Sabtu, 26 September 2015

Orang Jawa Memaknai Nama


Kelahiran seorang manusia selalu diikuti dengan ritus pemberian nama. Nama itu penanda, pengingat dan pemberi identifikasi diri. Nama jadi acuan untuk memberi sapaan dan panggilan. Pemberian nama untuk bayi yang baru lahir pun kerap dibarengi doa, harapan, dan kebanggaan.
Di Jawa, orang-orang tak percaya pada ungkapan klasik “apalah arti sebuah nama.” Bagi orang Jawa, pemilihan nama selalu menjurus pada pemaknaan filosofis, religius, linguistis, kultural, hingga ideologis. Mereka merangkai dan memilih nama dari pelbagai referensi.
E.M Uhlenbeck (1982) menjelaskan bahwa di dalam masyarakat Jawa, nama bisa dipungut dari cerita wayang populer, kalender Jawa, bahasa Jawa kuno, karya sastra, hari dalam sepekan, Alquran, bahkan bunga, tanaman, dan hewan. Sebagai pertimbangan, orang Jawa biasa meminta rujukan nama dari orangtua, “orang pintar”, dukun, dan kyai
Konon, nama bisa memengaruhi takdir manusia. Tak pelak, bila di kemudian hari dirasakan ada kekeliruan atau kekurangserasian, mengganti nama bisa ditempuh sebagai usaha perbaikan nasib. Penggantian itu bisa disebabkan oleh peristiwa tertentu, seperti menikah, sembuh dari sakit keras, atau karena mendapat pekerjaan baru.
Kisah Sukarno
Prosesi mengganti nama pun tak bisa semena-mena. Ada ritual khusus yang mesti ditunaikan, seperti meminta restu orangtua dan pemimpin agama/adat. Tak lupa mereka membagikan bubur beras merah ke para tetangga, yang disertai pemberitahuan atas perubahan nama tersebut.
Kisah penggantian nama pernah dialami oleh Presiden Sukarno. Semula, nama kecil Sukarno adalah Koesno. Semasa kecil, Koesno dicap sebagai anak berpenyakitan. Ia kerap terserang malaria, disentri, dan penyakit lainnya. Ayahnya berkeyakinan nama itu tidak cocok dan mesti diganti.   
Ayah Koesno mengisahkan:“Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam tjerita mahabarata....Dalam bahasa Djawa huruf “A” mendjadi “O”. Awalan “Su” pada kebanjakan nama kami berarti baik, paling baik. Djadi Sukarno berarti pahlawan jang baik” (Cindy Adams, 1966:35-36).
Penggantian nama itu terbukti manjur. Sejak menyandang nama baru, masa Sukarno tak lagi gampang sakit-sakitan. Keputusan memilih nama bereferensi tokoh wayang justru menerbitkan kepercayaan diri dan kebanggan bagi Sukarno. Di kemudian hari, Sukarno sempat memakai nama samaran “Bima” saat menulis esai-esai bermisi nasionalisme. Kedua nama itu manjur, mengiringi masa-masa penuh bahaya saat giat sebagai pemikir dan aktivis kemerdekaan.
Sikap Politik
Nama juga bisa dianggap sebagai penegas sikap politik dan ideologi. Dalih tersebut dipilih Ki Hajar Dewantara untuk berkeputusan mengganti namanya, hingga dua kali. Lahir dari keluarga kerajaan, ayahnya, Pangeran Suryaningrat, yang tak lain putra sulung Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam III, memberinya nama Raden Mas (RM) Suwardi.
Nama beraroma ningrat itu pun tak awet. Memasuki sekolah Belanda Europeesche Lagere School, RM Suwardi justru memilih berganti nama menjadi Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Pergantian itu dipicu hasrat untuk setara dengan anak-anak Belanda, yang mencantumkan nama keluarga sehingga menjadi lebih panjang (Dewantara, 1981:36). Bisa disebut, penggantian nama adalah sebentuk perlawanan Suwardi dalam menolak diremehkan oleh bangsa kolonial. 
Suwardi pun tumbuh sebagai pemuda melek politik. Melangkah dewasa, Suwardi terlibat gerakan politik bersama Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker dalam Indische Partij. Meski begitu, pergerakan Suwardi justru lebih bertumpu pada usaha-usaha di bidang pendidikan dan pengajaran. Idealisme Suwardi benar-benar tercurah saat mendirikan perguruan Taman Siswa.
Di saat inilah Suwardi kembali berganti nama. Penggantian nama berdalih kepentingan idealisme dan sikap politik. B.S.Dewantara dalam buku Ki Hadjar Dewantara Ayahku menjelaskan alasan penggantian tersebut:”Juga bagaimana seorang Ningrat…dapat mendekati rakyat yang dicintainya selama ia berpamor ningrat?”
Di era kolonial, status “ningrat” memang berisiko menimbulkan jarak dan segan. Karib Suwardi, Douwes Dekker, menerangkan bahwa penggantian itu demi menghilangkan kesan feodal dan aristokrasi Jawa yang ia sandang. Nama Ki Hajar Dewantara pun resmi dipakai sejak tanggal 23 Februari 1928 (Soeratman, 1983). Kini, kita mengenalnya sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
Tak Sekadar Identitas
Doa tokoh kenamaan di Jawa itu punya pemaknaan khusus perihal nama. Nama jadi manifestasi alam pikiran dan sikap individu. Bagi Ki Hajar Dewantara, kesetaraan bisa dimulai dari sebuah nama. Sedangkan bagi Sukarno, nama adalah pemberi kebanggan.
Dari senarai tersebut, tercatat bahwa urusan nama memang tak sekadar identitas. Selalu ada alasan dan pemaknaan bermisi ideologis, politis, religius, hingga nasionalisme di balik pemilihan sebuah nama.
Fenomena nama-nama “unik” yang beberapa waktu lalu sempat menyedot perhatian publik betapa memilih nama memang urusan pelik, apalagi bagi orang Jawa. Manusia memerlukan kejelian, keinsyafan, dan pemahaman agar tak keliru saat merangkai atau memaknai sebuah nama. []


Dimuat koran Wawasan, 26 September 2015

Minggu, 06 September 2015

Mengisahkan Jawa dari Secarik Kartu Pos

Selalu ada cerita di balik sebuah kartu pos. Dulu, kartu pos tak sekadar alat komunikasi tertulis. Foto yang tercantum di selembar kartu pos kerap menampilkan tempat dan hal-hal menarik dari mana kartu itu dikirimkan. Keragaman dan kecantikan foto-foto tersebut membuat kartu pos jadi benda incaran untuk dikoleksi.
Adalah Olivier Johannes Raap, seorang sejarawan, arsitek, sekaligus kolektor barang antik berkebangsaan Belanda, pengoleksi kartu pos yang memuat foto-foto Jawa awal abad 19. Raap mengoleksi kartu pos terbitan tahun 1990 sampai 1950. Dari kartu pos lawas itu, Raap berinisiatif mengadakan riset. Foto di kartu pos jadi rujukan membaca kesejarahan kota-kota di Jawa tempo doeloe.
Kini, hasil risetnya terbit dalam buku Kota di Djawa Tempo Doeloe. Foto-foto itu menghadirkan lanskap kota di Jawa, era Hindia Belanda. Raap memberi penjelasan pada setiap foto melalui perbandingan referensi dan data sejarah. Seperti lazimnya sebuah kota, foto menampilkan macam-macam bangunan, seperti gedung pemerintah, jembatan, rumah, jalan, taman, tempat dan transportasi publik.
Dalam pengisahannya, Raap menggunakan perbandingan kondisi dulu dan sekarang. Sebuah gedung, misalnya, akan dijelaskan mulai dari sejarah, fungsi, dan perubahannya dari masa ke masa, kemudian membandingkan keberadaan gedung itu saat masih di bawah kolonialisme Belanda dengan kondisi saat ini. Beberapa gedung mungkin masih ada dan menjadi bangunan cagar budaya. Tapi tak sedikit yang berubah fungsi, mengalami pemugaran total, bahkan sama sekali hilang karena diganti bangunan lain.
Kartu pos berjudul Oud Batavia (Batavia Lama), diterbitkan oleh G. Kolff & Co., Batavia, berlokasi di Jalan Kali Besar Timur, Jakarta, misalnya. Raaf menjelaskan:”Pada abad ke-18, daerah ini merupakan pemukiman Eropa di dalam perbentengan Kota Batavia. Rumah-rumah dibangun menghadap ke kali, seperti di Belanda.” Di akhir tulisan, Raaf seolah menyayangkan kondisi bangunan tersebut yang hari ini “dibiarkan tidak terawat dan terkesan kumuh”(hal.59).
Jika pembaca tidak kritis, perbandingan yang Raap ajukan bisa memunculkan dikotomi yang lebar antara kondisi di era kolonial dan pasakemerdekaan. Akan terbentuk kesan yang begitu menonjol bahwa Indonesia seolah tak sanggup mengelola pelbagai bangunan tinggalan Belanda. Hal itu bisa kita baca lewat beberapa penjelasan Raaf terkait bangunan yang berubah terpuruk dan ambruk ketika di kelola mandiri oleh pemerintah Indonesia. 
Meski begitu, Raaf masih menampilkan lanskap tradisi di masyarakat Jawa lewat foto-foto yang mengisahkan pasar, sungai (maritim), tempat ibadah (Islam) dan rumah. Sebuah kartu pos berjudul “Passar Redjowinangoen” menampakan orang-orang menggelar barang dagangan, seperti buah, cabe, hasil perkebunan, dengan membawa pelbagai bakul atau pikulan. Dagangan digelar begitu saja, kebanyakan menggunakan tikar. Kartu pos itu terbit 1910 oleh H.V.Maresch, Magelang (hal.79).  
Di bab “Tentang Aliran Air”, akan kita dapati bagaimana kebudayaan sungai pernah begitu hidup di Jawa. Orang Jawa memaknai sungai sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Sampan, perahu, dan kapal kecil, hilir mudik mengisi sungai-sungai di Jawa. Orang-orang berinteraksi di sekitaran sungai, seperti berperahu, mencuci pakaian, serta untuk urusan pengangkutan barang. Bahkan jembatan yang dibangun saat itu didesain agar tak mengganggu proses lalu lintas sungai.
Sebuah kartu pos bertitimangsa 1908, berjudul Ophaalbrug Pasar Ikan (Jembatan Angkat Pasar Ikan), diterbitkan oleh Visser & Co., Weltreveden, menampilkan sebuah jembatan angkat bergaya Belanda. Jembatan ini bisa diangkat ketika ada perahu hendak lewat, sehingga keberadaannya tidak mematikan jalur transportasi air saat itu (hal.213). Berbeda dengan kondisi saat ini, di mana banyak jembatan dibuat paten, yang akhirnya, secara perlahan memutus kebudayaan sungai di Jawa.
Terlepas dari cara pandang Raaf yang masih memakai perspektif kolonial, meski tidak keseluruhan, dalam menjelaskan Jawa lewat foto di kartu pos, hasil riset ini pantas jadi alternatif membaca kebudayaan dan keadaan kota di Jawa di masa lalu. Foto-foto itu, paling tidak, ikut membantu bagaimana Jawa dikenal dunia lewat secarik kartu pos.[] 

Resensi dimuat di Koran Jakarta, 07 September 2015