Kemacetan jalan selama arus mudik
Lebaran 2015 kemungkinan besar bakal terjadi di Jawa Tengah. Gubernur Ganjar
Pranowo menjelaskan, perbaikan di pelbagai ruas jalan tidak berpatokan pada
Lebaran, tapi mengutamakan kualitas pengerjaan jalan. Alhasil, Gubernur meminta
masyarakat untuk bersiap-siap menghadapi kemacetan bila menjelang Hari Raya
perbaikan belum juga selesai (Suara
Merdeka, 12 Juni 2015).
Kondisi jalan memang selalu jadi
sorotan dan perbicangan oleh pemerintah dan publik setiap musim mudik tiba.
Orang-orang bakal memenuhi jalan saat bergerak dari tempat perantauan menuju
kampung halaman. Kemacetan tentu menjadi risiko tak tertangguhkan bila
kapasitas jalan tak sesuai dengan jumlah pengguna kendaraan. Pelebaran jalan berlangsung
lambat tapi pertambahan kendaraan tak terkendali. Selain itu, banyak kecelakaan
terjadi akibat kondisi jalan rusak.
Sejak dulu, jalan dibangun demi
pemenuhan ambisi mobilitas manusia. Jalan ada di kota hingga ke desa-desa. Kita
bisa lekas menganggap suatu daerah dianggap terbelakang bila kondisi jalannya
rusak dan tak terawat. Jalan menandai gairah manusia menggapai keberadaban dan
modernitas. Orang-orang memanfaatkan jalan sebagai pemulus urusan-urusan
bermisi ekonomi, politik, religius, kekuasaan, dan budaya.
Di Indonesia, gagasan tentang pembangunan
jalan yang nyaman untuk dilalui (modern) dimulai sejak abad XVIII. Jalan modern
berarti jalan panjang, luas, dan keras. Pembangunan jalan jadi solusi mendesak
karena kondisi geografis Indonesia saat itu dianggap kurang mendukung agenda
kolonial. Pada 29 April 1808, Gubernur Herman Willem Daendels menggagas
pelebaran dan pembangunan Jalan Raya Pos terpanjang di pulau Jawa.
Jalan Raya Pos berawal dari
“imajinasi” Daendels akan “sebentang jalan militer, sebagaimana Imperium Romawi
memiliki jalan cursus publicus yang
menghubungkan Roma dengan semua kota jajahannya di Eropa Barat” (Tempo, 25-31 Mei 2015). Turunnya
instruksi Daendels pada 5 Mei 1808 mengawali pembangunan rute megaproyek ini.
Jalan ini membuka gelombang kolonialisme secara besar-besaran. Arus modernitas
pun masuk ke Jawa. Kaum “Londho” di Indonesia bahkan menganggap jalan modern
sanggup membawa ingatan mereka seperti saat berada di tanah Eropa.
Hasrat kolonial membangun jalan
modern dipertegas oleh H.F.Tillema, seorang penulis dan anggota dewan kota
Semarang. Ia menyarankan agar Jalan Daendels dipelihara secara lebih baik lagi.
Menurutnya, konon kondisi Jalan Daendels di Semarang telah menjadi “sebuah
jamban yang besar”, kotor dan penuh sampah. Selain itu, tekstur jalan juga lembek
dan berdebu. Tilleman menganggap kondisi tersebut rawan memicu penyakit. Ia
menyarankan agar jalan dipelihara dengan cara pengerasan, disiram, dan
dibersihkan (Rudolf Mrazek, 2006). Jalan tak lagi sebatas urusan mobilitas
pengangkutan hasil kerja kolonial tapi juga kesehatan.
Imajinasi
dan Kenangan
Bentangan jalan di Indonesia saat
itu sanggup merangsang kekaguman bumiputera. Jalan yang dibangun lewat
pembabatan hutan dan gunung telah menghadirkan panorama yang memikat. Jalan tak
sekadar jalur transportasi tapi juga alternatif wisata. Petilan novel klasik Student Hidjo karya Mas Marco
Kartodikromo, terbit kali pertama tahun 1919, mengisahkan pemandangan
jalan-jalan di Solo. Simaklah:”Berjalan kaki atau naik kereta?” tanya Hidjo
pada tunangannya. “Berjalan saja sambil melihat-lihat pemandangan sepanjang
jalan,” jawab Raden Ajeng.” Kita lantas membayangkan orang-orang dulu berjalan
sambil menikmati pemandangan di tepi jalan meski kendaraan berseliweran.
Ekspresi bombastis justru
dikabarkan oleh Harriet W. Ponder, perempuan berkebangsaan Inggris yang datang
dan tinggal di Jawa kisaran tahun 1930-an. Bagi Ponder, “jalan-jalan di Jawa
merupakan jalan raya paling menyenangkan yang ada di dunia; dalam semua
kesempatan, saya belum pernah menemukan jalan di negeri mana pun yang menyaingi
jalanan ini” (James R. Rush, 2013). Pengakuan prestisius! Kenyamanan di jalan
telah memberi bekal kisah dan pengalaman untuk ia kisahkan sekembalinya di
Inggris.
Kekaguman pada jalan di Jawa juga
dikisahkan oleh Pramoedya Ananta Toer lewat buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2012). ”Dalam liburan-liburan
panjang aku suka bersepeda ke mana-mana, antaranya menjelajahi ruas Jalan Raya
Pos Rembang-Lasem, ruas jalan yang tak habis-habisnya kukagumi: lebar, bersih,
diapit pepohonan asam rindang, dan lalulintas tak putus-putusnya.” Pramoedya
memberi pujian kecil terhadap pembangunan jalan meski tak abai pada kebengisan
pemerintah kolonial.
Pelbagai catatan, kenangan, dan
imajinasi di masa lalu telah menuntun manusia abad ini untuk memperlakukan-menyikapi
jalan secara lebih beradab. Jalan itu pengorbanan. Jalan mesti dirawat
terus-menerus agar tak membahayakan para pengguna. Merawat jalan adalah merawat
peradaban. Dengan memahami hal itu, perbaikan jalan sepantasnya tak melulu
dikerjakan saat menjelang musim arus mudik saja.
Niat Gubernur Ganjar Pranowo
melakukan perbaikan dengan mengutamakan kualitas jalan pantas kita apresiasi. Jalan
berkualitas diharapkan awet dan tahan lama. Sayangnya, perbaikan itu kemungkinan
tak selesai saat mobilitas publik sedang berada di titik puncaknya, yaitu
menjelang Idul Fitri, di mana pengguna jalan sedang melimpah. Gubernur bahkan
sudah mengimbau masyarakat untuk bersiap apabila kemacetan terjadi.
Para pemudik tentu tak bisa
melanjutkan imajinasi jalan Jawa seperti halnya pengisahan Mas Marco
Kartodikromo, Harriet W. Ponder, dan Pramoedya Ananta Toer. Kisah di jalan
justru bakal diisi dengan kemacetan dan kelelahan, di mana hal itu kerap memicu
kecelakaan. Kita pantas berdoa agar para pemudik bersabar dan berkuat iman saat
menempuh perjalanan jauh. Mereka tak boleh tergesa-gesa dan marah. Di jalan
itulah, keberadaban, bahkan kelangsungan hidup manusia, dipertaruhkan. []
Dimuat Suara Merdeka, 19 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar