Kamis, 19 Juni 2014

Lebih Dalam dari Sekadar Pergundikan

Sejarah adalah teka-teki yang tak pernah utuh. Buku-buku sejarah menampilkan narasi bertabur peristiwa dan orang-orang besar. Kita membaca sejarah bereferensi tokoh, tempat, peperangan, heroisme, dan perjanjian-perjanjian. Buku sejarah menyapa lewat kisah, data, fakta, dan perspektif.

Tapi ini bukan buku sejarah. Judul buku bisa menipu seandainya kita tidak lekas membaca beberapa pengakuan para pesohor di kover belakang. Buku Semua untuk Hindia (KPG, 2014) karangan Iksaka Banu adalah sehimpunan cerpen bereferensi sejarah. Tema-tema sejarah Hindia Belanda, sejak kedatangan Cornelis de Houtman hingga era kemerdekaan, tidak berpusat pada tokoh dan peristiwa besar. Cerpen Iksaka Banu justru lahir dari petilan-petilan kisah persinggungan manusia Belanda dan bumiputera, yang menaut pada fragmen-fragmen kesejarahan. Cerita bergema justru dari pinggiran sejarah.

Persentuhan bumiputera dan Belanda tak mesti berisi intrik dan permusuhan. Sebagai individu, mereka tetaplah manusia yang saling memerlukan. Pekerja Belanda datang ke Hindia tanpa memboyong serta keluarga. Mereka bagai tiba-tiba menjadi orang penting saat mendarat di Hindia. Tuntutan biologis mendorong mereka menjalin hubungan dengan bumiputra. Bukan sebuah hubungan pernikahan, tapi sebatas piaraan (baca: pergundikan); pelampiasan nafsu semata. Pandangan Belanda menganggap pernikahan resmi hanya bagi sesama totok.

Pergundikan memunculkan fenomena kaum nyai di Hindia. Para nyai kerap diperlakukan semena-mena, bisa diusir kapan pun si totok mau. Cerpen Stambul Dua Pedang, sebaliknya, mengisahkan pergundikan tak biasa. Cinta Matthijs Adelaar van Rijk benar-benar subur kepada Sarni, gadis bumiputera, istrinya. Ia bahkan rela berduel secara jantan dengan lelaki bumiputera yang diketahuinya menjalin hubungan gelap dengan Sarni.

Van Rijk mengakui:”..tak banyak orang Belanda memanggil pasangan pribuminya dengan sebutan ‘istri’. Kupanggil kau ‘istri’ karena sejak awal aku mencari istri … Kuabaikan pandangan menghakimi para sejawatku”. Van Rijk bagai “menyatu” bersama Hindia Belanda, berkat cintanya pada Sarni. Cerpen ini mengejawantahkan sisi lain dari kisah cinta pergundikan. Tak semua totok berkelakuan sembrono.

Pengarang terus menggali dan mengeksplorasi tema pergundikan agar tak semata berkisah perihal percintaan ‘liar’ bumiputera-Belanda. Ada misi harga diri dan pengukuhan identitas. Melalui pendekatan nalar kemanusiaan, cerpen Gudang Nomor 012B mengkritik sikap para totok yang kerap melecehkan anak hasil pergundikan. Hans Peterverblekken mendapat kritik dari atasan, Komiaris Gijs, karena pandangannya yang memihak tradisi bumiputera.

Hans memang seorang peranakan, dan tumbuh di sekitar uluran tangan para bumiputera. Komisaris Gijs menilai Hans tak mewarisi watak Belanda yang cekatan dan hemat. Cercaan membawa Hans pada satu titik di mana ia berani mempertanyakan kembali keberadaban Belanda yang diagung-agungkan atasannya itu.”Tidak dibutuhkan setetes pun darah Belanda untuk menjadi ‘orang beradab’. Sering terjadi sebaliknya. Ayahku totok, tapi tanpa beban menghamili tujuh gadis pribumi…”. Gugatan Hans menjadi ajakan untuk mengabarkan keberadaban manusia tanpa menilai asal-usul. Pengarang kentara meracik dialog sarat kritik, namun tak abai pada pesan dan makna.

Dan keberadaban pulalah pusat dari derajat seorang manusia. Cerpen Semua untuk Hindia mengisahkan kontradiksi kemanusiaan. De Witt, wartawan De Locomotief berkebangsaan Belanda, adalah saksi tragedi Perang Puputan di Bali. Di hadapan De Witt pembantaian besar-besaran terjadi. Bangsa yang ia agungkan berkat kemodernan pikiran justru tak ubahnya bangsa penindas dan pembunuh. Fragmen ini mengguncang jiwa dan nurani De Witt. ”Benarkah kehadiran kami di sini atas nama pembawa peradaban modern, diperlukan?” Modernitas mendapat kritik akibat kelakuan manusia-manusia penghamba kekuasaan.

Jeli
Dalam pengantarnya, Nirwan Dewanto menangkap kekukuhan pengarang untuk tetap berlaku ilmiah. “Ia tidak menyelundupkan unsur-unsur fantastik ke dalam pengisahan”. Sejarah diurai secara jeli, meski sebenarnya kedaulatan imajinasi pengarang sepenuhnya berkuasa. Kecenderungan ini membuat pengarang “seringkali membulatkan kisahnya dengan serba-kebetulan”.

Beberapa cerpen secara eksplisit justru menampilkan tarikh cerita, merujuk pada tautan peritiwa bersejarah. Pengarang bagai tak ingin tergelincir dalam anakronisme. “Aku-tokoh” menjelaskan, menegaskan, dan menceritakan konteks cerita, yang sesekali dilengkapi keterangan penjelas agar pembaca tak ‘tersesat’. Simaklah beberapa tarikh yang muncul sebagai acuan cerita: 20 September 1906 (Semua untuk Hindia, tentang Perang Puputan Bali); 3 Mei 1830 (Pollux, tentang pengasingan Pangeran Diponegoro ke Maluku), dan 8 Oktober 1740 (Bintang Jatuh, tentang pembantaian kaum Tionghoa oleh Belanda).

Kisah bertarikh dalam cerpen memungkinkan pembacaan kritis, merujuk ke peristiwa bersejarah. Pembaca bakal terangsang menjelajahi buku-buku sejarah demi mencapai tekstase cerita. Buku ini pantas jadi referensi memahami Hindia agar kita tak mewarisi pemahaman sejarah yang ‘hitam-putih’, bermisi keberadaban manusia, dari masa ke masa. Gugatan-gugatan kecil menetes dari celah sejarah, menjauhkan dari ‘penghakiman’ atas kesalahan dan kesembronoan pelaku sejarah di masa lalu. []

dimuat di Jawa Pos ( 8 Juni 2014)