerunyaman dan suhu politik yang tinggi itulah kehadiran Gabriela menaut ke pelbagai peristiwa penting. Gabriela, perempuan yang dipekerjakan oleh Najib, seorang Arab pemilik bar, berhasil memikat para lelaki Ilheus berkat kepolosan, kecantikan, serta keahliannya memasak. Gabriela dikenal hampir di seluruh kawasan Ilheus, dari pendukung Mundiho maupun Ramiro Bastos. Mereka seakan-akan berlomba-lomba merasai pelukan Gabriela.
Kepolosan Gabriela jadi siasat Jorge Amado menghadirkan kritik sekaligus menertawai perilaku penduduk Ilheus yang klise, ironi, dan kerap munafik. Gabriela hadir di antara sengkarut perselingkuhan, persaingan politik, hingga dogma-dogma tradisional-feodal. Lewat tokoh Gabriela, Jorge Amado menyajikan humor-satir politis. Gabriela jadi corong bagi Jorge Amado menyuarakan pandangan politisnya.
Jorge Amado mengisahkan konflik kota Ilheus dalam racikan perspektif sosio-kultural-politis. Sebuah pengisahan yang membawa kita menelusuri karakteristik manusia pesisiran, dengan eksplorasi nilai-nilai etnografis-geografis. Kita disuguhi lanskap kebudayaan lokal Ilheus (juga Brazil), misalnya, tentang karnaval perayaan Natal, dansa, kabaret, capoeira, sirkus jalanan, serta pembacaan puisi di gedung yang megah. Sebuah masyarakat yang bergerak menapaki modernitas namun masih terbelenggu kepurbaan tradisi di masa lalu.
Dalam novel ini tema-tema kemajuan dan ketertinggalan bergerak beriringan jadi semacam ambivalensi. Jorge Amado mengajak kita “menyinggahi” Ilheus dengan kaki kanan berpijak pada keterbelakangan dan kaki kiri bertumpu ada hasrat kemajuan. Penceritaan ala foreshadowing dalam novel ini membuat alur cerita tetap menarik dan mendebarkan hingga akhir halaman.
Novel ini kian mengesahkan ketangguhan sastra Amerika Latin yang kini kian digandrungi pengarang nasional kita. Sebuah novel yang tak hanya mengisahkan tanah, tapi juga merekam perkembangan dan perubahan masyarakat, serta mengajukan preseden sebuah gerakan politik arus bawah menuju penggulingan sistem kekuasaan yang mapan. Sebuah novel beraroma politik namun sarat akan permasalahan sosial-kultural. []


Dimuat Harian Rakyat Sumbar, 2 April 2016