Puisi lebih panjang
usianya ketimbang penyair. Kehadiran kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu (Bentang, 2013) karya W.S Rendra menyapa
pembaca meski si penyair sudah almarhum. Puisi melanjutkan wasiat dan sabda
sang penyair. Publik mengenang Rendra lewat rangkaian sajak pamflet dan balada.
Sajaknya sarat kritik dan sindiran kepada Pemerintah. Ketajaman kata-katanya
membuat Rendra sempat dilarang tampil di muka publik oleh Orde Baru. Rendra harus
rela berurusan dengan tembok penjara. Ia tidak jera. Ia tekun menulis puisi hingga
akhir hayat meski beberapa tak hendak dipublikasikan.
Rendra penyair
produktif. Usia bukan alasan untuk tidak menulis. Umur boleh tua tapi puisi
terus lahir. Laku kepenyairan ditunaikan dalam pelbagai kesempatan. Rendra
menulis puisi di mana saja. Di hadapan pengamen, di pesawat terbang, dan di
saat mendengar berita tentang kerusuhan (xi-xii). Rendra adalah penyair
sekaligus pembaca puisi yang ampuh. Ia mengaku lebih memilih membacakan
sajaknya ketimbang mencetak buku. Rendra berdalih, cetak buku masih bisa
terjadi setelah pengarangnya meninggal (xiii). Doa tersebut terbukti lewat
kumpulan puisi ini. Rendra wafat 6 Agustus 2009. Empat tahun setelah
kepergiannya, kumpulan puisi yang belum dipublikasikan ini pun terbit.
Dua puluh dua puisi dalam
buku ini adalah petilan dari proses kepenyairan Rendra sejak tahun 1971-2009.
Dari situ muncul pertanyaan dari pembaca, kenapa puisi yang lahir rentang tahun
1970-an tidak tergabung dalam buku yang terbit pada tahun-tahun tersebut,
seperti Potret Pembangunan dalam Puisi,
misalnya? Edi Haryono, editor buku ini, sempat terganggu oleh pertanyaan
tersebut. Pertanyaan tenggelam dalam ingatan dan urung dilontarkan kepada
Rendra. Ia mencatat dalam pengantar:”Jika dalam salah satu acara ada pertanyaan
semacam itu padanya, biasanya akan ia (baca: Rendra) alihkan atau terus terang
tidak mau menjawabnya”.
Buku ini serupa mozaik
kepenyairan Rendra. Pembaca bakal memergoki puisi-puisi dengan beragam tema.
Aroma protes sosial di zaman Orde Baru muncul dalam sajak-sajak yang lahir kisaran
tahun 1970-an. Masa di mana kekuasaan Orba sedang kuat mencengkram. Puisi Hak Oposisi merekam perilaku
pembungkaman kaum oposisi oleh Pemerintah. Simak bait berikut: Kamu wajib memasang telinga,/—selalu, untuk
mendengar nurani kami./ Sebab itu, kamu membutuhkan oposisi./Oposisi adalah
jendela bagi kamu./ Oposisi adalah jendela bagi kami. Rendra memang tukang
protes. Pemerintah mesti diprotes agar mengerti perilakunya merugikan rakyat.
Tahun 1998 Orde Baru pun
bangkrut. Rendra menanggapi peristiwa ini dengan melahirkan sajak-sajak tentang
reformasi. Mata pena Rendra tajam mewartakan kebrutalan Pemerintah dalam
menjarah “Daulat Rakyat”. Hukum menjadi barang murahan penindas rakyat. Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia menjadi
tanggapan atas kepongahan sistem hukum saat itu. Simaklah: Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa/ Allah selalu mengingatkan/ bahwa
hukum harus lebih tinggi/ dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
Rendra detail menegur perilaku penegak hukum yang gemar menyelewengkan hukum.
Pasrah
Puisi mengisyaratkan kehidupan.
Puisi menjadi pertanda bahwa lakon hidup Rendra sebagai manusia nyaris khatam.
Sejumlah puisi menyiratkan hasrat dan kerinduan yang hebat pada Sang Pencipta
hidup. Rendra menjajaki masa tuanya dengan sederet sajak berurai pasrah pada
Tuhan. Puisi bertajuk Gumamku, ya Allah,
Doa, Syair Mata Bayi,Tentang Mata, Inilah saatnya, Pertemuan Malam, Tuhan, Aku
Cinta Padamu, jadi medium khusuk dalam mengungkap kebertuhanannya yang
intim. Puisi serupa lukisan manusia yang khidmat berdoa di antara cahaya
temaram.
Rendra memuat biografi
kebertuhanannya dalam sajak-sajaknya. Ia berpuisi dan berdoa. Edi Haryono,
dalam pengantar, mencatat:”Puisi-puisinya merupakan “yoga bahasa”. Yaitu,
semacam ruang ibadah. Dan, ia lebih tebal mengatakan: puisi adalah sujudku”
(hlm.xiii). Puisi berjudul Tuhan, Aku
Cinta Padamu bertanggal 31 Juli 2009 menjadi pamungkas dalam hidup Rendra. Puisi
memuat doa dan pengharapan. Inilah petilan sajak tersebut: Aku pengin membersihkan tubuhku/ dari racun kimiawi.//Aku ingin
kembali ke jalan alam/ aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.//Tuhan,
aku cinta padamu.
Budayawan Sujiwo Tejo
mengakui:”Setiap membaca puisi Mas Willy, saya selalu diingatkan bahwa, walau
meledak-ledak dan berdaya pukau, puisi bisa tetap sederhana, berbahasa sehari-hari
namun sangat religius.” Puisi menjadi doa pamungkas sekaligus penawar rindu
bagi pembaca setia Si Burung Merak.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar