I’m
an alien
I’m a legal alien
I’m an Englishman in New York
(Englishman
in New York, Sting)
Studi kebudayaan, tentulah tidak
serta merta dilacak melalui produk kebudayaan yang ada. Namun, berbagai macam
karya seni juga bisa dipelajari dan ditelaah. Karya seni merupakan hasil
pemikiran manusia yang berasal dari budaya tertentu. Kongkritnya, hasil karya
seni dari berbagai macam kebudayaan yang berbeda, akan menghasilkan saripati
yang berbeda pula. Karya seni menampilkan wajah kebudayaan dalam berbagai
rupa dan nilai. Pendekatan melalui karya seni dalam mempelajari kebudayaan
tertentu diharapkan mampu menguak estetika dan pesan yang terkandung.
Melalui sebuah lagu,
kita dapat menelisik sejauh mana pesan dan makna sebuah lagu dalam membaca
kebudayaan. Sebuah lagu berjudul Englishman in New York karya Sting, adalah
potret cross cultural case yang bisa kita pelajari. Lagu ini disajikan
secara unik—dibalut dengan irama Jazz yang kental, liukan saxophone
menyayat ala blues—mengungkap sebuah problematika hidup atas dasar permasalahan
budaya dalam lingkup manusia yang mengungkapkan minuman sebagai penanda (baca:
identifikasi budaya tertentu).
Lagu ini bercerita
tentang seorang lelaki berkewarganegaraan Inggris yang sedang berada di New
York. Dengan
pergulatan budaya yang ada, ia tetap percaya pada keakuannya: ia merasa seorang
Inggris yang juga harus menjunjung tinggi keinggrisannya. Juga, sebagai lelaki
dewasa, ia harus mampu menaklukan permasalahan terkait adaptasi dan kebudayaan.
Dibuka dengan: “I don’t drink
coffee/I take tea my dear/I like my toast done on the side”, lagu ini
berpotensi membawa ekspetasi akan pergulatan tokoh “aku lirik” dalam menyikapi
permasalahan sepele: memilih minuman! Aku lirik memberi identifikasi lewat
sebuah pilihan minuman: kopi dan teh. Pembaca dibawa pada suasana ringan namun
mengandung pemaknaan eksistensialisme. Seseorang dengan perbedaan budaya dan
rentang wilayah yang teramat jauh: Inggris dan Amerika.
Judul Englishman in New York
seolah menjadi petunjuk mutlak. Pilihan atas minuman mampu jadi penanda budaya.
Ya, seorang Inggris berada di kota New York, dan mencoba mempertahankan
eksistensinya sebagai seorang Inggris. Hal tersebut diungkap dalam lirik
pembuka. “Englishman” cenderung memilih minum teh ketimbang kopi. Teh menjadi
pilihan seorang Inggris yang santai, dewasa. Berbeda dengan New York yang
memilih kopi. Kopi seolah mengabsahkan New York sebagai kota yang tak tidur.
Begitu pula dengan pilihannya pada kopi. Kopi menjadi teman bagi masyarakat New
York. Kehidupan yang rutin dan terus menerus sekiranya menjadi alasannya
memilih kopi.
Pada bait berikutnya:”Manners maketh man”, adalah pengakuan aku-lirik yang meyakini adanya kebiasaan yang membentuk kepribadian. Aku-lirik memahami akan posisinya di negeri orang. Dan, ini pula yang membuatnya teguh dengan eksistensinya sebagai seorang Inggris. Pilihannya pada teh memberi kesan identifikasi kultural pada sosok seorang Inggris. ”Englishman” menyukai teh karena lebih bersifat santai.
Coba perhatikan bagian reffrain
lagu ini: I’m an alien/ I’m a legal alien/ I’m an Englishman in New York. Aku lirik
merasa benar-benar seperti seorang Alien. Ia benar-benar merasa asing dengan
kondisi sekitar, layaknya Alien. Ya, Alien yang sah, mempunyai
surat keterangan yang memadai (baca: legal). Keakuannya sebagai Englishman
tetaplah dijaga. Dan, ketika lagu ini kita telaah secara keseluruhan tekstual,
tampak sekali aku-lirik ingin berkata bahwa sebagai lelaki maupun perempuan,
harus siap dengan pelbagai perbedaan budaya.
Pada akhirnya: pemahaman
budaya liyan tanpa tercerabut akar
kultural budaya sendiri. Dengan demikian, meski merasa bagai Aliaen Legal, ”Englishman”
kukuh berdiri sebagai pribadi Inggris. Penghormatan atas budaya dan pribadi
sekaligus. Manusia, sebaiknya, bisa melestarikan budaya lokal, tanpa alergi
berbaur dengan budaya asing.
Lagu Englishman in New York ingin menyampaikan sebuah pemahaman tentang pentingnya menjaga budaya asal yang kelak kita bawa ketika sedang berada di daerah yang bukan menjadi wilayah budaya sendiri. Aku-lirik mencoba berpikir tenang ala orang Inggris, meski sedang di New York. Bahwa lebih baik menjaga diri dengan tidak mengganggu dan mengusik budaya lain, namun tetap menjaga keakuan budaya sendiri. Lagu ini berhasil menampilkan konflik hidup dalam lintas budaya secara individu. Dari lagu ini pula, tentulah, permasalahan cross cultural, minimal, bisa ditampilkan ke khalayak. Semoga, karya seni yang sanggup mengungkap perihal kebudayaan semakin banyak lahir. Begitu pula apresian karya seni yang semakin kritis dan peduli. Sehingga imitasi budaya serta impotensi budaya lokal bisa terus diminimalisir. Semoga.***
(Tulisan ini saya buat
satu tahun silam. Kebetulan pernah tampil di Buletin Keris edisi 9 Maret 2012.
Ah, rasanya ada yang ”beda” membaca tulisan lama)
yang suka musik saya ada rekomendasi..ke ( Keisha Cantik Channel ) aja di YouTube lagunya enak2 dah ada lirik dan terjemahannya juga. semoga bermanfaat
BalasHapus