Selasa, 23 September 2014

Imajinasi Bertabur Pesimisme


Alkisah, tahun 21xx, di sebuah negeri bernama R. merebak fenomena bunuh diri massal. Bagi masyarakat, bunuh diri tak lagi dipicu himpitan ekonomi, tetapi sudah menjadi fenomena lunatik kolektif. Seperti sebuah trend, bunuh diri menulari siapa pun: anak muda, orang tua, gelandangan hingga para birokrat. Kecamuk perkembangan teknologi masif, membuat orang-orang sumpek dan jengah. Manusia gagap menghadapi modernitas yang pesat.

Demi membendung gelombang bunuh diri, pemerintah akhirnya merancang undang-undang antibunuhdiri. Persoalan menjadi kian rumit justru ketika pemerintah kebingungan menentukan hukuman apa yang cocok bagi si pelaku bunuh diri—bagaimana mungkin pelaku bunuh diri, yang sudah pasti akan mati, mesti diberi hukuman? Kekacauan semakin melanda negeri R. saat para pejabat negara ikut terjangkit ‘virus’ bunuh diri massal.
Cerpen berjudul Undang-Undang Antibunuhdiri jadi ketukan pintu sebelum memasuki dunia kelam Aksara Amananunna (2014) garapan Rio Johan. Sebuah cerita bertema fatalistik, menandai serangkaian imajinasi kisah orang-orang hidup dalam kontradiksi psikis dan jasmani. Tema-tema bunuh diri, kekerasan, seksualitas, gender, identitas, penyimpangan, serta ambisi-nafsu manusia tersaji apik dalam buku ini.
Pesimisme
Ada aura pesimis dalam setiap karakter tokoh. Deretan kisah manusia labil, terpuruk dalam keputusasaan, gagap merespons pelbagai perubahan zaman. Kemodernan berimbas pada lahirnya jiwa-jiwa kering, miskin keyakinan dan religiusitas.
Dalam cerpen berjudul Riwayat Benjamin, pengarang melanjutkan kecenderungannya menyajikan cerita beraroma kematian. Mengambil latar tahun 1598, cerpen ini mengisahkan kehidupan bocah lelaki bernama Ben dalam jerat praktik kekerasan dan hubungan sesama jenis. Pesona Ben yang memikat, merangsang para gentry, bangsawan tanpa gelar, ‘mengasuhnya’. Ia diperdaya, diberi iming-iming bakal hidup enak dan berkecukupan asal mau meladeni nafsu bejat para gentry.
Ben tak kuasa menolak gelimang kemewahan. Tetapi kenyamanan hidup Ben tak berlangsung lama. Sang gentry tergoda ‘mengasuh’ pasangan baru. Ben dicampakkan sekaligus menerima perlakuan kasar. Tak hanya dikhianati, akibat hubungan menyimpang itu, Ben terjangkit penyakit. Tak berdaya menanggung derita, nasib Ben berakhir di tali gantungan. Ia mati bunuh diri.
Cerpen ini tentu mengingatkan kita kepada kaum pecinta sejenis yang hidup dalam nuansa kekerasan. Pengarang kentara menyajikan adegan-adegan kekerasan (seksual). Mengeksplorasi kisah para pengindap sadomasokis dalam cerpennya. Hasrat seksual memang urusan purba, menandai gerak peradaban manusia. Manusia dan seksualitas adalah dua sisi mata uang, menyatu namun berkebalikan.  
Gelimang tubuh manusia beserta nafsu-ambisinya jadi referensi pengarang mengolah cerita. Tema-tema pelik dan menggiris “digoreng” menjadi fragmen-fragmen sisi gelap manusia. Cerpen Aksara Amananunna menyajikan dominasi keterpinggiran manusia akibat ambisi yang terlalu besar. Cerpen ini mengisahkan tentang manusia bernama Amanunna yang berambisi menciptakan bahasa pasca Tuhan merusak bahasa-bahasa di dunia.
Merasa tak memiliki bahasa sesuai nalurinya, Amanunna berniat menciptakan bahasa baru. Bahasa menunjukan tingkat peradaban manusia. Bahasa mesti diciptakan sebagai pengukuhan diri, meneguhkan eksistensi sebagai manusia.  
Tetapi harapan itu ambruk, seperti rumah kertas dihempas angin. Bahasa Amananunna hanya bertahan di kalangan keluarganya saja. Sementara usia Amananunna kian menua, salah satu anaknya justru memutuskan meninggalkan bahasa ajarannya itu. Pewaris bahasa Amananunna pun sirna.
Tekad Amanunna begitu kuat. Amananunna tak ingin usahanya berakhir sia-sia. “Amananunna menempuh cara terakhir. Pria renta itu mengukir aksara-aksara bahasanya di ceruk-ceruk ngarai, pada bebatuan besar, juga di dinding gua. Setidaknya, dengan cara itu dia bisa meninggalkan jejak ciptaannya”(hlm.35). Berakhir sudah perjalanan Amanunna menciptakan bahasa.
Seandainya kumpulan cerpen ini adalah sebuah bunga rampai film, maka film ini bakal menghamparkan tampilan-tampilan vulgar  perihal birahi, nafsu, tubuh, kekerasan, dan tekanan psikologis. Cerpen-cerpen dalam buku ini kentara menyajikan ‘sihir’ pesimisme.
Sebagai sebuah kumpulan cerpen, meski ada satu cerita yang lebih layak disebut novelet ketimbang cerpen, buku ini menghadirkan pelbagai imajinasi yang seolah hadir dari dunia yang entah. Kita tak akan menjumpai satu pun cerpen beraroma ‘keindonesiaan’. Setiap cerita seperti lahir dari pelbagai belahan dunia yang jauh, serta muncul dari pengisahan dari masa lalu yang entah.
Pengarang lihai mencomot fragmen-fragmen kisah ratusan tahun silam, yang barangkali seperti diadopsi dari film-film di Eropa dan Amerika. Pengarang mahir mengimajinasikan-mendeskripsikan kisah di masa depan. Buku ini mengajak pembaca hanyut dalam pusaran imajinasi kelam, membawa kita pada hamparan ruang dan waktu yang jauh dan awam.[]

Disajikan di Edaran (ora) Weruh, Solo.