Kamis, 29 Agustus 2013

Tionghoa Pelik dalam Cerita


Sejauh mana sebuah cerpen menangkap dan menyajikan keadaan sebuah masyarakat tertentu? Cerpen, —karena  kependekannya—barangkali tidak mampu menghadirkan totalitas telisik dan pantauan atas sebuah peristiwa. Cerpen akhirnya memungut serpihan peristiwa, dan mewartakannya kepada pembaca. Daya ungkap dan  imaji sang cerpenis sanggup memergoki ketragisan, kemunafikan, dan kebohongan sebuah perkara, kemudian menghidangkannya sebagai cerita.

Laku dan  konflik masyarakat Tionghoa berhasil dihadirkan secara jeli dalam jagad fiksionalitas melalui sekumpulan cerpen  bertajuk Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina (Komodo Books, 2012) gubahan Hanna Fransiska. Kumpulan cerpen ini menghentak lewat suguhan cerita keterasingan, kepicikan, hipokrit, kebusukan birokrasi, dan  kekalahan. Sembilan cerpen dalam buku ini ditulis dalam getir dan nyinyir. Tiga cerpen ditulis di Singkawang, selebihnya di Jakarta. Pembaca dibujuk untuk sedih, tertawa miris, geram dan marah. Lakon masyarakat Tionghoa menjadi landasan  imaji demi mengangkat beberapa fakta dan peristiwa menjadi mozaik cerita pelik. Hanna sebagai seorang Tionghoa, mengungkap sejarah diri, kenangan, serta lingkungannya ke dalam cerita pendek.

Hanna hadir sebagai juru cerita yang tidak berangkat dari sekedar riset. Pengarang  lahir dan tumbuh di Singkawang, Kalimantan Barat. Daerah mayoritas dihuni kaum Tionghoa. Alhasil, kisah dan imaji yang disuguhkan dalam buku ini kuyub biografi diri si Pengarang. Cerpen-cerpen, seperti Kuburan Kota Bunga, Hari Raya Hantu, Kungkung, begitu lekat dan dekat dengan pengarang.

Masa kecil pengarang yang pernah hidup berdampingan dengan makam, memunculkan kisah kritis yang menyoroti sengketa pemindahan makam. Pemindahan makam ke atas bukit, sebanding dengan kompensasi yang diterima Ahli Waris, meski akhirnya dicerca masyarakat penganut tradisi. Simak petikan berikut:”bahkan mayat saja tak mungkin bisa menolak uang ganti rugi semacam itu, apalagi yang masih hidup?” Sementara ratusan yang lain menolak sambil berjaga siang malam, dan  tak henti menyumpahi mayat-mayat yang diangkut dengan upacara besar dengan sebutan, “mayat-mayat orang usiran”. Kutipan tersebut merepresentasikan hasrat pengarang mewartakan  kebobrokan sebagian masyarakat karena menjual keyakinan leluhur.
***
Hanna Fransiska mewartakan Tionghoa secara masif: budaya, tradisi, dan bahasa. Pembaca diajak mengenal secara akrab perihal Tionghoa. Ikhtiar menampilkan budaya Tionghoa kentara lewat penggunaan bahasa Hakka Singkawang: Kungkung (Kakek), Sukkung (adik laki-laki dari kakek), Kiu-kiu (adik atau abang dari Ibu), Ngoisong (keponakan), Bosong (orang yang punya ilmu kebatinan), dsb. Pengarang mengekalkan mitos dalam tertib cerita. Pembaca luruh dalam pikat penyampaian cerita. Meski disana-sini muncul bahasa adat, pembaca tidak sampai dibuat tersesat.

Sensitifitas pembaca diaduk-aduk. Nalar cerita merangsang emosi dan permenungan. Tragedi seorang ayah menukar anak gadisnya dengan hidangan kaki babi dan uang, hadir dalam cerpen Sembahyang Makan Malam. Penyesalan tokoh Ayah membawa pembaca luruh dan haru dalam penyesalan tiada tara. Hasrat perayaan Imlek yang lebih baik, dibayar dengan raibnya anak dan istri.

Puncak kekalahan dan keterpinggiran muncul dalam cerpen yang sekaligus dipatok sebagai judul buku Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina. Kekalahan dan penyesalan akut ditimpakan pada sosok Zhu yang teraniaya oleh aparat. Sulaiman hilang dalam sebuah tragedi pembakaran dan penculikan. Kisah ini buntut pergolakan petani kopi yang dituduh merusak hutan. Pengarang lihai memungut kisah Tionghoa pelik. Referensi pengarang tak diragukan. Pembaca seolah diperbolehkan melacak pelbagai khasanah literasi pengarang.
***
Menulis bagi Hanna Fransiska tak lain upaya menangkal frustasi. Pasca terbit kumpulan puisinya yang perdana Konde Penyair Han (2010) dan disusul Benih Kayu Dewa Dapur (2012), Pengarang sukses merangsang perhatian khalayak. Ikhtiar mengangkat tradisi dan mitologi Tionghoa lewat cerpen, berhasil mengukuhkan keberimanan seorang Hanna Fransisca. Meski harus diakui, secara alur, bebeapa cerpen masih terkesan “dipaksakan”. Kejelian Pengarang mengeksplorasi mitos cerita dan gaya bercerita yang detail, menjadikan buku ini layak dijadikan ajang permenungan atas kisah pelik masyarakat Tionghoa. Cerpenis sufi Danarto menganggap tema dan jalan cerita bukanlah yang terpenting. Yang paling utama dari cerita pendek adalah cara bertutur kata. Di  tangan Hanna, semua persoalan  penting dituturkan dengan cara yang anggun dan memikat. Dan pembaca musti membuktikannya.[]

Langit-Langit yang Menumpahkan Sejarah dan Rahasia


Seorang lelaki menumpahkan potongan sejarah hidupnya dalam sebuah artikel, dengan gaya penulisan sarat emosi, juga fakta mencengangkan. Ia menulis dengan ingatan dan kegetiran hidup yang hampir-hampir menjebol seluruh jerat masa lalunya yang gosong. Adalah Martin Aleida yang tak sanggup menahan gerah di hatinya. Upaya Frans Magnis Suseno SJ mendukung rencana Presiden SBY untuk meminta maaf kepada korban pasca-G30S (Kompas, 24 Maret 2012), ditampik secara telak oleh Sulastomo, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam tahun 1963-1966, seminggu kemudian di harian yang sama.

Luka lama itu seolah kembali berdarah. Trauma atas masa lalu yang belum terobati, terungkap secara dramatis dalam sebuah tulisan tanggapan. Ia kecewa atas artikel dari pihak yang tak menghendaki pembersihan stigma negatif yang melekat pada korban pasca-G30S. Tulisan berjudul Antara Romo dan Sulastomo (h.207) dikirim ke harian yang sama sebagai penjelas antara dua jenis tulisan “yang berdiri di tebing yang berseberangan.” Pembelaan penulis kandas setelah tulisannya dianggap “agak sensitif.” Dan, yang kemudian menjadi menarik adalah, saat dibukukan dalam Langit Pertama, Langit Kedua (2013), tulisan tersebut hadir bersanding dengan beberapa komentar dari tokoh seperti Goenawan Mohamad, Ignas Kleden, dan Atmakusumah Astraatmadja—untuk menyebut beberapa nama. Tulisan tersebut, oleh penulis, dikirim ke beberapa kolega. Hasilnya? Komentar tajam-kritis muncul bukan sebagai apologi, namun memberi semacam ajang pertukaran gagasan secara demokratis.  

Kegalauan hati penulis muncul pula dalam surat-suratnya kepada Salim Said, bekas atasannya di majalah Tempo. Bermula dari resensi buku Wars Within (2005) karya Janet Steele di majalah Gatra (12 September 2007), yang mengupas perihal petilan sejarah majalah Tempo. Debat sengit pun terjadi antara keduanya. Dalam catatan berjudul Suara dari Kubur, Said, seperti dikutip penulis, mencatat: ”Yang saya tahu dulu adalah bahwa Martin itu anak muda, datang dari Medan, tidak tahu apa-apa dan lalu oleh temannya sesama anak Medan menampungnya di koran PKI, Harian Rakyat. Begitu cerita Goenawan Mohamad (GM) kepada saya dulu.” (h.232). Penulis tidak serta merta percaya. Penulis justru menduga GM sengaja menjawab demikian karena “tahu orang yang dihadapi adalah Salim, wartawan “Angkatan Bersenjata” yang kecenderungan pikirannya tidak akan menjamin bahwa kalau Martin diceritakan sejujurnya siapa dia, apakah nyawanya akan selamat di tangan orang yang diajak bicara tersebut.” (h. 232). 

Pasca-G30S, menjadi manusia yang dituduh ataupun berteman dengan seorang komunis, adalah satu alasan yang cukup bagi seseorang boleh dimatikan. Stigma “kiri” tumbuh dan bermekaran memenuhi kebencian masyarakat. Wajar bila penulis mencatat:”Memang, semasa menjadi wartawan majalah Tempo, saya menyembunyikan diri bahwa saya pernah bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat dan anggota redaksi majalah Lembaga Kebudayaan Rakyat, Zaman Baru, dalam usia yang baru 20 tahun” (hlm. 215). Buku ini barangkali tidak akan pernah ada jika saat itu penulis mengungkap siapa dirinya sebenarnya.

Permasalahan ideologis memang kerap menyulut api curiga, awas, dan rasa tidak percaya. Beruntunglah manusia yang berhasil mengendalikan ideologi, dan bukan sebaliknya. Berkat sikap “setengah nabi” GM-lah, penulis merasa terselamatkan dari tali gantungan. “GM, di mata saya adalah orang yang mulia, yang telah menerima saya bekerja, untuk melepaskan saya dari jerat pengangguran, untuk mengembalikan saya ke dunia saya (penulisan),” (h.233). Penulis menuntaskan rasa syukur dengan puja hormat kepada sang senior yang telah menyelamatkan hidupnya dari petaka politis-ideologis tersebut. 

Demokrasi

Sajian beberapa surat-surat sarat perdebatan, esei, kritik, catatan perjalanan, menjadi hidangan komplit dengan beberapa cerita pendek yang pernah dipublikasikan di media massa. Penulis nampaknya hendak menampilkan suguhan tulisan kepada sidang pembaca sedemokrasi mungkin. Komentator bukan muncul semata sebagai bagian dari endorsement di sampul belakang buku, yang pada galibnya ditulis oleh orang-orang berkompeten. Dari delapan cerita pendek yang ada, enam diantaranya ramai oleh tanggapan dari pelbagai tokoh lintas profesi. Wartawan, anggota parlemen, cerpenis, pelukis, aktivis, sejarawan, peneliti, hingga komponis andil dalam memberi komentar.

Kebebasan berkomentar-berapresiasi menjadi unik ketika tanggapan berhasil menampilkan gagasan kreatif. Seorang cerpenis yang mukim di Jerman, Soeprijadi Tomodiharjo, menanggapi cerita pendek berjudul Tiada Darah di Lamalera (h.85) dengan merekontruksinya ke dalam bentuk puisi. Komentator menganggap cerpen ini “cukup memusingkan bukan saja bagi pembaca awam tapi juga bagi sejumlah penggemar sastra.” Protes sempat dilayangkan kepada penulis langsung melalui pesan singkat:“Ini bukan cerpen bung! Puisi!” Dan apa jawab dia? … Cerpen ini hanya untuk dinikmati, bukan untuk dipahami….”(h.98). Pada puncaknya disulaplah cerita pendek tersebut menjadi sebuah sajak panjang berjudul Ada Darah di Lamalera, tentunya dengan siizin penulis. 

Penulis akhirnya berhasil menempatkan kebebasan berpendapat bagi pembaca karyanya tanpa hasrat untuk membela. Dalam bukunya terdahulu, Malam Kelabu, Ilyana dan Aku (1998), penulis berkeyakinan:“Saya kira kesusastraan adalah kejujuran. Apakah kekuatannya itu memerlukan dukungan?”(hlm.vii). Keyakinan itu pulalah, yang barangkali, memberi ilham bagi penulis untuk menerbitkan buku dengan menyertakan komentar pembaca sekaligus. Meski tidak menyajikan teks-teks yang sama sekali baru,—mayoritas tulisan pernah dipublikasikan di media massa—buku ini membeberkan rahasia, sejarah diri, dan apresiasi teks sastra dari pembaca. “Saya bantu karena karya-karyamu HARUS diterbitkan,” kata sastrawan kawakan Arswendo Atmowiloto menegaskan kepada penulis buku ini.[]

Senin, 26 Agustus 2013

Emak dan Hasrat Intelektualisme


Perempuan belum lunas menuai kesetaraan. Risalah perempuan masih menjadi tema menarik dalam adonan narasi novel sebagai pamrih menyuarakan fakta dan tragedi. Novel Jurai: Kisah Anak-Anak Emak di Setapak Impian (2013) garapan Guntur Alam menandai permasalahan perempuan dan pemerataan pendidikan di daerah pinggiran belum beres.

Perempuan dan pendidikan belum usai dikisahkan. Novel ini menyengat nurani pembaca atas perilaku naif masyarakat adat terhadap perempuan yang hendak mengurusi pendidikan, terutama di pedesaan. Eksplorasi kehidupan perempuan terjebak konservatisme, tradisi, dan desakan ekonomi menjadi galian bagi pengarang mewartakan pesan-pesan kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan pendidikan. 

Novel berbicara lirih namun menjamah kesadaran pembaca. Suara itu keluar dari tokoh Emak dan empat anaknya: Catuk, Ivo, Hani, dan Wiwik. Tokoh Emak menampilkan sosok perempuan pinggiran namun bertekad melawan hegemoni adat dan tradisi demi masa depan keempat anaknya. Emak seorang janda. Suaminya mati kecelakaan, ditabrak sepeda motor yang dikendarai anak sang majikan. Buta huruf membuat Emak takluk pada kepicikan sang majikan. Rayu uang sebagai kompensasi kematian suami ditolak sebagai dalih harga diri dan kehormatan:”Aku tak menjual nyawa lelakiku demi uang ini.”(hlm.111). Emak teguh mempertahankan kehormatan meski miskin. 

Emak hidup di lingkungan masyarakat Tanah Abang, Sumatera Selatan, yang memiliki kepercayaan atas keterkaitan nasib orang tua dengan anak-anaknya (Jurai). Emak memiliki jurai buruk karena anak bujang-nya (laki-laki) begitu mirip dengan Ebaknya (ayah). Padahal, Ebak seharusnya mirip dengan anak-anak perempuannya. Kematian suami Emak diyakini sebagai jurai yang harus diterima. Keyakinan adat memusnahkan ambisi menuntut balas kematian suami. Emak pasrah dan ikhlas meski terluka seumur hidup.

Demi Pendidikan

Kehormatan adalah harta satu-satunya bagi Emak dan anak-anaknya. Pengarang memberi acuan harga diri pada tokoh Emak melalui kerelaan mengurusi beban keluarga seorang diri ketimbang mengorbankan pendidikan sang anak. Kesadaran pada pendidikan menjadi “barang antik” di antara kepungan masyarakat patriarki-konservatif di desanya. Perempuan dianggap berhasil jika sukses dalam urusan “kasur, dapur, dan sumur.” Keyakinan itu tidak berlaku bagi Emak. Menyekolahkan anak-anak adalah satu-satunya cara menyelamatkan keluarga dari kebobrokanl.

Catuk, bujang satu-satunya, tidak dibiarkan takluk pada aturan adat yang mengharuskannya jadi pengganti peran bapak. Tiga anak perempuan Emak: Wiwik, Ivo, dan Heni, pantang tunduk pada aturan adat. Mereka takzim pada pemikiran Emak—pantang menikah sebelum menunaikan pendidikan. Pendidikan adalah harapan demi perubahan nasib dan meninggikan martabat keluarga meski ditebus kerja keras berjualan sayur.”Tugas Emak adalah mendidik kalian. Ingat! Kalian tak boleh buta huruf. Kalian tak boleh bodoh. Sekolah yang tinggi biar tidak ditipu,” (hlm.152). Emak menegaskan laku dan ajaran bagi anak-anaknya.

Pengarang kentara ingin menampilkan sosok perempuan visioner lewat dialog dan sikap Emak dan keluarganya. Melalui tokoh-tokoh anak perempuan Emak, pengarang mencubit ingatan publik atas diskriminasi perempuan di masa silam. Miskin bukan alasan untuk tidak berpihak pada pendidikan. Wejangan Emak kepada ketiga putrinya adalah representasi pengalaman pribadinya yang pernah ditipu gara-gara buta huruf. Buta huruf pula yang membuat Emak tidak menyadari bahwa sang suami menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Masa lalu memberi kesadaran bagi Emak atas pentingnya kecerdasan bagi anak-anaknya.
  
Pilihan untuk menentang tembok tradisi bukan tanpa resiko. Perempuan berpendidikan, bagi masyarakat Tanah Abang, sebagaimana diceritakan dalam novel ini, tak lain menyalahi tradisi dan keyakinan adat. Hujatan diterima dengan pasrah. Emak didakwa membangkang. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Emak sebagai ganjaran atas keputusannya hijrah ke kota demi menyekolahkan anak-anaknya. Pengarang berhasil menampilkan kontradiksi dari setiap upaya manusia, yang berorientasi pada perubahan dan masa depan, secara detil dan penuh haru. Drama penentangan dan cemooh atas keputusan Emak menjadi satire tajam nan menusuk atas jerat kaum adat yang kukuh melakoni penindasan dan peminggiran hak-hak perempuan.

Emak, sosok ibu yang teguh pendirian, humanis, begitu terpikat pada pendidikan. Pengarang mengakhiri narasi cerita dengan sebait optimisme lewat tokoh Catuk:”Kami bisa membuktikan pada orang-orang Tanah Abang, kalau kami tak salah memilih jalan! Itu saja, Agar mereka tahu, Emak tak salah menyamakan posisi anak bujang dengan anak perempuan dalam menyiapkan hidup mereka di depan sana,”(hlm.298). Kisah Emak dan anak-anaknya menjadi refleksi bagi manusia modern untuk tidak bosan mengurusi pendidikan, kesetaraan, dan kemartabatan manusia.[]


Doa Pamungkas Sang Burung Merak



Puisi lebih panjang usianya ketimbang penyair. Kehadiran kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu (Bentang, 2013) karya W.S Rendra menyapa pembaca meski si penyair sudah almarhum. Puisi melanjutkan wasiat dan sabda sang penyair. Publik mengenang Rendra lewat rangkaian sajak pamflet dan balada. Sajaknya sarat kritik dan sindiran kepada Pemerintah. Ketajaman kata-katanya membuat Rendra sempat dilarang tampil di muka publik oleh Orde Baru. Rendra harus rela berurusan dengan tembok penjara. Ia tidak jera. Ia tekun menulis puisi hingga akhir hayat meski beberapa tak hendak dipublikasikan. 

   
Rendra penyair produktif. Usia bukan alasan untuk tidak menulis. Umur boleh tua tapi puisi terus lahir. Laku kepenyairan ditunaikan dalam pelbagai kesempatan. Rendra menulis puisi di mana saja. Di hadapan pengamen, di pesawat terbang, dan di saat mendengar berita tentang kerusuhan (xi-xii). Rendra adalah penyair sekaligus pembaca puisi yang ampuh. Ia mengaku lebih memilih membacakan sajaknya ketimbang mencetak buku. Rendra berdalih, cetak buku masih bisa terjadi setelah pengarangnya meninggal (xiii). Doa tersebut terbukti lewat kumpulan puisi ini. Rendra wafat 6 Agustus 2009. Empat tahun setelah kepergiannya, kumpulan puisi yang belum dipublikasikan ini pun terbit.

Dua puluh dua puisi dalam buku ini adalah petilan dari proses kepenyairan Rendra sejak tahun 1971-2009. Dari situ muncul pertanyaan dari pembaca, kenapa puisi yang lahir rentang tahun 1970-an tidak tergabung dalam buku yang terbit pada tahun-tahun tersebut, seperti Potret Pembangunan dalam Puisi, misalnya? Edi Haryono, editor buku ini, sempat terganggu oleh pertanyaan tersebut. Pertanyaan tenggelam dalam ingatan dan urung dilontarkan kepada Rendra. Ia mencatat dalam pengantar:”Jika dalam salah satu acara ada pertanyaan semacam itu padanya, biasanya akan ia (baca: Rendra) alihkan atau terus terang tidak mau menjawabnya”.

Buku ini serupa mozaik kepenyairan Rendra. Pembaca bakal memergoki puisi-puisi dengan beragam tema. Aroma protes sosial di zaman Orde Baru muncul dalam sajak-sajak yang lahir kisaran tahun 1970-an. Masa di mana kekuasaan Orba sedang kuat mencengkram. Puisi Hak Oposisi merekam perilaku pembungkaman kaum oposisi oleh Pemerintah. Simak bait berikut: Kamu wajib memasang telinga,/—selalu, untuk mendengar nurani kami./ Sebab itu, kamu membutuhkan oposisi./Oposisi adalah jendela bagi kamu./ Oposisi adalah jendela bagi kami. Rendra memang tukang protes. Pemerintah mesti diprotes agar mengerti perilakunya merugikan rakyat.    
   
Tahun 1998 Orde Baru pun bangkrut. Rendra menanggapi peristiwa ini dengan melahirkan sajak-sajak tentang reformasi. Mata pena Rendra tajam mewartakan kebrutalan Pemerintah dalam menjarah “Daulat Rakyat”. Hukum menjadi barang murahan penindas rakyat. Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia menjadi tanggapan atas kepongahan sistem hukum saat itu. Simaklah: Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa/ Allah selalu mengingatkan/ bahwa hukum harus lebih tinggi/ dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara. Rendra detail menegur perilaku penegak hukum yang gemar menyelewengkan hukum.

Pasrah

Puisi mengisyaratkan kehidupan. Puisi menjadi pertanda bahwa lakon hidup Rendra sebagai manusia nyaris khatam. Sejumlah puisi menyiratkan hasrat dan kerinduan yang hebat pada Sang Pencipta hidup. Rendra menjajaki masa tuanya dengan sederet sajak berurai pasrah pada Tuhan. Puisi bertajuk Gumamku, ya Allah, Doa, Syair Mata Bayi,Tentang Mata, Inilah saatnya, Pertemuan Malam, Tuhan, Aku Cinta Padamu, jadi medium khusuk dalam mengungkap kebertuhanannya yang intim. Puisi serupa lukisan manusia yang khidmat berdoa di antara cahaya temaram.

Rendra memuat biografi kebertuhanannya dalam sajak-sajaknya. Ia berpuisi dan berdoa. Edi Haryono, dalam pengantar, mencatat:”Puisi-puisinya merupakan “yoga bahasa”. Yaitu, semacam ruang ibadah. Dan, ia lebih tebal mengatakan: puisi adalah sujudku” (hlm.xiii). Puisi berjudul Tuhan, Aku Cinta Padamu bertanggal 31 Juli 2009 menjadi pamungkas dalam hidup Rendra. Puisi memuat doa dan pengharapan. Inilah petilan sajak tersebut: Aku pengin membersihkan tubuhku/ dari racun kimiawi.//Aku ingin kembali ke jalan alam/ aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.//Tuhan, aku cinta padamu.

Budayawan Sujiwo Tejo mengakui:”Setiap membaca puisi Mas Willy, saya selalu diingatkan bahwa, walau meledak-ledak dan berdaya pukau, puisi bisa tetap sederhana, berbahasa sehari-hari namun sangat religius.” Puisi menjadi doa pamungkas sekaligus penawar rindu bagi pembaca setia Si Burung Merak.[]
    

Seekor Anjing dan Kemanusiaan


Perang adalah perilaku paling purba dari sejarah peradaban manusia. Sederet perang dunia menciptakan konflik tak berkesudahan. Arogansi dan hasrat kekuasaan adalah iming-iming paling menggiurkan sebagai dalih peperangan. Selalu ada yang menindas dan tertindas. Bahkan, hewan yang tidak berurusan dengan ulah manusia tersebut pun, harus menanggung maut. Ia mati dalam kekonyolan.

Antipati perang menjadi lahan topik cerpen bertajuk Seekor Anjing Mati di Bala Murghab—yang juga menjadi judul kumpulan cerpen inikarya penulis sekaligus jurnalis Linda Christanty. Membunuh seekor hewan tanpa dalih yang dibenarkan, apalagi tanpa sebab, bagaimanapun juga adalah pembunuhan. Harus ditentang. Dalam cerpen tersebut, penulis mewartakan kebiadaban yang terjadi di daerah bertikai.

Situasi perang adalah dalih bagi segala peniadaan nilai-nilai akal sehat dan nurani. Kisah ini mengkritik invasi negara Barat di Afganistan dengan sikap intoleran dari kedua pihak yang bertikai. Hegemoni Barat versus konservatisme Timur Tengah. Deskripsi cerita ini begitu memikat: melafalkan situasi perang yang mencekam, dengan balur kritik gender pada kaum konservatif: “Para “pelajar” melarang anak-anak perempuan bersekolah dan mereka  memerkosa perempuan-perempuan muda. Di satu desa, aku bertemu anak perempuan, 14 tahun usianya, yang tak ingin hidup lagi.” Pelarangan pendidikan adalah tindakan melegalkan kebodohan dan ketertindasan.

Mendunia

Buku ini tidak sekadar berkisah tentang perang. Fiksi menjelma pengejawantahan kepedulian manusia untuk memerkarakan perihal kemanusiaan, ketidakadilan, sejarah kelam, konflik batin, gender, serta pertemuan budaya, yang dikonstruksi dengan gaya ringan dan memikat. Penulis, sebagai seorang jurnalis, mafhum atas isu global yang diperkaya dengan wawasannya yang luas.

Barangkali, mobilisasi penulis sebagai seorang jurnalis, membawa dampak atas setting cerita yang “mendunia.” Nalar cerita bukan sebatas waham. Naluri jurnalisnya memengaruhi referensi latar cerpen yang digarapnya. Pembaca akan disuguhi deskripsi Aceh (Zakaria), Jepang (Sihir Musim Dingin), Belanda (Jack dan Bidadari), Jerman (Perpisahan), Turki (Pertemuan Atlantik), dan Afganistan (Seekor Anjing Mati di Bala Murghab).

Ada sedemikian persoalan di masing-masing wilayah yang diangkat. Dalam Zakaria, pembaca diajak mengingat konflik yang pernah berkepanjangan antara pemerintah Indonesia dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Penulis, sebagai putri daerah setempat, memberi lanskap berbeda atas konflik di daerah yang kerap disebut ladang ganja-nya Indonesia. Cerpen ini mengkritik mitos klenik, bisnis ganja, dan konflik politik. Tokoh Zakaria hidup dalam dilema atas bisnis ganja yang digelutinya dengan kakak perempuannya. Sedangkan, suami dari kakak Zakaria adalah seorang polisi. Politik dan uang menjadi segala yang memungkinkan hal-hal yang tidak mungkin.

Luka sejarah akibat ulah negara ditampilkan dengan tokoh utama sebagai pesakitan dalam Perpisahan. Seteru Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi pemantik cerita. Lagi-lagi, konflik—terutama perang—adalah tragedi yang menjejaki trauma berkepanjangan. Cacat psikologis, barangkali, adalah luka tak terperikan bagi korbannya.

Tembok Berlin yang memisahkan Barat dan Timur itu telah hancur, namun, kenangan kelam tetap tak terhapuskan. Akhirnya, individu yang terluka enggan memberi pemakluman pada negaranya: “Saya sudah pergi ke mana-mana, kadang meninggalkan negara ini dan sekarang saatnya tinggal. Tapi sebenarnya negara yang mana ya? Negara saya sudah tidak ada….” Nasionalisme nihil berkat negara yang tak acuh kepada luka rakyatnya.

Tak lupa, penulis menyoal efek tragedi 1965 di Indonesia. Sejarah yang dimodifikasi demi kepentingan politik akhirnya memberi stigma negatif terhadap orang-orang “berstempel” komunis. Setelah puluhan tahun berlalu, rekonsiliasi, rehabilitasi dan perhatian kepada korban belum terurusi dengan sewajarnya. Pembedaan ini mengingatkan pembaca atas derita kaum “tertuduh” yang belum mendapat hak sebagai warga negara yang sejajar. Meskipun, kebenaran sejarah tragedi 1965 perlahan mulai terungkap.

Banyak masyarakat yang rupanya tak acuh terhadap ketidakadilan ini. Penulis menentukan sikapnya dalam ungkap yang tajam: “Bayangkan, kata Ibu Guru, andai kaum pemberontak itu berkuasa kita tak akan pergi ke masjid, kelenteng, atau gereja dan kehilangan kata “tuhan” dalam kamus. Setelah menyudahi kata terakhir, Ibu guru tiba-tiba memandang sinis ke arahnya.” Penggalan ini merefleksikan keteguhan penulis mengkritik kesalahan sejarah yang akhirnya melukai harkat kemanusiaan.

Gelimang Isu

Cerpen bergelimang isu dan makna. Begitulah cerpen Linda Christanty menyapa pembaca. Penulis yang pernah meraih Human Rights Award for Best Essay pada tahun 1998 atas esai Militerisme dan kekerasan di Timor Leste (1998) ini, dengan kreasi estetiknya, telah menyampaikan sisi kemanusiannya yang paling intim dalam narasi cerpen reflektif. Bahkan, kumpulan cerpennya Kuda Terbang Maria Pinto meraih penghargaan Khtulistiwa Litrary Award di tahun 2004. Penulis suntuk mengurusi perihal tema-tema yang mengedepankan estetika dan kemanusiaan.

Keluasan tema dan lahan cerita yang digarap penulis menjadi sisi intelektual dan bukti, bahwa, dunia sedang memerlukan perhatian lebih. Buku dengan sampul telapak anjing ini ingin mengingatkan kepada khalayak; perdamaian dan kesetaraan. Tragedi perang, penindasan dalam bentuk yang paling kecil, diskriminasi, sampai kapanpun tidak bisa dibenarkan.

Seekor Anjing Mati di Bala Mughrab adalah kabar buruk bagi peradaban manusia hari ini. Tapi, menjadi baik dalam geliat cerpen Indonesia mutakhir. Semoga.  

Surat-Surat Sang Bohemian


“Aku yakin bahwa kita sama-sama mengetahui dan mengerti bahwa seseorang itu tidak bisa dididik atau dicetak menjadi seniman.” (Nashar)

Jalan kesenimanan adalah pilihan hidup penuh pertaruhan. Ikhtiar menghidupi kesenian bukan semata karena tanggung jawab manusia memelihara kebudayaan. Seni, tak lain adalah sebab mereka menjalani hidup dengan pelbagai kondisi. Seniman mengimani “seni” sebagai alasan mereka bertahan, bersuara, menikmati kehidupan, serta untuk terus-menerus berpikir. Seni adalah kemurnian nurani. Seni tentulah bukan agama. Seni bukan ideologi. Seni bukan wahyu. Tapi, seni kerap bersetubuh dengan semuanya itu. Agama, politik, ideologi, bahkan wahyu, bermesraan dengan seni.

Laku hidup penuh pasrah dan permenungan menuju tingkat berkesenian yang tinggi, dijalani Nashar sebagai jalan hidup tidak berujung. Nashar, melalui buku Nashar oleh Nashar (2002) menelanjangi diri dalam kobaran seni tak terpadamkan. Hasrat berkesenian adalah hidup dan nyawa seorang Nashar. Buku bersampul hijau ini tak ubahnya catatan singkat, kesaksian, permenungan, serta blueprint berkesenian ala Nashar. Ia tak hanya bercerita, namun, cenderung mengabarkan jati diri kesenimanannya dalam catatan yang tidak menggebu-gebu, pelan, penuh kesederhanaan. Nashar berbicara dengan bahasanya yang paling sederhana. Melalui buku ini, pembaca bakal melacak adab kesenian seorang Nashar yang tenang, penuh pertimbangan, kaya permenungan, serta kuyub akan upaya “pembebasan”.

“Memoar, memoar, memoar!” Nashar lantang mengklaim catatan singkatnya ini. Nashar seorang pelukis sejati. Kesejatiannya melukis menimbulkan gejolak-gejolak tak kunjung padam. Menulis menjadi pelampiasan atas gejolak proses kreatifnya. Sejak umur 22 tahun, Nashar mulai mencatat, kemudian mengimaninya sebagai upaya dialog secara intim. Nashar bukan retoris. Ia adalah pemikir dan pelaku kesenian. Hidupnya semacam mozaik perjalanan menuju kemakrifatan seni. Catatan inipun terlahir di antara gamang dan galau. Malam yang suntuk dan lelah adalah tingkat di mana Nashar harus memutuskan untuk sesegara mungkin meluangkan waktunya untuk menulis. Siang menjadi ritus kepelukisan. Malam adalah jeda demi memuntahkan sederet ide-argumentasi dunia seni lukis.

Totalitas berkesenian memerlukan niat, usaha, serta pengorbanan. Keputusannya untuk berbasah-basahan dengan seni lukis bukan tanpa rintangan. Nashar hidup dalam keluarga minus kesenian. Ayahnya tak lain adalah penentang pertama niatnya menjadi seniman. Kondisi politik Indonesia pra-kemerdekaan menjadi dalih kuat bagi ayahnya melarang Nashar bersekolah. Ia pun jengkel. Ayahnya keras, otoriter, serta penuh aturan. Kehidupan ini tak pelak membentuk pribadi Nashar yang cenderung diam dan lebih memilih bergejolak dengan alam pikirannya.

Hasrat melukis Nashar pada mulanya bukanlah niat pribadi. Taufik, teman sekelasnyalah, yang membuat Nashar tertarik dunia seni lukis. Dan, babakan baru di kehidupan Nashar adalah ketika ia memutuskan merguru ke S Sudjojono, yang menurut Trisno Sumarjo adalah Bapak Seni Lukis Modern Indonesia. Nashar tercekam: S Sudjojono menganggapnya tidak berbakat! Bagi tertampar seribu petir! Namun, S Sudjojono memperbolehkan ia terus belajar. Nashar bergeming. Ia makin bernafsu. Impiannya kini satu: jadi pelukis!

Proses merguru adalah ritus tidak berkesudahan. Nashar semakin haus dan lapar pada ilmu. Ia sempat “ngabdi” pada Affandi, pelukis ekspressionisme terkemuka di Indonesia. Melalui Affandi, Nashar mengilhami ketekunan berkreasi tiada henti. Hari-harinya adalah kanfas, kuas, imajinasi, tinta. Melukis, melukis, melukis. Affandi menanamkan kerja praktek terus menerus sebagai upaya pencapaian estetik seorang pelukis. Nashar manut. Merguru bukan ajang perdebatan.

Hingga akhirnya Nashar hijrah ke Bali demi menajamkan mata kuasnya, ia tetaplah pribadi hening. Ia terus saja memilih untuk tetap merenungi segala pemikirannya. Nashar terbentuk menjadi seniman bergelimang idealisme serta kaya pemikiran. Van Gogh adalah inspirasi sekaligus model. Catatan harian Van Gogh menjadi acuan kesenimanannya. Pilihan untuk berada di pinggiran hiruk pikuk perubahan zaman, tak lain terpengaruh oleh jalan kesenian Van Gogh. Van Gogh pula yang menaungi gebalau jiwa Nashar saat menemui lapar yang tak tertahan, cercaan dari kawan seniman yang terideologisasi, serta kondisi yang memaksa Nashar untuk “berlalat-lalat” menjalani laku kesenimanan.

Nashar melangkah tanpa goyah. Tegak tanpa merasa terkoyak. Jalan seni adalah jalan menuju kesempurnaan-kepuasan batin. Kekukuhannya ini tidak melempem meski bergelimang kemiskinan dan ditinggal istri. Nashar adalah bohemian-seniman tulen. Ia tak ubahnya Chairil Anwar dengan dunia kepenyairannya. Idealisme dan intelektualismenya yang kokoh itu membuatnya hidup bagai berpijak di lorong sunyi. Dunia yang ramai akan imajinasi dan gejolak pemikiran. Enam belas surat kepada kawan yang “entah” menjadi penanda jalan senyap yang ia imani. Nashar, barangkali, hidup hanya demi seni. Lain, tidak. 

Kesenian adalah tentang upaya menempatkan seni pada kodrat yang paling bebas. Ia bukanlah alat yang mesti ditindih kepentingan, ideologi, bahkan ambisi. Seni lukis, bagi Nashar, adalah permenungan jiwa yang nonkonsep, nonestetik, dan nontehnik. Ia harus lahir dari jiwa yang paling jujur dan permenungan yang klimaks. Nashar menulis dalam suratnya kepada kawan yang “entah”: “aku yakin bahwa kita sama-sama mengetahui dan mengerti bahwa seseorang itu tidak bisa dididik atau dicetak menjadi seniman.” Untuk tidak menyebutnya kepala batu, Nashar memang seorang bohemian-seniman-intelektualis-idealis! []