Minggu, 15 Februari 2015

Kala Penyair Menafsir Kartosoewirjo



Di mata seorang penyair, sejarah bukan rangkaian peristiwa yang membeku dalam catatan dan dokumentasi album foto. Peristiwa sejarah memungkinkan untuk dieksplorasi dan dihadirkan kembali dalam gubahan puisi dan narasi estetik.
Mata pisau seorang penyair berkuasa membedah narasi sejarah menjadi repihan tafsir dan imajinasi. Penyair, pada mulanya, memberi diri pada pembacaan teks dan data sejarah secara tuntas. Untuk kemudian diolah guna mencipta ragam tafsir dan kemungkinan.
Triyanto Triwikromo menyuntuki sejarah tokoh Kartosoewirjo sebagai rujukan penerbitan buku terbarunya Kematian Kecil Kartosoewirjo: Sehimpun Puisi (2015). Fragmen penting dalam hidup Kartosoewirjo, sejak memilih jalan “pemberontakan” hingga mendapat vonis eksekusi mati dari negara, jadi anutan penciptaan teks-teks puisi.
Kita mengenal dan mengingat Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1907-1962) sebagai tokoh kontroversial: Pejuang kemerdekaan yang berbelok jadi penggerak gagasan Negara Islam Indonesia. Gagasan yang membuatnya harus behadapan dengan pemerintah. Kartosoewirjo menempuh gerilya di hutan-hutan Garut dan Tasikmalaya demi cita-citanya. Bertahan hampir 13 tahun di dalam hutan, pemberontakan itu pun kandas.
Triyanto menangkap setiap adegan dan renik peristiwa, kemudian menatanya ke dalam rangkaian narasi puitik. Triyanto mengajukan sejumlah tafsir perihal sosok Kartosoewirjo: Pemikiran dan mitos yang melekat pada dirinya.
Puisi berjudul Penangkapan jadi ketukan pintu memasuki pembentukan imajinasi Kartosoewirjo versi Triyanto. Puisi mengisahkan prosesi penangkapan Kartosoewirjo. Simaklah: “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya mimpi orang-orang/ yang kauabaikan. Sekarang segera penjarakan aku./ Katakan pada siapa pun, seorang pemberontak yang/ kesepian telah menyerah dan tak ingin lagi melanjutkan/ perang”.
Kartosoewirjo adalah manusia terabaikan. Gagasan Negara Islam adalah muasal dari segala pertentangannya dengan tokoh-tokoh Republik yang lain, terutama dengan pemerintahan resmi Sukarno. Sekian puisi ikut mengisahkan kontradiksi dua tokoh yang bersahabat sejak muda tersebut.
Puisi berjudul “Perihal Kobaran Api” menjelaskan pangkal pertentangan itu: “Aku suka pada para panglima/ perang pada gurun-gurun penuh cahaya zikir, Sukarno suka/ pada Majapahit yang getir”. Mimpi yang berbeda dari dua tokoh yang pernah hidup dalam satu pondokan, dengan guru yang sama: Tjokroaminoto.
Pilihan ideologi dan pemberontakannya, yang dianggap hendak menggulingkan pemerintahan yang sah, membuat Kartosoewirjo divonis mati oleh pemerintahan. Triyanto menampilkan puisi-puisi sarat pemenungan, gumaman, dialog, dan imajinasi Kartosoewirjo ketika menanti detik-detik eksekusi itu tiba.
Dialog imajiner antara Kartosoewirjo dengan para serdadu tembak, imam tentara, dokter, penjaga, dan para saksi yang kelak menonton kematiannya, ditampilkan oleh Triyanto guna mengimajinasikan apa yang mungkin disuarakan oleh Kartosoewirjo.
Triyanto menangkap setiap detail peristiwa, dari adegan saat Kartosoewirjo naik kapal menuju pulau penghabisan; mendengar interogasi para serdadu; tangan yang diborgol, hingga saat matanya tertutup kain putih di tiang eksekusi. Triyanto tidak menyuguhkan imajinasi sosok Kartosoewirjo yang gelap, angker, dan penuh bayang-bayang mitos.
Meski tak pernah merasa takluk di hadapan kematian, Kartosowirjo adalah manusia biasa yang keberatan jika tangannya diborgol, atau merasa sangat ingin merokok ketika bosan tiba-tiba datang melanda. Triyanto membongkar stigma, mitos, dan paradigma yang kerap melekat pada Kartosoewirjo.
Dalam puisi Bukan Pesan Nabi, Triyanto menepis kultus Kartosoewirjo sebagai Ratu Adil. Puisi ini berlatar penolakan pemerintah Sukarno atas beberapa permintaan terakhir Kartosoewirjo sebelum eksekusi. Triyanto seperti hendak ikut merasai gejolak batin sang Kartosoewirjo.
Tak ada pesan terakhir untukmu. Aku hanya hendak/ membuka topengku. Aku bukan nabi. Di perutku/ tak ada gunung-gemunung yang senantiasa berzikir/ dan berselawat.// Mereka menganggapku menyembunyikan tentara langit/ di hutan-hutan yang diberkati Allah. Mereka tak tahu aku/ hanya lelaki kerempeng yang suka becermin”.
Puisi mengisahkan penolakan Kartosoewirjo perihal penahbisannya sebagai “nabi” dengan “tentara langitnya” oleh para pemujanya. Pembongkaran mitos sosok Kartosoewirjo adalah siasat menempatkan kesejarahan Kartosoewirjo sebagai manusia biasa seutuhnya.
Penulisan puisi bereferensi sejarah menegaskan hasrat Triyanto Triwikromo untuk terus-menerus melakukan pencarian akan kesegaran estetika dalam setiap teksnya. Pada buku puisi sebelumnya Pertempuran Rahasia (2010) Triyanto menunjukkan kesuntukannya dalam mengolah jagad wayang sebagai muatan puisi-puisinya. Triyanto menjelmakan diri sebagai dalang bagi wayang yang “hidup” dalam puisi-puisinya.
Kini, bagi Triyanto, sejarah tak lagi dimaknai sebatas data dan fakta. Sejarah jadi lahan pemaknaan-ulang, dan pemenuhan hasrat religiusitas. Inilah narasi sejarah yang malih rupa menjadi narasi puitik. Himpunan puisi yang berpijak pada teks sejarah dan dokumentasi foto namun kaya akan imajinasi dan tafsir ulang dari sosok yang selama ini hanya dibentuk oleh negara. []

Dimuat Jawa Pos, 15 Februari 2015