Jumat, 15 Oktober 2010

pertanyaan untuk sastra Indonesia




Judul : Darah-Daging Sastra Indonesia
Penulis : Damhuri Muhammad
Penerbit : PT Gramedia Jakarta
Cetakan : I, maret 210
Tebal : ix + 168 halaman
Harga : Rp. 30.000,00
ISBN : 978-602-8252-34-8


Kedekatan jurnalistik dan sastra memang tak bisa dipungkiri. Meskipun pada hakikatnya antara dua dunia kepenulisan tersebut mempunyai tubuh yang berbeda. Namun ketika memasuki kedua dunia ini, mau tak mau seolah keduanya akan saling tarik ulur dalam prosesnya. Keberadaan jurnalistik dan sastra yang bersetubuh dengan media menjadi hubngan erat antara keduanya, dan terkadang menjadi satu prsetubuhan yang sah-sah saja.

Akulturasi kepenulisan ini bisa saja terjadi di keduanya. Misal penulisan jurnalistik yang melulu kaku dan lurus bisa sedikit diluweskan dengan tehnik penulisan yang diracik ala model kepenulisan sastra, pada featurs misalnya. Penulisan berita menggunakan sedikit olahan alur yang menarik sekaligus narasi-deskriptif yang luwes menjadikan penulisan berita menjadi ringan dan “gurih”

Model kepenulisan sastra menggunakan racikan jurnalistik menjadi booming adalah pada novel dan cerpen Ernest Hermingway. Oleh hermingway, racikan ini terasa baru [pada saat itu], dan nampaknya ini menjadi semacam aliran baru dalam kepenulisan sastra. Konstruksi kalimat yang pendek, jelas dan tidak terlalu menye-menye membuat banyak penulis Indonesia mengadosi trend ini. Tidak terkecuali bagi Damhuri Muhammad. Seorang cerpenis, editor koran dan eseis asal Payakumbuh ini rupa-rupanya adalah sosok akulturasi diri dari proses jurnalistik dan sastra. Dengan latar pendidikan Bahasa dan Sastra Arab fakultas Adab IAIN Imam Bonjol, DM mencoba bertanya lewat kumpulan esei “Darah Daging Sastra Indonesia”.

Buku dengan cover kuning-cokelat ini mencoba melampiaskan pertanyaan-pertanyaan DM terkait sastra indonesia masa kini melalui sejumlah esei yang terbagi menjadi empat tema bahasan yang meliputi Sastra Indonesia, mau kemana, Lelaku Kepengarangan, Rekam Jejak Cerpen, serta Estetika Puisi. Dari permasalahan sejarah sastra Indonesia, tragedi PRRI, serba-serbi estetika karya, fenomena ayat-ayat cinta hingga yang terbaru booming novel Negeri 5 Menara, kesemuanya terbaca dalam kumpulan esei ini.

Berawal dari seorang cerpenis dan wartawan, DM mencoba membeberkan sekelibet “fakta” yang tidak memberi jawaban tapi justru mepertanyakan. Seperti tertera dalam “Selamat datang Sastra Idol”[hal.19], DM mencoba mempertanyakan sistematika proses penjurian yang termaktub dalam Anugerah Sastra Pena Kencana pada tahun 2008 silam. Termuatnya beberapa karya dari juri dalam 20 cerpen terbaik Indonesia yang disaring dari 13 koran nasional ini menurutnya merupakan sebuah ketidaktegasan dan ketidakpatutan penggarapan buku tersebut. DM tidak semena-mena menghujat ataupun mengkritik kasus tersebut, namun dengan halus memberi alternatif dengan penawaran yang bijak, tapi bilamana mereka menjunjung tinggi sportivitas dan kode etik kepanitiaan, semestinya dengan rendah hati mereka merelakan cerpen-cerpen itu tidak dimasukan.[hal.22]

Dalam esei yang juga diambil sebagai judul buku, Darah daging sastra Indonesia▬semula berjudul Menegasi Identitas Sastra Indonesia▬DM mencoba menanggapi masih perlukah sejarah sastra Indonesia? Pada hakikatnya dalam esei ini mengidentifikasikan ketidaksetujuan atas sejarah sastra yang bermula pada masa Balai Pustaka. Lompatan angkatan dari Pudjangga Baroe ke Pascamerdeka, serta penyebutan sastra jaman jepang yang sepintas lalu dinilai sebagai kekeliruan [hal.4]. Esei ini juga menjawab konsepsi sastra Maman S. Mahayana yang bertolak ‘dari dan menjadi Indonesia’. Dengan melihat latar etnik yang terlacak hingga babak sastra Indonesia mutakhir, maka sejarah sastra itu penting dan perlu demi identitas, orisinal serta jatidiri sastra Indonesia.

Dalam buku ini nampak sekali keterlibatan aktifitas jurnalistiknya dalam penciptaan atas esei-esei yang ada. Kedetailan DM dalam menyikapi isu, fenomena serta produk-produk sastra Indonesia begitu tampak dalam tulisannya. Hal ini mengidentifikasikan kedekatan jurnalisme dan sastra yang teramat melekat padanya. Dari 38 esei yang terkumpul dalam buku ini 4 saja yang masih “perawan”, selebihnya merupakan esei yang sudah tercecer di pelbagai media massa nasional. Pantas saja jika DM cukup percaya diri untuk mengkatapengantari bukunya sendiri.

Jika merunut bahasan sekumpulan esei ini [mayoritas] merupakan sejenis esei resensi, ataupun sejumlah esei yang mempertimbangkan, menanggapi serta mengkritisi buku-buku yang terbit. Dari novel, kumpulan cerpen hingga buku sastra lainnya. Rasanya cukup pantas jika buku ini menyandang judul “Darah Daging Sastra Indonesia”, melihat kompleksitas pembahasan yang ada.

Kegamangan atas kian menjauhnya jagat sastra dengan kritikus sastra untuk meraih estetik dan segi tematik begitu kentara dalam buku ini. Dan pertanyaan serta kegamangan DM dalam buku ini nampaknya akan semakin membawa tanda tanya pada pembaca. Seperti halnya gambar cover berupa mata pena yang mengucur darah [atau tinta], buku ini membawa pembaca pada titik kritis pemahaman perkembangan sastra Indonesia. Namun jika dibandingkan dengan Sastra bergelimang makna-nya Bandung Mawardi, kumpulan esei dalam buku ini sangat mudah dicerna. Hanya saja jangan heran ketika klik di google, hampir semua esei dalam buku ini sudah tercecer dan begitu mudah didapat. Hal yang menurut penulis jadi sedikit eman-eman.

Sebagai “darah-daging” sastra Indonesia, buku ini berhasil membeberkan keberadaan sastra Indonesia dengan menilik beberapa indikasi kejadian, isu, serta tema sastra Indonesia kini, serta berani mempertanyakan kesemena-menaan kritikus sastra terhadap karya sastra. Kumpulan esei ini adalah jawaban atas segala yang terjadi pada sastra Indonesia kini dari kaca mata seorang Damhuri Muhammad yang justru semakin membawa pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Tidak percaya? Buktikan saja. Begitu saja mungkin. [red]

Alangkah Lucunya [negeri ini]; Indonesia dalam guyonan



……

Indonesia raya, merdeka merdeka

tanahku negeriku yang kucinta

Indonesia raya merdeka merdeka

Hiduplah Indonesia raya…

[amin..]



Di sela upacara bendera merah putih yang dlaksanakan secara sederhana; menggunakan tiang dari kayu pohon yang masih alami, peserta upacara sedikit tanpa seragam apapun dan entah di hari apa, seorang anak kecil tiba-tiba ikut serta dalam upacara saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dan dengan lantang ana kecil itu berkata amin di akhir lagu. Sebuah bentuk kritik pedas yang bisa ditangkap bila penikmat film mau mencerna makna ucapan-ucapan dalam film besutan sutradara unik Dedi Mizwar dalam filmnya Alangkah Lucunya [negeri ini].



Hal kecil dan sering kita jumpai pada kehidupan sehari-hari yaitu berkaitan ritual upacara bendera─yang seolah-olah hanya diperuntukan bagi anak SMP, SMA dan para guru. Dewasa ini tentunya semua orang pernah merasakan upacara bendera. Sewaktu masih di SD/SMP/SMA, seluruh siswa diwajibkan mengikuti upacara bendera hari senin. Sebuah rutinitas yang difungsikan sebagai penghormatan terhadap sang saka Merah Putih demi memupuk rasa nasionalisme.



Apa yang disiratkan pada penggalan adegan film di atas sungguh begitu mengena. Menyanyikan lagi Indonesia Raya dimaknai seorang anak kecil tak berpendidikan menjadi sebuah doa untuk bangsanya. Amin, ungkapan lugu dari seorang pencopet kepada bangsanya. Adegan tersebut mengingatkan bahwasanya kenyataan yang ada dalam menyikapi lagu Indonesia Raya hanya sebatas menyanyikan lagu biasa. Dengan santai, tanpa penghayatan dan bahkan kadang disertai guyonan. Karena sesungguhnya jika pemahaman kita terhadap lagu Indonesia Raya bisa ditekankan secara mendalam, maka akan kita temukan kedalaman teks lagu tersebut sebagai sebuah doa yang begitu khidmat dan mendalam. Pengetahuan yang justru jarang dimaknai mayoritas masyarakat Indonesia.



Film Alangkah Lucunya [negeri ini] bercerita tentang fenomena-fenomena permasalahan bangsa yang justru dianggap sebagai kelucuan-kelucuan yang tak perlu dipikirkan secara serius. Berawal dari konflik seorang tokoh bernama Muluk, seorang sarjana manajemen yang hamper frustasi dalam mencari pekerjaan. Keadaan memaksa Muluk untuk berpikir keras demi mendapat pekerjaan sesuai bidangnya. Maka kemudian Muluk mendapat ide ketika pertemuannya dengan seorang anak--komet-- yang berprofesi sebagai copet. Kenapa copet penulis anggap sebagai profesi? Karena memang ternyata copet tersebut mempunyai sebuah organisasi yang lebih besar.



Pertemuan dengan copet memunculkan ide bagi Muluk untuk menggunakan SDM para copet tersebut agar mau meninggalkna profesi kurang baik tersebut dan beralih ke profesi yang halal, ngasong. Muluk menemui pimpinan copet dan menjelaskan niatnya untuk mengubah pemikiran anak-anak agar mau beralih profesi. Dan kenyataan sungguh memprihatinkan, ternyata mereka tidak bisa baca tulis, tidak punya agama dan benar benar buta sekolah. Karena hal itulah Muluk mengajak Bang Samsul; seorang pengangguran lulusan sarjana pendidikan yang menghabiskan waktunya dengan main gaplek, serta Pipit yang merupakan seorang pengangguran lulusan sarjana agama yang menghabiskan waktunya dengan menonton kuis di televisi. Dengan kerjasama mereka bertiga akhirnya terbentuklah sebuah sekolah sederhana di areal pencopet yang kumuh.



Dari pekerjaan barunya ini Muluk dkk berani meyakinkan pada orang tuanya bahwa dia sudah mendapat pekerjaan yang layak dan menjanjikan. Hingga akhirnya muncul inisiatif dari Bang samsul untuk menunjukan pada Bang Haji [ayah pipit] dan ayahanda dari Buluk. Kenyataan tak seperti apa yang diharapkan, alih-alih orang tua mereka akan bangga terhadap usaha menyalurkan SDM para pencopet justru menjadi merasa sangat kecewa terhadap apa yang yang dilakukan oleh Muluk dan Pipit. Orang tua mereka menganggap usaha yang sedang digeluti tersebut adalah haram karena menggunakan uang hasil mencopet. Di sinilah konflik mulai memuncak. Muluk dan Pipit memutuskan untuk menghentikan usahanya dalam mendidik para pencopet. Meskipun Bang Samsul bersikeras meyakinkan bahwa tindakan tersebut halal, namun Muluk tetap bergeming.



Kepergian Muluk dan yang lain dari kelompok copet ternyata menyisakan kekecewaan dari pimpinan copet tersebut. Karena ternyata kepedulian Muluk terhadap para pencopet berhasil membawa pengaruh yang lebih baik. Sebagian copet ada yang sudah beralih profesi menjadi pengasong meski masih ada yang mencopet.



Di akhir cerita film ini mengadegankan sebuah kenyataan yang teramat miris namun begitu biasa terjadi di lingkungan sekitar kita. Muluk memutuskan kursus setir mobil dan kebetulan saat itu sedang praktek belajar setir ia bertemu para pengasong yang dulunya adalah para pencopet. Sungguh tak terduga ketika Muluk merasa usahanya tidak sis-sia mengubah pencopet menjadi pengasong, justru rombongan Petugas Ketertiban Satpol PP datang dan menangkap pengasong karena dianggap mengganggu keindahan kota. Muluk tidak rela anak didiknya ditangkap, kemudian ia berusaha menghentikan penangkapan tersebut. Muluk berdebat serius dengan petugas dan akhirnya rela menukar dirinya untuk ditangkap petugas untuk menggantikan pengasong yang tadinya akan ditangkap petugas. Anehnya Muluk tetap ditangkap meski dia tidak punya salah apapun, yang justru dia disalahkan karena dianggap membela pengasong untuk berjuang mencari rejeki halal. Diiringi lagu Tanah Airku karya Ibu Sud, film ini ditutup dengan sebaris petikan dari pasal 34 ayat 1 UUD 1945 “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara negara”



Jangan harap anda akan menemukan kelucuan-kelucuan ala parodi di siaran tivi swasta kita, banyolan-banyolan yang hanya mengumbar kelemahan dan aib orang lain. Dedi Mizwar berhasil menempatkan judul dengan berani memasang title “lucu” yang justru tidak akan membuat anda tetrtawa terbahak-bahak. Hanya geli, mesam-mesem mendengar dialog tokoh-tokoh serta melihat adegan-adegan yang …***



Widyanuari Eko Putra

Perjanjian kita atas nyamuk dan jilatannya, selesai


kepada santi almufaroh

Tentunya kita tak ingin menangisi kematian nyamuk yang sadis, Atau tamparan mesra yang mendarat pada lekuk ceruk pipi, pada malam episode ini kita memutuskan tuk menghabiskan kesibukan yang lelah. Satu persatu kita tanahkan nyamuk-nyamuk yang menandai malam tak ber manis, atau sekedar peran kipas angin yang berjinak, kita tidak sedang merindui penghuni selimut yang bijak, yang berbagi demi keseimbangan ranjang, yang tertidur pada kesepian-kesepian lapar, adakah kita relakan perciuman kasar nyamuk pada sejumput pagi yang leleh ditepian selimut tak bercorak? Maukah?
Karena untuk malam ini, kepada kamar dan buku aku setubuh, tak lagi menisankan nama di layar monitormu yang tipis.

16 oktober 2010

Senin, 11 Oktober 2010

Budaya Menghafal Masih Dipertahankan


Budaya Menghafal Masih Dipertahankan

Belum lama ini saya mengadakan sebuah penelitian kecil-kecilan di Sekolah Dasar yang ada di desa saya. Meski tidak saya lakukan dengan cara substansil-formal, akan tetapi ada beberapa hal menarik yang saya temukan di sana.

Mungkin apa yang saya temukan adalah hal wajar dan sering kita jumpai. Akan tetapi mari kita coba memikirkan sejenak apa yang terjadi dalam pengajaran di Indonesia. Saat itu yang saya jumpai adalah seorang guru sedang menyuruh murid-muridnya menghafal nama-nama pahlawan di Indonesia. Dari pahlawan bersorban khas Sumatera Barat Imam Bonjol, sampai pahlawan revolusi yang meninggalnya katanya disiksa dan dibunuh oleh pihak komunis. Murid-murid dengan telaten dan menggebu-gebu menghafalkan nama-nama pahlawan lengkap dengan atributnya masing-masing.

Tidak ada yang salah memang dengan pengajaran seperti itu, murid disuruh menghafal agar kelak mereka tahu pahlawan yang gambarnya sering terpampang di kantor-kantor dan ruang kelas. Namun apakah dengan demikian murid-murid jika dewasa nanti masih memaknai nama pahlawan tersebut?

Sepengalaman saya, ketika kita sudah dewasa justru malah lupa dengan segala hafalan yang kita lakukan sewaktu masih duduk di sekolah dasar. Kita cenderung mengetahui pahlawan-pahlawan yang populer di televisi, seperti tokoh emansipasi wanita Kartini atau pahlawan berkuda Pangeran Diponegoro. Selain itu, apa yang dapat mereka dapatkan selain itu? Masihkah kita memaknai peringatan upacara Hari Pahlawan atau memaknai tempat bersejarah yang kini tersisa?

Apa yang dilakukan guru tadi memang tidak ada salahnya, namun jika kenyataannya hal tersebut masih saja kurang mencapai sasaran, akankah kita masih mempertahankan kebiasaan tersebut? Bukankah guru jaman sekarang sudah dilatih untuk belajar membuat inovasi pengajaran yang diharapkan bisa memperbarui pengajaran di Indonesia.

Menghafal adalah cara pengajaran efektif bagi balita dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, kira-kira umur 2-7 tahun. Pada masa itu anak sedang mengalami fase meniru dan menghafal. Anak akan lebih cepat menghafal dan meniru ketimbang memahami. Namun ketika sudah melewati batas umur tersebut tentunya cara yang dilakukan akan berbeda pula.

Pada kasus di atas terjadi pada anak usia rata-rata 9-10 tahun. Jadi akan sangat tidak efektif jika budaya menghafal masih dipertahankan. Anak akan cenderung hanya mengingat nama atau pun identitas, akan tetapi tidak menyentuh pada nilai yang bisa dimaknai hingga si anak mampu mentransformasikan apa yang diperoleh dari cerita pahlawan gugur dalam medan pertempuran ketika memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Bukankah tujuan dari pendidikan adalah mendidik, bukan hanya mencontohkan saja. Dan tidak hanya menghafal saja.


(dimuat di Suara Kampus)

Sabtu, 09 Oktober 2010

Ketika Sastra sebatas Tugas Kuliah



Tumbuh kembang dunia kesusastraan pada hakikatnya dikendalikan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah penerbitan buku sastra, acara sastra, kampus, media massa, serta adanya pendidikan pengenalan sastra.

Buku yang terbit memberi sumber yang kelak akan memperbanyak referensi bacaan, sehingga hal tersebut kelak menimbulkan beberapa wacana menarik bila difollowupkan ke dalam ruang acara bagi penikmat, kalangan awam sastra sekalipun. Dengan demikian perdebatan sastra menjadi lebih berdaya tarik ketika hal tersebut menyeruak menjadi sebuah perbincangan.

Adapun lingkungan kampus adalah kondisi bagi kaum terdidik untuk penyalur serta penyambung ide dari sastra tersebut, yang intinya pada program studi sastra pencapaian kepahaman tak sebatas permukaan saja, namun intim dan bermutu. Di sinilah kaitan media massa memberi ruang bagi kaum terdidik untuk menyalurkan dunia idenya agar memberi ruh sastra yang kelak bisa dikonsumsi secara umum.

Peredaran gerak sastra tersebut nantinya akan bermanfaat ketika studi sastra diperkenalkan sedasar mungkin. Buku, media massa, acara sastra serta adanya jurusan sastra memberi wacana yang sedikit demi sedikit bisa menjaga stabilitas sastra, cabang seni yang memang mengutamakan estetika. Dan nihil terealisasi bila sebagian dari faktor tersebut ada yang dinomorduakan.

Pelaku sastra─entah itu sastrawan, seniman atau penulis─pada dasarnya tidak ada kewajiban untuk berusaha mati-matian menjaga keutuhan sastra yang kian tahun kian “cebol”. Yah, Indonesia punya Pramudya Ananta Toer, WS Rendra, Chairil Anwar hingga penyair Jawa Tengah yang terlupakan Ronggowarsito. Kesemuanya adalah sosok mumpuni dalam kesusastraan, namun mengapa tidak satupun dari mereka meraih nobel kepenulisan sastra? PR yanag mesti kita tuntaskan.

Tak perlu diragukan lagi kehebatan tetralogi Pulau Buru yang begitu fenomenal. Kehebatan WS Rendra dalam membawakan sajak-sajak pamfletnya, serta kekuatan bahasa Chairil yang begitu intim. Semua adalah kekayaan jagad seni sastra Indonesia. Namun bagaimanakah keseimbangan produk sastra bisa berpengaruh pada kelanjutannya dewasa ini? Apalagi di kota Semarang yang konon mendapat julukan kuburan seni? Ada yang sepakat, adapula yang menolak. Tentunya hal tersebut masih menjadi mitos tak berfakta otentik─tidak ada data resmi akan julukan tersebut.

Triyanto Triwikromo dalam tulisannya Geliat Sastra Jawa Tengah [dimuat dalam Suara Merdeka minggu], memberi sedikit uraian akan gejolak sastra jawa tengah dan kemungkinannya. Jawa tengah mempunyai Timur Sinar Suprabana, S. Prasetyo Utomo, Hendry TM, Mukti Sutarman Espe, Leak, ataupun Adin yang kian marak dengan manuver pergerakan. Lalu bagaimana Semarang disebut sebagai kuburan seni jika keikutsertaan tokoh tersebut dan karyanya masih senantiasa mengusung Jawa Tengah [baca :semarang] sebagai tempat yang nyaman untuk berproses? Kemumpunian para pesohor sastra kita tidak perlu diragukan lagi. Akankah hal itu saja cukup? Bagaimanakah attitude mereka terhadap regenrasi sosok yang kelak melanjutkan? Hal itulah yang kerap dilontarkan Adin Hysteria berkaitan sistem yang membawa dampak stigma “kuburan seni” bagi masyarakat jawa tengah pada khususnya.

Peran serta dunia kampus pada konteksnya adalah sentral. Kampus menjadi ajang paling menjanjikan bagi peredaran ruang gerak sastra. Kaum terdidik serta intelektual muda menyebabkan kampus menjadi sasaran tepat bagi tumbuh-kembang dunia sastra. Kampus mempunyai banyak peluang bagi terselenggaranya acara-acara sastra, provokasi terang-terangan agar ikut serta dalam aktivitas sastra nampak begitu kental dan vulgar. Hal ini karena kampus merupakan media transformasi ilmu serta integritas yang bisa diandalkan. Karena itulah faktor kesusastraan kampus mempunyai andil dalam peredaran sastra di masyarakat.

Tulisan mahasiswa yang dimuat di media massa semakin membuktikan bahwa pelaku sastra adalah mereka yang cenderung membidik kaum intelek. Mungkin karena itulah Leak dan Beno Siang Pamungkas dengan Revitalisasi Sastra Pedalaman-nya mencoba mengembangbiakan sastra ke pelbagai lini masyarakat, termasuk masyarakat desa sekalipun. Meski hasil dari proyek tersebut sukses atau tidak itu perkara lain.

Lalu sejauh ini bagaimanakah dunia kampus mampu memberi jaminan pasti pada produk-produk sastra yang bisa diperhitungkan? Kampus yang biasanya terdiri dari dosen-dosen, mahasiswa serta beberapa pemerhati sastra, apakah bisa menjamin adanya kokoh tidaknya sastra sebagai ruang seni yang tidak hanya sebuah tuntutan tugas kuliah? Karena pada kenyataan keterlibatan mahasiswa dengan sastra yang memang mengambil studi sastra hanya sebatas kewajiban atas tugas mata kuliah semata, dan tidak ada tanggung jawab atau sejenis kesadaran akan maju mundurnya sastra pada ruang publik yang sebenarnya. Peduli amat dengan kegiatan komunitas, ruang diskusi sastra yang mengupas sastra sebagaimana hegemoni realitas dan hambatan yang ada. Intinya tugas kuliah lancar dan mendapat nilai yang bagus.

Umur perkuliahan yang rata-rata hanya 4-5 tahun bagi sarjana pun terkadang menjadi sebuah realitas yang tak bisa dihindarkan lagi menjadi pemutus lintas regenerasi. Lima tahun bukanlah waktu yang cukup bila disandingkan dengan usaha untuk membangkitkan gairah sastra kampus yang sebenarnya. Misal saja jika pada umur ke-4 atau kira-kira semester 8, mayoritas mahasiswa akan mengalami masa di mana tuntutan tugas dan serentetan kegiatan pokok perkuliahan seperti skripsi dan lain hal dipertaruhkan.

Apakah ada sosok yang rela mengorbankan studinya demi kepentingan sastra dan tumbuh kembangnya? Saya jawab ada! Namun satu-dua saja, dan itu hanya dalam setiap kampus. Meski ada juga yang bisa sukses dalam dua hal tersebut, kuliah dan aktivitas sastra misalnya. Maka muncullah beberapa sosok saja yang benar-benar membawa amanat untuk memperbaiki tumbuh kembang sastra sesuai harapan. Dan akhirnya kembalilah urusan sastra akan didominasi kaum tua saja, karena begitulah realitas yang ada. Meski kaum muda selalu muncul dan tenggelam menyuarakan perlawanan dan dominasi kaum tua, dan beberapa nampak konsisten dengan jalur yang sudah diputuskan.

Kembali pada permasalahan kampus dan sastra yang ada. Tidak sepenuhnya kaitan lemahnya regenerasi dan keamburadulan napas sastra kampus hanya bertitik berat pada mahasiswa, dosen termasuk di dalamnya. Mengapa dosen? Notabene dosen adalah sosok yang memang sudah menempati ilmu yang capable sesuai formalitas, yaitu dibuktikan dengan adanya ijasah dan gelar sarjana sastra. Namun yang ingin penulis pertanyakan adalah bagaimana pertanggungjawaban atas pematerian sastra bagi mahasiswa yang cenderung copy paste. Maksudnya adalah ketika pembelajaran sastra hanya sebatas plek-jiplek dalam buku. Apapun yang akan dikemukakan adalah harus sesuai dengan kutipan buku-buku yang “itu-itu saja”. Perlu diingat, sastra adalah cabang seni. Dan seni akan menemukan kesejatiannya ketika batas ide dan imajinasi sudah berhasil dilelehkan sesuai “titik didih” ide dan imajinasi tersebut. Tidak dipungkiri bahwasanya referensi bacaan adalah mutlak bagi penikmat sastra ataupun pembelajar sastra, akan tetapi sebuah kebodohan jika hanya bertolak dari teori-teori yang terlalu formil.

Bagaimanakah seorang yang tidak pernah menulis puisi harus mengajar mata kuliah puisi? Bagaimana pula kapabilitas seorang yang hanya mengenal sastra sebatas transfer buku dan tidak pernah menceburkan diri ke dalam pergerakan sastra yang sebenarnya harus bercerita ngalor ngidul tentang kesusastraan? Ataupun seorang yang masih menggunakan teori sastra yang bisa dinilai “jadul” mesti menjabat sebagai kajur jurusan sastra? Bagaimana pula jika arus nafas sastra harus tersendat karena masalah birokrasi ataupun harus bertentangan dengan sistem kampus yang ada. Malah yang tak kalah memprihatinkan adalah ketika proses penciptaan karya kharus dinomortujuhbelaskan karena kesibukan jabatan sebagai pejabat jurusan sastra. Miris.

Jika Sapardi Djoko Damono dengan gelar profesor sastranya menjadi sebuah rujukan akan materi kesusastraan, hal itu wajar adanya. Kemujarapan karyanya sudah tidak perlulah untuk dipertanyakan. Atau Seno Gumira Ajidarma yang menjadi dosen kepenulisan kreatif di ISI, tak perlulah dipertanyakan. Begitu pula S Prasetyo Utomo, Triyanto Triwikromo, cukuplah “senjata” yang mereka miliki.

Namun bagaimana dengan “orang-orang” yang ngakunya dosen sastra tetapi tidak ada sebuah capabilitas ataupun keikutsertaan pergerakan sastra pada ruang publik yang sebenarnya? Minimal karya dari mereka [dosen sastra] sering mampir di media massa, ya meskipun bukan media massa besar. Atau mungkin dari mereka berhasil menciptakan buku bacaan sastra, entah itu berupa buku karya, teori atau apapun itu yang intinya adalah buku yang merupakan cipta karya dari mereka, bukan buku kumpulan kutipan dan sejenisnya. Namun rasanya sulit dipaksakan bila memang kompetensi dosen sastra kita adalah sebatas sastra open book. Dan bukan pada tradisi penciptaan teks prosa atau sejenisnya.

Kiranya cukup dimaklumi bila mahasiswa jurusan sastra enggan menulis puisi, cerpen atau sekedar ulasan lain yang berkaitan. Mahasiswa yang dijejali pembebanan teks sastra dan diberi monster menyeramkan berupa kebutuhan nilai. Karena bagaimanapun tidak bisa dipungkiri, apalah arti mereka bersusah payah dengan sastra sebenarnya. Karena tujuan adalah nilai. Dosen yang terlalu pelit nilai ataupun enggan dengan kegiatan non keakademikan. Sungguh disayangkan, nile ora kulak koq diangel-angel.. Dan semoga saja sastra bagi mahasiswa hanya menjadi perdebatan sebatas tugas dan mata kuliah saja yang mesti mengejar target nilai. Sebuah kasus yang saling mengait. Dan tumbuh-tumbang sastra akan kembali pada “orang tua”. Jadi jangan terlalu salahkan mereka. Sekian.

Pandean lamper, 09 okt 2010

Rabu, 06 Oktober 2010

tentang kematian kelelawar:



Bela sungkawa dalam proses “menjadi”

Keputusan menciptakan ruang tersendiri adalah hal biasa bagi yang kuat dalam niatan untuk “menjadi”. Seperti halnya keprihatinan sebelum menuju kesuksesan, setiap individu berhak atas pemilihan ruang yang bisa membuka jalan baginya. Tidak berbeda adanya bagi para pemuda pegiat sastra. Sebuah pijak awal yang perlu dirumuskan dengan matang. Apakah nantinya keputusan itu bisa melancarkan jalan ataupun kerap menjadi penghalang, itu urusan belakangan. Yang pasti keinginan dan bulat tekad merupakan syarat wajib sebelum bisa melangkah menuju proses untuk “menjadi”.

Kelahiran komunitas bukanlah jaminan atas eksistensi individu yang mempunyai kegelisahan yang sama sekalipun. Bisa dimaklumi jika apa yang membuat semangat kian nyala adalah ketika kecocokan dan kondisi kebetulan bersetubuh pada individu tersebut, seperti group band sajalah. Kesemuanya menjadi akrab dan lebur menjadi satu yang belum tentu akan mengabadi. Individu mempunyai ego dan superego yang terkadang bisa saling bergesekan dan meruncing. Sejauh ini bisa kita pahami bahwa kelompok yang mengompakkan diri adalah pada batas kebetulan yang benar-benar tidak kokoh. Lingkup kuliah misalnya. Pertemuan atas latar belakang lokasi kuliah yang sama dan keinginan yang sama adalah hal yang kebetulan. Dan kemudian membentuk kelompok kecil dengan misi yang kerap “disama-samakan”. Maka bisa dipastikan hal tersebut sama halnya musim durian, tumbang-tumbuh sesuai jadwal.

Keterlibatan personal dalam berkelompok adalah dengan misi yang tentunya berbeda, dengan dalih berbeda pula. Jadi penulis tegaskan, keinginan dan kesamaan visi-misi bagi pegulat komunitas adalah nihil. Karena hakikatnya semua individu punya keinginan orisinil atau bahkan sekedar ikut-ikutan, dan hal itu tak bisa dipetakan sesuai keikutsertaan deadline acara yang disiapkan. Tidak ada yang bisa menjudikasi kesamaan dan keterlibatan individu pada kelompok tertentu adalah sebuah bukti keloyalitasan. Setiap mimpi tidaklah sama, dan kaitan ego yang tinggi-meninggi itu adalah sebuah bukti. Keikutsertaan bukan tanpa alasan, dan kesemuanya akan lepas ketika sudah meraih hal yang menjadi tujuan.

Karena itulah, berproses mengorganisir diri dalam komunitas adalah mempersiapkan sebelum maju berperang dalam jagad yang tidak bersahabat. Karena sahabat adalah musuh sekaligus teman berproses. Jadi waspadai semua teman yang kini berproses bersama anda! Dan tak perlu berbelasungkawa jika keadaan akan berputar balik, menjadi lawan, ataupun menjadi teman.