Rabu, 16 November 2016

Cangkul Bercerita Indonesia

Beberapa pekan silam, cangkul atau pacul mendapat banyak sorotan dari publik. Konon, pemerintah telah mengimpor 86.000 mata cangkul impor dari Cina. Ribuan cangkul itu mendarat di Pelabuhan Belawan, Medan.
Cangkul pun termuat di sampul koran-koran. Para penjual cangkul mendadak mendapat rentetan pertanyaan seputar respons petani menanggapi keberadaan cangkul impor tersebut.
Kita bersyukur para petani tak tergoda pada cangkul impor berharga murah itu. Kita patut bangga dan bersyukur lantaran kualitas produk cangkul lokal jauh lebih baik daripada produk impor.
Para petani di Temanggung mengaku tak terlalu tergiur memakai cangkul impor. Mereka berpendapat, cangkul Cina ”dari kualitas besi dan ketajamannya tidak sebaik cangkul buatan lokal”(Wawasan, 2 November 2016).
Petani lebih berterima memakai cangkul mesti teknologi traktor telah tersedia. Traktor dimiliki para juragan dan tuan tanah. Tetapi traktor tak sepenuhnya sanggup menggantikan fungsi cangkul. Kita menduga tak semua petani berkenan membeli traktor berharga jutaan rupiah. Mereka tetap memilih membeli dan memakai cangkul.
Sejak dulu, kita telah memiliki kedekatan dengan cangkul. Cangkul-cangkul itu diperlukan petani guna menyokong ketahanan pangan.
Di era Presiden Soekarno, petani jadi soko guru revolusi. Mencangkul itu revolusioner! Mencangkul ibarat kerja bermisi nasional. Soekarno pun memerlukan foto menenteng cangkul. Foto itu tersebar di buku-buku dan majalah, penyambung gagasan Manipol Usdek. Soekarno ingin mempertontonkan ke publik bahwa ia berpihak ke pencangkul (petani).

Pembentukan misi dan ambisi mencangkul di era Soekarno tertera di buku tebal berjudul Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat (Jilid 1). Buku terbit tahun 1961, disusun oleh Maj. Moch. Said, Kepala Seksi B.K.I Peperrda/Pedarmilda Djawa-Timur. Buku memuat bahan indoktrinasi dan pidato Presiden Soekarno sejak masih berstatus aktivis kemerdekaan hingga bergelar “Paduka Jang Mulia”.
Di halaman sampul, kita langsung disuguhi gambar ilustrasi siluet orang mencangkul. Mencangkul berarti menggerakkan revolusi. Bab demi bab menjelaskan bagaimana cangkul mesti diayunkan. Di halaman 856, kita simak pidato Soekarno bertarikh 1 Djanuari 1961:”Maka pada hari ini kita, Insjaallah Swt, mengtjangkul jang pertama untuk pembangunan semesta berentjana”.
Di tahun 1960-an, Indonesia memang tengah dilanda krisis pangan. Padahal, revolusi terus menguras kas negara. Presiden mesti menyokong semangat rakyatnya agar lebih giat bekerja. Mencangkul jadi ajakan ideologis-ekonomistik. Soekarno sadar rakyatnya kebanyakan berasal dari kaum buruh dan tani. Indonesia mesti terus dicangkul dan ditanami bibit padi, ketela, jagung. Terus mencangkul menjanjikan panen-panen kian melimpah.
Tahun terus berganti, tampuk kekuasaan beralih ke pundak Presiden Soeharto tapi cangkul tetap jadi alat penting bagi propaganda pembangunan. Soeharto memang gandrung mencitrakan diri sebagai sosok anak petani desa sekaligus penggerak pembangunan meski berbeda haluan dengan Soekarno. Di mata Soeharto, cangkul tak bermuatan ideologis. Cangkul justru menentukan pertumbuhan ekonomi dan citraan gerakan pembangunanisme.
Buku Pak Harto Petani dari Desa Kemusu (1987) garapan Moh. Alwi, tegas-tegas memuat foto Soeharto di halaman sampul. Soeharto berpose berdiri di antara becek lumpur sawah, bercaping, sembari kedua tangan menenteng cangkul. Penyusun buku mungkin menginginkan pembaca langsung terpukau pada Soeharto sebelum diajak memasuki cerita demi cerita.
Soeharto ingin publik yakin atas keberpihakannya pada petani. Di halaman awal, buku sengaja dipersembahkan “untuk generasi muda dan petani Indonesia sepanjang masa”.
Konon, pengisahan hidup bocah bernama Soeharto dipenuhi kesulitan meski tak membuat si bocah putus asa. Moh. Alwi menulis:“Ketika kemudian kesulitan baru muncul, Soeharto memutuskan untuk kembali ke Dusun Kemusu, bekerja di sawah sambil menuntut pelajarannya di sekolah.” Pengisahan ini merangsang imajinasi pembaca atas kedekatan Soeharto dengan sawah, petani, dan cangkul.
Di hari-hari menjadi presiden, kita ingat Soeharto kerap menampilkan adegan berfoto bersama petani saat panen padi. Foto-foto itu mengukuhkan misi Soeharto agar Indonesia terkesan berlimpah beras, bermula dari keberpihakannya pada kaum pencangkul.
Cangkul punya riwayat panjang berkaitan dengan pergerakan Indonesia melewati zaman demi zaman. Cangkul itu simbol usaha dan doa. Cangkul tak bersanding dengan palu atau celurit. Soekarno dan Soeharto tepat telah berpihak kepada kaum pencangkul.
Kini, Indonesia tengah diserbu cangkul-cangkul impor. Pemerintah mesti lekas menengok nasib para pandai besi yang menggantungkan hidup pada penjualan cangkul-cangkul lokal. Mereka jelas paling merasa terkena imbas impor cangkul. Keberadaan pandai besi kian hari semakin punah.
Di kabupaten Agam, Sumatera Barat, kota yang dikenal sebagai pusat pengrajin cangkul, misalnya. Pandai besi menyisakan cerita pilu. Pandai besi di sana semakin tua, rata-rata berumur di atas 50 tahun (Jawa Pos, 8 November 2016). Apakah kita menginginkan pandai besi menjadi cerita tak terwariskan?
Pemerintah tak usah menunggu ada demonstrasi dari para petani dan pandai besi. Jelas, prosedur peredaran cangkul di negeri ini mesti segera dibenahi![]

Wawasan, 17 November 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar