Minggu, 22 Maret 2015

Ikhtiar Menyingkap Kabut Pramoedya



Biografi Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)  belum selesai dikisahkan dalam pelbagai perspektif. Sekian buku pernah diterbitkan guna menjelaskan Pramoedya: karya, sikap kepengarangan, pemikiran, pilihan politik, hingga urusan cinta dan keluarga. Kritikus, sastrawan, akademisi, aktivis, dan publik merasa perlu memberi penghormatan kepada Pramoedya atas kerja kesusastraan dan misi kemanusiaan yang ia sampaikan dalam karyanya.
Penerbitan buku tentu berkepentingan menampilkan Pramoedya dalam tafsir yang seterang-terangnya. Dalih ini bisa dimengerti. Kita tahu semasa rezim Orde Baru hampir seluruh karya Pramoedya bernasib apes lantaran dibredel, dibakar, dan dilarang untuk dibaca secara bebas. 
Ambisi mengisahkan Pramoedya secara blak-blakan kemudian ditempuh oleh adik keenamnya, Soesilo Toer. Perspektif seorang adik tentu berpotensi memberi informasi tak biasa. Dua tahun silam Soesilo menerbitkan buku Pram dari Dalam (2013) yang menampilkan Pramoedya dalam fragmen kenangan masa kecil, kisah cinta, serta nasib perkawinannya yang sempat berantakan.
Dalam buku terbarunya Pram dalam Kelambu (2015) Soesilo tak lagi berkutat pada romantisme bersama sang kakak. Soesilo mencoba menyuguhkan penilaian dan hasil pemikirannya atas kepengarangan Pramoedya. Soesilo merasa publik belum sepenuhnya menemui titik terang atas tafsir karya, ketokohan, dan kepercayaan kakaknya.
Seperti ada “kabut tebal” yang terus meliputi Pramoedya. Dari pengamatannya, Soesilo menganggap ada tiga penyebab kenapa Pramoedya belum “terbaca” secara tuntas. Pertama, “secara keseluruhan masih sukar atau bahkan tidak mungkin mengakumulasi semua karya Pramoedya, sejak dia menulis sampai sepak terjangnya dalam dunia sastra dalam dewasa ini” (hlm.3).
Kita tentu sudah lama mengerti perihal karya-karya Pramoedya yang dirampas dan dibakar pasca-geger 1965. Roman Gadis Pantai, misalnya, hanya satu yang berhasil diselamatkan dari tiga jilid yang sudah diselesaikan oleh Pramoedya. Selebihnya, konon, lenyap di tangan Angkatan Darat. Pelacakan seluruh karya Pramoedya untuk kemudian dilakukan apresiasi dan pengkajian alhasil mustahil dikerjakan.
Selain itu, Soesilo menganggap banyak kritikus sastra tak kuasa mengajukan penilaian secara objektif dan mendalam. “Prof. Teeuw yang telah begitu lama mempelajari karya-karya Pramoedya dalam tulisannya pun telah terjerumus ke dalam sifat subjektif seorang kritikus, yang disebabkan oleh rasa simpati dan rasa kagum” (ibid). Keampuhan mata kritik Teeuw terbius oleh kekaguman atas sosok Pramoedya secara pribadi ketimbang mengutamakan objektifitas.
Bahrum Rangkuti yang menulis tentang Pramoedya justru dianggap terlalu “tergesa-gesa”. Ia menyimpulkan kepercayaan dan teisme Pramoedya hanya dengan menafsirkan serpihan kecil dari salah satu bukunya. Sedangkan Prof. Koh Yung Hun dari Korea hanya melacak pemikiran Pramoedya lewat kajian beberapa novel Pramoedya saja: tetralogi Bumi Manusia, Arus Balik, Arok Dedes, dan Gadis Pantai. Dengan demikian, penilaian dan kajian atas karya Pramoedya secara detail dan menyeluruh ibarat jauh api dari ranting kering.
Ikhtiar mengkaji karya Pramoedya tentu berkepentingan menangkis stigma yang dituduhkan rezim Orde Baru kepada Pramoedya tentang Marxisme yang tersembunyi dalam novelnya. Meskipun, sejatinya, ideologi apapun yang terkandung dalam karya sastra adalah sepenuhnya hak pengarang. Sastrawan sepatutnya diberi kebebasan untuk menentukan ke mana arah karyanya akan berbicara.
Pengisahan Pramoedya dari perspektif seorang adik tentu saja memiliki karakteristik berbeda. Soesilo mengalami hidup dan tumbuh bersama Pramoedya. Hasilnya, Soesilo menghadirkan penilaian atas Pramoedya disertai sisipan-sisipan cerita dan kenangannya bersama sang kakak, meski hal tersebut sudah dikupas habis di buku sebelumnya.
Penggarapan tema secara semi ilmiah, kemudian diramu dengan petilan pengalaman, serta gaya bercerita yang “meluber”, tak pelak memunculkan cita rasa tulisan seperti halnya ketika kita sedang mengadakan obrolan dengan Soesilo. Kita bakal menganggap buku ini memang tak dipersiapkan sebagai sebuah karya yang masuk dalam jajaran kategori ilmiah.
Maka tak sepatutnya Soesilo berulangkali menuliskan “tulisan ini bukan merupakan tulisan ilmiah…” di dalam teks-teksnya. Hal tersebut justru akan memunculkan kesan ada “keragu-raguan” pada teks-teks Soesilo dalam mengisahkan Pramoedya. Penilaian atas buku sesungguhnya mutlak ada di tangan pembaca.
Bila kita jeli, meski baru pertama kali diterbitkan, teks dalam buku ini kentara ditulis bertahun-tahun silam, tepatnya sebelum Pramoedya wafat. Ibaratnya, barang baru stok lama, meskipun tetap ada penambahan referensi kontemporer. Hal ini tentu bukan perkara baru dalam dunia perbukuan seandainya tercantum penjelasan, minimal, di pengantar buku.
Terlepas dari urusan teknis tersebut, kesaksian dan penilaian yang diajukan Soesilo adalah ikhtiar menempatkan Pramoedya secara lebih terang dan jelas. Petilan pengalaman yang mengisahkan kenangan bersama sang kakak jadi siasat untuk memandang Pramoedya sebagai seutuhnya manusia. Karena, sekali lagi, cara sterbaik menilai Pramoedya adalah dengan menghadirkan kajian secara tuntas atas seluruh karya-karyanya. Agar tarhindar dari kabut pemahaman. Agar Pramoedya tak lagi tertutup kelambu…. []

Dimuat Koran Tempo, 22 Maret 2015

Rabu, 18 Maret 2015

Mengorek Luka Perempuan Tanah Papua



Novel mengisahkan Papua belum beranjak dari tema ketertindasan perempuan. Perempuan mengalami apes lantaran kepercayaan adat ikut melanggengkan dogma patriarki dan diskriminasi. Imajinasi para pengarang Indonesia menganggap Papua belum selesai mengurai benang kusut persoalan perempuan.
Dorothea Rosa Herliany menghadirkan penggung imajinasi Papua lewat penerbitan novel Isinga: Roman Papua (2015). Novel ini mengajak kita menjelajahi semesta Papua lewat tragedi percintaan Meage dan Irewa berlatar konflik sosial-kultural, isu gender, dan aktivisme. Dorothea mengajukan kisah percintaan sebagai siasat menampilkan uraian etnografis-sosiologis di tanah Papua.
Pengisahan bermula saat Meage dan Irewa, dua anak muda di kampung Aitubu, terjerat hubungan cinta. Meage berhasrat meminang Irewa sebagai calon istri. Pelbagai ritual adat sudah dilakoni Meage demi mendapat restu dari sang calon mertua.
Namun tak disangka, Malom, seorang pemuda dari kampung Hobone, terpikat juga pada Irewa. Tali kasih telanjur tertambat pada Meage, Irewa pun menolak pinangan Malom. Tak terima pinangannya ditolak, Malom nekat menculik Irewa. Penculikan ini memicu perang tak berkesudahan antara kampung Aitubu dan Hobone.
Perang berkepanjangan pada akhirnya sampai di titiknya yang terjenuh. Pihak Hobone berinisiatif mengajukan tawaran perdamaian. Isi tawaran tak lain agar warga Aitubu merestui Irewa dipersunting oleh Malom. Irewa dipilih untuk “ditumbalkan” sebagai yonime: juru damai dari dua adat yang bertikai.
“Perempuan bisa menolak laki-laki saat dilamar. Tapi ia tak bisa menolak saat diminta seluruh penghuni perkampungan untuk kepentingan perdamaian (hal.52)”. Irewa tak kuasa melawan kehendak adat. Sejak pertunangan itu Irewa menapaki babak baru dalam hidupnya: hari-hari yang panjang sebagai pesakitan.
Menjadi juru damai berarti mendermakan diri pada kepentingan adat. Kepatuhan pada adat ikut melanggengkan penguasaan otoritas suami atas istri. Hasrat Malom untuk memiliki banyak anak berakibat fatal pada Irewa.
Tugas Irewa sebagai istri adalah bekerja di ladang, hamil, dan melahirkan, tak peduli tubuh lungkrah dan lemah. Hampir separuh buku ini mengisahkan malapetaka hidup Irewa di bawah jeratan kekerasan dan penindasan Malom.
“Makin banyak anak laki-laki, makin berharga dan bermartabat. Tanah luas dan keturunan banyak. Anak laki-laki juga berguna agar prajurit mati ada yang menggantikan” (hal.91). Keinginan Malom punya banyak anak berdalih warisan dan kekuasaan. Anak laki-laki jadi tumpuan saat perang datang.
Nestapa Irewa kian lengkap berkat ulah Malom yang gemar berkunjung ke pelacuran. Banyak perempuan terjangkit penyakit kelamin lantaran suaminya kerap “jajan”. Dari Malom inilah Irewa menemui sial karena terjangkit penyakit sifilis.
Penyakit itu tak hanya menjangkiti Irewa, banyak perempuan lain bernasib sama. Sejak saat itu Irewa merasa terpanggil untuk memasuki dunia aktivisme perempuan. Ada gairah yang menggebu dalam diri Irewa untuk mengentaskan perempuan Papua dari penderitaan dan ketidaktahuan
Secara kekayaan data dan referensi, novel ini berhasil menyajikan pengetahuan etnografis dan imajinasi perihal kondisi sosial-kultural masyarakat di Papua secara meyakinkan. Tetapi, kekayaan referensi dalam novel ini tidak diiringi kesanggupan bercerita yang lentur dan memikat. Cerita berjalan lurus tanpa basa-basi. Dorothea tampak kurang piawai meleburkan data dan referensi dalam olahan gaya penceritaan dan narasi.
Sekian data etnografis terdeskripsikan secara ensiklopedis. Penceritaan model tersebut tentu mengganggu kenikmatan pembacaan saat menapaki jalan cerita dan imajinasi. Selain terasa “kaku”, novel ini juga tak berhasil mengaduk-aduk emosi pembaca.
Tetapi di antara sedikit novel yang memberi perhatian besar pada isu-isu di Papua, kehadiran novel Isinga layak mendapat respons dari pembaca sastra kita. Papua memang mesti dikisahkan dan diwartakan agar tak terus menerus menyimpan luka dan penindasan. []

Dimuat Koran Jakarta, 19 Maret 2015