Jumat, 18 November 2016

Siasat Nama Kuliner

Tampaknya tidak hanya artis sinetron yang gemar menggunakan nama aneh, unik, dan tak jarang nyleneh, demi meraih simpati publik. Kuliner juga. Di belantika perkulineran mutakhir, para pengusaha beradu siasat menamai produk kuliner mereka dengan penekanan pada kekhasan rasa, penampilan, bahkan sensasi agar nama enak dibaca.
Nama-nama produk itu tak jarang keminggris, mengikuti merek berlabel internasional. Tentu saja untuk menggoda calon pembeli. Namun, kita justru dibuat kecut saat disuguhi nama produk itu ditulis dengan ejaan keliru, bahkan ngawur, terpajang di kedai, warung atau gerobak kaki lima.
Kekeliruan itu pun tak perlu kita ributkan sampai ke rubrik bahasa di majalah atau koran ibukota. Hanya saja, patut disayangkan pemilihan dan penulisan nama tak dilakukan secara kreatif dan teliti.
Bisnis kuliner memang urusan rasa tapi perkara penjualan ditentukan oleh taktik pemasaran. Tak sedikit pengusaha besar rela beriklan jutaan rupiah di majalah, televisi, spanduk di pinggir jalan, agar nama dagangannya menancap di ingatan publik.
Sebagian lain memilih berolah kreasi memakai nama-nama yang berkesan lucu, juga mistis. Dalam waktu lima tarikan nafas, misalnya, kita lancar mengingat: rawon setan, sambal setan, sambal bledek, ayam jingkrak, oseng-oseng mercon, dsb.
Pemilihan nama itu tentu bukan karena wangsit atau mimpi. Keputusan memilih nama kadang bermula dari peristiwa unik atau berkesan. Konon, seorang pengusaha kuliner asal Cirebon bernama Mutiah mulai menggunakan nama sambal setan untuk sambal buatannya sejak kedatangan turis asal Amerika Serikat yang makan di warungnya.
“Karena kepedasan, wajahnya mengeluarkan banyak keringat, ingus dan ludah. Dia kemudian berteriak,’Pedes sekali. Saya jadi kayak setan”. Sejak saat itu, warung Bu Mutiah, yang berada di Jakarta itu, akrab disebut warung sambel setan (Kompas, 11 November 2016).
Ternyata oh ternyata, sambal ekstra pedas bisa berfaedah dan membawa hoki. Kini, jualan Bu Mutiah jadi kian tenar. Kita tak usah repot-repot mengadakan riset serius untuk membuktikan apakah Mutiah adalah pemakai pertama istilah sambal setan di Indonesia.
Yang jelas, sambal bercap “setan” itu disukai orang-orang. Publik pun mafhum: siapa berani icip-icip sambal setan mesti siap lidahnya “terbakar” karena kepedasan. Kini, orang-orang terbiasa disodori istilah sambal setan.
Bersejarah
Sejak ratusan tahun silam, bangsa ini memiliki catatan sejarah perihal rasa pedas. Konon, awal kehadiran makanan pedas di Nusantara bermula dari perebutan pengaruh perdagangan rempah di kawasan Indonesia Timur, yaitu di Maluku dan Sulawesi Utara.
Semula, rasa pedas itu berasal dari rempah-rempah. Hingga kemudian pada akhir abad XV, Spanyol masuk ke Nusantara sembari mengangkut tanaman cabai. Spanyol berniat menggantikan lada hitam yang kala itu jadi alat tukar perdagangan dan dikuasai oleh penguasa Maluku Utara.
Ketika pada tahun 1644 VOC Belanda dan Ternate bersekutu dan berhasil mengusir Spanyol dari Maluku dan Sulawesi Utara, tinggallah tanaman cabai di sana. Akulturasi pun terjadi. Orang-orang  Minahasa mulai tergoda mencampur cabai dan rempah-rempah. Hasilnya, makanan di daerah itu bercitarasa pedas sekaligus panas (Tempo, 1-7 Desember 2014). Kita sulit mencari informasi apakah kala itu sudah ada orang-orang yang memakai istilah sambal setan.
Penamaan makanan secara “tak lazim” justru tercatat sudah ada di era kepemimpinan Presiden Soekarno. Buku Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Soekarno yang terbit kali pertama tahun 1967, dan dicetak ulang oleh penerbit Komunitas Bambu (2016), mencatat puluhan resep makanan bernama unik dan aneh.
Kita bakal tersenyum tipis saat membaca sekian nama resep masakan di dalam buku: Sambal penganten, sambal bantji, sambal banteng, gelombang samudra, granat muntjrat, asmorodono, dan sajur manipol usdek…. Wah, ada “sambal banteng” dan “sajur manipol usdek”!  
Kita menduga penamaan “sambal banteng” terinspirasi oleh kegemaran Soekarno dalam menggunakan kepala banteng sebagai lambang dan simbol. Sedangkan istilah Manipol Usdek tak lain adalah gagasan politik milik Soekarno saat menerapkan politik terpimpin, tepatnya sejak tahun 1959.
Lantas, apa isi resep “sajur manipol usdek” itu? Nama masakan terkesan serius padahal berisi bahan-bahan biasa: “daging/tetelan 1/4 kg, kedelai ½ gls, katjang pandjang 2 ikt, daun melindjo dengan buahnya 1 gls, kelapa ½ btr, daun katuk 1 ggm, djagung muda 3 bh, terong 1 bh, daun katjang pandjang 1ggm”.
Penamaan makanan tergoda acuan ideologis. Sejarawan JJ Rizal menyebut urusan pangan adalah bagian dari politik selfreliance Soekarno. Lidah orang Indonesia mesti disuguhi resep milik sendiri agar berkepribadian dan berwatak nasionalistis, bermula dari lidah dan pangan.
Merebaknya nama-nama unik yang kini banyak dipakai oleh pengusaha kuliner barangkali sambungan dari masa lalu. Penamaan itu tak terkait politik atau ideologi, semata-mata bermisi ekonomistik—menjaring pembeli sebanyak-banyaknya.
Terkadang, nama makanan bercorak mistis atau nyleneh sanggup mengganggu selera atau imajinasi kita. Tetapi, apa daya perut lapar. Asal lezat dan halal, apa pun namanya tak jadi soal.[]


Tribun Jateng, 19 November 2016

Rabu, 16 November 2016

Cangkul Bercerita Indonesia

Beberapa pekan silam, cangkul atau pacul mendapat banyak sorotan dari publik. Konon, pemerintah telah mengimpor 86.000 mata cangkul impor dari Cina. Ribuan cangkul itu mendarat di Pelabuhan Belawan, Medan.
Cangkul pun termuat di sampul koran-koran. Para penjual cangkul mendadak mendapat rentetan pertanyaan seputar respons petani menanggapi keberadaan cangkul impor tersebut.
Kita bersyukur para petani tak tergoda pada cangkul impor berharga murah itu. Kita patut bangga dan bersyukur lantaran kualitas produk cangkul lokal jauh lebih baik daripada produk impor.
Para petani di Temanggung mengaku tak terlalu tergiur memakai cangkul impor. Mereka berpendapat, cangkul Cina ”dari kualitas besi dan ketajamannya tidak sebaik cangkul buatan lokal”(Wawasan, 2 November 2016).
Petani lebih berterima memakai cangkul mesti teknologi traktor telah tersedia. Traktor dimiliki para juragan dan tuan tanah. Tetapi traktor tak sepenuhnya sanggup menggantikan fungsi cangkul. Kita menduga tak semua petani berkenan membeli traktor berharga jutaan rupiah. Mereka tetap memilih membeli dan memakai cangkul.
Sejak dulu, kita telah memiliki kedekatan dengan cangkul. Cangkul-cangkul itu diperlukan petani guna menyokong ketahanan pangan.
Di era Presiden Soekarno, petani jadi soko guru revolusi. Mencangkul itu revolusioner! Mencangkul ibarat kerja bermisi nasional. Soekarno pun memerlukan foto menenteng cangkul. Foto itu tersebar di buku-buku dan majalah, penyambung gagasan Manipol Usdek. Soekarno ingin mempertontonkan ke publik bahwa ia berpihak ke pencangkul (petani).

Pembentukan misi dan ambisi mencangkul di era Soekarno tertera di buku tebal berjudul Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat (Jilid 1). Buku terbit tahun 1961, disusun oleh Maj. Moch. Said, Kepala Seksi B.K.I Peperrda/Pedarmilda Djawa-Timur. Buku memuat bahan indoktrinasi dan pidato Presiden Soekarno sejak masih berstatus aktivis kemerdekaan hingga bergelar “Paduka Jang Mulia”.
Di halaman sampul, kita langsung disuguhi gambar ilustrasi siluet orang mencangkul. Mencangkul berarti menggerakkan revolusi. Bab demi bab menjelaskan bagaimana cangkul mesti diayunkan. Di halaman 856, kita simak pidato Soekarno bertarikh 1 Djanuari 1961:”Maka pada hari ini kita, Insjaallah Swt, mengtjangkul jang pertama untuk pembangunan semesta berentjana”.
Di tahun 1960-an, Indonesia memang tengah dilanda krisis pangan. Padahal, revolusi terus menguras kas negara. Presiden mesti menyokong semangat rakyatnya agar lebih giat bekerja. Mencangkul jadi ajakan ideologis-ekonomistik. Soekarno sadar rakyatnya kebanyakan berasal dari kaum buruh dan tani. Indonesia mesti terus dicangkul dan ditanami bibit padi, ketela, jagung. Terus mencangkul menjanjikan panen-panen kian melimpah.
Tahun terus berganti, tampuk kekuasaan beralih ke pundak Presiden Soeharto tapi cangkul tetap jadi alat penting bagi propaganda pembangunan. Soeharto memang gandrung mencitrakan diri sebagai sosok anak petani desa sekaligus penggerak pembangunan meski berbeda haluan dengan Soekarno. Di mata Soeharto, cangkul tak bermuatan ideologis. Cangkul justru menentukan pertumbuhan ekonomi dan citraan gerakan pembangunanisme.
Buku Pak Harto Petani dari Desa Kemusu (1987) garapan Moh. Alwi, tegas-tegas memuat foto Soeharto di halaman sampul. Soeharto berpose berdiri di antara becek lumpur sawah, bercaping, sembari kedua tangan menenteng cangkul. Penyusun buku mungkin menginginkan pembaca langsung terpukau pada Soeharto sebelum diajak memasuki cerita demi cerita.
Soeharto ingin publik yakin atas keberpihakannya pada petani. Di halaman awal, buku sengaja dipersembahkan “untuk generasi muda dan petani Indonesia sepanjang masa”.
Konon, pengisahan hidup bocah bernama Soeharto dipenuhi kesulitan meski tak membuat si bocah putus asa. Moh. Alwi menulis:“Ketika kemudian kesulitan baru muncul, Soeharto memutuskan untuk kembali ke Dusun Kemusu, bekerja di sawah sambil menuntut pelajarannya di sekolah.” Pengisahan ini merangsang imajinasi pembaca atas kedekatan Soeharto dengan sawah, petani, dan cangkul.
Di hari-hari menjadi presiden, kita ingat Soeharto kerap menampilkan adegan berfoto bersama petani saat panen padi. Foto-foto itu mengukuhkan misi Soeharto agar Indonesia terkesan berlimpah beras, bermula dari keberpihakannya pada kaum pencangkul.
Cangkul punya riwayat panjang berkaitan dengan pergerakan Indonesia melewati zaman demi zaman. Cangkul itu simbol usaha dan doa. Cangkul tak bersanding dengan palu atau celurit. Soekarno dan Soeharto tepat telah berpihak kepada kaum pencangkul.
Kini, Indonesia tengah diserbu cangkul-cangkul impor. Pemerintah mesti lekas menengok nasib para pandai besi yang menggantungkan hidup pada penjualan cangkul-cangkul lokal. Mereka jelas paling merasa terkena imbas impor cangkul. Keberadaan pandai besi kian hari semakin punah.
Di kabupaten Agam, Sumatera Barat, kota yang dikenal sebagai pusat pengrajin cangkul, misalnya. Pandai besi menyisakan cerita pilu. Pandai besi di sana semakin tua, rata-rata berumur di atas 50 tahun (Jawa Pos, 8 November 2016). Apakah kita menginginkan pandai besi menjadi cerita tak terwariskan?
Pemerintah tak usah menunggu ada demonstrasi dari para petani dan pandai besi. Jelas, prosedur peredaran cangkul di negeri ini mesti segera dibenahi![]

Wawasan, 17 November 2016


Minggu, 13 November 2016

Puisi sebagai Jalan Tafsir

Para penyair kerap menempuh pelbagai cara kreatif agar puisi ciptaannya tak sekadar mengulang apa yang pernah ditulis oleh para pendahulu. Dari membaca sebanyak mungkin referensi hingga melakukan “pembongkaran” atas konvensi berpuisi yang pernah ada. Sekian penyair mengutak-atik tema. Bahkan ada yang sampai memilih untuk mengembalikan hakikat puisi kepada mantra. Harapannya, tentu untuk menghasilkan puisi yang menawarkan kesegaran puitik maupun estetik.
Triyanto Triwikromo bisa dikategorikan sebagai penyair yang getol melakukan eksplorasi dan mencari “kesegaran”. Meski satu dekade terakhir ini ia lebih banyak menerbitkan buku kumpulan cerpen, Triyanto tetaplah seorang penyair. Sejak akhir tahun 1980-an, Triyanto sudah berpredikat penyair tapi baru pada tahun 2010 kita bisa menikmati kumpulan puisi perdananya yang berjudul Pertempuran Rahasia. Di buku puisi itu, Triyanto tampil memukau dengan sajian puisi bertema wayang, bertolak dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Selang beberapa tahun kemudian, Triyanto menerbitkan buku puisi kedua berjudul Kematian Kecil Kartosoewirjo: Sehimpun Puisi (2015). Buku ini menarasikan “suara-suara lain” dari sosok kontroversial Sekarmadi Maridjan Kartosoewirjo.
Kini, sang penyair kembali menyapa pembaca lewat penerbitan kumpulan puisi Selir Musim Panas (2016). Judul buku begitu menggoda. Kita mungkin bakal tergerak untuk mulai melacak maksud penggunaan kata “selir”, menaut pada riwayat kesejarahan kisah raja-raja di Nusantara, sebelum menelusuri puisi demi puisi. Sayang sekali, dugaan ini meleset ketika kita sadar bahwa frasa “musim panas” sulit mendapati sambungan imajinasi jika mengacu keberadaan musim di negara ini. Perlahan, pembaca mulai tercerahkan saat mendapati Triyanto telah menyisipkan pelbagai “petunjuk” di beberapa puisinya, sebagai suluh agar pembaca tak tersesat. Triyanto menghadirkan puisi-puisi yang bertolak dari referensi berkonteks Tiongkok di masa lalu. Puisi-puisi berkelindan dan mewujud bersama deretan peristiwa dan tokoh-tokoh bersejarah.
Di bagian awal, kita disuguhi puisi Tiananmen Miao Deshun. Puisi berkisah tentang peristiwa tragis di lapangan Tiananmen tahun 1989, yang menelan korban rakyat dan mahasiswa. Membaca puisi ini, kita diajak menziarahi salah satu peristiwa berdarah yang paling dikenang dunia tentang sejarah Tiongkok. Begini kutipan puisinya: 3.000? Bukan. 5.000? Lebih. Mereka—juga yang tak/ tampak—telah dilindas tank.//Bendera Deng Xiaoping begitu congkak. Darah/ terus mengucur, merembes ke tanah, dan membercak/ ke jalan-jalan. Triyanto berpuisi tapi mirip pencerita sejarah. Pembaca diajak mengingat sejarah Tiongkok, mengarah pada peristiwa-peristiwa berdarah.
Di puisi-puisi lainnya, Triyanto mencoba “menuliskan kembali” novel yang pernah ia baca. Judul novel itu tertera sebagai penuntun bagi pembaca: Bandit Manis: Kisah Lain Sorgum Merah Mo Yan, dan Teka Teki Desa Mati: Setelah 12 Tahun membaca Gunung Jiwa Gao Hing Jian. Bahkan dua novel karangan penulis Cina modern Anchee Min, yaitu Empress Orchid (2011) dan The Last Empress (2011), melatari sebagian besar puisi-puisi di buku ini. Dua novel ini bercerita seputar sejarah Tiongkok era Dinasti Ch’ing di bawah pimpinan Ratu Anggrek.  
Puisi Reinkarnasi Cheng Ho, misalnya, bertolak dari cuplikan novel The Last Empress halaman 96-97, yang menceritakan kematian janggal budak kepercayaan Ratu Anggrek. Simak petikannya: Pada september 1872/ kepalamu memang dipenggal, An-te-hai. Permaisuri/ Nuharoo, Kaisar, Pangeran Kung, dan Gubernur Ting/ bersekongkol membunuhmu//”Kasim brengsek telah mati,” teriak seseorang./“Burung selingkuhan Ibu Permaisuri tak bisa lagi/ berkicau,” kata orang istana. (hal.49).
Puisi tak kehilangan jejak-jejak literer dalam novel, tapi bercitarasa khas ala Triyanto. Tak bisa disebut teks yang sma sekali baru namun juga tak bisa dipandang sebagai semacam tafsir biasa. Tersebab lewat kepiawaiannya, Triyanto seperti menulis ulang teks-teks referensi itu menjadi puisi. Bahkan dalam puisi berjudul Bandit Manis: Kisah Lain Sorgum Merah Mo Yan, pembaca masih merasakan alur dalam novel tetapi efek dari puisi ini sama sekali berbeda seperti saat kita membaca novelnya. Triyanto memuisikan novel (dalam versi terjemahan bahasa Indonesia) setebal 543 halaman ke dalam 35 fragmen puisi.
Apa yang dilakoni Triyanto dalam buku ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan dua buku puisi sebelumnya. Hanya saja, dalam buku ini, upaya meramu referensi menjadi teks puisi, patut diakui, benar-benar kompleks. Puisi menjadi semacam jalan tafsir atas hasil pembacaan. Ada pelbagai macam konteks waktu, peristiwa, konflik, dan karakter tokoh, dari sekian novel, yang mesti benar-benar ia pahami. Meski menggubah ulang ke dalam bentuk puisi, Triyanto masih menjaga agar konteks cerita tetap terjaga.

Hasilnya, sebuah buku yang sanggup mengajak kita mengingat sekaligus bertualang menyinggahi khasanah literatur Tiongkok, yang barangkali, sudah mapan—untuk tak menyebut “mati”—sebagai novel. Dan Triyanto mulus “menghidupkannya” kembali sebagai puisi. []

Dimuat Majalah Basis edisi November – Desember 2016

Keterangan: Acara UPGRIS Bersastra, membincang 3 Buku Triyanto Triwikromo, 19 Oktober 2016. Foto: Muhajir Arrosid

Pengorbanan Membaca Buku

Saya berandai-andai ada sebuah aforisma mutakhir yang isinya begini: Kemewahan terakhir seorang manusia adalah punya banyak waktu untuk membaca buku.
Aforisme itu, saya kira, tak berlebihan. Kesibukan manusia mengurusi pekerjaan, keluarga, sekolah, hingga pemenuhan kewajiban sebagai manusia sosial, mengubah hari-hari terasa lebih pendek.
Gawai turut menyita waktu, sedari bangun tidur hingga saat tubuh kembali merebah di atas ranjang. Detik demi detik dihabiskan oleh rutinitas pragmatis. Alhasil, orang-orang mulai sulit menyempatkan waktu berdiam diri untuk membaca buku.
Kesibukan itu berimbas pada kebekuan pikir alias bebal. Dalam skala yang lebih besar, ketidaksanggupan menyediakan waktu baca juga menjadi masalah bagi negara kita. Belum lagi perkara buta aksara.
Penderitaan itu kian lengkap dengan tudingan Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan oleh Central Connecticut State University, yang mencap Indonesia ada di urutan ke-60 di antara total 61 negara atau peringkat kedua dari bawah (Jawa Pos, 13 April 2016).
Anies baswedan, Mendikbud kala itu, merespons tudingan tersebut dengan mengagendakan gerakan literasi melalui pembiasaan membaca di sekolah. Selama 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai, siswa diwajibkan membaca buku apa saja.
Usaha itu perlu kita apresiasi meski terkesan tanggung. Membaca 15 menit itu terlalu sebentar seumpama dibandingkan dengan waktu yang diperlukan guna  menengok “beranda” Facebook.
Negara kita, barangkali, perlu meniru kebijakan yang ditempuh oleh Uni Emirat Arab (UAE) dalam upaya meningkatkan budaya membaca di masyarakat. Belum lama ini, Presiden UAE Sheikh Khalifa bin Sayed Al-Nahyan meresmikan kebijakan wajib membaca bagi rakyatnya.
Dalam praktiknya kelak, negara akan memberikan keringanan kepada kaum pekerja untuk mendapatkan waktu istirahat yang lebih lama agar mereka bisa menyempatkan diri membaca buku. Negara beralasan, kerja keras boleh saja tapi membaca buku jangan ditinggalkan.
Kebijakan UEA itu pun berlanjut ke institusi pendidikan, tempat hiburan, dan urusan pajak. Jajaran pendidik dan akademisi ditugasi menggenjot gairah siswa untuk membaca buku. Kedai-kedai kopi diharuskan menawarkan buku bacaan agar orang-orang tak hanya bergosip tetapi juga mau membaca buku. Di pusat perbelanjaan, juga wajib dibangun perpustakaan. Tak hanya itu.
Demi menyokong penulis, editor, dan perusahaan percetakan, pemerintah menyediakan pelbagai fasilitas menggunakan alokasi dana khusus. Pajak yang berkenaan dengan produksi buku pun dihilangkan (Media Indonesia, 7 November 2016). Dahsyat, bukan?
Kebijakan pemerintah UEA itu mungkin bermula dari kesadaran atas pentingnya menyiapkan waktu khusus untuk membaca di sela kesibukan rutinitas keseharian. Tak bisa dimungkiri, banyak orang gampang mengajukan alasan sibuk, lelah, stres, frustasi, kere, agar tak merasa bersalah telah menutup buku bacaan beratus-ratus hingga ribuan hari lamanya.
Kaum berduit mungkin sanggup membeli puluhan buku tiap akhir pekan tapi kewalahan mengatur waktu membaca. Buku-buku itu tercampakkan dan terkutuk di rak-rak berdebu atau kamar gelap.
Si empunya buku ingin menebus rasa bersalah karena tak lagi sempat membaca dengan menumpuk buku-buku baru. Buku tak lekas dibuka dan dibaca tapi difoto dan dipajang di media sosial.
Kelak, di hadapan rekan-rekan ia bisa sesumbar: meski sibuk bekerja tapi masih sempat membaca dan mengoleksi buku! Alamak…. Kita boleh menduga “penyakit” ini menjangkiti pekerja kantoran, sosialita, akademisi, bahkan seniman, yang keok dilibas urusan birokrasi, jabatan, dan kekuasaan.
Pada akhirnya, sebesar apa pun peran negara dalam menggenjot gairah membaca, penentunya ada pada inisiatif dan kesadaran dari masing-masing individu. Secuil kutipan dari novel Rumah Kertas (2016) karya novelis Argentina Carlos Maria Dominguez berikut ini bisa mengingatkan kita bagaimana seseorang mesti berusaha keras menjaga gairah membaca buku meski tengah dilanda kesibukan:
“berapa jam sehari yang bisa saya peruntukkan buat membaca? Paling banter empat, lima jam. Saya kerja pukul delapan pagi sampai lima sore di sebuah jabatan yang tidak enteng tanggung jawabnya. Tapi sepanjang waktu itu yang saya rindukan cuma bisa kembali ke sini. Di gua inilah—izinkan saya menggunakan istilah itu—saya luangkan beberapa jam yang menyenangkan sampai pukul sepuluh….”
Kutipan ini mungkin sulit mendapat “amin” atau “like” bila ditulis di media sosial. Orang-orang cenderung memilih menghabiskan empat sampai lima jam sehari untuk tidur, main gawai, menonton televisi, bergosip di kedai, atau belanja di minimarket.
Novelis Haruki Murakami (2016) pernah bepanjang cerita seputar pengalamannya mencari waktu senggang demi laku berliterasi:“aku berusaha meluangkan waktu 30 menit, sejam, atau mencari sedikit waktu saat aku bekerja di kelab”. Sebelum moncer sebagai novelis, hari-hari Murakami memang disibukkan untuk mengelola kelab jazz.
Kita memang tak diharuskan meniru laku Haruki Murakami. Di zaman yang serba bergerak cepat, pengorbanan demi membaca buku memang bukan perkara sepele. Membaca jelas bukan aksi heroik agar terkesan intelektual belaka.
Buku, tulis Kafka dalam suratnya kepada Oskar Pollak, temannya semasa sekolah, harus menjadi kapak yang memecah lautan beku dalam diri kita. Maka membaca buku, pada hakikatnya, semata-mata agar kita tak gampang terserang lupa, pikun, atau ngawur. []

Jawa Pos, 13 November 2016


Foto: Haruki Murakami. Sumber: thedailybeast.com/diunduh tanggal 14 November 2016