Senin, 26 Agustus 2013

Doa Pamungkas Sang Burung Merak



Puisi lebih panjang usianya ketimbang penyair. Kehadiran kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu (Bentang, 2013) karya W.S Rendra menyapa pembaca meski si penyair sudah almarhum. Puisi melanjutkan wasiat dan sabda sang penyair. Publik mengenang Rendra lewat rangkaian sajak pamflet dan balada. Sajaknya sarat kritik dan sindiran kepada Pemerintah. Ketajaman kata-katanya membuat Rendra sempat dilarang tampil di muka publik oleh Orde Baru. Rendra harus rela berurusan dengan tembok penjara. Ia tidak jera. Ia tekun menulis puisi hingga akhir hayat meski beberapa tak hendak dipublikasikan. 

   
Rendra penyair produktif. Usia bukan alasan untuk tidak menulis. Umur boleh tua tapi puisi terus lahir. Laku kepenyairan ditunaikan dalam pelbagai kesempatan. Rendra menulis puisi di mana saja. Di hadapan pengamen, di pesawat terbang, dan di saat mendengar berita tentang kerusuhan (xi-xii). Rendra adalah penyair sekaligus pembaca puisi yang ampuh. Ia mengaku lebih memilih membacakan sajaknya ketimbang mencetak buku. Rendra berdalih, cetak buku masih bisa terjadi setelah pengarangnya meninggal (xiii). Doa tersebut terbukti lewat kumpulan puisi ini. Rendra wafat 6 Agustus 2009. Empat tahun setelah kepergiannya, kumpulan puisi yang belum dipublikasikan ini pun terbit.

Dua puluh dua puisi dalam buku ini adalah petilan dari proses kepenyairan Rendra sejak tahun 1971-2009. Dari situ muncul pertanyaan dari pembaca, kenapa puisi yang lahir rentang tahun 1970-an tidak tergabung dalam buku yang terbit pada tahun-tahun tersebut, seperti Potret Pembangunan dalam Puisi, misalnya? Edi Haryono, editor buku ini, sempat terganggu oleh pertanyaan tersebut. Pertanyaan tenggelam dalam ingatan dan urung dilontarkan kepada Rendra. Ia mencatat dalam pengantar:”Jika dalam salah satu acara ada pertanyaan semacam itu padanya, biasanya akan ia (baca: Rendra) alihkan atau terus terang tidak mau menjawabnya”.

Buku ini serupa mozaik kepenyairan Rendra. Pembaca bakal memergoki puisi-puisi dengan beragam tema. Aroma protes sosial di zaman Orde Baru muncul dalam sajak-sajak yang lahir kisaran tahun 1970-an. Masa di mana kekuasaan Orba sedang kuat mencengkram. Puisi Hak Oposisi merekam perilaku pembungkaman kaum oposisi oleh Pemerintah. Simak bait berikut: Kamu wajib memasang telinga,/—selalu, untuk mendengar nurani kami./ Sebab itu, kamu membutuhkan oposisi./Oposisi adalah jendela bagi kamu./ Oposisi adalah jendela bagi kami. Rendra memang tukang protes. Pemerintah mesti diprotes agar mengerti perilakunya merugikan rakyat.    
   
Tahun 1998 Orde Baru pun bangkrut. Rendra menanggapi peristiwa ini dengan melahirkan sajak-sajak tentang reformasi. Mata pena Rendra tajam mewartakan kebrutalan Pemerintah dalam menjarah “Daulat Rakyat”. Hukum menjadi barang murahan penindas rakyat. Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia menjadi tanggapan atas kepongahan sistem hukum saat itu. Simaklah: Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa/ Allah selalu mengingatkan/ bahwa hukum harus lebih tinggi/ dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara. Rendra detail menegur perilaku penegak hukum yang gemar menyelewengkan hukum.

Pasrah

Puisi mengisyaratkan kehidupan. Puisi menjadi pertanda bahwa lakon hidup Rendra sebagai manusia nyaris khatam. Sejumlah puisi menyiratkan hasrat dan kerinduan yang hebat pada Sang Pencipta hidup. Rendra menjajaki masa tuanya dengan sederet sajak berurai pasrah pada Tuhan. Puisi bertajuk Gumamku, ya Allah, Doa, Syair Mata Bayi,Tentang Mata, Inilah saatnya, Pertemuan Malam, Tuhan, Aku Cinta Padamu, jadi medium khusuk dalam mengungkap kebertuhanannya yang intim. Puisi serupa lukisan manusia yang khidmat berdoa di antara cahaya temaram.

Rendra memuat biografi kebertuhanannya dalam sajak-sajaknya. Ia berpuisi dan berdoa. Edi Haryono, dalam pengantar, mencatat:”Puisi-puisinya merupakan “yoga bahasa”. Yaitu, semacam ruang ibadah. Dan, ia lebih tebal mengatakan: puisi adalah sujudku” (hlm.xiii). Puisi berjudul Tuhan, Aku Cinta Padamu bertanggal 31 Juli 2009 menjadi pamungkas dalam hidup Rendra. Puisi memuat doa dan pengharapan. Inilah petilan sajak tersebut: Aku pengin membersihkan tubuhku/ dari racun kimiawi.//Aku ingin kembali ke jalan alam/ aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.//Tuhan, aku cinta padamu.

Budayawan Sujiwo Tejo mengakui:”Setiap membaca puisi Mas Willy, saya selalu diingatkan bahwa, walau meledak-ledak dan berdaya pukau, puisi bisa tetap sederhana, berbahasa sehari-hari namun sangat religius.” Puisi menjadi doa pamungkas sekaligus penawar rindu bagi pembaca setia Si Burung Merak.[]
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar