Minggu, 01 September 2013

TEKA-TEKI PINTU BELAKANG RUMAH JAWA


Bagi orang Jawa, rumah tidak sebatas tempat tinggal. Lebih dari itu rumah sanggup memberi identitas. Setiap bagian rumah memiliki pemaknaan yang merujuk pada hubungan sosial kemasyarakatan. Rumah bisa memicu masalah bila salah satu bagiannya alpa ataupun sengaja ditiadakan. Ketiadaan pintu belakang rumah Jawa menjadi penyebab beberapa masalah pelik. Bukan saja terkait hubungan dengan masyarakat, bahkan, isu klenik muncul dari urusan pintu belakang.

Teka-teki pintu belakang rumah Jawa berhasil menyeret perhatian etnografer-cum-peneliti Jan Newberry, asal Universitas Leithbridge, Alberta, Kanada. Pada mulanya, Newberry hendak melakukan penelitian perihal kaitan antara masyarakat pertanian dan negara di sebuah kampung di sudut kraton Yogyakarta bernama Rumah Putri. Namun, pada kenyataannya, ia justru menghabiskan waktu di dapur orang Jawa perkotaan, di antara orang miskin dan warga kelas pekerja.

Buku bertajuk Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung di Keluarga Jawa karya Jan Newberry adalah hasil penggalian dalam memaknai situasi masyarakat kampung dan kemistikan pintu belakang rumah Jawa. Proses penelitian dilakoni secara langsung oleh penulis dengan berperan sebagai ibu rumah tangga di kampung. Meneliti sekaligus melakoni pekerjaan domestik ibu rumah tangga Jawa.

Ketertarikan penulis mengungkap hal-hal terkait rumah Jawa ini bermula saat mengontrak rumah tempat menginap selama penelitian. Ketiadaan pintu belakang menjadi penyebab atas serentetan hal-hal unik dan menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Pelajaran tentang kesahihan pintu belakang terjadi saat penulis kedatangan tamu. Kebetulan, saat penulis kedatangan tamu, ia sedang kehabisan persedian gula dan teh. Mustahil menolak tamu sembari menunggu pesediaan teh dan gula terpenuhi. Penulis tangkas menyuruh seorang anak kecil membeli gula. Suguhan bagi tamu menjadi mutlak jika tidak ingin dicap pelit atau angkuh.

Di luar sangkaan. Si anak kembali dari membeli gula dan berjalan masuk ke dalam rumah dengan kantong gula tersembunyi di balik bajunya, yang terpaksa dilakukannya karena masuk lewat pintu depan (hlm.15-16). Penulis tercengang. Ketiadaan pintu belakang, sanggup berpengaruh pada sikap seorang anak. Pintu belakang memberi ruang interaksi antar masyarakat Jawa ketika terjadi kebutuhan mendadak seperti dalam kasus tersebut. Tolong-menolong dan interaksi antartetangga menjadi alasan kenapa setiap rumah wajib memiliki pintu belakang.

Pintu Belakang dan Slametan

Demi menunaikan tugas penelitian sekaligus berpartisipasi menjadi bagian dari masyarakat, penulis bertekad menggelar ritual yang lazim dilakukan warga setempat. Niatan ini membawanya pada keinginan untuk mengadakan slametan. Merujuk ulasan C. Geertz, slametan adalah pengungkapan ringkas beberapa nilai-nilai utama Jawa yang saling berhubungan dan saling memperkuat. Namun, bagi penulis, ritual ini tak lebih upacara memberi makan anggota masyarakat. Makanan dihidangkan bagi warga, sanak keluarga, tetangga, serta roh dengan imbalan selamat (hlm.63).

Ketiadaan pintu belakang lagi-lagi berpengaruh besar dalam hajatan kali ini. Bu Sae, tetangga terdekatnya, tanpa menunggu masukan penulis dengan cekatan berinisiatif mengatur proses memasak makanan untuk disajikan kepada tamu. Bu Sae menghendaki proses memasak dikerjakan di dapurnya. Dengan alasan, ketiadaan pintu belakang di rumah penulis tidak memungkinkan untuk mencari tambahan jika sewaktu-waktu terjadi kekurangan sesuatu, misalnya kurang gelas, piring, atau teh (hlm. 64). Tamu pantang menyaksikan kekurangsiapan dari empunya hajat. Kesuksesan dalam slametan mengacu pada keterampilan mengelola dan menyiapkan makanan. Aturan ini menuntut penulis manut pada “kekurangajaran” Bu Sae dalam mengambil-alih tugas sebagai tuan rumah meski merasa dianggap sebagai orang asing di rumah sendiri.     

Tiga tahun pascapenelitian, penulis kembali berkunjung ke rumah kontrakannya dahulu. Penulis heran mendapati rumah tersebut sepi dari pengontrak. Isu mengabarkan rumah tersebut berhantu. Rumah berhantu menjadi alasan kuat membiarkan rumah sepi dari pengontrak. Cerita hantu jadi obrolan sedap perihal rumah kosong. Pun akhirnya penulis mendapat satu keterangan logis. Cerita hantu adalah sebuah cerminan dari masalah struktural yang lebih mendalam mengenai rumah tersebut yang tidak memiliki pintu belakang. (hlm.3).

Keberadaan pintu belakang rupa-rupanya menjadi arus lalu-lintas manusia Jawa demi menjalin kekerabatan, rasa sosial,  interaksi antartetangga, hingga urusan klenik.  Kedatangan Jan Newberry ke Indonesia memang gagal mengorek tema pertanian dan negara, namun sukses menguak jagat Jawa dari penafsiran pintu belakang rumah. Penulis berhasil menyajikan sederet hasil penelitian sekaligus pengalamannya secara detail berkat usahanya melakoni hidup sebagai “manusia Jawa” meski sementara.[]    

Selalu Ada Tempat untuk Basa-basi



Setelah menyimak cerpen Kapal Perang karya Yusi Avianto Pareanom (Koran Tempo, 01/09/2013)

Pernahkah kita merenung sejenak, betapa ternyata, kita hidup di tengah masyarakat yang begitu enteng mengucap basa-basi? Antara tujuan berbasa-basi, kita kerap melupakan posisi object, lawan bicara—nyamankah jika basa-basi itu tertuju padanya?

Ambillah sebuah misal. Pada sebuah perjumpaan yang terjadi setelah satu tahun perpisahan, antara Anda dengan teman Anda. Kali pertama  bersua, kiranya apa pertanyaan yang hendak Anda atau teman Anda ajukan? Kita pun bisa menduga, karena barangkali, kita kerap melakukannya. Pertama, jelas, “apa kabar?”. Pada pertanyaan berikut, kita pun dengan cepat menduga:”kerja di mana? Kapan kawin?” Bagi yang sudah menikah, “kapan punya momongan?” Pada taraf inilah, kerap kali, basa-basi justru menjadi semacam “bencana” bagi yang ditanya. Seperti di alam nyata, di dalam cerpen pun, basa-basi selalu mendapat tempat.

Kita tak pernah tahu, misalnya, betapa susahnya mencari pekerjaan zaman sekarang. Toh, semisal sudah bekerja pun, seolah-olah jawaban yang diharapkan akan muncul harus “membanggakan”. Kerja di pabrik, pegawai bank, pegawai negeri, dosen, polisi, atau sejenisnya, adalah rentetan jawaban yang kerap diharapkan oleh si penanya. Kita kerap dituntut sukses di mata penanya, tak peduli alasannya. Apalagi menyangkut perkawinan. Bagi sebagian lelaki, seperti saya misalnya, pertanyaan tersebut seperti halnya dua langkah sebelum kena skak. Meski ada cara meloloskan diri, tetap saja pertanyaan tersebut teramat sumir.Bagaiman seandainya, objek yang ditanya adalah individu yang memutuskan untuk tidak kawin. Nah lho! Saya tentu menduga pertemuan itu akan jadi ajang debat kusir tak berkesudahan.

Perspektif basa-basi ini, sudah terlanjur mengakar kuat pada masyarakat kita. Seperti sebuah kolom formulir KTP di mana segala pertanyaan mesti dijawab. Kita kerap enggan membuka sebuah obrolan tanpa menyangkut urusan “dapur” lawan bicara kita. Kita terbiasa bertanya hal-hal pribadi pada lawan bicara. Seolah-olah, basa-basi adalah medium pemicu keakraban. Saya penah membahasnya semalam suntuk dengan teman-teman tentang hal ini. Sebagian sepakat mencoba membuang jauh-jauh kebiasaan ini, sebagian lagi pasrah pada keadaan. “Bagaimana lagi, begitulah masyarakat kita”, ucap seorang teman, penganut lazyism.

Cerpen Kapal Perang karya Yusi Avianto Pareanom (Tempo, 1/9/2013) dibuka dengan sebuah basa-basi yang tengah saya bahas di awal. Seperti halnya basa-basi yang lebih sering bikin jengah, Abdullah Yusuf Gambiranom, tokoh utama dalam novel ini, tengah gusar atas kelakuan tetangganya yang kerap berasa-basi meski penanya tahu jelas apa jawabannya.

“Satu hal yang lebih menjengkelkan Abdullah Yusuf Gambiranom daripada harus membersihkan lantai rumahnya pada sembarang pagi setelah banjir surut adalah pertanyaan tidak perlu dari tetangga-tetangganya tentang suatu perkara yang sudah terang-benderang bagi semuanya:”Ngepel, Pak Yus?”
….
“Hei, wong sudah ngerti kok masih Tanya.” Kejengkelan Abdulah Yusuf ini akan lebih legit lagi jika kau mendengarnya dalam versi aslinya, bahasa Jawa semarangan.”

Bermula dari basa-basi inilah cerita bergerak. Dan, bermula dari banjir yang langganan bertamu ke rumahnya inilah, yang mengakibatkan Yusuf harus ngepel lantainya setiap pagi seusai setiap banjir reda. Kisah yang berlatar di Semarang tahun 1975-1981 ini digarap secara detail. Nama-nama tempat di Semarang, bagi yang bermukim di Semarang, akan tahu, sungguh-sungguh ada: Rejosari, Pancakarya, Tirtayasa, Jl. Dr. Cipto, Jl. Mataram, kecuali kampung Karangapi, yang konon terletak di antara dua jalan besar tadi. Selain itu, pengisahan konflik yang bermula dari banjir yang datang hampir setiap musim penghujan tiba, persis seperti tradisi banjir yang terjadi di daerah Semarang. Terutama daerah pinggiran pusat kota. Saya menduga, pengarang pernah tinggal atau berkunjung di Semarang. Tapi, pernah berkunjung atau tidak, barangkali sungguh tidak penting, karena bagaimana pun, asli atau tidak nama-nama tersebut, ini hanya sebuah cerita. Sebuah imajinasi dalam bentuk kata. Kalau pun nyata, itulah kelebihan cerpen. 

Syahdan, kisah menemui titik penceritaan kala Yusuf berkeyakinan akan muncul banjir besar, “setidaknya-tidak setengah meter setelah hujan deras turun tanpa ampun”. Maka, tanpa komando tanpa pikir panjang, Yusuf memutuskan membuat perahu kertas, di mana di atasnya ditaruh mercon yang akan disulutnya menjelang tengah malam. Maka inilah klimaks dari cerita ini. Betapa cerpen ini hadir dalam posisi antara keadaan (yang) realis dan kemagisan: keadaan yang kadang seperti sebuah halusinasi, mimpi, juga nalar yang ganjil. Betapa cerita terbangun dari banjir yang melanda rumah Yusuf, kemudian beralih menuju “ilham” untuk membuat kapal dari kertas. Seperti begitu saja terjadi. Maka jangan heran ketika Yusuf menyulut petasan di atas kapal kertas, dan meletus di tengah malam yang berbanjir. Dan tetangga diam tak peduli. Seperti tahun baru atau hari raya di mana petasan adalah sebuah kelaziman. Cerpen ini ditutup dengan sebuah lompatan. Konon, di tahun 1981, Yusuf jadi pengusaha sukses, dan memutuskan meninggikan bangunan rumahnya hampir satu setengah meter. “Ketika kemudian pada tahun yang sama banjir besar melanda Semarang dan semua rumah di kampungnya kebanjiran lebih dari satu meter, rumahnya tetap kering. Hari itu ia sudah melupakan perahu-perahu bermerconnya, tapi ia sungguh berharap air makin tinggi saja.” Seketika lenyaplah kebiasaan melarung kapal kertas serta menyulut mercon di atasnya.

Dari cerpen ini, tampaknya saya hampir-hampir meyakini ucapan Ayu Utami dalam sebuah pengantar Cerpen Kompas Pilihan 2007 (Kompas, 2008):”Demikian, realisme menyederhanakan dunia sesuai kehendak pengarangnya.” Akan lebih mudah membuatnya tiba-tiba memutuskan membuat “kapal kertas bermercon” tanpa tendensi apa-pun. Seperti hanya “menyenangkan” ketiga anak Yusuf lewat permainan membuat kapal semata. Padahal, pada titik inilah, cerpen ini menahbiskan diri sebagai cerita utuh. Saya sempat berpikiran, apabila tidak ada fragmen bermain kapal bermercon, cerpen ini bagai ingatan yang dituliskan. Seperti saat kita bercerita tentang kampung halaman kepada rekan-rekan. Ada pun kenangan dan ingatan itu adalah kenyataan yang hidup dalam pikiran. Namun, tidak salah juga bila “ingatan” itu hadir di Koran Tempo, menjadi sebuah cerita pendek yang, meski tidak muncul sebuah ketegangan atau konflik cerita yang berarti, tetaplah buah dari imajinasi dari si pengarang.

Benar jika pesimisme Ayu Utami cenderung “memojokkan” karya-karya realis—dimana segalanya mesti tertib dan lurus. Namun, untuk mengatakan cerpen ini sebagai cerpen lurus, saya kurang cocok. Barangkali, keadaan, atau penceritaan, atau sejenis gaya dari cerpen realis adalah di mana sebuah cerpen berhasil menmpilkan satu kisah utuh, dengan pengupayaan nalar dan alur yang runtut, meski kadang keterbatasan “ruang” dalam cerita pendek kurang berhasi menampilkan “kenyataan” senyata-nyatanya dalam cerpen realis. Keadaan ini bisa dimaklumi jika cerita yang dihadirkan adalah satu potongan utuh, tidak lagi terpecah dalam keganjilan kisahnya. Misalnya, dalam cerpen ini, bagaimanapun, sebagai cerpen realis, pembaca kerap menuntut alasan yang sejelas-jelasnya dari setiap adegan, ataupun cerita. Ketidakutuhan logika cerita kerap menjadi dalih kritik. Oleh karena itu, pada posisinya yang tidak terlalu aman, ditambah kemajuan zaman yang menuntut perubahan genre secara terus menerus, realis memang kerap mendapat banyak “ruang” namun sedikit mendapat “penghargaan”. Oleh karenanya, cerpen realis tetaplah harus bergerak mencari “terobosan”. Ia tidak sepatutnya merasa “nyaman” seperti kala pertama muncul pasca-kolonialisme. Cerpen Kapal Perang, bernilai ketika aroma “halusinasi” muncul begitu saja secara hampir tidak terbaca. Meski pada akhirnya, seperti mayoritas cerpen realisme, pengarang adalah “tangan Tuhan” yang bergerak melampaui "ke-realisme-an" sebuah cerita. Ketika tiba-tiba, Abdullah Yusuf, mendadak kaya, dan mendadak melupakan momen melarung kapal kertas bersama anak-anaknya….