Jumat, 06 September 2013

Englishman in New York karya Sting: Ihtiar Menjaga Budaya Asal

I’m an alien
I’m a legal alien
I’m an Englishman in New York


(Englishman in New York, Sting)


Studi kebudayaan, tentulah tidak serta merta dilacak melalui produk kebudayaan yang ada. Namun, berbagai macam karya seni juga bisa dipelajari dan ditelaah. Karya seni merupakan hasil pemikiran manusia yang berasal dari budaya tertentu. Kongkritnya, hasil karya seni dari berbagai macam kebudayaan yang berbeda, akan menghasilkan saripati yang berbeda pula. Karya seni menampilkan wajah kebudayaan dalam berbagai rupa dan nilai. Pendekatan melalui karya seni dalam mempelajari kebudayaan tertentu diharapkan mampu menguak estetika dan pesan yang terkandung.

Melalui sebuah lagu, kita dapat menelisik sejauh mana pesan dan makna sebuah lagu dalam membaca kebudayaan. Sebuah lagu berjudul Englishman in New York karya Sting, adalah potret cross cultural case yang bisa kita pelajari. Lagu ini disajikan secara unik—dibalut dengan irama Jazz yang kental, liukan saxophone menyayat ala blues—mengungkap sebuah problematika hidup atas dasar permasalahan budaya dalam lingkup manusia yang mengungkapkan minuman sebagai penanda (baca: identifikasi budaya tertentu).

 
Lagu ini bercerita tentang seorang lelaki berkewarganegaraan Inggris yang sedang berada di New York. Dengan pergulatan budaya yang ada, ia tetap percaya pada keakuannya: ia merasa seorang Inggris yang juga harus menjunjung tinggi keinggrisannya. Juga, sebagai lelaki dewasa, ia harus mampu menaklukan permasalahan terkait adaptasi dan kebudayaan.

Dibuka dengan: “I don’t drink coffee/I take tea my dear/I like my toast done on the side”, lagu ini berpotensi membawa ekspetasi akan pergulatan tokoh “aku lirik” dalam menyikapi permasalahan sepele: memilih minuman! Aku lirik memberi identifikasi lewat sebuah pilihan minuman: kopi dan teh. Pembaca dibawa pada suasana ringan namun mengandung pemaknaan eksistensialisme. Seseorang dengan perbedaan budaya dan rentang wilayah yang teramat jauh: Inggris dan Amerika.

Judul Englishman in New York seolah menjadi petunjuk mutlak. Pilihan atas minuman mampu jadi penanda budaya. Ya, seorang Inggris berada di kota New York, dan mencoba mempertahankan eksistensinya sebagai seorang Inggris. Hal tersebut diungkap dalam lirik pembuka. “Englishman” cenderung memilih minum teh ketimbang kopi. Teh menjadi pilihan seorang Inggris yang santai, dewasa. Berbeda dengan New York yang memilih kopi. Kopi seolah mengabsahkan New York sebagai kota yang tak tidur. Begitu pula dengan pilihannya pada kopi. Kopi menjadi teman bagi masyarakat New York. Kehidupan yang rutin dan terus menerus sekiranya menjadi alasannya memilih kopi.

Pada bait berikutnya:”Manners maketh man”, adalah pengakuan aku-lirik yang meyakini adanya kebiasaan yang membentuk kepribadian.
Aku-lirik memahami akan posisinya di negeri orang. Dan, ini pula yang membuatnya teguh dengan eksistensinya sebagai seorang Inggris. Pilihannya pada teh memberi kesan identifikasi kultural pada sosok seorang Inggris. ”Englishman” menyukai teh karena lebih bersifat santai.

Coba perhatikan bagian reffrain lagu ini: I’m an alien/ I’m a legal alien/ I’m an Englishman in New York. Aku lirik merasa benar-benar seperti seorang Alien. Ia benar-benar merasa asing dengan kondisi sekitar, layaknya Alien. Ya, Alien yang sah, mempunyai surat keterangan yang memadai (baca: legal). Keakuannya sebagai Englishman tetaplah dijaga. Dan, ketika lagu ini kita telaah secara keseluruhan tekstual, tampak sekali aku-lirik ingin berkata bahwa sebagai lelaki maupun perempuan, harus siap dengan pelbagai perbedaan budaya.

Pada akhirnya: pemahaman budaya liyan tanpa tercerabut akar kultural budaya sendiri. Dengan demikian, meski merasa bagai Aliaen Legal, ”Englishman” kukuh berdiri sebagai pribadi Inggris. Penghormatan atas budaya dan pribadi sekaligus. Manusia, sebaiknya, bisa melestarikan budaya lokal, tanpa alergi berbaur dengan budaya asing.

Lagu Englishman in New York ingin menyampaikan sebuah pemahaman tentang pentingnya menjaga budaya asal yang kelak kita bawa ketika sedang berada di daerah yang bukan menjadi wilayah budaya sendiri. Aku-lirik mencoba berpikir tenang ala orang Inggris, meski sedang di New York. Bahwa lebih baik menjaga diri dengan tidak mengganggu dan mengusik budaya lain, namun tetap menjaga keakuan budaya sendiri. Lagu ini berhasil menampilkan konflik hidup dalam lintas budaya secara individu. Dari lagu ini pula, tentulah, permasalahan cross cultural, minimal, bisa ditampilkan ke khalayak. Semoga, karya seni yang sanggup mengungkap perihal kebudayaan semakin banyak lahir. Begitu pula apresian karya seni yang semakin kritis dan peduli. Sehingga imitasi budaya serta impotensi budaya lokal bisa terus diminimalisir. Semoga.***

(Tulisan ini saya buat satu tahun silam. Kebetulan pernah tampil di Buletin Keris edisi 9 Maret 2012. Ah, rasanya ada yang ”beda” membaca tulisan lama)


    

Wiji Thukul, Perumpamaan, dan Gagasan

“Masihkah aku membutuhkan perumpamaan untuk mengungkapkan ini?”, tulis Wiji “Thukul” Widodo dalam sebuah puisi masih dalam bentuk tulisan tangan. Puisi ini adalah hadiah dari Thukul kepada Prof. Dr. W.F. Werthein pada perayaan ulang tahunnya yang ke-90, sosiolog dari Belanda dan ahli Asia Tenggara. Puisi ini berhasil dikumpulkan dalam sebuah buku tipis bersampul cokelat, terbitan edisi khusus majalah Tempo (13-19 Mei 2013), berkat bantuan Jaap Erkelens, sahabat Thukul yang juga Direktur Konnklijk Instituut voor Taal, perwakilan Jakarta. Maka dari puisi tersebut, kita pun mafhum, kita bisa memahami Thukul: bagaimana mungkin seseorang sanggup menuliskan sajak-sajak sarat metafora lagi melankolia jika ketertindasan hidup selalu jadi sarapan di setiap paginya?

Maka buku tipis berjudul Para Jenderal Marah-marah: Kumpulan Puisi Wiji Thukul dalam Pelarian adalah bunga rampai yang menunjukan pergulatan serius, terhadap teks-teks yang terlahir dari kesepian, ketertekanan, kekhawatiran, hingga kekerasan yang Thukul alami semasa pelarian diburu intel penguasa. Puisi tertanggal 1 November 1997 di Jakarta ini, pada akhirnya menjadi semacam penegas, klimaks, dari apa yang Thukul alami sedari proses kreatifnya hinga menjelang akhir tahun 1998. Sebuah masa di mana Thukul menemui babak akhir dalam pelariannya.

Thukul memang penantang abadi. Penentang yang bersuara hampir di setiap bagian hidupnya. Pada puisinya, ia mencipta patron perlawanan anti-penindasan. Ia moncer sebagai penyair perlawanan sejak puisi Peringatan (1986) terdengar lantang di setiap mimbar unjuk rasa, diskusi, hingga pentas teater. Tahun 1987, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Thukul memproklamasikan “sastra ngamen” dan “sastra gugat”. Sebuah kredo tentang bagaimana puisi, seperti isi sajak Peringatan, sanggup menggugat keadaan negara yang diktator lewat kata-kata bertenaga. Kredonya pun mewabah dan menjangkiti siapapun yang mendengar atau membacanya, terutama aktifis, mahasiswa, dan rakyat tertindas. Puisi ini bagai nyamuk bagi penguasa Orde Baru, bersuara berisik dan menggigit. Thukul mendermakan diri untuk perlawanan. Dan sajaknya, hidupnya, hingga seluruh perjuangannya bermuara pada satu tujuan: menentang penindasan!

Perumpamaan dalam sajian sajak-sajak Thukul, hadir meski seperti “tak hadir”. Buku setebal tiga puluh tujuh halaman ini menghadirkan perumpamaan tak sekedar akrobat kata. Teks yang lahir adalah kenyataan hidup, refleksi kehidupan namun tak sempat larut pada kontemplasi yang mengutamakan, untuk tidak mengatakan “mementingkan, bahasa metaforis. Dalam puisi Buat L. Ch & A. B Thukul menulis:”pagi itu/ budimu menjadi api/ /tapi aku harus pergi lagi/ mungkin tahun depan/ atau entah kapan/ akan kuketuk lagi/ daun pintumu/ bukan sebagai buron. Api adalah sesuatu yang menggelora. Api menciptakan gerak, energi, dan cahaya. Api adalah perumpamaan tak berlebihan saat puisi menjelaskan:”bukan sebagai buron”. Maka “api” adalah segumpal energi yang lahir setelah bersembunyi entah berapa lama. Tanpa memandang keberadaan sejarah hidup Thukul, kita segera tahu bahwa puisi ini berkisah tentang petualangan seorang buron pemerintah, penentang kekuasaan. Perumpamaan yang muncul dalam puisi “Pepatah Buron” jadi perumpamaan kritik. “Penindasan adalah guru paling jujur/ bagi yang mengalami/ lihatlah tindakan penguasa/ bukan retorika bukan pidatonya. Dan begitulah sebuah perumpamaan bagi Thukul, suara yang tidak terlalu rumit. Suara yang jelas-jelas lahir dari situasi dan kondisi.

Gagasan

Kekuasaan tiran pada akhirnya jadi tema sentris kritik dalam puisi-puisi Thukul. Setiap puisi adalah kelahiran dari apa yang dirasa oleh si manusia pencipta. Toh, ketika Thukul berhasil mengafirmasi puisinya dengan pilihan kata yang, tak lagi “keras”, ia tetap mengimbuhi puisinya dengan sebuah gagasan utuh. Simaklah:”jilatan matahari/ segarnya udara pagi//alangkah indah negeri ini/ andai lepas dari masa ganas tirani. Petilan puisi bertajuk Bagi Siapa Kalian Memetik Panenan ini memberi petunjuk betapa gagasan perlawanan itu pada akhirnya adalah utama. Thukul merasa dirinya sebagai pribadi yang harus memperjuangkan apa yang ia derita. Maka, perlawanan demi diri yang lebih baik adalah utama. Thukul (1994) menulis: “Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan saya sendiri”.

Jika persoalan hidup adalah puisi, maka perumpamaan adalah sisi yang diolah dari bagian persoalan hidup. Persoalan hidup jadi acuan perumpamaan. Sederet kisah dan tragisme hidup sebagai “penentang” tampak dari sebagian besar puisi yang terkumpul dalam buku Para Jenderal Marah-marah. Keindahan puisi Thukul adalah kehidupan yang “nyata”, yang benar-benar “hidup”, yang menghiasi setiap puisi-puisinya. Dalam buku ini, kita bakal mendapati kisah dan persoalan hidup Thukul (Para Jenderal Marah-marah, Catatan), penderitaan dalam pelarian (Aku Diburu Pemerintahku Sendiri, Ujung Rambut Ujung Kuku, Di Ruangan Ini yang Bernafas Cuma Aku, Hujan Malam Ini Turun, Bulan Agustus Sudah Tiba, Nonstop 24 Jam), kredo kepenyairan (Maklumat Penyair, Penyair, Meditasi Membaca Buku, Sajak), hingga hubungan antar Thukul dan Keluarga (Peluk Sekuat Cintamu, Dengan Apa Kutebus Anakku, Habis Upahan, Wani, Bapakmu Harus Pergi).

Pada mulanya, puisi-puisi wiji Thukul, adalah gagasan. Kita bisa menikmati puisi Thukul, selain etos perlawanan dalam sajaknnya, adalah kesederhanaan Thukul dalam menempatkan apa yang ia alami sehari-hari, ke dalam ramuan puisinya. Siapapun bakal tersenyum menyimak petilan sajak Para Jenderal Marah-marah:”Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju./ Celananya tidak. Aku memang lebih/ sering ganti baju ketimbang celana. Atau, sajak berbahasa Jawa yang genit dalam Warung Kopi Yu Yen:”yen kadhemen/ mang kemulan/ niki wonten kemul anyar/ kemule saged ngentut/ jenenge narti! Dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini:”jika kedinginan/ pakai selimut/ ini ada selimut baru/ selimutnya bisa kentut/ namanya narti!”.

Pada sajak-sajaknya  yang lain, gagasan tetaplah yang utama. Sebuah sajak, adalah apa yang menurut Thukul harus disuarakan berdasar segala yang menimpa dirinya. Puisi adalah biografi dan jalan pikiran. Puisi bisa jadi rujukan kuat untuk mengenali dan memaknai laku hidup dan derita hidup yang pernah Thukul alami selama pelarian, di bawah rezim Orba, serta kemiskinan yang melanda hidupnya. Maka ketika puisi berjudul Sajak (1987), dengan lantang bersuara: ”sajakku gerakan/ bahasaku perlawanan/ kata-kataku menentang/ ogah diam”, maka kata-kata itu sepenuhnya jalan pemikiran. Apa yang ia tulis adalah apa yang ia yakini.  Bisa jadi, “kepergiannya” yang entah, menjadi bukti bagi gagasan-puisinya. “Kalian bisa bikin tubuhku lebam/ membiru/ tapi tak bisa kalian padamkan/ marahnya kepalan kata-kataku!”, tulis Thukul tahun 1993. Ia sepenuhnya benar. Meski pada keadaan yang lebih menakutkan ketimbang “tubuhku lebam”. Dan, pada titik inilah, kita mesti bertanya, masih perlukah sebuah perumpamaan dipakai demi “merias” puisi untuk menceritakan “tubuh lebam” dan nyawa yang hilang, seperti yang Wiji Thukul alami?[]

Bibliografi: 
Thukul, Wiji. 2013. Para Jenderal Marah-marah. Edisi spesial majalah Tempo edisi 13-19 Mei.
Thukul, Wiji. 1994. “Seniman Harus Memperjuangkan Gagasannya”, dalam Jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Edisi 2, November.

(Dimuat di Riau Pos 1 September 2013)


Persoalan Kebudayaan dari Dalam

(Tanggapan atas Polemik dari Halim HD)


Halim HD, melalui surat terbuka kepada Gubernur Ganjar Pranowo, mendakwa ada ketidakpahaman Pemerintah dalam menyikapi persoalan kebudayaan (SM, 11 Agustus 2013). Hal ini ditengarai oleh; pertama, banyak elit pengelola daerah tak memahami peta masalah yang ada; kedua, event kebudayaan diukur dari jumlah pemasukan atau nilai profit; ketiga, politik kebudayaan yang memandang seni budaya sebagai komoditas dan sekaligus ekonomisasi kebudayaan.

Tiga dugaan tersebut, lebih jauh dari persoalan kekurangpahaman, menandai adanya kekeliruan paradigma. Analisa tersebut menggambarkan betapa paradigma Pemerintah cenderung menggunakan nalar ekonomi, praktis, dan kapitalistik dalam mengurusi persoalan kebudayaan. Kebudayaan bagai komoditi dagangan yang diharuskan menghasilkan profit.

Gempuran globalisasi, modernisasi, dan kapitalisme memang, mau tak mau, menulari birokrat kita. Efeknya, semua lini kehidupan harus dihitung seakurat mungkin demi pemenuhan ambisi bernalar uang, termasuk kebudayaan. Ibaratnya, hasrat merawat kesenian dan kebudayaan akan ditempuh jika mendatangkan laba. Tak berlebihan jika Halim HD, mengambil contoh kasus TBS, menganggap institusi kebudayaan “tak memiliki visi bagaimana kehidupan kebudayaan serta peran institusi publik dikelola”.

Di luar “penyakit” birokratisme tersebut, ada hal yang perlu saya ungkap di sini terkait persoalan kebudayaan di Jateng. Pada akhirnya kita akan merunut persoalan ini hingga ke akar-akarnya. Tentang individu para birokrat, hal itu sudah saya utarakan di muka. Justru, pada individu pelaku kesenian itulah kita patut curiga. Benarkah para “seniman” Jateng sudah benar-benar menjaga laku berkesenian tanpa tercoreng kecurangan-kecurangan dalam, misalnya, proyek-proyek kesenian. Dalam hal ini, kita pantas curiga terhadap seniman yang, saya ambil contoh, menjabat sebagai dewan kesenian di setiap daerah.

Saya pernah mengajukan keberatan atas selebrasi dan launching buku puisi di suatu daerah yang dimuat di kolom ini. (SM, 2013). Acara tersebut saya kritik karena terlalu sarat bermuatan agenda politik, serta pembebanan karya seni sebagai sebuah “strategi” semata. Hal tersebut berkaitan erat dengan simtom-simtom persoalan kebudayaan yang terjadi di Jateng. Kekhawatiran atas perlakuan yang kurang pantas terhadap karya seni, seniman, dan kesenian membuat saya melontarkan kritik tersebut.

***

Sudah sepantasnya para seniman berperan dalam institusi dewan kesenian. Penempatan para pelaku seni di dalam birokrasi Pemerintah, dalam hal ini dewan kesenian, memberi pengharapan atas apresiasi dan kebijakan yang kelak ditelurkan. Masyarakat seni menyambut baik kehadiran orang-orang sesuai profesionalismenya. Namun, kondisi dewan kesenian, seperti lazimnya sebuah birokrasi pemerintahan, lambat laun melahirkan benih-benih mental birokratisme, yang seharusnya dibuang jauh-jauh dari pribadi seorang seniman.

Pada mulanya adalah kesibukan merancang program kerja, menetapkan anggaran, bagi-bagi proyek, dan berujung pada realisasi. Ada hal yang biasanya hadir dari kondisi seperti ini—teratur, dikejar program, serta dekat dengan kelimpahan materi. Pragmatisme! Degradasi sudut pandang perlahan-lahan menjangkiti para seniman cum birokrat kita. Maka lahirlah kalangan seniman-birokrat yang rapuh. Ambisi menuntaskan progam kerja jadi lebih utama ketimbang merawat etos berproses kreatif. Sedikit sekali kesempatan untuk berkontemplasi menghidupkan kesenian melalui produktifitas berkarya. Bisa dikatakan, berkarya sesekali, selebihnya mengurusi institusi dewan kesenian tersebut. Rebutan proyek kesenian demi ego pribadi, untuk tidak mengatakan demi profit, menjadi semacam ironisme. Para individu ini tak kuasa menahan-membentengi diri dari sergapan penyakit birokrat seperti pada umumnya.

Dan generasi muda pun menjadi korban kesemrawutan kondisi ini. Generasi yang sedang memulai menapaki jejak kesenian harus kecewa, mendapati para pendahulunya mewarisi kondisi dan sistem yang tidak apresiatif terhadap seniman muda. Saya belum lupa, beberapa tahun silam, seorang aktifis seni di Semarang, menggugat tatanan dan sistem di institusi kesenian, yang dianggapnya tidak memberi sambutan pada para seniman muda. Dan itulah simtom-simtom yang menandakan ada persoalan besar dalam kebijakan kebudayaan di Jateng.

***
Persoalan kebudayaan Jateng justru tidak semata ada di tampuk kekuasaan dan sistem pemerintahan. Lebih mendalam, ironisme menjangkiti dari dalam, dari para seniman kita. Penguatan etos dan produktifitas individu, serta kesadaran membuka peluang bagi generasi muda untuk memperoleh tempat dan kesempatan, sama mendesaknya dengan solusi terhadap persoalan birokrasi pemerintahan dalam mengurusi dunia seni dan budaya.

Pada taraf inilah, sebenarnya, persoalan kebudayaan di Jateng menjadi lebih berbahaya. Yaitu, ketika para seniman yang duduk di kursi institusi pemerintahan tidak sanggup menjaga jiwa kesenimanan serta misi berkesenian secara jujur dan beretika. Yang lahir dari fenomena ini justru, seperti apa yang diungkapkan Halim HD, individu yang “jauh dari profesionalisme”, serta “tak memiliki visi bagaimana kehidupan kebudayaan serta peran institusi publik dikelola”. Meski saya yakin, masih ada pihak-pihak yang serius dan tekun dalam berkarya, berorientasi estetika, serta memberi jarak pada situasi yang memungkinkan lahirnya benih-benih pragmatisme dalam berkesenian.

Kebijakan kebudayaan pemerintah Jateng di tangan Gubernur Ganjar Pranowo kelak, betapapun upayanya dalam menanggapi persoalan dan isu kesenian, jika tidak ditampung oleh individu—seniman—yang kokoh menjaga keberimanan dalam berkesenian, hanya mencetak kebijakan yang sumbing dan sumbang. Evaluasi sepantasnya dimulai dari para pelaku seni yang terjebak dalam pragmatisme birokrasi kesenian. Dari sini, perspektif cerdas untuk kebijakan kebudayaan di Jateng, barangkali, bisa dimulai.[]



Bunga Rampai Berpamrih Uang

(Menyikapi Selebrasisme Komunitas Sastra)

Maraknya penerbitan antologi berjamaah secara indie mengisyaratkan gairah publik terhadap kesusastraan masih cukup besar. Perhelatan antologi puisi, cerpen, dan esai menandakan kesadaran berliterasi masih terawat dengan baik. Gerakan merawat etos lewat sederet sayembara, lomba, serta undangan menulis, dengan maksud untuk dibukukan, kerap digawangi oleh sejumlah kampus, komunitas sastra, dewan kesenian, hingga inisiatif pribadi

Tradisi pembukuan secara berjamaah ini cukup mempan merangsang gairah calon penulis/pemula untuk terus mengasah ketajaman mata pena, sebelum benar-benar bersaing dalam jagat kepenulisan yang lebih menantang: sastra koran. Antologi tersebut kelak dijual lebih murah ketimbang harga di toko buku. Bahkan, tak jarang buku dibagi cuma-cuma saat forum sastra berlangsung. Beberapa pihak mengklaim, proyek antologi tak lain dari bentuk perlawanan terhadap dominasi koran. Apa pun itu, antusias pemula untuk membukukan karya sangatlah besar.

Cerpenis S Prasetyo Utomo, di rubrik ini, pernah mengakui, melimpah-ruahnya peserta lomba menulis cerita pendek dari seluruh penjuru Tanah Air menandakan dunia penciptaan cerpen kita tetap bergairah. Meskipun belum diketahui pasti, misi setiap individu ketika mengikutsertakan karyanya dalam lomba. Apakah sebatas iseng, coba-coba, mencari pengakuan, atau justru sudah sampai pada keseriusan melakukan inovasi penciptaan (SM, 26 Mei 2013).

Sederet hajatan temu sastrawan kerap digagas di beberapa daerah. Ada acara yang digarap serius, dari perhelatan acara hingga realisasi buku yang dicetak. Urusan pendanaan disiapkan secara seksama dengan menggaet tokoh-tokoh peduli literasi sebagai donatur, jauh dari kesan sponsorship yang mengikat. Ada pula pihak yang secara tegas menggandeng institusi pemerintahan, kampus, birokrat, hingga produk komersil sebagai penopang dana. Tidak jarang pula, pihak-pihak yang, dengan pendanaan terbatas, tanpa sponsor atau donatur, berani mengadakan perhelatan antologi untuk umum. Bedanya, pendanaan mengandalkan (dibebankan?) kepada penulis yang karyanya ingin disertakan dalam buku. Bagi pemula yang sedang memperbanyak “jam terbang”, dan mendambakan legitimasi kepenyairan, partisipasi pendanaan tersebut tentu tidak jadi masalah. Banyak pemula secara sukarela menyetor sejumlah uang agar karyanya disertakan dalam antologi. Untuk yang terakhir, menurut saya, perlu mendapat sorotan lebih jelas.

***
Undangan menulis kini memang lazim beredar di kalangan penulis. Hingga pada satu kesempatan, beredar undangan menulis untuk umum bertajuk “temu penyair” di media sosial. Merasa rangsang berliterasinya terpantik, seorang teman, seorang penyair pemula, mengirim sejumlah puisi, dengan harapan karyanya lolos seleksi. Undangan ini sukses menyedot perhatian para peminat puisi. Kebahagiaan seperti apakah yang penyair harapkan, selain karyanya dipublikasikan secara luas, dan ia dikenal begitu banyak orang?

Namun, begitu bimbangnya kawan saya itu, ketika sebuah pesan elektronik mengabarkan, karyanya akan dibukukan asal bersedia menyetor sejumlah uang kepada panitia. Apa beda berliterasi dengan kampanye politik jika ada keharusan membayar sejumlah uang demi pamrih publikasi? Dengan pertimbangan yang tidak terlalu lama, kawan saya itu urung meladeni permintaan panitia. Ia tertegun, dan sebentar kemudian berkata dengan lirih: tidak sepantasnya hajatan literasi dicemari nafsu ekonomistik!  

***
Pada etisnya, niat mengadakan hajatan dokumentasi-publikasi karya sastra berawal dari kesadaran dan kepedulian: sadar atas pentingnya merawat etos berliterasi, peduli terhadap ruang-ruang alternatif bagi pemula. Sikap ini muncul ketika media massa tidak cukup menampung bibit-bibit baru yang terus bersitumbuh. Ibaratnya, proyek penerbitan antologi digagas sebagai ajang menempa para pemula, yang barangkali belum mencapai kriteria media massa, ataupun karena memiliki kecenderungan berkarya di luar mainstream. Pada penerbitan antologi inilah mereka ditampung dan dirawat.  

Niatan berliterasi tidak sepantasnya dikeruhi urusan ekonomistik. Pihak-pihak yang terkait akan lebih mulia jika mengabarkan undangan berdonasi secara terbuka, tidak mengikat, dan transparan. Penulis teringat ketika dulu pernah mengikuti sebuah gelaran sastra di Solo. Meski digagas dengan dana yang penulis kira terbatas, acara berlangsung menarik dan berkesan. Panitia mempersilakan peserta yang hendak berdonasi untuk biaya cetak buku tanpa harus membebankan siapa pun yang karyanya hendak dimuat.

Fenomena bunga rampai kesusastraan berpamrih uang menjelaskan kepada publik bahwa kesadaran berkesenian masih kerap terjerat urusan-urusan non-estetik, politik, hingga meterialistik. Niat mengumpulkan-mempertemukan penulis dan karyanya dalam hajatan sastra dan penerbitan buku, sudah sepatutnya kita apresiasi. Namun, praktik-praktik menyimpang dari niat baik itu, akan menjadi jamur bagi mental para pemula. Berkesusastraan bukan agenda berpamrih uang. Literasi merekam peradaban. Ia memberi kesaksian atas pemaknaan manusia membaca zaman.

Hasrat meraup keuntungan ekonomi dari gelaran sastra adalah kepandiran tak terperi dari seorang seniman. Alih-alih mengangkat wacana kesusastraan Jawa Tengah ke pentas nasional, ulah sebagian sastrawan “matre” dalam proyek antologinya, ibarat kanker di dalam tubuh. Ia harus segera diobati, dan jika memungkinkan, “dibersihkan sampai ke akar-akarnya!” Kesadaran dan etos kesusastraan tidak pernah berhenti pada satu puncak. Ia berlangsung terus menerus, tanpa henti, tanpa memerlukan tawaran-tawaran klise, kecuali estetika. Dan, saya pikir semua seniman-sastrawan paham keyakinan ini. []  

Sejarah Bermata Eksil

(Setelah membaca novel Pulang karya Leila S. Chudori)

Sejarah selalu menampilkan wajahnya dalam seribu bentuk yang berbeda. Ia bukan kebenaran tunggal. Ia mempunyai sandi yang sulit diurai dan diluruskan. Manusia memberi kesaksian sebagai pamrih menguak arti “kebenaran” sejarah. Namun, tetap saja, manusia sukar mengukuhkan sejarah dengan utuh, tunggal. Selalu ada suara yang muncul demi menunaikan kesaksiannya.

Indonesia sesak atas bercak dan noda sejarah di tubuhnya. Tragedi G30S adalah luka yang terlalu sulit untuk dihilangkan bekasnya. Luka itu terlalu dalam, terlalu banyak penghilangan nyawa manusia sebagai mahar kekuasaan dan dinamika politik. Mereka yang menjadi korban, hilang tak kembali. Mati tak bernisan dan tak berjejak.

Sebagian bernasib baik daripada mati sia-sia. Mereka adalah yang (kebetulan) sedang bertugas di luar negeri. Mereka memang tidak mati. Tapi, manakah yang lebih baik antara mati tinimbang hidup dalam teror dan pengucilan kehidupan? Mereka dicap “kotor” oleh pemerintah Indonesia. Di perantauan, di negara yang bukan Tanah Air sendiri, mereka terus dikejar, diburu, difitnah, dan tak ada celah bagi mereka yang pernah menganut, menjadi bagian dari keluarga, atau sebatas kenal, juga simpatisan, komunis.

Dimas Suryo, seorang yang sama sekali tidak terlibat, netral, namun mengenal tokoh-tokoh komunis, menjadi “korban”. Dimas menolak sebutan “korban”. Menjadi korban, seolah-olah kalah, tak mampu berbuat apa-apa. Dimas berjuang, melawan, dan membuktikan kebenaran atas keyakinannya.

Saat tragedi berlangsung, Dimas sedang menghadiri Konferensi International Organization of Journalists di Santiago, Cile, karena tugas pekerjaan dari tempatnya bekerja, kantor berita Nusantara. Ia menjadi “buronan” karena dituduh “berteman” dengan aktifis PKI. Dengan segala cara, ia dan teman-teman senasib, mendapat suaka di Perancis. Hidup sebagai buronan tanpa pernah melakukan kesalahan adalah siksa hidup tiada tara. Mereka harus bertahan, berpindah-pindah, demi kelangsungan hidup mereka. Dengan susah payah serta persatuan para eksil inilah, berdirilah sebuah restoran Tanah Air di Rue de Vaugirard, Paris.

Restoran Tanah Air adalah perjuangan dan perlawanan. Di sini mereka mempertahankan prinsip hidup mereka sebagai seorang eksil yang merasa dikhianati pemerintah. Mereka adalah kaum yang setia pada Indonesia, meski ditentang oleh pemerintah Indonesia. Puluhan tahun mereka bertahan tanpa kepastian nasib menginjakan kaki di tanah kelahiran. Hidup dirantau dengan sejuta kutukan dari penguasa adalah luka yang teramat menyayat bagi para Indonesianis yang tertawan tak bisa pulang.   

Hingga saatnya tiba, tibalah kabar yang entah itu kabar baik atau buruk. Tragedi Mei 1998, kerusuhan pecah di Jakarta. Rezim Orde Baru hendak menaikan harga BBM. Di tengah krisis yang berkecamuk, diperparah dengan masuknya kerabat Presiden ke dalam kabinet, terjadilah aksi dari seluruh elemen masyarakat yang dimotori mahasiswa, menentang kisruh pemerntahan yang sudah berkuasa bertahun-tahun. Satu tuntutan reformasi: turunkan rezim Orde Baru!

Reformasi bergema hingga ke Paris. Impian untuk kembali menengok tanah yang selama in mereka perjuangkan; tanah yang selama ini mereka banggakan; tanah yang justru membuat mereka tak bisa kembali berpuluh tahun lamanya. Di usia mereka yang semakin tua, adakah “pulang” masih menjadi momen yang istimewa?


Mereka yang terlanjur mengalami luka yang teramat pedih akibat cap, stigma, fitnah, serta teror yang terus berkepanjangan? Adakah mereka memilih “pulang” meski belum adanya jaminan, bahwa, pemerintah berikutnya sanggup membersihkan label “pengkhianat” pada diri mereka karena beban sejarah yang pernah mereka alami? Novel Pulang (Kepustakaan Populer Gramedia, 2013) karya Leila S Chudori adalah sejarah yang memancar dari mata, luka, dan jerit kaum eksil yang bertahun-tahun tak diakui “keindonesiaannya.”