Kelahiran
seorang manusia selalu diikuti dengan ritus pemberian nama. Nama itu penanda, pengingat dan pemberi identifikasi diri.
Nama jadi acuan untuk memberi sapaan dan panggilan. Pemberian nama untuk bayi yang baru lahir pun kerap
dibarengi doa, harapan, dan kebanggaan.
Di
Jawa, orang-orang tak percaya pada ungkapan klasik “apalah arti sebuah nama.”
Bagi orang Jawa, pemilihan nama selalu menjurus pada pemaknaan filosofis, religius,
linguistis,
kultural, hingga ideologis. Mereka merangkai dan memilih nama dari pelbagai
referensi.
E.M
Uhlenbeck (1982) menjelaskan
bahwa di dalam masyarakat Jawa, nama bisa dipungut dari cerita wayang populer,
kalender Jawa, bahasa Jawa kuno, karya sastra, hari dalam sepekan, Alquran,
bahkan bunga,
tanaman, dan hewan. Sebagai pertimbangan, orang Jawa biasa meminta rujukan nama dari orangtua, “orang pintar”,
dukun, dan kyai.
Konon,
nama bisa memengaruhi takdir manusia.
Tak pelak, bila di kemudian hari dirasakan ada kekeliruan atau kekurangserasian,
mengganti nama bisa ditempuh sebagai usaha perbaikan nasib. Penggantian itu bisa
disebabkan oleh peristiwa tertentu, seperti menikah, sembuh dari sakit keras,
atau karena mendapat pekerjaan baru.
Kisah Sukarno
Prosesi
mengganti nama pun tak bisa semena-mena. Ada ritual khusus yang mesti
ditunaikan, seperti meminta restu orangtua dan pemimpin agama/adat. Tak lupa
mereka membagikan bubur beras merah ke para tetangga, yang disertai
pemberitahuan atas perubahan nama tersebut.
Kisah
penggantian nama pernah dialami oleh Presiden Sukarno. Semula, nama kecil Sukarno adalah Koesno. Semasa kecil,
Koesno dicap sebagai anak berpenyakitan. Ia kerap terserang malaria, disentri,
dan penyakit lainnya. Ayahnya berkeyakinan
nama itu tidak cocok dan mesti diganti.
Ayah
Koesno mengisahkan:“Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar
dalam tjerita mahabarata....Dalam bahasa Djawa huruf “A” mendjadi “O”. Awalan
“Su” pada kebanjakan nama kami berarti baik, paling baik. Djadi Sukarno berarti
pahlawan jang baik” (Cindy Adams, 1966:35-36).
Penggantian
nama itu terbukti manjur. Sejak menyandang nama baru, masa Sukarno tak lagi
gampang sakit-sakitan. Keputusan memilih nama bereferensi tokoh wayang justru
menerbitkan kepercayaan diri dan kebanggan bagi Sukarno. Di kemudian hari, Sukarno
sempat memakai nama samaran “Bima” saat menulis esai-esai bermisi nasionalisme. Kedua nama
itu manjur, mengiringi masa-masa penuh bahaya saat giat sebagai pemikir dan
aktivis kemerdekaan.
Sikap Politik
Nama
juga bisa dianggap sebagai penegas sikap politik dan ideologi. Dalih tersebut
dipilih Ki Hajar Dewantara
untuk berkeputusan mengganti namanya, hingga dua kali. Lahir dari keluarga
kerajaan, ayahnya, Pangeran Suryaningrat, yang tak lain putra sulung Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam III, memberinya nama Raden Mas (RM)
Suwardi.
Nama beraroma ningrat itu pun tak awet. Memasuki sekolah Belanda Europeesche Lagere School,
RM Suwardi justru memilih berganti nama menjadi Raden Mas Suwardi Suryaningrat.
Pergantian itu dipicu hasrat untuk setara dengan anak-anak Belanda, yang mencantumkan nama keluarga sehingga menjadi lebih
panjang (Dewantara, 1981:36). Bisa disebut, penggantian nama adalah
sebentuk perlawanan Suwardi dalam menolak diremehkan oleh bangsa kolonial.
Suwardi
pun tumbuh sebagai pemuda melek politik. Melangkah dewasa, Suwardi terlibat gerakan politik bersama
Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker dalam Indische
Partij. Meski begitu, pergerakan Suwardi justru lebih bertumpu pada
usaha-usaha di bidang pendidikan dan pengajaran. Idealisme Suwardi benar-benar tercurah saat mendirikan perguruan Taman Siswa.
Di
saat inilah Suwardi kembali berganti nama. Penggantian nama berdalih
kepentingan idealisme dan sikap politik. B.S.Dewantara dalam buku Ki Hadjar Dewantara Ayahku menjelaskan alasan penggantian tersebut:”Juga bagaimana seorang
Ningrat…dapat mendekati rakyat yang dicintainya selama ia berpamor ningrat?”
Di era kolonial, status “ningrat” memang berisiko
menimbulkan jarak dan segan. Karib Suwardi, Douwes
Dekker, menerangkan bahwa penggantian itu
demi menghilangkan kesan feodal dan aristokrasi Jawa yang ia sandang.
Nama Ki Hajar Dewantara pun resmi dipakai sejak
tanggal 23 Februari 1928 (Soeratman, 1983).
Kini, kita mengenalnya sebagai Bapak Pendidikan
Indonesia.
Tak Sekadar
Identitas
Doa
tokoh kenamaan di Jawa itu punya pemaknaan khusus perihal nama. Nama jadi
manifestasi alam pikiran dan sikap individu. Bagi Ki Hajar Dewantara,
kesetaraan bisa dimulai dari sebuah nama. Sedangkan bagi Sukarno, nama adalah
pemberi kebanggan.
Dari senarai tersebut, tercatat bahwa
urusan nama memang tak sekadar identitas. Selalu ada alasan dan pemaknaan bermisi ideologis, politis,
religius, hingga nasionalisme
di balik pemilihan sebuah nama.
Fenomena
nama-nama “unik” yang beberapa waktu lalu sempat menyedot perhatian publik
betapa memilih nama
memang urusan pelik, apalagi bagi orang Jawa. Manusia memerlukan kejelian,
keinsyafan, dan pemahaman agar tak keliru saat merangkai atau memaknai sebuah
nama. []
Dimuat koran Wawasan, 26 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar