Rabu, 13 Agustus 2014

Bersetia Itu Berisiko

Novel tak mesti berisi imajinasi tinggi-tinggi. Sebuah cerita memikat bisa berasal dari peristiwa sehari-hari, kebiasaan, tingkah laku, hobi, tradisi, hingga cita-cita manusia. Novel Bersetia (2014) garapan Benny Arnas adalah fragmen keseharian dan kebiasaan. Pengarang menangkap peristiwa “biasa”, kemudian mengikatnya ke dalam racikan bahasa puitis dan menyambungnya ke dalam jalinan kisah penuh emosi.
Pelbagai peristiwa keseharian: percintaan sepasang lelaki dan perempuan, minum teh, minum kopi, cemburu, memfoto, menikah, marah, hingga minggat, adalah kelaziman. Pengarang memoles kelaziman menjadi peritiwa penuh makna.
Adegan meramu teh jadi pembuka kisah. Minum teh tak sebatas ajang memburu kesegaran. Minum teh bagai ungkapan keberterimaan menghadapi hidup. Tokoh Ratna Kusuma alias Embun adalah perempuan teh, penggila dan peracik teh. Perempuan polos tak berpendidikan tapi punya hasrat yang tinggi tentang teh dan dunianya. Perempuan yang lahir dari situasi keluarga berantakan. Kekerasan yang ia terima dari sang ayah menyisakan sakit dan trauma, meski dari ayahnya ia mengenang pujian-pujian terhadap cita rasa tehnya yang lezat.
Kepiawaian meracik teh jadi keterampilan tak biasa bagi Embun. Pertemuan dengan Cece Po, janda dari seorang penggila teh, menakdirkannya bersua dengan buku-buku resep teh, warisan suami Cece Po. Meski tak mengenyam pendidikan secara tuntas, teh merangsang Embun untuk menyentuh, membaca, dan mengkhatamkan buku-buku tersebut. Buku menyempurnakan keahlian Embun meracik teh. Embun mengaku, ”bergaul dengan apa pun yang berbau teh, akan membuat hari-hariku berwarna”. Teh tak hanya menyegarkan tapi juga membahagiakan.
Pertemuan Embun dengan lelaki indo, Brins van Hoyen, seorang fotografer moncer, adalah bonus dari kecanggihannya meracik teh. Brins lelaki tampan, potret lelaki modern abad mutakhir. Brins kerap dikerubungi perempuan cantik, namun tak berhasrat menjadi lelaki nakal. Ia mengingat penuh seluruh nasihat sang ibu. Meski sejatinya Brins adalah seorang penikmat kopi, teh jualah yang mempersatukan. Brins terpukau pada kenikmatan racikan teh Embun. Teh adalah pemersatu, pemantik kemesraan. Mereka bersepakat menikah, penikahan “teh” dan “kopi”.
Rasa cinta pada Brins sedalam hasratnya pada teh. Hidup Embun bertopang pada teh dan suaminya. Meski ketidaksanggupan Embun mengendalikan cinta yang dahsyat, jadi penyebab segala kekisruhan rumah tangganya. Gelombang cinta beriringan bersama cemburu yang berkobar. Embun tenggelam di antaranya.
Kedekatan Brins dengan model-model cantik dan seksi, memantik api cemburu. Embun sempat menghendaki Brins menanggalkan pekerjaannya sebagai fotografer agar cemburunya tak semakin menjadi. Namun Brins bersikeras pada fotografi yang ia cintai. Cemburu menggulung cinta Embun. Hingga pada sebuah emosi, cinta tenggelam tak terselamatkan. Embun minggat, meninggalkan Brins dan membawa cemburunya yang buta. Berhari-hari Embun tak memberi kabar, berhari-hari pulalah Brins tak patah arang mencari Embun. Pada fragmen inilah, pengarang dengan lihai mengusik emosi pembaca. Kecemburuan yang buta berkelindan bersama ingatan, kenangan, dan referensi teh. Novel ini memberi debar tak terkira hingga menjelang bab terakhir. Akankah Brins menemukan Embun? Sanggupkah teh mengembalikan ‘rasa’ cinta mereka yang sempat tercemar?
Simbol
Adegan menyeduh teh tak dimaknai sebagai peristiwa biasa. Pengarang memaknai teh bagai simbol, mewakili watak dan karakter tokoh. Embun adalah teh, jiwanya sepenuhnya menyatu. “Hanya seorang yang dikarunai jiwa teh yang dapat mengerti tentang teh sedemikian hebatnya”. Perkara meracik teh seolah menjadi ritus penuh keseriusan, keyakinan, dan kepercayaan. Teh mesti diracik oleh peracik yang “menjiwa” bersama teh.
Embun seperti teh yang tak pernah bebas memilih warna. Jiwanya yang pencemburu, terlalu mudah goyah. Brins “adalah kopi yang pekat” dan Embun adalah “teh yang bingung dengan warnanya”. Simbolisme ini membawa cerita pada pertentangan watak yang keras. Pembaca bakal luruh pada kekuatan karakter kedua tokoh tersebut.
Deskripsi penuh simbol inilah kelebihan teks-teks Benny Arnas, yang sebelumnya dikenal sebagai cerpenis produktif. Cerpen-cerpen bertema keluarga, rumah tangga, dan lokalitas. Benny menempatkan simbol-simbol sebagai jalan menjalin cerita, memperkuat karakter, serta memberi referensi tak biasa.

Tautan cerita dan karakter tokoh dengan anutan simbol teh, juga kopi, adalah bagian yang menonjol dalam novel ini. Meski pada akhirnya novel ini tetap saja meyampaikan satu pertanyaan besar bagi pembaca. Apakah kesetiaan itu? Brins dan Embun, kopi dan teh, adalah deskripsi impresif perihal manusia yang tak sadar sedang berenang mencari pulau kesetiaan. Setia bukanlah sifat yang tiba-tiba ada, dan “mengada”. Keputusan bersetia adalah pilihan berisiko. Manusia mesti meninggalkan keakuannya, meleburkan diri bersama yang ia cintai agar kesetiaan bisa terwujud. Bersetia adalah absurditas yang selalu penuh kemungkinan. []


Pernah dimuat di Rakyat Jateng (Sabtu, 9 Agustus 2014).

Sabtu, 09 Agustus 2014

Menonton dan Membaca

Film dan novel tentu saja berdiri di dua kaki yang berbeda. Mereka tidak dalam satu tubuh. Film yang dibuat berdasarkan sebuah novel, haruslah berdiri dengan status yang merdeka—novel yang membuat film ada, harus secara sadar, benar-benar dimatikan.

Sebuah film tak mengelus-elus imajinasi agar perlahan bangkit dan membentuk sebuah ‘dunia’ di dalam pikiran. Film dihadirkan, dan mata kita menontonnya, kemudian memberi serentetan ‘fakta’. ‘Fakta’ dari sebuah film, bukan fakta dari sebuah kenyataan. Penonton menangkap ‘fakta’ itu, kemudian merangsang tafsir, sikap, dan reaksi. 

Tetapi, sebuah tafsir memang tak tiba-tiba. Kadang penonton justru lebih terpantik untuk bersikap: mengomentari, entah dari segi sinematografi atau sebatas ide dan cerita. Film memungkinkan untuk dinikmati secara massal, dan diapresiasi secara beramai-ramai pula. Tafsir justru baru akan terlintas saat penonton bergegas menjauh dari layar, dan menempati ranjangnya untuk bergegas tidur. Tafsir kerap mengutik dalam kesendirian dan sepi.

Tak mengherankan jika para pembaca novel, dan kemudian berkeputusan ‘mengawinkan’ imajinasi atas pembacaannya terhadap sebuah novel lewat menonton film, terjebak dalam sebuah niatan perbandingan. Membandingkan antara kerja membaca dan menonton. Kita kerap lupa, perbandingan hanya adil diajukan untuk sebuah subjek dalam posisi, kerja, dan asal-usul yang sama. Kita bakal dituduh konyol bila membandingkan sesuatu dengan sebuah kesempurnaan atau idealitas—mengutip istilah Anis Baswedan. Membandingkan haruslah dalam prediket yang sama: film dengan film, dan novel dengan novel.

Tapi kita mesti ingat, tetap saja keduanya adalah sebuah karya seni. Dan, sebuah film, atau novel yang baik, tetap akan menempati ‘ruang’ tersendiri bagi penikmatnya. Saya merasa terjebak birahi saat membacaLolita karangan Vladimir Nabokov. Resepsi saya atas novel tersebut cenderung pada imajinasi mesum dan kontradiksi atas ‘cinta’ Humbert pada Dolores Haze alias Lolita. Saya sepenuhnya berasumsi, sekaligus berharap, bahwa eksplorasi dalam film, mendekati apa yang menjadi imajinasi saya.

Dan ternyata harapan saya berlebihan. Film Lolita (1961) karya Stanley Kubrick justru menyeret saya untuk terus mengamit-amiti deskripsi psikopatis-pedofilis sang Humbert. Saya kebetulan mengkhatamkan novel terlebih dahulu sebelum menonton film tersebut.


Akan lebih memberi kesempatan bagi penikmat teks untuk mengembangkan daya imajinasi, dengan cara menghatamkan sebuah novel untuk dijadikan referensi dan acuan ketimbang menonton. Kerja membaca dan berimajinasi tentu saja berada pada sebuah kondisi yang sendiri dan personal. Untuk itu, antara membaca dan menonton tidak seadilnya dijadikan sebagai acuan perbandingan. [] 


Jumat, 08 Agustus 2014

DAN PUISI MENGEKALKAN INGATAN...




 Sebuah puisi memungkinkan untuk dibaca sebagai representasi imajinasi, daya intelektual, pemikiran, dan ingatan sang penyair.  Puisi bisa jadi hasil dari pergulatan batin dan permenungan, atau hanya sebatas medium bagi penyampaian gagasan semata.
                Adalah sebuah kepuasan bagi penyair untuk sanggup  memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan, semacam rapor bakat dan kemampuannya, ke dalam bentuk  puisi (Kleden, 2004). Niat “memberikan isi dan makna” terbaca dari upaya penyair memasukkan pelbagai referensi dan ingatan ke dalam bait-bait puisi ciptaannya.
                Demikian pula dengan sejumlah puisi karangan Arif Fitra Kurniawan yang terhimpun dalam Eskapis (2014). Semacam kerja menelusuri pelbagai eksplorasi interteks, mengacu daya intelektual dan kesanggupan menghadirkan imaji dan referensi. Kerja ingatan, mengingat, diajukan sebagai tema besar dalam puisi-puisinya.
                Puisi adalah  hamparan ingatan. Penyair mengajak pembaca larut ke dalam tema-tema sejarah, waktu, masa kecil, dongeng, peribahasa, dan tokoh-tokoh besar. Eksplorasi referensi yang mendalam, menggoda kita untuk menduga kerja penyair  tak sebatas berimajinasi, mengisap rokok, atau menghabiskan bercangkir-cangkir kopi. Penyair menekuri kerja mengolah referensi sebelum masuk dalam proses penciptaan. Penyair yang baik adalah juga seorang pelahap buku yang rakus. Puisi diciptakan bukan dari ruang yang mengawang tak berisi.
                Tokoh-tokoh kartun, dongeng, dan beberapa peribahasa mengajak pembaca bernostalgia.  Puisi berjudul “Beberapa Peribahasa Yang Memperpanjang Umur Ingatan Kita” memberi gairah untuk membuka kembali memori saat menjadi remaja pembelajar , masa di mana sekolah mengajarkan peribahasa  dan petuah.
                Sejumlah  peribahasa jadi lahan olahan puitik tanpa terkesan klise dan didaktis. Puisi “Kecil-Kecil Anak, Sudah Besar Menjadi Onak”,“Pecah Menanti Sebab, Retak Menanti Belah”, atau “Sudah Nasib Nasi Menjadi Bubur”, misalnya.  Peribahasa ditahbiskan sebagai pintu gerbang memasuki medan puisi namun tak memberi harapan bagi pembaca menemukan makna konvensionalnya.
                Simaklah potongan puisi “Air Di Daun Talas” berikut: yang bernama ular adalah engkau// yang berwujud air adalah aku//sepasang panjang inisaling memistarkan. Jika konvensi makna peribahasa yang dipakai sebagai judul adalah “orang yang tak punya pendirian”, puisi ini justru sama sekali jauh dari pemaknaan konvensionalitasnya. Personifikasi “ular” dan “air” yang “saling memistarkan”, menyiratkan imaji tentang “sesuatu yang bersejalan”, terlepas dari tautan makna “tak berpendirian”.

Efek Percakapan

Penyair tak menakik makna peribahasa, atau serta merta memformulasikan peribahasa ke dalam puisi.  Penyair justru  mengimajinasikan keberadaan subyek peribahasa,dan menampilkan permenungannya ke dalam puisi.  Pilihan ini tentu memberi efek percakapan antara pembaca dengan teks tidak berlangsung sederhana. Ada tawaran-tawaran tafsir dari penyair kepada pembaca atas peribahasa yang dicomotnya.
                Penyair juga menghadirkan sejumlah tokoh kartun dan tokoh bersejarah. Puisi berangkat dari penafsiran atas ucapan, sifat, kisah, biografi tokoh. Puisi “Nobita”ditulis dengan gelora sinisme, menampilkan kritik atas lelaku tokoh dalam dunia kartun. Simaklah petikan puisi berikut: “aku bodoh, maka dari itu aku ada”.Ungkapan klasik khas  Descartes justru diintertekstualisasikan  ke dalam adagium sarat kritik. Eksplorasi terhadap tokoh-tokoh kartun tidak selinear saat eksplorasi terhadap peribahasa.
                Penggarapan puisi dengan memberi rangsang atas ingatan-ingatan memang  memberi kemudahan bagi pembaca untuk memulai sebuah percakapan dengan teks.  Pembacaan lebih mudah terpantik emosionalitasnya  ketika pembacaan sanggup menarik keluar pelbagai kenangan dari benak pembaca. Tekstasi pembaca memungkinkan untuk lebih mudah tercapai.
                Gerak zaman begitu cepat. Manusia disuguhi informasi dan teknologi namun terjebak dalam pikatnya. Modernitas justru melemahkan ingatan manusia. Publik gampang lupa dan abai pada historisitas diri. Eskapis jadi semacam ikhtiar menggali kembali historisitas ingatan  pembaca agar tersegarkan.
                Beberapa hal mungkin pernah dijumpai pembaca semasa kanak-kanak.  Ingatan saat guru mengajarkan peribahasa;tokoh-tokoh kartun yang pernah digemari; dongeng yang masih terngiang; semua terendap dalam ingatan. Puisilah yang kemudian beritikad menggali ingatan yang berdiam di ruang sunyi itu. Kadang, melawan lupa tidak melulu harus diisi orasi, selebaran, dan demonstrasi. Ingatan justru terkukuhkan lewat polesan puisi.
                Penggunaan sekitar tiga puluh kata “ingatan/mengingat” dalam puisi-puisi Arif memberi penegas betapa penyair memberi perhatian lebih perihal kerja ingatan/mengingat. Petikan puisi “Yang Kau Panggil Namanya Sambil Berlari” menggenapi keyakinan penyair atas rapuhnya ingatan menghadapi waktu dan gerak zaman. “betapa mustahilnya mengembalikan waktu/dan menjagasegala ingatan yang pernah erat memeluk/ tubuhnya—tubuhmu
Menekuri puisi Arif Fitra Kurniawan, dengan kesadaran untuk mencoba menarik satu pengikat dari sekian puisi-puisinya, tidak bisa tidak,saya teringat petilan sajak “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” karya Goenawan Mohamad (2004). “ sesuatu yang kelak retak/dan kita membikinnya abadi”.
                Dalam resepsi saya, lewat sekumpulan puisinya, Arif seolah berbisik lirih kepada kita tentang sebuah aforisma: sesuatu yang kelak lupa, dan puisi membikinnya ingat. Jagat puisi adalah jagat ingatan. Bagi penyair, mengingat, barangkali, adalah semacam kata lain dari puisi.

(Suara Merdeka, Minggu 3 Agustus 2014)