Jumat, 19 Juni 2015

Kondisi Jalan dan Keberadaban



Kemacetan jalan selama arus mudik Lebaran 2015 kemungkinan besar bakal terjadi di Jawa Tengah. Gubernur Ganjar Pranowo menjelaskan, perbaikan di pelbagai ruas jalan tidak berpatokan pada Lebaran, tapi mengutamakan kualitas pengerjaan jalan. Alhasil, Gubernur meminta masyarakat untuk bersiap-siap menghadapi kemacetan bila menjelang Hari Raya perbaikan belum juga selesai (Suara Merdeka, 12 Juni 2015).
Kondisi jalan memang selalu jadi sorotan dan perbicangan oleh pemerintah dan publik setiap musim mudik tiba. Orang-orang bakal memenuhi jalan saat bergerak dari tempat perantauan menuju kampung halaman. Kemacetan tentu menjadi risiko tak tertangguhkan bila kapasitas jalan tak sesuai dengan jumlah pengguna kendaraan. Pelebaran jalan berlangsung lambat tapi pertambahan kendaraan tak terkendali. Selain itu, banyak kecelakaan terjadi akibat kondisi jalan rusak.
Sejak dulu, jalan dibangun demi pemenuhan ambisi mobilitas manusia. Jalan ada di kota hingga ke desa-desa. Kita bisa lekas menganggap suatu daerah dianggap terbelakang bila kondisi jalannya rusak dan tak terawat. Jalan menandai gairah manusia menggapai keberadaban dan modernitas. Orang-orang memanfaatkan jalan sebagai pemulus urusan-urusan bermisi ekonomi, politik, religius, kekuasaan, dan budaya.
Di Indonesia, gagasan tentang pembangunan jalan yang nyaman untuk dilalui (modern) dimulai sejak abad XVIII. Jalan modern berarti jalan panjang, luas, dan keras. Pembangunan jalan jadi solusi mendesak karena kondisi geografis Indonesia saat itu dianggap kurang mendukung agenda kolonial. Pada 29 April 1808, Gubernur Herman Willem Daendels menggagas pelebaran dan pembangunan Jalan Raya Pos terpanjang di pulau Jawa.
Jalan Raya Pos berawal dari “imajinasi” Daendels akan “sebentang jalan militer, sebagaimana Imperium Romawi memiliki jalan cursus publicus yang menghubungkan Roma dengan semua kota jajahannya di Eropa Barat” (Tempo, 25-31 Mei 2015). Turunnya instruksi Daendels pada 5 Mei 1808 mengawali pembangunan rute megaproyek ini. Jalan ini membuka gelombang kolonialisme secara besar-besaran. Arus modernitas pun masuk ke Jawa. Kaum “Londho” di Indonesia bahkan menganggap jalan modern sanggup membawa ingatan mereka seperti saat berada di tanah Eropa.
Hasrat kolonial membangun jalan modern dipertegas oleh H.F.Tillema, seorang penulis dan anggota dewan kota Semarang. Ia menyarankan agar Jalan Daendels dipelihara secara lebih baik lagi. Menurutnya, konon kondisi Jalan Daendels di Semarang telah menjadi “sebuah jamban yang besar”, kotor dan penuh sampah. Selain itu, tekstur jalan juga lembek dan berdebu. Tilleman menganggap kondisi tersebut rawan memicu penyakit. Ia menyarankan agar jalan dipelihara dengan cara pengerasan, disiram, dan dibersihkan (Rudolf Mrazek, 2006). Jalan tak lagi sebatas urusan mobilitas pengangkutan hasil kerja kolonial tapi juga kesehatan. 


Imajinasi dan Kenangan
Bentangan jalan di Indonesia saat itu sanggup merangsang kekaguman bumiputera. Jalan yang dibangun lewat pembabatan hutan dan gunung telah menghadirkan panorama yang memikat. Jalan tak sekadar jalur transportasi tapi juga alternatif wisata. Petilan novel klasik Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, terbit kali pertama tahun 1919, mengisahkan pemandangan jalan-jalan di Solo. Simaklah:”Berjalan kaki atau naik kereta?” tanya Hidjo pada tunangannya. “Berjalan saja sambil melihat-lihat pemandangan sepanjang jalan,” jawab Raden Ajeng.” Kita lantas membayangkan orang-orang dulu berjalan sambil menikmati pemandangan di tepi jalan meski kendaraan berseliweran.  
Ekspresi bombastis justru dikabarkan oleh Harriet W. Ponder, perempuan berkebangsaan Inggris yang datang dan tinggal di Jawa kisaran tahun 1930-an. Bagi Ponder, “jalan-jalan di Jawa merupakan jalan raya paling menyenangkan yang ada di dunia; dalam semua kesempatan, saya belum pernah menemukan jalan di negeri mana pun yang menyaingi jalanan ini” (James R. Rush, 2013). Pengakuan prestisius! Kenyamanan di jalan telah memberi bekal kisah dan pengalaman untuk ia kisahkan sekembalinya di Inggris.
Kekaguman pada jalan di Jawa juga dikisahkan oleh Pramoedya Ananta Toer lewat buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2012). ”Dalam liburan-liburan panjang aku suka bersepeda ke mana-mana, antaranya menjelajahi ruas Jalan Raya Pos Rembang-Lasem, ruas jalan yang tak habis-habisnya kukagumi: lebar, bersih, diapit pepohonan asam rindang, dan lalulintas tak putus-putusnya.” Pramoedya memberi pujian kecil terhadap pembangunan jalan meski tak abai pada kebengisan pemerintah kolonial.
Pelbagai catatan, kenangan, dan imajinasi di masa lalu telah menuntun manusia abad ini untuk memperlakukan-menyikapi jalan secara lebih beradab. Jalan itu pengorbanan. Jalan mesti dirawat terus-menerus agar tak membahayakan para pengguna. Merawat jalan adalah merawat peradaban. Dengan memahami hal itu, perbaikan jalan sepantasnya tak melulu dikerjakan saat menjelang musim arus mudik saja.
Niat Gubernur Ganjar Pranowo melakukan perbaikan dengan mengutamakan kualitas jalan pantas kita apresiasi. Jalan berkualitas diharapkan awet dan tahan lama. Sayangnya, perbaikan itu kemungkinan tak selesai saat mobilitas publik sedang berada di titik puncaknya, yaitu menjelang Idul Fitri, di mana pengguna jalan sedang melimpah. Gubernur bahkan sudah mengimbau masyarakat untuk bersiap apabila kemacetan terjadi.
Para pemudik tentu tak bisa melanjutkan imajinasi jalan Jawa seperti halnya pengisahan Mas Marco Kartodikromo, Harriet W. Ponder, dan Pramoedya Ananta Toer. Kisah di jalan justru bakal diisi dengan kemacetan dan kelelahan, di mana hal itu kerap memicu kecelakaan. Kita pantas berdoa agar para pemudik bersabar dan berkuat iman saat menempuh perjalanan jauh. Mereka tak boleh tergesa-gesa dan marah. Di jalan itulah, keberadaban, bahkan kelangsungan hidup manusia, dipertaruhkan. []

Dimuat Suara Merdeka, 19 Juni 2015