(Tanggapan atas Polemik dari Halim HD)
Halim HD, melalui surat
terbuka kepada Gubernur Ganjar Pranowo, mendakwa ada ketidakpahaman Pemerintah
dalam menyikapi persoalan kebudayaan (SM, 11 Agustus 2013). Hal ini ditengarai
oleh; pertama, banyak elit pengelola daerah tak memahami peta masalah yang ada; kedua, event kebudayaan diukur dari jumlah pemasukan atau nilai profit; ketiga, politik kebudayaan yang
memandang seni budaya sebagai komoditas dan sekaligus ekonomisasi kebudayaan.
Tiga dugaan tersebut, lebih jauh dari persoalan kekurangpahaman, menandai
adanya kekeliruan paradigma. Analisa tersebut menggambarkan betapa paradigma
Pemerintah cenderung menggunakan nalar ekonomi, praktis, dan kapitalistik dalam
mengurusi persoalan kebudayaan. Kebudayaan bagai komoditi dagangan yang
diharuskan menghasilkan profit.
Gempuran globalisasi, modernisasi, dan kapitalisme memang, mau tak
mau, menulari birokrat kita. Efeknya, semua lini kehidupan harus dihitung
seakurat mungkin demi pemenuhan ambisi bernalar uang, termasuk kebudayaan.
Ibaratnya, hasrat merawat kesenian dan kebudayaan akan ditempuh jika
mendatangkan laba. Tak berlebihan jika Halim HD, mengambil contoh kasus TBS,
menganggap institusi kebudayaan “tak memiliki visi bagaimana kehidupan
kebudayaan serta peran institusi publik dikelola”.
Di luar “penyakit” birokratisme
tersebut, ada hal yang perlu saya ungkap di sini terkait persoalan kebudayaan
di Jateng. Pada akhirnya kita akan merunut persoalan ini hingga ke
akar-akarnya. Tentang individu para birokrat, hal itu sudah saya utarakan di
muka. Justru, pada individu pelaku kesenian itulah kita patut curiga. Benarkah
para “seniman” Jateng sudah benar-benar menjaga laku berkesenian tanpa
tercoreng kecurangan-kecurangan dalam, misalnya, proyek-proyek kesenian. Dalam
hal ini, kita pantas curiga terhadap seniman yang, saya ambil contoh, menjabat sebagai
dewan kesenian di setiap daerah.
Saya pernah mengajukan keberatan atas selebrasi dan launching buku puisi di suatu daerah
yang dimuat di kolom ini. (SM, 2013). Acara tersebut saya kritik karena terlalu
sarat bermuatan agenda politik, serta pembebanan karya seni sebagai sebuah
“strategi” semata. Hal tersebut berkaitan erat dengan simtom-simtom persoalan
kebudayaan yang terjadi di Jateng. Kekhawatiran atas perlakuan yang kurang
pantas terhadap karya seni, seniman, dan kesenian membuat saya melontarkan
kritik tersebut.
***
Sudah sepantasnya para seniman berperan dalam institusi dewan
kesenian. Penempatan para pelaku seni di dalam birokrasi Pemerintah, dalam hal
ini dewan kesenian, memberi pengharapan atas apresiasi dan kebijakan yang kelak
ditelurkan. Masyarakat seni menyambut baik kehadiran orang-orang sesuai
profesionalismenya. Namun, kondisi dewan kesenian, seperti lazimnya sebuah birokrasi
pemerintahan, lambat laun melahirkan benih-benih mental birokratisme, yang seharusnya dibuang jauh-jauh dari pribadi
seorang seniman.
Pada mulanya adalah kesibukan merancang program kerja, menetapkan
anggaran, bagi-bagi proyek, dan berujung pada realisasi. Ada hal yang biasanya
hadir dari kondisi seperti ini—teratur, dikejar program, serta dekat dengan
kelimpahan materi. Pragmatisme! Degradasi sudut pandang perlahan-lahan
menjangkiti para seniman cum birokrat
kita. Maka lahirlah kalangan seniman-birokrat yang rapuh. Ambisi menuntaskan
progam kerja jadi lebih utama ketimbang merawat etos berproses kreatif. Sedikit
sekali kesempatan untuk berkontemplasi menghidupkan kesenian melalui
produktifitas berkarya. Bisa dikatakan, berkarya sesekali, selebihnya mengurusi
institusi dewan kesenian tersebut. Rebutan proyek kesenian demi ego pribadi,
untuk tidak mengatakan demi profit, menjadi semacam ironisme. Para individu ini
tak kuasa menahan-membentengi diri dari sergapan penyakit birokrat seperti pada
umumnya.
Dan generasi muda pun menjadi korban kesemrawutan kondisi ini.
Generasi yang sedang memulai menapaki jejak kesenian harus kecewa, mendapati
para pendahulunya mewarisi kondisi dan sistem yang tidak apresiatif terhadap seniman
muda. Saya belum lupa, beberapa tahun silam, seorang aktifis seni di Semarang, menggugat
tatanan dan sistem di institusi kesenian, yang dianggapnya tidak memberi
sambutan pada para seniman muda. Dan itulah simtom-simtom yang menandakan ada
persoalan besar dalam kebijakan kebudayaan di Jateng.
***
Persoalan kebudayaan Jateng justru tidak semata ada di tampuk
kekuasaan dan sistem pemerintahan. Lebih mendalam, ironisme menjangkiti dari
dalam, dari para seniman kita. Penguatan etos dan produktifitas individu, serta
kesadaran membuka peluang bagi generasi muda untuk memperoleh tempat dan kesempatan,
sama mendesaknya dengan solusi terhadap persoalan birokrasi pemerintahan dalam
mengurusi dunia seni dan budaya.
Pada taraf inilah, sebenarnya, persoalan kebudayaan di Jateng
menjadi lebih berbahaya. Yaitu, ketika para seniman yang duduk di kursi
institusi pemerintahan tidak sanggup menjaga jiwa kesenimanan serta misi
berkesenian secara jujur dan beretika. Yang lahir dari fenomena ini justru,
seperti apa yang diungkapkan Halim HD, individu yang “jauh dari
profesionalisme”, serta “tak memiliki visi bagaimana kehidupan kebudayaan serta
peran institusi publik dikelola”. Meski saya yakin, masih ada pihak-pihak yang
serius dan tekun dalam berkarya, berorientasi estetika, serta memberi jarak
pada situasi yang memungkinkan lahirnya benih-benih pragmatisme dalam
berkesenian.
Kebijakan kebudayaan pemerintah Jateng di tangan Gubernur Ganjar
Pranowo kelak, betapapun upayanya dalam menanggapi persoalan dan isu kesenian,
jika tidak ditampung oleh individu—seniman—yang kokoh menjaga keberimanan dalam
berkesenian, hanya mencetak kebijakan yang sumbing dan sumbang. Evaluasi
sepantasnya dimulai dari para pelaku seni yang terjebak dalam pragmatisme
birokrasi kesenian. Dari sini, perspektif cerdas untuk kebijakan kebudayaan di
Jateng, barangkali, bisa dimulai.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar