Senin, 27 Juni 2016

Baca Puisi Bareng Muhajir Arrosyid


Belum tentu, dalam sepuluh tahun sekali, saya bisa mengiringi si peneliti sekaligus esais ampuh Muhajir Arrosyid membaca puisi. Dan, belum tentu pula dalam lima tahun sekali, saya bisa kolaborasi dengan penulis lagu-gitaris-kahongers-chef jebolan Pandean Lamper Institiut Deska Setia Perdana. Maka, tak berlebihan bila foto ini kuunggah.... (Kota Lama, 25 Juni 2016)

Bedah Buku di Gramedia Pandanaran (25 Juni 2016)


Saya tentu sangat berbahagia turut merayakan kelahiran buku kedua Kartika Catur Pelita Pelita, bersama cerpenis Adi Zamzam, juga penulis kawakan Sunardi KS. Namun, yang lebih membahagiakan adalah, seperti mengamini pepatah Cina kuno, bahwa seorang pandai besi sejati hanya akan menempa besi di saat mendidih, Mas Muhajir Arrosyid sanggup mengabadikan momen tersebut dengan sangat, sangat, tepat... (25 Juni 2016, Gramedia Pandanaran)

Selasa, 07 Juni 2016

Memoar Novelis Pelari

Jika pertaruhan sebuah cerita dimulai sejak kalimat pembuka, saya berkeyakinan novel Kaze no Uta o Kike, atau dalam bahasa Indonesia berarti Dengarlah Nyanyian Angin, karya Haruki Murakami, memiliki pembukaan yang menggoda. Saya sebut pertaruhan karena di kalimat pembuka itulah, mula-mula sekali, hal yang menentukan apakah pembaca bakal masuk ke alam cerita atau sebaliknya: menutup buku dan tak melanjutkan membaca.
Begini pembukaan novel tersebut: Tidak ada kalimat sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna. Pembukaan yang sederhana, membekas, dan gampang diingat.
Namun siapa kira bila novel dengan pembuka semenggoda itu justru ditulis saat Murakami dalam kondisi pikiran yang tidak terlalu fokus. Novel lahir di sela kesibukan mengurus kelab malam, berbekal tubuh lungkrah karena lelah, disertai kepulan asap rokok sebagai teman menulis.
Novel itu selesai ditulis tapi tak membuahkan kepuasaan. Ketidakfokusan itu merangsang kegelisahan. Murakami sadar novel tak boleh ditulis dengan fokus setengah-setengah. Menulis novel memang perlu keseriusan. Keseriusan pun dibuktikan dengan menutup usaha kelab. Murakami berkeputusan menjadi penulis profesional!
Menjadi penulis profesional berarti menggantungkan perut dan nasib keluarga kepada kata-kata. Segala hal yang menurut Murakami bakal menghambat kerja kepenulisannya, satu per satu, ia benahi. Perubahan pola hidup dan kesehatan jadi prioritas.
Urusan menulis memang tak sesederhana petuah klise dari penulis-penulis lawas: menulis ya menulis saja! Nasihat ini tak boleh berumur panjang. Menulis memerlukan pelbagai hal tak sepele. Tubuh mesti “kuat” dan pikiran mesti segar. Di dalam tubuh yang sehat ada harapan untuk menghasilkan tulisan lebih banyak sekaligus berkualitas.
Pertimbangan itulah yang membulatkan tekad Murakami untuk menekuni olahraga lari. Meski sekadar berlari, Murakami tak pernah memandang sepele. Terbukti, di memoar terbarunya What I Talk About When I Talk About Running (2016) frasa “berlari” menjadi tak sesederhana definisi dalam kamus ataupun buku ensiklopedia kesehatan.
Pada mulanya, alasan berlari memang sebatas demi kesehatan. ”Menulis novel adalah pekerjaan tidak sehat. Dan untuk menghadapi sesuatu yang tidak sehat, orang harus sesehat mungkin, akunya (hal.110). Ritus berlari pun jadi agenda keseharian, berbarengan dengan hari-hari menulis dan berkata-kata.
Hari demi hari berlalu, berlari tak lagi sebatas olahraga. Berlari tak hanya ambisi dan pertarungan diri. Berlari bermakna filosofis. Murakami tergoda mengasah ketahanan tubuh sekaligus jiwanya lewat kompetisi lari. Dari lari maraton, ultramaraton, hingga triatlon. Ratusan kilometer ia tempuh. Jarak-jarak itu tak membuatnya kapok. Berlari justru memberinya keleluasan memikirkan pelbagai hal.
Lantas apa yang Murakami pikirkan saat berlari?
Tak usah menebak terlalu jauh: Murakami, tentu saja, berpikir tentang lari dan novel. Murakami itu novelis yang pelari. Kaki boleh berlari sejauh apa pun tapi di dalam pikiran hal-hal perihal novel tetaplah jadi perhatiannya.
”Sebagian besar pengetahuanku tentang menulis kupelajari melalui berlari setiap hari” tulis Murakami (hal.92). Kita mungkin heran: orang belajar menulis biasanya dengan mengikuti workshop, diskusi, kursus, seminar, atau kuliah di jurusan sastra. Murakami justru belajar menulis lewat berlari.
Murakami berolahrasa saat berlari. Ia mengevalusi diri. Tak henti-hentinya ia meyakinkan diri bahwa berlari adalah cara yang tepat untuk menjaga tubuh sekaligus kesehatan pikirannya. Kesehatan itu penyokong utama profesinya sebagai novelis.
Baginya, pilar utama seorang novelis, selain bakat dan fokus, adalah daya tahan. Murakami menegaskan:Seorang penulis fiksi, atau setidaknya berharap bisa menulis sebuah novel, membutuhkan tenaga untuk berkonsentrasi setap hari selama setengah tahun, satu tahun, atau dua tahun’(hal.88).
Nasihat mencerminkan watak khas orang Jepang: disiplin dan menjunjung tinggi rasionalitas. Kita pun membayangkan Murakami sedang berfirman di atas mimbar sembari menunjuk dan bersuara lantang: Barangsiapa di antara kamu tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat, urungkan saja niatmu jadi novelis!
Murakami memang penulis yang kecanduan berlari. Berlari jadi sama berartinya dengan menulis novel. “Aku berlari maka aku ada.” Saking berambisinya, di halaman 191, Murakami pun berwasiat: “Suatu hari nanti, jika aku punya batu nisan dan bisa memilih kata-kata untuk diukir di atasnya, aku ingin di situ tertulis:

Haruki Murakami 1949-20**
Penulis (dan Pelari)
Setidaknya Dia Tak Pernah Berjalan Hingga Akhir

Optimis sekali, bukan?
Memoar ini tentu saja penting bukan hanya bagi peminat olahraga lari tetapi juga penulis yang malas berolahraga. Bagi pelari, kisahan pengalaman mengikuti pelbagai kompetisi lari tingkat internasional tentu saja merangsang pembaca ikut merasai sensasi berlari ratusan kilometer. Sensasi berlari di atas rute Maraton hingga athena, misalnya.

Pembahasan Murakami perihal etos, laku, dan pola pikir yang mesti dimiliki seseorang untuk menjadi novelis tangguh, menjadikan memoar ini pun jadi semacam buku motivasi namun tak klise. []

Dimuat Koran Tempo, 5 Juni 2016