Beberapa pekan silam, cangkul
atau pacul mendapat banyak sorotan dari publik. Konon, pemerintah telah
mengimpor 86.000 mata cangkul impor dari Cina. Ribuan cangkul itu mendarat di
Pelabuhan Belawan, Medan.
Cangkul pun termuat di sampul
koran-koran. Para penjual cangkul mendadak mendapat rentetan pertanyaan seputar
respons petani menanggapi keberadaan cangkul impor tersebut.
Kita bersyukur para petani tak
tergoda pada cangkul impor berharga murah itu. Kita patut bangga dan bersyukur
lantaran kualitas produk cangkul lokal jauh lebih baik daripada produk impor.
Para petani di Temanggung mengaku tak terlalu
tergiur memakai cangkul impor. Mereka berpendapat, cangkul Cina ”dari kualitas
besi dan ketajamannya tidak sebaik cangkul buatan lokal”(Wawasan, 2 November 2016).
Petani lebih berterima memakai
cangkul mesti teknologi traktor telah tersedia. Traktor dimiliki para juragan
dan tuan tanah. Tetapi traktor tak sepenuhnya sanggup menggantikan fungsi
cangkul. Kita menduga tak semua petani berkenan membeli traktor berharga jutaan
rupiah. Mereka tetap memilih membeli dan memakai cangkul.
Sejak dulu, kita telah memiliki kedekatan dengan
cangkul. Cangkul-cangkul
itu diperlukan petani guna menyokong ketahanan pangan.
Di era
Presiden Soekarno, petani jadi
soko guru revolusi. Mencangkul itu revolusioner! Mencangkul ibarat kerja bermisi nasional. Soekarno pun memerlukan
foto menenteng cangkul. Foto itu tersebar di buku-buku dan majalah, penyambung
gagasan Manipol Usdek. Soekarno ingin mempertontonkan ke publik bahwa ia
berpihak ke pencangkul (petani).
Pembentukan misi dan ambisi mencangkul
di era Soekarno tertera di buku tebal berjudul Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat (Jilid
1). Buku terbit tahun 1961, disusun oleh Maj. Moch. Said,
Kepala Seksi B.K.I Peperrda/Pedarmilda Djawa-Timur. Buku memuat bahan
indoktrinasi dan pidato Presiden
Soekarno sejak masih berstatus aktivis kemerdekaan hingga bergelar “Paduka Jang
Mulia”.
Di halaman
sampul, kita
langsung disuguhi gambar ilustrasi siluet orang mencangkul. Mencangkul
berarti menggerakkan revolusi. Bab
demi bab menjelaskan bagaimana cangkul mesti diayunkan. Di halaman 856, kita simak pidato Soekarno
bertarikh 1 Djanuari 1961:”Maka pada hari ini kita, Insjaallah Swt,
mengtjangkul jang pertama untuk pembangunan semesta berentjana”.
Di tahun 1960-an, Indonesia
memang tengah dilanda krisis pangan. Padahal, revolusi terus menguras kas
negara. Presiden mesti menyokong semangat rakyatnya agar lebih giat bekerja. Mencangkul
jadi ajakan ideologis-ekonomistik. Soekarno sadar rakyatnya kebanyakan berasal
dari kaum buruh dan tani. Indonesia mesti terus dicangkul dan ditanami bibit padi,
ketela, jagung. Terus mencangkul menjanjikan panen-panen kian melimpah.
Tahun terus berganti, tampuk
kekuasaan beralih ke pundak Presiden Soeharto tapi cangkul tetap jadi alat
penting bagi propaganda pembangunan. Soeharto memang gandrung mencitrakan diri
sebagai sosok anak petani desa sekaligus penggerak pembangunan meski berbeda
haluan dengan Soekarno. Di mata Soeharto, cangkul tak bermuatan ideologis. Cangkul
justru menentukan pertumbuhan ekonomi dan citraan gerakan pembangunanisme.
Buku Pak Harto Petani dari Desa Kemusu (1987) garapan Moh. Alwi,
tegas-tegas memuat foto Soeharto di halaman sampul. Soeharto berpose berdiri di
antara becek lumpur sawah, bercaping, sembari kedua tangan menenteng cangkul. Penyusun
buku mungkin menginginkan pembaca langsung terpukau pada Soeharto sebelum
diajak memasuki cerita demi cerita.
Soeharto ingin publik yakin atas
keberpihakannya pada petani. Di halaman awal, buku sengaja dipersembahkan
“untuk generasi muda dan petani Indonesia sepanjang masa”.
Konon, pengisahan hidup bocah
bernama Soeharto dipenuhi kesulitan meski tak membuat si bocah putus asa. Moh.
Alwi menulis:“Ketika kemudian kesulitan baru muncul, Soeharto memutuskan untuk
kembali ke Dusun Kemusu, bekerja di sawah sambil menuntut pelajarannya di
sekolah.” Pengisahan ini merangsang imajinasi pembaca atas kedekatan Soeharto
dengan sawah, petani, dan cangkul.
Di hari-hari menjadi presiden,
kita ingat Soeharto kerap menampilkan adegan berfoto bersama petani saat panen
padi. Foto-foto itu mengukuhkan misi Soeharto agar Indonesia terkesan berlimpah
beras, bermula dari keberpihakannya pada kaum pencangkul.
Cangkul punya riwayat panjang
berkaitan dengan pergerakan Indonesia melewati zaman demi zaman. Cangkul itu
simbol usaha dan doa. Cangkul tak bersanding dengan palu atau celurit. Soekarno
dan Soeharto tepat telah berpihak kepada kaum pencangkul.
Kini, Indonesia tengah diserbu
cangkul-cangkul impor. Pemerintah mesti lekas menengok nasib para pandai besi
yang menggantungkan hidup pada penjualan cangkul-cangkul lokal. Mereka jelas
paling merasa terkena imbas impor cangkul. Keberadaan pandai besi kian hari
semakin punah.
Di kabupaten Agam, Sumatera
Barat, kota yang dikenal sebagai pusat pengrajin cangkul, misalnya. Pandai besi
menyisakan cerita pilu. Pandai besi di sana semakin tua, rata-rata berumur di
atas 50 tahun (Jawa Pos, 8 November 2016).
Apakah kita menginginkan pandai besi menjadi cerita tak terwariskan?
Pemerintah tak usah menunggu ada
demonstrasi dari para petani dan pandai besi. Jelas, prosedur peredaran cangkul
di negeri ini mesti segera dibenahi![]
Wawasan, 17 November 2016
Wawasan, 17 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar