Senin, 24 November 2014

“Mengejek” Indonesia Secara Kritis



Karya sastra tak pernah jauh dari pengisahan manusia dan sekitarnya. Lewat imajinasi pengarang, manusia ditafsir dalam pelbagai perspektif. Kebebasan fiksional merangsang pengarang menggali nilai-nilai kemanusiaan  secara detail untuk disajikan dalam garapan puisi, cerpen, dan novel. Manusia tampil sebagai tokoh rekaan, berkelindan dalam cerita, konflik, dan pesan. Para intelektual menguak dan mempelajari manusia merujuk pada karya sastra, berpamrih membaca gejala zaman.
Buku Mengejek Indonesia: Sejumlah Kajian Sastra karangan Dr. Harjito, M. Hum adalah satu dari sekian kerja membaca manusia bersandar pada tafsir karya sastra. Pemaknaan atas simbol, dialog, pesan, konflik, dan imajinasi tokoh, jadi bekal membaca permasalahan kemanusiaan. Kajian terhadap cerpen, cerita anak, cerita rakyat, novel, berhasil memantik wacana gender, kekuasaan, dan modernitas.

Kita bisa menyimak temuan wacana gender dalam kajian berjudul Di Balik Sosok Wanita (hlm. 21). Mengajukan cerpen Makeba dan Kitti karya Pamusuk Eneste, Harjito menguak kritik tajam perihal gender dalam kedua cerpen tersebut. Kritik tertuju pada masyarakat kita yang masih melanggengkan kesadaran dominasi patriarki, mudah menyudutkan kesalahan pada pihak wanita. Seorang istri yang tak kunjung memiliki momongan akan cenderung disalahkan ketimbang pihak suami, misalnya.
Selain itu, perempuan luar negeri (baca: Barat) masih dijadikan sebagai model ideal, kiblat pemaknaan kecantikan. Dalam tulisan berjudul Cantik Itu, Harjito menganggap para perempuan masih melakoni “pemujaan tubuh didukung pesona industri media berupa citra perempuan dengan tubuh sempurna. Rambut menakjubkan, paras menawan, hidung mancung, bibir sensual, dada berisi, pinggang ramping, atau paha dan kaki yang singsat” (hlm.19). Perempuan lupa bahwa kodrat mereka sebagai manusia dari negeri Timur tentu punya citra berbeda dari perempuan Barat. Pada tahap inilah, masyarakat kita belum memiliki konsep sadar gender.
Dari karya sastra pula, kita bisa membaca konstruksi kekuasaan yang berlaku dalam pengisahan ceritanya. Imajnasi tokoh dibentuk dalam bangunan sistem kekuasaan dan mimesis. Karya sastra jadi medium ampuh menyampaikan kritik meski tesembunyi dalam kelindan fiksionalitas. Tak sedikit karya sastra sengaja dibuat sebagai wacana kritik karena sifatnya yang imajinatif.
Harjito mencomot cerpen Telor karangan Putu Wijaya sebagai cara menyuarakan sindiran sekaligus kritik terhadap kekuasaan yang menindas. Indonesia memang pernah sengsara bertahun-tahun lamanya di bawah cengkram rezim otoritarian Soeharto. Mengajukan kritik tanpa siasat dan pertimbangan yang matang adalah tindakan ceroboh dan konyol. Sangat mungkin nyawa jadi taruhan.
Cerpen Telor mengisahkan hidup seorang jendral yang disegani, yang kemudian wafat dan mewariskan sebutir telor untuk keempat anaknya. Singkat cerita, untuk membagi telor tersebut disewalah seorang konsultan asing. Dari pengisahan yang tidak masuk akal ini, pada akhirnya, Harjito menyimpulkan: “[T]eks Telor merupakan reaksi tematis atas kondisi/ tradisi dominan sang penguasa yang terjadi di Indonesia. Dalam bahasa sederhana, teks Telor merupakan upaya mengejek diri sendiri, diri bangsa Indonesia” (hlm.103).
Potensi menjadi sebuah buku kajian yang bertenaga sedemikian besar seandainya penulis tidak tergoda mengikutsertakan sekian tulisan populer, yang pada dasarnya tidak mencakup kriteria kajian. Meskipun tulisan–tulisan tersebut, menyitir pengakuan penulis dalam pengantar:“berbicara perihal manusia”, tetap saja ada bangunan konsistensi yang retak akibat hal tersebut. Kita bakal bimbang saat mendapati campur baur antara kajian analitis dan tulisan populer bersatu dalam satu bunga rampai.
Meski demikian, buku ini setidaknya berhasil mengajak kita mencicipi pelbagai teori dan disiplin ilmu guna menempuh perjalanan melelahkan dalam rangka “mengejek” Indonesia lewat pemaknaan karya sastra. Temuan perihal kritik terhadap kesetaraan gender dan konstruksi kekuasaan adalah sedikit dari apa yang dibeberkan buku ini. Kajian-kajian tersebut membuktikan permasalahan kekuasaan dan kemanusiaan di Indonesia masih belum beres.[]

 Dimuat Harian Rakyat Jateng, 22 November 2014