Minggu, 28 September 2014

Tragedi, Kemaluan dan Wasiat Spiritual



Nafsu menggerakkan manusia demi meraih kemodernan, kemajuan, dan kepuasan. Manusia bernafsu, maka manusia ada. Manusia bagai patung tak berguna jika nafsu tak tumbuh di jiwanya. Meski bukan yang utama, nafsu memang selalu ingin menyala di jiwa manusia. 
Eka Kurniawan mengisahkan gejolak manusia dan nafsu—birahi—lewat serangkaian tragedi, trauma, dan kisah tragis. Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (GPU, 2014) adalah fragmen kisah-kisah mengenaskan perihal manusia, cinta, birahi, dan kondisi zaman yang berkarib dengan kekerasan tubuh dan mental. Tokoh-tokoh dalam novel ini lahir dari trauma, hidup bersama pilihan-pilihan rawan: membunuh atau dibunuh; disakiti atau menyakiti; mengalahkan atau dikalahkan. 
Pengisahan bermula dari sepasang bocah sial, Ajo Kawir dan Si Tokek, yang tepergok mengintip dua orang polisi sedang memerkosa Rona Merah, seorang janda gila. Si Tokek beruntung sanggup melarikan diri dari kejaran polisi. Petaka justru menimpa Ajo Kawir. Ia tak kuasa menyelamatkan diri.
Kedua polisi menyeret dan memaksa Ajo Kawir menonton adegan tak lumrah itu, secara langsung, tepat di hadapannya. Seorang bocah terkutuk akibat polah manusia dewasa tak beradab. Fragmen ini memantik ingatan kita perihal sebuah rezim di Indonesia, di mana kesewenang-wenangan dan kekerasan pernah digawangi oleh oknum aparat.
Kebiadaban manusia kadang memang tak sekadar urusan bunuh-membunuh. Kekerasan mental justru memberi luka tak terperi seumur hidup. Begitulah nasib Ajo Kawir. Peristiwa kelam membekaskan trauma psikologis, awal dari rentetan petaka sepanjang hidup.
Sejak peristiwa itu, Ajo Kawir bagai kehilangan ‘nyawa’. Kelelakiannya mendadak terlelap dalam ‘tidur’ yang panjang, tak tahu kapan hendak terjaga. Eka mengeksplorasi duka Ajo Kawir sebagai hulu cerita, menawarkan kisah dan kenakalan logika.
Tetapi fiksi memang menawarkan segala kemungkinan-kemungkinan meski terkesan konyol dan pincang. Kita bakal risih dan terkejut mendapati deskripsi Ajo Kawir sanggup  menjerat keyakinan seorang perempuan bernama Iteung, hingga kemudian bersedia diperistri. Pergumulan aneh dan tak wajar. Kelelakian yang ‘lumpuh’ bukan alasan manusia tak berpasangan.
Eka mendeskripsikan hakikat pernikahan di luar konvensi kewajaran. “Mereka sama-sama ingin menikah. Tak peduli pernikahan itu akan berlangsung tanpa kemaluan…” (Hlm.91). Pernikahan adalah urusan manusia, cinta, dan birahi. Eka mengajukan logika ‘cinta tanpa logika’ dalam novel berlabel 21+ ini. Nalar pembaca diajak menerawang jauh memunguti keserbamungkinan tanpa terjerumus bombastisitas imajinasi. 
Nalar cerita sederhana meski terkesan ganjil dan tak etis. Ajo Kawir berbahagia menikahi gadis pujaan meski tak berkemampuan ‘jantan’ secara badaniah. Tetapi kebahagiaan selalu meminta syarat. Pelbagai kabar buruk mendarat di hari-hari bahagia Ajo Kawir pasca-pernikahannya. Iteung hamil, dan tentu saja, bukan buah kelelakian Ajo Kawir. Nah!
Permenungan
Kisah bergerak dari satu derita ke derita selanjutnya. Ajo Kawir berkelana, berharap bisa memperpendek kesedihan. Pada sebuah pergulatan batin yang memuncak, Ajo Kawir sampai pada taraf permenungan klimaks. “Aku mulai mengerti apa yang diinginkan kemaluanku. Ia menempuh jalan para pencari ketenangan. Para sufi.  Para mahaguru. Si Burung menempuh jalan sunyi. Tidur lelap dalam damai, dan aku belajar darinya” (hlm123).
Eka secara cerdik mengimajinasikan sebuah dialog antara Ajo Kawir dan ‘kemaluan’. ‘Sang Kemaluan’ berpetuah, menyampaikan ajaran-ajaran bermanusia secara terhormat, mengajari hidup tanpa ambisi dan nafsu yang bergejolak. Kita bakal kesulitan menduga bagaimana adegan ‘dialog’ tersebut. Kegenitan pengarang menciptakan adegan surealistis ini membuat kisah Ajo Kawir bagai hidup di imajinasi yang entah, berdiam di antara ingatan-ingatan pelik. 
Dialog dengan ‘kemaluan’ jadi ruang permenungan, melahirkan keyakinan-keyakinan tak biasa. “Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala” (hlm.126). Ajo Kawir sanggup beritikad menjadi manusia bijak, lepas dari gelora nafsu dan rayuan birahi yang berkuasa.
Kemaluan menggerakkan peradaban, mengatur manusia-manusia menjauhi nalar waras dan beradab. Di bagian inilah tampaknya Eka hendak masuk dalam meditasi kedamaian, memberi ilham perihal banalitas nafsu penghamba modernitas.   
Penggarapan tema-tema kebirahian memang bukan hal baru dalam ranah novel Indonesia mutakhir. Keputusan memilih “kecacatan birahi” manusia sebagai pusat penceritaan, disertai deskripsi gejolak zaman dengan kecamuk kekerasan yang akut, juga permainan imajinasi nakal yang saut-menyaut, sehingga batas antara masa lalu, masa kini, dan masa depan tidak tersusun secara monoton, membuat novel ini menarik bukan hanya secara isi, tapi juga mengasyikkan di setiap penceritaannya.
Imajinasi dan ingatan berlompatan tak beraturan. Cerita tersaji secara tak tertib tapi masih terbingkai dalam satu lanskap utuh. Berkali-kali tawa saya meledak. Namun di antara tawa itu pula, menyembul segaris murung yang seketika berkuasa.   
Tiga tahun (2011-2014) proses penciptaan novel, saya kira setimpal dengan capaian kematangan Eka dalam menggarap eksplorasi ide, gaya, dan cerita. Membaca buku ini kita bakal mendapati kejutan demi kejutan hingga pada kalimat pamungkas.
Saya tak sampai hati menahbiskan novel ini masuk dalam jejeran roman cabul, meski potensi itu sedemikian kuatnya. Novel ini seolah hendak berwasiat: Nafsu dan kebirahian sepatutnya menuju pada hakikat kedamaian dan ketenangan jiwa manusia. Meski imajinasi pengarang justru kerap memberi godaan pada kita untuk memberi tafsiran-tafsiran ‘cabul’ di setiap deskripsinya. []

Dimuat di Kompas, 28 September 2014.

Selasa, 23 September 2014

Imajinasi Bertabur Pesimisme


Alkisah, tahun 21xx, di sebuah negeri bernama R. merebak fenomena bunuh diri massal. Bagi masyarakat, bunuh diri tak lagi dipicu himpitan ekonomi, tetapi sudah menjadi fenomena lunatik kolektif. Seperti sebuah trend, bunuh diri menulari siapa pun: anak muda, orang tua, gelandangan hingga para birokrat. Kecamuk perkembangan teknologi masif, membuat orang-orang sumpek dan jengah. Manusia gagap menghadapi modernitas yang pesat.

Demi membendung gelombang bunuh diri, pemerintah akhirnya merancang undang-undang antibunuhdiri. Persoalan menjadi kian rumit justru ketika pemerintah kebingungan menentukan hukuman apa yang cocok bagi si pelaku bunuh diri—bagaimana mungkin pelaku bunuh diri, yang sudah pasti akan mati, mesti diberi hukuman? Kekacauan semakin melanda negeri R. saat para pejabat negara ikut terjangkit ‘virus’ bunuh diri massal.
Cerpen berjudul Undang-Undang Antibunuhdiri jadi ketukan pintu sebelum memasuki dunia kelam Aksara Amananunna (2014) garapan Rio Johan. Sebuah cerita bertema fatalistik, menandai serangkaian imajinasi kisah orang-orang hidup dalam kontradiksi psikis dan jasmani. Tema-tema bunuh diri, kekerasan, seksualitas, gender, identitas, penyimpangan, serta ambisi-nafsu manusia tersaji apik dalam buku ini.
Pesimisme
Ada aura pesimis dalam setiap karakter tokoh. Deretan kisah manusia labil, terpuruk dalam keputusasaan, gagap merespons pelbagai perubahan zaman. Kemodernan berimbas pada lahirnya jiwa-jiwa kering, miskin keyakinan dan religiusitas.
Dalam cerpen berjudul Riwayat Benjamin, pengarang melanjutkan kecenderungannya menyajikan cerita beraroma kematian. Mengambil latar tahun 1598, cerpen ini mengisahkan kehidupan bocah lelaki bernama Ben dalam jerat praktik kekerasan dan hubungan sesama jenis. Pesona Ben yang memikat, merangsang para gentry, bangsawan tanpa gelar, ‘mengasuhnya’. Ia diperdaya, diberi iming-iming bakal hidup enak dan berkecukupan asal mau meladeni nafsu bejat para gentry.
Ben tak kuasa menolak gelimang kemewahan. Tetapi kenyamanan hidup Ben tak berlangsung lama. Sang gentry tergoda ‘mengasuh’ pasangan baru. Ben dicampakkan sekaligus menerima perlakuan kasar. Tak hanya dikhianati, akibat hubungan menyimpang itu, Ben terjangkit penyakit. Tak berdaya menanggung derita, nasib Ben berakhir di tali gantungan. Ia mati bunuh diri.
Cerpen ini tentu mengingatkan kita kepada kaum pecinta sejenis yang hidup dalam nuansa kekerasan. Pengarang kentara menyajikan adegan-adegan kekerasan (seksual). Mengeksplorasi kisah para pengindap sadomasokis dalam cerpennya. Hasrat seksual memang urusan purba, menandai gerak peradaban manusia. Manusia dan seksualitas adalah dua sisi mata uang, menyatu namun berkebalikan.  
Gelimang tubuh manusia beserta nafsu-ambisinya jadi referensi pengarang mengolah cerita. Tema-tema pelik dan menggiris “digoreng” menjadi fragmen-fragmen sisi gelap manusia. Cerpen Aksara Amananunna menyajikan dominasi keterpinggiran manusia akibat ambisi yang terlalu besar. Cerpen ini mengisahkan tentang manusia bernama Amanunna yang berambisi menciptakan bahasa pasca Tuhan merusak bahasa-bahasa di dunia.
Merasa tak memiliki bahasa sesuai nalurinya, Amanunna berniat menciptakan bahasa baru. Bahasa menunjukan tingkat peradaban manusia. Bahasa mesti diciptakan sebagai pengukuhan diri, meneguhkan eksistensi sebagai manusia.  
Tetapi harapan itu ambruk, seperti rumah kertas dihempas angin. Bahasa Amananunna hanya bertahan di kalangan keluarganya saja. Sementara usia Amananunna kian menua, salah satu anaknya justru memutuskan meninggalkan bahasa ajarannya itu. Pewaris bahasa Amananunna pun sirna.
Tekad Amanunna begitu kuat. Amananunna tak ingin usahanya berakhir sia-sia. “Amananunna menempuh cara terakhir. Pria renta itu mengukir aksara-aksara bahasanya di ceruk-ceruk ngarai, pada bebatuan besar, juga di dinding gua. Setidaknya, dengan cara itu dia bisa meninggalkan jejak ciptaannya”(hlm.35). Berakhir sudah perjalanan Amanunna menciptakan bahasa.
Seandainya kumpulan cerpen ini adalah sebuah bunga rampai film, maka film ini bakal menghamparkan tampilan-tampilan vulgar  perihal birahi, nafsu, tubuh, kekerasan, dan tekanan psikologis. Cerpen-cerpen dalam buku ini kentara menyajikan ‘sihir’ pesimisme.
Sebagai sebuah kumpulan cerpen, meski ada satu cerita yang lebih layak disebut novelet ketimbang cerpen, buku ini menghadirkan pelbagai imajinasi yang seolah hadir dari dunia yang entah. Kita tak akan menjumpai satu pun cerpen beraroma ‘keindonesiaan’. Setiap cerita seperti lahir dari pelbagai belahan dunia yang jauh, serta muncul dari pengisahan dari masa lalu yang entah.
Pengarang lihai mencomot fragmen-fragmen kisah ratusan tahun silam, yang barangkali seperti diadopsi dari film-film di Eropa dan Amerika. Pengarang mahir mengimajinasikan-mendeskripsikan kisah di masa depan. Buku ini mengajak pembaca hanyut dalam pusaran imajinasi kelam, membawa kita pada hamparan ruang dan waktu yang jauh dan awam.[]

Disajikan di Edaran (ora) Weruh, Solo.

Minggu, 21 September 2014

Jalan Lain Menebar Optimisme


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seolah hendak menahbiskan diri sebagai presiden tak biasa. Jika kebanyakan politisi di republik ini menutup masa jabatan dengan jeratan kasus korupsi, SBY justru memberi persembahan sebuah buku kumpulan puisi.
Presiden berpuisi tentu bukan sebuah kreasi biasa. Buku berjudul Membasuh Hati di Taman Kehidupan (2014) seolah-olah jadi rekaman pergulatan batin dan pemikiran SBY. Di sela kesibukan dan mobilitas yang tinggi sebagai presiden, SBY masih meluangkan waktu berpuisi. Kita pun membayangkan SBY menulis puisi di pesawat, di mobil, di tempat kunjungan, atau di Istana Negara.

Puisi bagi SBY jadi jalan menapaki pikiran-pikiran tak tersampaikan. Tuntutan presiden mengharuskan mentalitas SBY jadi manusia tegar dalam menghadapi serangan kritik dan hinaan. Presiden kerap jadi sasaran amarah dan hujatan kala rakyat sedang tertimpa bencana, himpitan ekonomi, serta kisruh politik. Lewat puisi SBY berkisah, melepas segala kesah. Namun tak sedikit pula puisi-puisi SBY memberi seruan dan ajakan tentang perdamaian, cinta, kasih, dan optimisme.
Optimisme
Jika dengan menulis sekian puisi sseorang layak disebut penyair, maka SBY adalah penyair optimis. Sajak-sajaknya bersuara pelan namun tegas, memberi pesan-pesan kekuatan dan kesabaran. SBY sadar posisinya sebagai presiden. Puisinya menampilkan wejangan dan penguatan kepada pembaca, yang tentu saja, ia anggap sebagai ‘rakyat’ yang mesti mendapat perhatian dan dukungan.
Puisi berjudul Demi Waktu mengagetkan kita perihal naluri estetik SBY. Puisi ini cenderung bersuasana sendu, sunyi. Simaklah:”Bulan di atas perahu/sendu//cemara di kaki gunung/termenung//…/Kutahu waktu menjanjikan berkah/Kuburu, pantang menyerah/Apalagi pasrah (hlm.14).
SBY seolah tak ingin terjebak dalam sajak-sajak bernada pesimistis. Kesadaran sebagai pemimpin panutan larut dan menyatu dalam sajak-sajaknya. Pun ketika bencana sedang melanda Indonesia. SBY tak lupa merekam pelbagai kejadian ke dalam puisi.
SBY berdoa di dalam puisi. Puisi Dalam Duka Kami Bangkit mengajak pembaca ikut merasakan kesedihan SBY sebagai manusia saat melihat negaranya tersapu bencana. Simaklah: ”Tetapi, Ya Rabbana/ kami tak pernah menyerah/ dalam pasrah, dan bukankah dalam musibah/ selalu ada berkah…” (hlm.25).
Pesan-pesan optimisme memang bertebaran dalam kumpulam puisi ini. Dalam pengantarnya, Putu Wijaya menilai “SBY telah merasakan potensi puisi, lalu memberdayakannya untuk memaparkan pikiran dan renungannya sebagai presiden dalam memimpin bangsa berjuang mengutuhkan kembali karakter yang retak”. Bait-bait puisi berisi petuah presiden kepada rakyatnya.
Politis
Di sisi lain, kita tak boleh lupa SBY adalah seorang politisi. Kiprah politik tentu merangsang gesekan kepentingan dengan lawan politik. Sebagai politisi, SBY tak lepas dari geliat kompetisi politik. Beberapa puisi menyiratkan sindiran-sindiran politis. Sindiran dalam puisi tentu tak berisi ujaran sarkastik. Medium puisi ‘memaksa’ SBY menata secara teratur kata yang hendak dipakai sebagai representasi pikirannya.
Kita mafhum, betapa kritik dan serangan politik kadang terasa begitu menusuk. Sewajarnya pula jika respons SBY dalam puisinya sarat akan satire. Kita bisa menera bagaimana kecamuk suasana hati SBY pada tanggal 28 Juli 2008. Tiga puisi lahir dalam sehari: berjudul Siapa Salah, Harus Menghujat, dan Populer, berisi satire politis yang tajam. Simaklah puisi Harus Menghujat:”Mereka menuding, keras, serempak/ “Mana tanggung jawabmu”/Mau ngomong apa kamu?’//Aku mengambil corong/ Berdiri//Mereka pergi” (hlm.98). SBY mengkritik sikap para lawan politik yang hanya mengkritik di belakang.
Begitu pula ketika sederet demonstrasi terjadi di era pemerintahannya. SBY bagai tak kuasa menahan getir di hati saat unjuk rasa berakhir bentrokan dan perusakan sarana umum. Baginya, demokrasi tak boleh berujung pada aksi vandalisme. Dalam puisi berjudul Taksi Jakarta, SBY menulis:”Inikah demokrasi/ dan kebebasan yang tidak terbatas?/ Tidak bisakah orang berunjuk rasa tanpa merusak?/ Adakah pula mereka yang beringas itu juga korban/ dari tangan-tangan serakah… (hlm. 119)
Membaca puisi-puisi SBY kita bakal dihadapkan pada peleburan kesadaran seorang presiden-politisi-manusia biasa yang merasuk-menyatu dalam sajak. Meski tak bisa dielakkan, ada sedemikian pencapaian estetik yang muncul dalam puisinya. Ketika SBY menulis tentang kerinduan dan cinta (puisi “Kangen” dan “Pelabuhan Terakhir”), misalnya.
Puisi, bagi SBY, barangkali tak didefinisikan sebagai karya seni semata. Puisi adalah penjelmaan sikap, pemikiran, rekaman kesan-kesan saat kunjungan, serta ‘jalan lain’ menyuarakan pesan selaku presiden, politisi, juga sebagai manusia tak berjabatan.
Cara terbaik menyambut kehadiran buku ini, sepatutnya, dimulai dari ‘kerelaan’ untuk tidak memusatkan penilaian pada pencapaian estetika dan imajinasi semata. Namun lebih sebagai ‘kenang-kenangan’ buah pikir SBY semasa menjabat presiden. Sependapat dengan Gus Mus, “Petinggi negeri menulis saja sudah merupakan sesuatu yang langka…”. Apalagi presiden. []

Dimuat di koran Jawa Pos, 21 September 2014

Jumat, 19 September 2014

Berpihak demi Kebudayaan


Lakon Semar Gugat, dalam dunia pewayangan, mengisahkan perlawanan tanpa kekerasan. Dialog dan musyawarah adalah pesan dari lakon ini. Konon, Semar murka kepada Batara Guru, raja para dewa, karena berbuat tidak adil kepada Pandawa.
Semar terbang ke khayangan, berdialog dengan para Batara. Meski berangkat dengan perasaan murka, Semar tak terbakar dalam kemarahan. Semar mengedepankan musyawarah, hingga akhirnya, Batara Guru mengakui kesalahan.
Aksi unjuk rasa petani tembakau di Temanggung, Januari tahun 2013 silam, seolah hendak memaknai sikap dan lelaku Semar. Semar menggugat Batara demi membela Pandawa, sedangkan petani menggugat demi sebuah keadilan.

Foto: Widyanuari Eko Putra
Pemerintah telah mengesahkan PP nomor 109 tentang pengendalian tembakau yang merugikan para petani. Tiga ribuan warga Temanggung bersepakat mengajukan gugatan, meluapkan kekecewaan, serta protes  atas ulah sang pemberi kebijakan.
Petani merasa diam bukanlah sikap yang pantas. Melawan menjadi sebuah pilihan mutlak. Tetapi perlawanan tak mesti diiringi gelombang kemarahan dan kerusuhan. Meski berisi sebuah perlawanan, mereka masih menjunjung tradisi dan keyakinan beradab. Perlawanan itu bernama Semar Gugat: permohonan keselamatan kepada leluhur.
“Karena kita tak bisa lagi berbicara dengan para pemimpin yang masih hidup, maka di sini kita berbicara dengan para leluhur, yang sudah tak ada lagi”. Mohamad Sobary mengutip suara lantang dalam pengantar buku kumpulan esainya Semar Gugat di Temanggung (2014). Buku ini menjadi biografi intelektual sekaligus sikap politik Mohamad Sobary.
Sebuah keberpihakan ilmiah yang lahir sejak Sobary menekuni kerja penelitian. Beberapa tahun menekuni penelitian kebudayaan di Temanggung, Sobary mengerti dan mengalami bagaimana rasanya bersentuhan dengan petani yang dibuat miskin oleh peraturan pengendalian tembakau. Deburan nafas petani, yang meski sangat terdzalimi, tetap menampilkan sikap ‘nerimo’ dan patuh terhadap pelbagai aturan penguasa. Menyaksikan sederet sikap yang tak membela petani tersebut, Sobary tak bisa tak peduli. Berpihak adalah sikap terbaik.
Nilai Budaya
Sebagai seorang antropolog, Sobary memandang tembakau dan sikap para petani sebagai bagian dari nilai kebudayaan yang luhur. Membela tembakau tak ubahnya ikhtiar menjaga hasil kebudayaan. Tembakau bukan semata hasil bumi. Tembakau adalah juga bagian asli dari tubuh yang bernama Indonesia: memiliki sejarah dan kisah.
Sejak tahun 1900-an tembakau sudah jadi incaran negara-negara asing. Kretek Indonesia adalah jawara rokok kelas dunia, kuat secara citarasa, budaya, serta potensi ekonomi. Produksi tembakau melibatkan ribuan orang: petani, pekerja pabrik, hingga pengecer. Roda perekonomian yang dihasilkan oleh tembakau sanggup menarik pendapatan ekonomi yang tinggi bagi warga, serta pajak yang melimpah bagi pemerintah.
Kretek telah masuk ke dalam sendi-sendi ekonomi kerakyatan, keyakinan, tradisi, sakralitas adat, dan pergaulan sosial. Ibaratnya, selinting kretek bagi seorang ketua adat tentu tak sekadar penyambung tradisi. Kretek adalah juga medium bagi praktik penyembuhan orang-orang sakit. Beberapa adat tertentu meyakini kretek sebagai bagian dari kelengkapan sesaji yang sakral. Kretek menyatu dalam sakralitas ritus tradisi.
Menurut Sobary, kretek jadi semacam penyambung kebuntuan ide bagi para seniman saat mencipta karya. Asap kretek menjelma pencair imajinasi saat terasa begitu kaku dan buntu. Kita tak menduga betapa hampir semua etnis di Indonesia menikmati kretek sebagai medium pengakraban diri. Pada tahap inilah, kretek sanggup “memainkan simbol persahabatan yang begitu ekspresif antar-etnis, antar-budaya” (hlm11).
Sudut pandang kebudayaan inilah, yang bagi Sobary, luput dipahami pemerintah kita. Pemahaman kretek terjebak pada stereotip hitam-putih. Padahal, kampanye kesehatan (anti-rokok) yang berlangsung masif, jika tidak diimbangi dengan pemahaman berlandaskan nilai-nilai budaya, hanya akan menghancurkan potensi tembakau di Indonesia.
Sobary memberi saran sekaligus seruan kepada semua yang masih menaruh peduli pada kebudayaan Indonesia: “Kebudayaan adalah pusat. Negara yang tidak memikirkan kebudayaan bakal hancur digerus modernitas”(hlm55).
Demi memperjuangkan pandangan kebudayaan dan pemihakannya kepada petani, Sobary tak segan terlibat langsung dalam pembelaan kaum petani tembakau. “What is personal is political”. Apa yang melekat pada tubuh adalah wujud dari sebuah pandangan politik (hlm.132).
Untuk melawan sebuah tatanan, pemikiran dan pendirian saja tidak cukup. Harus ada gerakan nyata untuk keduanya. Intelektualitas dan pemahaman budaya menjadi bekal bagi Sobary untuk berpihak.[]

Dimuat di Harian Rakyat Jateng (20/09, 2014)

Selasa, 02 September 2014

Mengubah Pola Pikir Cara Bertransportasi

Foto: Widyanuari Eko Putra
Kemacetan semakin tak terkendali, tak lagi hanya di jalan kota-kota besar, tapi juga di pinggiran. Tak banyak pemimpin berani mengajukan perubahan besar, revolusi sarana, prasarana, dan pola pikir bertransportasi. Proyek dan program pengentasan kemacetan menjadi bunga bibir kampanye, tapi minim realisasi. Setengah umur manusia modern terbuang sia-sia di jalan.

Di tengah menjalarnya bahaya “laten” kemacetan, buku Revolusi Transportasi (2014) hadir memberi sedikit pengertian baru. Buku ini mengupas moda transportasi serta solusi kemacetan dengan pendekatan humanis.

Bambang Susantono, pakar infrastruktur dan transportasi, bertahun-tahun menyuntuki kajian transportasi di Indonesia. Meraih gelar doktor di bidang perencanaan infrastruktur dari Universitas California, Barkeley, Bambang memusatkan pendekatan kemanusiaan terkait sarana transportasi.

Pertama-tama, harus ada perubahan pola pikir. Segala perencanaan dan perbaikan sarana transportasi tak manjur bila pola pikir tidak berubah. Contoh, semakin banyak jalan baru dibuat kemacetan berkurang, harus dibuang. Contoh, Jalan Layang Nontol Kampung Melayu-Tanah Abang, baru dibuka langsung macet. Berdasar fakta ini, jelas menambah jalan bukan sebuah solusi (hal 27).

Kendaraan pribadi semakin memperparah kemacetan. Program kredit murah kendaraan merangsang orang-orang beramai-ramai membeli mobil. Sebab lain, tidak tersedia sarana dan prasarana transportasi massal yang aman, nyaman, dan safety.

Penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengacu pada reformasi transportasi, belum terealisasi sepenuhnya. Peraturan hanya tinggal ketentuan (hal 139). Kondisi angkutan umum tetap memilukan.

Solusi kemacetan harus dimulai dengan mengubah pola pikir masyarakat dan pemerintah. Mengajak masyarakat menggunakan angkutan massal, tentu saja fasilitas harus diperbaiki secara total dulu.

Fenomena kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor, sepatutnya pemerintah berkaca dari Taiwan. Meski pemilik sepeda motor mencapai 958 per 1000 orang, Pemerintah Taiwan secara bertahap mampu mengurangi kemacetan. Perbaikan sarana angkutan umum, tarif parkir motor ketat, pembatasan motor di pusat kota, serta subsidi transportasi publik terbukti ampuh mengurangi kemacetan (hal 67).

Pendekatan kemanusiaan mendorong perubahan berawal dari diri dan mengutamakan kesadaran masyarakat. Di antaranya, warga didorong mau berjalan kaki untuk jarak dekat, tak harus bersepeda motor. Bersepeda untuk jarak yang tidak terlalu jauh. Selain mengurangi polusi udara, tentu saja baik bagi kesehatan. Terakhir, gunakan angkutan umum.

Pemerintah harus menerapkan aturan tegas. Prasarananya memadai. Jalan aman bagi para pejalan kaki. Ada lajur khusus sepeda. Angkutan publik harus aman, nyaman, dan terjangkau.

Selain pemaparan yang jelas dan menyeluruh, penulis juga memberi semacam box idea, tempat bagi pembaca menyampaikan saran atau pengalaman. Hal ini memungkinkan pembaca mengirimkan saran terkait penanganan kemacetan. Gerakan revolusi transportasi memang harus dikerjakan bersama rakyat dan pemerintah. Beranikah rezim baru memulai?


Dimuat Koran Jakarta, 1 September 2014